Sejak otonomi digulirkan 11 tahun lalu sudah banyak daerah mampu mendorong pengelolaan keuangan daerah yang patut dicontoh. Meski demikian ternyata tidak semua daerah berbuat demikian. Justru kebanyakan masih berkutat pada problem-problem lama yakni penyesuaian dengan model-model akuntasi yang tidak berbasis kinerja. Perubahan diregulasi keuangan daerah sebenarnya tidak hanya didorong dari aspek efektifitas dan efisiensi anggaran namun juga diharapkan bagaimana anggaran daerah yang serba terbatas tersebut mampu memfasilitasi perkembangan ekonomi daerah. Tidak mudah bagi pemerintah mengharap demikian karena transfer dan watak birokrasi yang dalam pola pikirnya masih menganggap masyarakat sebagai object semata. Padahal dengan model otonomi daerah yang sekarang ini dikembangkan mestinya anggaran daerah dapat meningkatkan potensi yang ada didaerah.
Banyak wilayah dengan anggaran besar tak mampu membebaskan biaya pendidikan masyarakat namun disisi lain justru kabupaten dengan APBD kecil malah bisa membebaskan biaya pendidikan. Memang kampanye banyak daerah demikian namun prakteknya pungutan atas nama apapun masih saja terjadi. Kenapa demikian? Karena yang utama komitmen kepala daerah tak tuntas memahami makna sesungguhnya otonomi. Belum lagi mereka terikat dengan partai politik yang nota bene membawa mereka menduduki kursi no 1 dipemerintahan. Berbagai regulasi tentang keuangan daerah seperti Permendagri 13 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang diperbaharui dengan Permendagri No 59 Tahun 2007 jelas mengatur berbagai hal mengenai keuangan daerah.
Kita tidak perlu banyak melihat kedalam atau terlalu teknis dalam memotret kesulitan daerah menyusun APBDnya namun ketepatan waktu penyusunan di bulan Desember untuk pelaksanaan APBD tahun berikutnya saja masih banyak ditemui. Padahal tahun ini sudah memasuki tahun ke 4 atau ke 5 pasca ditetapkannya permendagri tersebut. Lantas bagaimana birokrasi memahami regulasi tersebut. Banyak daerah beralasan karena pilkada dan lain sebagainya. Mestinya bila system dirancang dengan baik, kendala-kendala tersebut sudah tidak perlu dijadikan alasan. Menteri Keuangan harusnya bertindak tegas bagi daerah yang terlambat pengesahan APBD pada tanggal 31 Januari harus diberi punishment tidak perlu hingga menunggu April. Melihat berbagai perkembangan tersebut, setidaknya aspek pengelolaan keuangan daerah memiliki 5 masalah substansial yang perlu dicari pemecahannya. Berikut 5 problem dan 5 tawaran solusi yang saya potret dari pelaksanaan di daerah.
1. Transparansi
Meski ditingkat nasional sudah ada beberapa regulasi untuk mendorong transparansi anggaran misalnya dalam penjelasan azas pengelolaan keuangan Negara (UU No 17 Tahun 2003), pasal 103 UU No 33 Tahun 2004, PP No 56 dan 58 Tahun 2005 serta berbagai Permendagri. Berbagai Kabupaten/Kota memang sudah melakukannya tapi itu lebih karena komitmen kepala daerah. Kenyataannya masih banyak daerah yang belum membuka APBD mereka. Contohnya di Kaltim, masyarakat hanya mengenal Nota Keuangan saja sedangkan IPPD, Neraca APBD, hasil audit BPK bahkan yang namanya APBD masih disebut rahasia Negara oleh birokrasi. Diwilayah yang lain masih banyak anggota DPRD gagap ketika melihat buku APBD.
Wakil rakyatpun jarang yang dengan konsisten menyuarakan pentingnya transparansi anggaran bagi masyarakat. Padahal dengan adanya transparansi akan member efek cukup signifikan bagi partisipasi masyarakat di daerah. Mereka (birokrasi dan legislative) jarang membedah dengan serius apa pentingnya transparansi. Bahkan di Kabupaten Boyolali, mendorong transparansi hanya dimaknai sebagai hadirnya Perda. Ini yang banyak salah kaprah tentang pentingnya Perda. Hampir secara nasional selalu mendorong hadirnya regulasi. Memang kondisi nasional dengan daerah tentu berbeda karena spesifikasi atau majemuknya masyarakat. Regulasi ditingkat mestinya bisa ditetapkan dengan catatan ada best practice didaerah sedangkan didaerah berbeda perlakuan.
Idealnya dalam mendorong kebijakan didaerah secara bertahap misalnya melalui surat edaran kepala dinas atau setingkat peraturan kepala daerah. Gunanya adalah untuk proses pematangan dan pembenahan pada implementasi. Saya berpandangan bahwa ketika Perda Transparansi dan Partisipasi di Boyolali atau didaerah manapun disahkan tidak akan berdampak apapun bagi daerah. Kenapa? Karena praktek dilapangannya sebenarnya sangat semu. Mereka yang tahu hanya segelintir atau elit ditingkat kota sementara tidak ada upaya masyarakat atau stakeholders untuk berusaha belajar dan memahami arti konsekuensi tersebut. Pun demikian dengan anggota DPRD setempat yang hanya sebatas melihat hasilnya semata. Mereka harusnya faham bahwa penetapan Perda tersebut berimplikasi pada segala tindakan yang akan dilakukan wakil rakyat.
Mendorong aparat birokrasi untuk melakukan transparansi disertai kemungkinan-kemungkinan keuntungan yang bisa diperoleh dari wujud transparansi misalnya pemantauan proyek cuma-cuma dari masyarakat, kualitas proyek fisik lebih bagus, masyarakat bisa ikut menjaga. Transparansi juga akan menjaga keselamatan uang milik rakyat dari proyek-proyek yang tidak jelas dampaknya bagi masyarakat. Toh selama ini gaji maupun harga barang juga sudah ditentukan oleh berbagai peraturan sehingga masyarakt tidak bebas atau asal mengkritisi. Misalnya saja kenapa tunjangan kepala daerah sebesar sekian, dan minta diturunkan. Perlu dimaknai bahwa aturan itu saling mengikat antara satu dengan yang lainnya.
2. Partisipasi
Sudah banyak wilayah yang menjalankan proses partisipasi di Musrenbang hanya saja partisipasi ini adalah partisipasi semu. Karena yang dibahas hanya perencanaan program dan itupun masih harus diperjuangkan oleh SKPD ketika berhadapan dengan legislative. Beberapa wilayah, anggota DPRD memaknai hak budgeting adalah penentuan program. Maka dari itu sampai sekarang keberhasilan partisipasi baru pada representasi utusan masyarakat dalam perencanaan. Kota Solo sebagai pioneer dalam partisipasi di perencanaan sampai sekarang ternyata tidak beranjak dari kondisi 6 tahun lalu. Ketika saya coba crosscheck dengan teman-teman, fasilitator musrenbang masih itu-itu saja dan polanya tetap sama. Maka tidak heran bila disini masyarakat terlihat jenuh dengan perencanaan. Tidak ada hal yang menarik.
Akibatnya akan sangat berbahaya memaknai partisipasi dari kasus Solo. Padahal ditempat lain masih banyak dimaknai Musrenbang ditingkal level atas partisipasi masyarakat dilevel bawahnya hanya bisa diwakili oleh lembaga formal. Sebut saja Musrenbang kecamatan akan diikuti oleh kepala desa, LPMK/D, BPD dan maksimal ditambah ketua PKK. Tidak ada perwakilan seperti terjadi di Solo. Maka dari itu proses perencanaan dibanyak kota tidak berkembang dan di Solo sendiri mengalami kejenuhan. Nampaknya hal ini tidak ditangkap secara serius oleh berbagai aktivis pendamping perencanaan sebagai ancaman. Mereka masih menganggap bahwa proses partisipasi mereka masih bagus dibanding daerah lainnya.
Tahap selanjutnya yang harus didorong oleh para key person perencanaan adalah memasukkan perwakilan masyarakat dalam proses pembahasan hasil Musrenbang menjadi RAPBD dan pembahasan RAPBD menjadi APBD. Yang agak berat adalah membuat regulasi bahwa perwakilan masyarakat harus ikut TAPD ikut membahas RAPBD dengan anggota DPRD/Panitia Anggaran. Kendala perwakilan masyarakat ikut pembahasan hasil musrenbang menjadi RAPBD masih masuk akal karena guna memastikan bahwa tidak ada program yang tidak diakomodir. Bila dihapus harus dijelaskan ke masyarakat dan statement ini tertuang dalam Permendagri (meski prakteknya tidak ada). Keterlibatan masyarakat ikut mendampingi TAPD dalam pembahasan RAPBD bersama DPRD jelas merupakan problem serius. Karena DPRD merupakan representasi wakil rakyat.
Selama ini diakui atau tidak mereka memang tidak mewakili rakyat tapi justru mewakili partai politik sehingga banyak hal-hal penting Musrenbang kemudian hilang tak berbekas. Ada juga pemahaman yang sangat keliru yang dipahami sebagian besar wakil rakyat kita. Mereka memaknai hak penganggaran/hak budgeting sebagai penentu program. Padahal hak budgeting itu dimaknai sebagai pengkritisan besar kecilnya biaya dan harus rasional. Harus ada terminology jelas apakah hak budgeting itu. Yang dipahami ternyata tidak sekedar menentukan jumlah anggaran termasuk juga program. Ini sesat pikir yang harus segera diakhiri. Meski demikian nampaknya di Depdagri tidak melihat problem serius dari pemaknaan yang salah ini dan ini saya fahami sebagai dugaan adanya kongkalikong antara eksekutif dengan legislative.
3. Akuntabilitas
Selama ini soal akuntabilitas keuangan sebatas pada ranah Inspektorat (sebelum ini Bawasda), BPKP atau BPK. Namun diluar ranah itu, tidak jelas bagaimana soal akuntabilitas ini harus terwujud. Misalnya apakah computer hasil pembelian dari APBD benar-benar dimanfaatkan untuk bekerja atau justru lebih banyak untuk main game? Hambatan pola pikir yang ada di masyarakat nampaknya sengaja diambangkan sebab memang tidak mudah menilai pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Sebut saja kasus-kasus korupsi sekarang ini masih berkutat pada adanya penyelewengan anggaran dengan kategori mark up, suap, fiktif dan lain sebagainya. Kita belum melihat contoh KPK secara jelas menangkap seseorang karena proyek yang dikerjakan tidak akuntabel.
Akuntabilitas tidak sekedar bahwa barang-barang yang dibeli bisa digunakan atau terpakai. Harus ada ukuran apakah barang-barang yang dibeli bisa memiliki manfaat bagi menunjang kinerja. Artinya makna rupiah atau nominal dari sebuah barang tidak sekedar dinilai telah dibelanjakan sesuai harga pasaran atau bahkan lebih murah. Lebih dari itu. Bahwa barang tersebut berguna atau digunakan tidak oleh masyarakat. Inilah yang harus dikembangkan oleh kepala daerah bila melakukan pengelolaan keuangan daerah. Persoalan akuntabilitas ini memang membutuhkan waktu sebab memaknai anggaran dari aspek akuntansi saja masih butuh proses yang lama.
Adanya Permendagri No 13 Tahun 2006 yang diperbaharui dengan Permendagri No 59 Tahun 2007 saja masih kesulitan diikuti berbagai daerah. Mereka (Pemda) menganggap pemerintah mempersulit daerah. Padahal dengan memaknai kerangka besar permendagri itu justru memudahkan daerah maupun kepala daerah mengontrol aparatnya. Tantangan yang seharusnya justru difahami kepala daerah sebagai alat yang bisa dia gunakan melihat aparatnya bekerja atau tidak. Memang sebaiknya perubahan itu dilakukan secara bertahap dan bagi para kepala daerah melihat regulasi ini secara fair. Toh yang dinilai dari aturan ini masih berkutat apakah sesuai harga, tidak fiktif dan ada wujudnya. Diluar itu tidak ada penilaian sama sekali. Tetapi nampaknya didaerah dibangun wacana bahwa sekarang membuat anggaran atau menjadi pimpinan proyek tidak berani karena takut ditangkap KPK.
Sebagai perumpamaan saja, dengan APBD daerah yang minim saja kegiatan yang terselenggara itu bisa mencapai 200 kegiatan. Dari 200 kegiatan itu maka akan ada 200 orang penanggungjawab. Saat ini kabupaten/kota di Indonesia ada 400an lebih daerah dan bila dianggap atau dirata-rata daerah memiliki 400 kegiatan akan ada 16.000 orang penanggung jawab. Itu baru ditingkat kabupaten/kota belum ditambah dengan propinsi sebanyak 33 propinsi dan berapa kementrian serta lembaga Negara dengan biaya yang tentu lebih besar. Maka jumlah orang yang diduga menyeleweng tidak sebanding dengan ketakutan yang ada. Isu ini terlihat memang sengaja dihembuskan oleh beberapa pihak yang tidak mau gerak gerik mereka mengatur proyek atau mendapat keuntungan tidak bisa dilakukan lagi.
4. Evaluasi/Auditing
Evaluasi atas laporan APBD banyak diambil alih oleh BPKP atau BPK. Bagaimana dengan utilitas barang atau fasilitas yang disediakan oleh APBD bisa multiefek? Banyak daerah membangun pasar, jalan tembus, GOR, masjid megah tapi apakah tingkat kemanfaatannya bisa dipertanggungjawabkan? Hal inilah yang menjadi tantangan dan perlu dicarikan solusinya. Masyarakat hanya sebagai pihak pengguna yang tidak pernah dilibatkan untuk proses evaluasi. Pemerintah melakukan pekerjaan dan hasilnya dimanfaatkan oleh masyarakat namun anehnya masyarakat tidak pernah ditanya apakah barang yang diadakan oleh mereka itu bermanfaat atau tidak.
Pemerintah selalu menganggap bahwa dirinya lebih banyak tahu dan mengerti tentang masyarakatnya. Meskipun diberbagai media scara tidak langsung dipaparkan banyak hal yang tidak senilai dengan biaya barangnya itu sendiri. Disinilah perlu dikembangkan sistem evaluasi yang berbasis masyarakat atau yang bisa di crosscheck dengan pengguna. Pemerintah tidak bisa menafikkan kondisi ini sebab masyarakat sebagai penyumbang dana perlu mengetahui apakah pajaknya digunakan secara tepat atau tidak. Pihak pemeriksa sendiri hanya memaparkan hasil pemeriksaan terbatas pada anggaran yang dialokasikan. Hanya BPK saja yang membuka hasil pemeriksaan diberbagai instansi sedangkan lembaga lainnya termasuk KPK tidak mempublikasikan.
Maka dari itu masyarakat harus mendorong system yang lebih baik yang dapat menjamin bahwa pajak dan retribusi yang disetorkan benar-benar digunakan secara lebih baik. Harus ada pemerintah daerah yang bersedia beruji coba pada sistem evaluasi yang berbasis manfaat. Tidak harus semua program tetapi setidaknya satu atau dua program bisa dilakukan evaluasi partisipatif. Tiap SKPD selayaknya pasca pelaksanaan APBD menyelenggarakan semacam FGD dengan stakeholders mereka untuk menilai apakah fasilitas yang terbangun memiliki manfaat terutama manfaat jangka panjang. Tanpa adanya evaluasi seperti ini, anggaran yang ada tidak bisa dinilai kemanfaatannya secara nyata.
0 komentar:
Posting Komentar