Minggu, 21 Februari 2010

BIROKRASI BAGIAN DARI YANG PERLU REFORMASI

Pemerintah Indonesia merupakan salah pemerintahan dengan birokrasi yang dinilai terlalu gemuk, lamban dan tidak cekatan. Proses pelayanan public yang idealnya menjadi cepat, mudah dan murah justru berjalan sebaliknya. Bahkan ada lelucon kenapa bila bisa dipersulit harus dipermudah? Sebuah penilaian yang sangat menyakitkan. Meski demikian tetap saja proses reformasi birokrasi tak tuntas dilakukan. Selalu saja tuntutan yang dikemukakan terlebih dulu pada gaji atau pendapatan mereka. Padahal 10 tahun terakhir ini kenaikan gaji PNS sangat luar biasa, toh efisiensi, efektifitas serta kinerja mereka masih banyak keluhan. Lantas sebenarnya sumber problem utamanya pada apa? Kita coba kupas secara jeli.

Proses awal masuknya birokrasi kita adalah dalam hal perekrutan. Selama ini perekrutan PNS dilakukan secara terbuka. Namun system yang dibangun bolak balik tak matang. Pada saat muncul tuntutan yang menguji mereka dikelola pusat, Pemda berteriak yang tahu kebutuhan mereka adalah mereka sendiri. Sehingga tes masuk harus mereka lakukan. Pada saat diserahkan ke daerah ternyata muncul banyak masalah diantaranya banyak terjadi KKN sehingga hasil perekrutan juga menjadi tak optimal. Persyaratan yang diajukan pun sering diterjang begitu saja. Akhirnya kini tes penerimaan PNS kembali ke pusat namun sekali lagi tak menyelesaikan masalah dasar. Kualitas aparat tak juga kunjung membaik.

Bila kita lihat, masih banyak pegawai yang keluyuran di mall atau pasar tradisional saat jam kerja. Atau bahkan bila ditelisik lebih mendalam, misalnya apakah mereka tahu tupoksi mereka? Saya kira akan jarang yang dapat menuliskan secara jelas. Tingkat pendidikan, latar belakang pendidikan bahkan tingginya nilai calon pegawai tak berkorelasi dengan kedisiplinan, motivasi atau etos kerja mereka. Kedepan, mekanisme perekrutan juga perlu dibenahi. Persoalannya bukan siapa yang berhak melakukan tes tetapi lebih pada bagaimana pegawai baru dapat bekerja dengan semangat abdi rakyat. Mereka digaji dari pajak dan retribusi yang disetor oleh rakyat sehingga mereka harus memberikan pelayanan yang setimpal.

Selama ini tidak ada rumusan jelas riil kebutuhan PNS tiap daerah berapa. Selain itu perekrutan juga tidak melihat latar belakang pelamar sehingga banyak PNS yang bekerja tidak sesuai latar belakang pendidikannya. Akhirnya jika ada alokasi perekrutan PNS, daerah meminta alokasi sebesar-besarnya bahkan tanpa memperhatikan kualifikasi. Penting adanya sebuah metodologi guna mengkaji kebutuhan besarnya
PNS disebuah instansi. Tidak sekedar one out one in atau satu keluar satu menggantikan. Kajian lebih didasarkan pada SOTK sebuah SKPD di daerah. Misalnya saja pegawai di Dinas Pertanian Kota Solo akan berbeda dengan kebutuhan jumlah pegawai Dinas Pertanian di Kabupaten Tuban.

Selama ini, banyak kebutuhan-kebutuhan pegawai juga disamaratakan saja. Satu pekerjaan pun sering dikeroyok oleh 10-15 orang. Padahal bila dibandingkan sector swasta mungkin hanya dikerjakan oleh 4-6 orang. Tiap kepala daerah yang dilantik harus melakukan pemetaan dalam kurun pemerintahannya (5 tahun) tentang proyeksi kebutuhan PNS. Metodologi ini harusnya sekarang telah siap dan dioperasikan karena birokrasi kita sudah berjalan puluhan tahun. Akhir-akhir ini malah disibukkan oleh berapa pegawai lagi yang akan diangkat jadi PNS bukan berapa alokasi ideal sebuah SKPD maupun daerah. Ini penting agar anggaran Negara tidak hanya habis untuk menggaji aparatnya saja dan bukan untuk membangun daerah.

Dalam hal penghargaan, juga dipakai standart umum yang sama. Selama ini penghargaan atas prestasi PNS hampir bisa dikatakan tidak ada selain berbentuk honor sebagai panitia. Tidak ada criteria jelas mana PNS berprestasi atau yang memiliki kapasitas lebih. Penghargaan lebih banyak diberikan pada PNS dengan masa kerja saja. Kemudian juga kenaikan pangkat atau golongan secara normative maksimal tiap 4 tahun. Tidak ada mekanisme konkrit siapa berprestasi siapa dapat penghargaan. Inilah yang menyebabkan pegawai menjadi malah bekerja. Selain itu, peningkatan latar belakang pendidikan lebih berpengaruh pada gaji bukan lebih pada prestasi kerja.

Tak heran bila sekarang sekolah jarak jauh, sekolah malam jadi marak meski kualitas lulusannya patut dipertanyakan. Perlu dimilikinya system renumerasi bagi PNS. Artinya saat penempatan seseorang di SKPD tidak sekedar diberi SK namun Tupoksi lebih spesifik disertai dengan target. Target itu di evaluasi tiap tahun oleh kepala SKPD sehingga ada penghargaan lebih spesifik. Pegawai yang memiliki kreatifitas, dedikasi, inovasi terutama pada ketepatan dan kecepatan pelayanan public harus diberi reward. Di Negara ini selalu saja yang memiliki posisi atau jabatan kepala dinas sering lebih banyak unggul dalam masa kerja, latar belakang pendidikan paling tinggi, usia serta golongan yang memenuhi syarat. Hampir sulit mencari kepala dinas yang masih muda atau baru 10 tahun jadi PNS bisa jadi kepala dinas meski capaian prestasinya luar biasa.

Sedangkan bicara sanksi justru sebaliknya. Bisa diibaratkan bekerja sebagai PNS adalah pekerjaan abadi yang tidak dihantui oleh pemecatan. Sudah banyak kasus-kasus yang muncul tetapi penyelesaiannya lebih banyak pada administrative. Entah kasus kriminal maupun perdata sehingga kinerja mereka sulit diharapkan naik. Kasus penyelewengan kas daerah, perjudian, perselingkuhan diselesaikan secara internal. Mereka hampir tidak pernah dibawa ke peradilan umum kecuali kasus itu banyak di blow up media. Tidak heran bila kinerja pegawai kita jauh dibawah rata-rata bila dibandingkan dengan sector swasta.

Sebaiknya setiap pelanggaran yang terjadi, diserahkan pada peradilan umum tidak hanya perbuatan kriminal atau pidana saja sebab PNS merupakan masyarakat biasa. Sehingga kinerja birokrasi di Indonesia bisa lebih ditingkatkan. Kasus pelanggaran pun sering kali selesai di meja Bawasda atau kepala daerah. Di Kota Solo bahkan pernah ada kasus perkosaan pembantu rumah tangga yang hingga kini sang pegawai masih tetap bekerja tanpa pernah dibawa ke persidangan. Padahal di sector swasta, pencemaran nama baik perusahaan sanksinya pasti sangat keras.

Untuk soal penghargaan, Pendapatan PNS selama ini didapat dari gaji dan honor. Semakin tinggi jabatan seseorang, maka honornya bertambah banyak. Sebab dia masuk sebagai penasehat atau penanggungjawab kepanitiaan setiap proyek APBD. Padahal waktu, tenaga dan pikiran yang disediakan tidak cukup besar. Seseorang juga tidak bisa mendapat honor atau tambahan penghasilan diluar tanggungjawabnya sebagai penanggungjawab proyek. Kasus dana insentif BPD diberbagai propinsi yang diberikan pada gubernur atau bupati/walikota tidak akan terjadi sebab penyimpanan kas daerah di bank bukan termasuk proyek kegiatan tetapi hanya kegiatan administrative saja

Perlu formula baru bagi penghargaan atas tambahan penghasilan. Lebih baik honor-honor di proyek APBD dihapuskan dan diganti dengan tunjangan. Sebab tunjangan itu melekat pada jabatan yang memiliki kewenangan penuh dan berkonsekuensi pada tanggungjawab. Sehingga jika ditemukan pelanggaran secara otomatis dia harus bertanggungjawab tidak melempar pada bawahan. Selain itu struktur golongan pada PNS juga perlu menyesuaikan tingkat inflasi ditiap daerah. Tidak bisa system penggajian disamaratakan di seluruh Indonesia dengan wilayah yang luas. Daerah yang memiliki tingkat inflasi tinggi harus diberi kelebihan penggajian. Bila tidak maka tingkat korupsi juga akan meningkat.

Karier


Jenjang karir dan road map kepegawaian di Indonesia sejak merdeka bisa dikatakan tidak ada. Setiap pegawai yang baru diangkat, tidak tahu tahun depan apakah masih di SKPD tersebut atau tidak apalagi 5 tahun yang akan datang. Artinya tidak ada pola kenaikan jabatan yang didasarkan pada track record yang jelas. Siapapun bisa saling pindah SKPD baik antar instansi teknis maupun non teknis. Bagaimana bisa seseorang yang berlatar belakang ekonomi, lama di bagian keuangan tanpa up grade atau penyesuaian dengan pola perencanaan kota bisa menduduki jabatan kepala Bapeda. Mestinya ada institusi tempat penyesuaian atau lebih dikenal dengan Badan Diklat. Lembaga ini harus benar-benar digunakan untuk proses transisi orang yang akan pindah jalur.

Bila selama di Badan Diklat ternyata prestasi atau penyesuaiannya lambat, dikembalikan lagi ke instansi awal. Ada 2 SKPD yang selama ini relative aman dari perpindahan antar instansi yakni pendidikan dan
kesehatan. Beberapa instansi juga dianggap sebagai tempat parker menjelang pensiun atau buangan misalnya perpustakaan dan arsip daerah. Selayaknya anggapan ini bisa dihilangkan agar tidak lagi ada orang atau pegawai merasa terbuang. Sampai sekarang proses mutasi masih dianggap sebagai proses yang menakutkan bukan menggembirakan. Idealnya setiap jabatan di Pemda disertai dengan berbagai persyaratan lama bekerja, tambahan kemampuan yang dibutuhkan, renumerasi, tanggungjawab, tingkat pendidikan maupun keahlian khusus (spesifikasi). Persyaratan ini harus bersifat terbuka. Sehingga bila seorang PNS ingin meraih jabatan tertentu, dia akan berusaha mendapatkan tambahan syarat yang dalam beberapa tahun sebelumnya harus dia siapkan. Kepala daerah (beserta Baperjakat) pun memiliki pilihan tidak terbatas bila jabatan tertentu kosong.

Salah satu yang jadi beban anggaran Negara kita adalah para eks pegawai negeri. Milyaran rupiah tiap bulan diberikan untuk memberi penghargaan pada mereka. Para pensiunan berdalih bahwa pensiun yang diberikan adalah potongan gaji mereka. Anehnya kenapa bila ada kenaikan gaji, mereka dapat itu juga naik dan besarannya menyesuaikan. Tidak ada alasan menolak bahwa mereka benar-benar berjasa bagi Negara. Namun mestinya tidak memakai pola ini karena pemberian dana pensiun justru membebani anggaran. Pemerintah harus mencari formula yang tepat agar system ini tidak dipakai lagi.

Salah satu solusi untuk ini adalah pemberian pesangon bagi pegawai ketika menyelesaikan tugas. Banyak hal yang bisa efisien dari pola ini. Tidak harus memberi dana bulanan hingga 20 tahun lagi (apalagi sang istri PNS masih muda), tidak terpengaruh inflasi, tidak terancam dari manipulasi data pensiun yang masih hidup atau meninggal, sang pegawai pun bisa menggunakan anggaran pesangon untuk usaha. Dengan system pesangon ini Negara bisa melakukan efisiensi luar biasa. Beberapa pejabat Negara juga perlu dinilai lagi layak dapat pensiun atau tidak seperti bekas anggota DPRD (meski katanya Cuma 5 tahun), bekas kepala daerah, bekas anggota DPR (meski Cuma 2 juta perbulan) dan beberapa pejabat Negara lainnya. Secara pribadi saya lebih bersepakat bahwa pemberian penghargaan itu hanya diberikan untuk bekas kepala Negara, mentri dan pejabat setingkat mentri kecuali kepala BUMN yang telah mendapatkan renumerasi tinggi.

0 komentar:

Posting Komentar