Solo memang telah berkembang menjadi kota yang menarik baik dari aspek entertainment, budaya, simbol dan segala macam riuhnya kota. Ditambah lagi dalam minggu kemarin 2x sang Walikota Ir Joko Widodo muncul di televisi nasional. Tajuknya saja membikin bangga warganya, satunya bertitel “Solo Memang Beda” dan satu lagi “Nyali Perintis”. Bahkan media massa lokal menampilkan foto masyarakat Solo disebuah angkringan menyaksikan acara Solo Memang Beda yang disiarkan live Metro TV.
Kebanggan itu melengkapi beberapa kebanggaan lain atas pembangunan citra yang dinilai oleh banyak kalangan memang berhasil. Dalam beberapa aspek, tak bisa dipungkiri memang terlihat kemajuan yang nyata. Jokowi, panggilan akrabnya mampu membanding kota kecil ini menjadi jualan yang menarik. Hampir setiap orang yang mendengar kata Solo, diidentikkan dengan Jokowi. Saudara saya yang tinggal di Jakarta sampai hapal namanya.
Meski demikian, ada sisi lain yang mau tidak mau harus dibenahi oleh pemerintah kota. Kondisi itu mampu mempengaruhi citra yang selama ini sudah berusaha dibangun dengan baik. Sebut saja penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang hingga sekarang masih saja menyisakan masalah. Konsep menata, merelokasi, memberi gerobak harus ditunjang dengan penyadaran pada mereka. Tanpa penyadaran itu, sulit menjaga seluruh kawasan kota.
Sekarang malah muncul Aliansi PKL Solo (APS) yang terang-terangan meminta Perda Penataan PKL No 3 Tahun 2008 dicabut. Padahal seperti diikuti penulis, pada akhir 2007 ketika ada rapat dengar pendapat tentang Raperda itu di gedung DPRD Kota Solo, berbagai organisasi PKL yang diundang tidak banyak melontarkan keberatan atas rancangan pasal-pasal. Lembaga pendamping (LSM) yang mengikuti kegiatan tersebut juga tenang-tenang saja.
Berbagai kawasan yang telah ditata, kini sudah ada yang kembali marak PKL berdagang disitu. Lihat saja di sepanjang jalan Dr Rajiman terutama barat bundaran Baron (Penumping). Jalur lambat dipenuhi PKL dan pembeli sehingga pengendara becak, sepeda atau motor memilih menggunakan jalur cepat. Di Kawasan Gading, pasar Gading yang sudah berdiri semestinya mampu menampung PKL yang direlokasi ke kawasan tersebut. Kenyataannya masih banyak berjualan dipinggir jalan sepanjang jalan Veteran.
Belum lagi PKL yang berada di kawasan belakang UNS sepanjang jalan KH Dewantoro yang direlokasi ke Pasar Panggungrejo masih menyisakan persoalan. Selain belum semua PKL direlokasi, beberapa PKL yang direlokasi sudah meninggalkan kiosnya. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa relokasi tak selamanya menguntungkan. Padahal penyiapan infrastruktur pasar membutuhkan anggaran yang cukup besar.
Maka dari itu, Jokowi panggilan sehari-hari Walikota Solo, harus segera menata jajaran birokrasi terutama di Dinas Pengelolaan Pasar. Program penataan, relokasi, selterisasi maupun pengadaan gerobak harus disertai dengan kampanye pentingnya memahami tata ruang kota. Selama ini belum ada grand design kota yang disosialisasikan pada masyarakat luas. Secara global masyarakat masih belum banyak tahu mana kawasan yang untuk perkantoran, mana kawasan resapan air, mana kawasan industri, mana kawasan penghijauan, mana kawasan hunian dan lainnya.
DPRD Kota Solo tak boleh larut dalam mainstream atau hanya bereaksi pada isu-isu yang lagi hangat misalnya tentang PKL. Namun mendorong hal-hal yang bersifat substansial seperti tentang RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) yang seharusnya sudah disahkan menjadi Perda. Kalau hanya ikut arus, tak aneh bila kita baca di media mereka (legislatif) selalu kaget dan bereaksi bila Pemkot memaparkan rencana kegiatan. Sebuah kota harus tumbuh bersama masyarakatnya, tidak hanya untuk bekerja namun menjadi tempat tinggal yang nyaman.
Kebanggan itu melengkapi beberapa kebanggaan lain atas pembangunan citra yang dinilai oleh banyak kalangan memang berhasil. Dalam beberapa aspek, tak bisa dipungkiri memang terlihat kemajuan yang nyata. Jokowi, panggilan akrabnya mampu membanding kota kecil ini menjadi jualan yang menarik. Hampir setiap orang yang mendengar kata Solo, diidentikkan dengan Jokowi. Saudara saya yang tinggal di Jakarta sampai hapal namanya.
Jokowi saat tampil di Metrotv |
Sekarang malah muncul Aliansi PKL Solo (APS) yang terang-terangan meminta Perda Penataan PKL No 3 Tahun 2008 dicabut. Padahal seperti diikuti penulis, pada akhir 2007 ketika ada rapat dengar pendapat tentang Raperda itu di gedung DPRD Kota Solo, berbagai organisasi PKL yang diundang tidak banyak melontarkan keberatan atas rancangan pasal-pasal. Lembaga pendamping (LSM) yang mengikuti kegiatan tersebut juga tenang-tenang saja.
Berbagai kawasan yang telah ditata, kini sudah ada yang kembali marak PKL berdagang disitu. Lihat saja di sepanjang jalan Dr Rajiman terutama barat bundaran Baron (Penumping). Jalur lambat dipenuhi PKL dan pembeli sehingga pengendara becak, sepeda atau motor memilih menggunakan jalur cepat. Di Kawasan Gading, pasar Gading yang sudah berdiri semestinya mampu menampung PKL yang direlokasi ke kawasan tersebut. Kenyataannya masih banyak berjualan dipinggir jalan sepanjang jalan Veteran.
Pemberian Gerobak pada PKL Jl Slamet Riyadi |
Maka dari itu, Jokowi panggilan sehari-hari Walikota Solo, harus segera menata jajaran birokrasi terutama di Dinas Pengelolaan Pasar. Program penataan, relokasi, selterisasi maupun pengadaan gerobak harus disertai dengan kampanye pentingnya memahami tata ruang kota. Selama ini belum ada grand design kota yang disosialisasikan pada masyarakat luas. Secara global masyarakat masih belum banyak tahu mana kawasan yang untuk perkantoran, mana kawasan resapan air, mana kawasan industri, mana kawasan penghijauan, mana kawasan hunian dan lainnya.
DPRD Kota Solo tak boleh larut dalam mainstream atau hanya bereaksi pada isu-isu yang lagi hangat misalnya tentang PKL. Namun mendorong hal-hal yang bersifat substansial seperti tentang RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) yang seharusnya sudah disahkan menjadi Perda. Kalau hanya ikut arus, tak aneh bila kita baca di media mereka (legislatif) selalu kaget dan bereaksi bila Pemkot memaparkan rencana kegiatan. Sebuah kota harus tumbuh bersama masyarakatnya, tidak hanya untuk bekerja namun menjadi tempat tinggal yang nyaman.