Kamis, 11 Februari 2010

Partisipasi Perempuan Dalam Politik dan Kebijakan

Oleh Muhammad Histiraludin

Diskursus tentang peran perempuan dalam 10 tahun terakhir ini cukup menarik dan semakin banyak membuka ruang bagi kiprah perempuan di Indonesia. Ruang aktualisasi perempuan tidak sekedar hanya pada bidang-bidang yang ‘dianggap” milik laki-laki namun juga karir perempuan dibidang-bidang tersebut juga terlihat menggembirakan. Sebenarnya perkembangan partisipasi perempuan di bidang pemerintahan, ekonomi apalagi politik relative jauh lebih lamban dibanding dibidang olah raga. Sudah sejak lama perempuan Indonesia mampu membuat prestasi membanggakan di kancah Internasional meskipun dibidang olahraga tentu hanya bertanding sesame perempuan. Namun setidaknya kiprah mereka bisa terlihat meski bertarung dengan negara-negara yang peran perempuannya jauh lebih berkembang.

Hambatan kiprah perempuan di Indonesia memang cukup kompleks sehingga diberbagai bidang perempuan kurang mampu menunjukkan kompetensinya. Misalnya saja hambatan dalam budaya, regulasi, agama maupun perspektif masyarakat sendiri. Dalam budaya Jawa misalnya muncul 3 idiom untuk ranah perempuan yakni dapur, sumur dan kasur. Mereka tidak memiliki bargaining yang cukup kuat dimata para suami selain sebagai pelayan saja. Akibatnya peran perempuan tetap saja tidak terbuka bagi pengembangan mereka. Beberapa regulasi pra reformasi dan perlakuan yang ada terutama di birokrasi tidak jauh berbeda. Hampir tidak ada kepala daerah perempuan di jaman orde baru lalu. Kondisi ini juga ditambah dengan pemahaman agama yang kurang terbuka.

Akibatnya, banyak kebijakan yang ditetapkan tidak memiliki sense of gender (kesetaraan jender). Kebijakan tidak pro jender bila dilihat dampak yang terjadi. Masyarakat lebih suka menyekolahkan anak laki-laki lebih tinggi dibanding anak perempuannya. Diberbagai daerah, anak perempuan meski belum berumur 20 tahun sudah dinikahkan. Akibat terusannya kualitas kehidupan keluarga jadi menurun. Tidak hanya kualitas kesehatan, kualitas pendidikan tetapi juga kulitas keluarga yang dibangun tidak mencerminkan keluarga yang secara matang mampu berperan dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan dilingkungan paling kecil misalnya Rukun Tetangga mengalami subordinasi. Pertemuan ibu-ibu PKK dianggap kelas dua dibawah pertemuan bapak-bapak terutama bila mengambil kebijakan terkait lingkungan.

Konstruksi pemikiran tidak mengakui peran perempuan atau memarginalisasi mereka dalam teks pelajaran anak sekolah juga terjadi. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia anak SD kelas 1 atau 2 misalnya disebut bapak ke sawah dan ibu ke pasar. Pasca orde baru, kemudian wacana tentang jender banyak berkembang di masyarakat. Sudah banyak yang kemudian menyadari bahwa kesetaraan peran laki-laki dan perempuan penting untuk memberikan peluang bagi siapapun dan dari latarbelakang apapun juga. Namun hingga tahun 2009, berbagai upaya yang dilakukan berbagai kalangan belum bisa dianggap berhasil. Berdasarkan data BPS tahun 2008 dan 2009 (Tabel 1) menunjukkan ketimpangan yang cukup lebar.

Tabel 1
Berdasarkan Data Nasional
No                                               Tahun                      Laki-Laki           Perempuan
1 Angkatan Kerja (jiwa)                   2008                    68.825.081          42.652.366
2 Angkatan Kerja (jiwa)                   2009                    69,938,391          43,806,017
3 Mengurus Rumah Tangga (jiwa)    2008                    30.481.858            1.640.911
4 Mengurus Rumah Tangga (jiwa)    2009                    30.996.532            1.581.888
5 Upah Pekerja                              2008                Rp 1.233.000         Rp 933.0000
6 Upah Pekerja                              2009                Rp 1.406.000         Rp 1.071.000
Sumber : BPS/Sakernas 2008-2009

Kesempatan kerja yang tersedia di tahun 2008 dan 2009 lebih memprioritaskan laki-laki dibandingkan perempuan dengan proporsi sekitar 60 : 40 persen. Sedangkan untuk urusan domestik selisih laki-laki dengan perempuan jauh lebih besar (lebih dari 1.800 persen). Sementara untuk upah pekerja selisih mencapai Rp 300.000 dan semakin lebar pada tahun 2009 menjadi Rp 335.000. Di kelembagaan legislative tingkat pusat sudah mulai ada peningkatan keterlibatan jumlah anggota DPR perempuan. Pada periode 1999-2004 tercatat ada 40 legislator perempuan atau sekitar 9,2%. Jumlah ini naik pada periode 2004-2009 berjumlah 63 orang (11,45%) dan pada periode saat ini sudah mendekati 100 (99 orang) legislator perempuan di gedung DPR RI (17,68%).

Bila dikupas dalam aspek kewilayahan, kondisi yang ada juga tidak jauh berbeda (lihat tabel 02). Untuk tingkat partisipasi angkatan kerja pada tahun 2007, prosentase laki-laki yang bekerja lebih dari 80 persen sementara untuk perempuan tidak mencapai 40 persen. Kemudian pada tahun berikutnya, kenaikan partisipasi angkatan kerja perempuan melampaui angka 40 persen. Sedangkan untuk pengukuran rata-rata lama sekolah, terlihat perempuan kaltim mampu menyelesaikan sekolah 8,1 tahun. Padahal untuk anak laki-laki membutuhkan waktu 8,1 tahun. Meski demikian, fakta menunjukkan bahwa jumlah buta aksara di kaltim untuk perempuan mencapai 65,5 persen. Atau dua kali lipat buta aksara laki-laki.

Tabel 2
Data Kaltim
No                                                                Laki-Laki    Perempuan
1    Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (2007)    83,63        38,52
2    Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (2008)    84,46        41,82
3    Rata-Rata lama sekolah (07)                         9,1            8,1
4    Buta Aksara (07)                                        34,4           65,5
Sumber : dari berbagai sumber, diolah


Regulasi dan Partisipasi Dalam Bidang Politik

Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa ada ketidakadilan terhadap perempuan. Seharusnya Negara membuka peluang, kesempatan, dan porsi yang sama baik pada laki-laki maupun perempuan. Sebenarnya sudah banyak regulasi yang memberi peluang bagi kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Setidaknya ada 5 undang-undang dan 3 regulasi lainnya yang memandatkan berbagai kebijakan yang responsive jender. Ke 5 undang-undang tersebut yakni 1) UU No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita; 2) UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang didalamnya mengakui hak asasi perempuan; 3) UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 4) UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; serta 5) UU No 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Hak-hak ECOSOC.

Beberapa aturan turunan yang memproteksi dan memberi kesempatan yang sama terhadap perempuan diantaranya Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan dan Kepmendagri No 132 tahun 2003 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Daerah. Berbagai regulasi ini semakin mendorong berbagai gerakan dan kesempatan bagi perempuan untuk lebih aktif berperan diberbagai bidang. Misalnya saja sudah banyak kepala daerah perempuan bahkan gubernur perempuan, serta pejabat perempuan. Kesempatan yang sama juga terjadi dalam kelembagaan politik dengan adanya affirmative action yang mensyaratkan caleg dari partai politik minimal 30 persen dan memiliki posisi yang strategis. Kondisi inilah yang menjadikan jumlah wakil rakyat perempuan naik cukup pesat. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa peluang partisipasi perempuan sekarang telah terbuka cukup luas.

Hanya saja, ditingkat daerah seperti kabupaten/kota memang belum cukup massif menerjemahkan berbagai regulasi dari pusat secara tepat. Berbagai pemerintah daerah masih berkutat pada mendirikan kantor atau badan pemberdayaan perempuan namun implementasinya perlu dimonitoring secara ketat. Karena berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh SKPD bersangkutan tidak bermakna substansial melainkan sangat teknis. Misalnya penyelenggaraan kegiatan-kegiatan selalu lebih banyak diikuti oleh perempuan dan dianggap sudah responsive jender bila banyak diikuti perempuan. Selain itu makna secara hakiki dari pengarusutamaan jender diterjemahkan dalam berbagai aktivitas yang semua pesertanya kebanyakan perempuan. Tidak kemudian ada grand design dalam segala program di SKPD dimaknai sebagai program yang responsive jender atau peduli perempuan.

Di partai politik sendiri juga masih banyak lips service. Hal ini juga terlihat dari masih mayoritasnya laki-laki dalam kepengurusan partai politik. Aktivis partai politik perempuan lebih banyak masuk di divisi atau departemen perempuan. Dari satu divisi/bidang/departemen bila diisi oleh 10 orang maka paling banyak 2-3 orang perempuan. Dalam UU No 10 Tahun 2008 tentang Partai Politik mensyaratkan 30 persen perempuan dalam pengurus partai. Masih ada 5 partai yang tidak memenuhinya. Kemudian pasal 53 daftar Caleg pada pemilu legislative 2009 lalu menyatakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Sedangkan total caleg perempuan mencapai 35 persen atau berjumlah 3.902 perempuan. Ternyata ada 5 partai juga yang tidak memenuhi undang-undang.

Jika dibedah lebih mendalam lagi, dari sekitar 35 persen caleg perempuan, sangat jarang menempati no urut topi atau nomor urut atas. Beruntung ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Caleg dengan suara terbanyaklah yang bisa menjadi legislator. Bila tidak, jumlah anggota DPR Perempuan periode 2009 – 2014 bisa jauh dari angka 99 orang. Merebut ranah pengambil kebijakan sangat penting dan tidak sekedar merepresentasikan keterwakilan perempuan tetapi jauh lebih substansial adalah memperjuangkan program-program yang lebih peduli terhadap perempuan.

Efek Yang Diharapkan

Bila di birokrasi sendiri masih banyak salah tafsir serta jumlah legislative perempuan tidak seimbang, tidak heran pelaksanaan program banyak yang salah kaprah. Maka dari itu, perlu semacam gerakan bersama terutama aktivis perempuan untuk merebut berbagai jabatan baik di birokrasi, perusahaan maupun politik guna mengoptimalkan pembangunan bangsa dimasa depan. Mesti diakui, hambatan budaya merupakan hambatan terbesar yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Masih adanya anggapan perempuan pulang malam berkonotasi negative harus dilawan dengan kampanye yang mampu menunjukkan bahwa perempuan yang pulang malam tidak selalu bekerja pada tempat-tempat hiburan malam.

Merubah budaya ataupun persepsi bukan pekerjaan mudah yang bisa dilakukan dalam satu atau dua tahun. Selain itu, membangun wacana berbagai bidang atas pentingnya partisipasi semua pihak termasuk perempuan dijadikan point penting dalam mendesign perubahan tersebut. Setidaknya ada 6 langkah yang perlu diambil untuk lebih memperkuat partisipasi perempuan. Pertama, Adanya kampanye secara luas tentang pentingnya keterlibatan perempuan dalam berbagai bidang. Memberi kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan bukan pilihan tetapi keniscayaan. Kampanye yang penting harus dimulai dari kelompok masyarakat terkecil yakni individu dan keluarga.

Dengan kampanye tersebut diharapkan muncul kesadaran semua pihak untuk lebih menyadari bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya adalah pihak yang sejajar. Tidak ada dikotomi ranah domestik atau publik yang menimbulkan konsekuensi menjadi tugas perempuan atau laki-laki. Kedua yakni capacity building atau peningkatan kapasitas aktivis perempuan. Selain pemahaman penting juga menanamkan beberapa ketrampilan yang selama ini tidak identik dengan perempuan misalnya fasilitasi, pembicara, moderator dan berbagai ketrampilan lain. Hal ini penting agar aktivis perempuan tidak terjebak pada urusan konsumsi, bendahara serta sekretaris yang dianggap memang spesifikasi perempuan.

Ketiga, penting untuk pemberdayaan organisasi perempuan. Organisasi seperti dharma wanita, PKK, Muslimat, Aisyiyah, Fatayat dan beragam organisasi wanita lainnya perlu didorong agar tidak sekedar mengadakan pelatihan ketrampilan semata. Selama ini berbagai organisasi tersebut lebih sering berkutat pada arisan, menjahit, kursus memasak dan berbagai kegiatan berbau perempuan. Mereka sebenarnya punya potensi yang dapat mengadakan kegiatan-kegiatan seperti berbagai organisasi yang tidak identik dengan perempuan. Tokoh-tokoh kunci dalam organisasi perempuan memiliki kesempatan mengembangkan diri untuk menjadi pelopor dalam berbagai kegiatan atau aktivitas yang lebih tidak identik.

Bisa saja berbagai organisasi ini kemudian mendiskusikan kebijakan Pemda, mengadvokasi masyarakat marginal, menganalisa anggaran dan bersama-sama bergerak mendesakkan kebijakan yang berorientasi pada kesamaan hak warga Negara atau anti diskriminasi. Keempat, perlu kiranya menaikkan bargain position bagi tokoh atau aktivis perempuan. Di level Nasional setidaknya ada 4 partai diketuai oleh perempuan (PDIP, PPRN, PIB dan PNI Marhaenisme), Menteri Kabinet Indonesia Bersatu ada 5 perempuan didalamnya, ada juga Gubernur perempuan, Rektor Universitas Sriwijaya juga perempuan. Mereka ini berhasil menunjukkan kapasitas dirinya hingga dipercaya komunitas partai ataupun pemangku kepentingan untuk menjadi dirigen ditiap instansi. Tentu para tokoh ini tidak begitu saja mendapat mandate tanpa proses panjang.

Kelima, pemanfaatan media baik elektronik maupun cetak. Dengan perkembangan sistem dan alat komunikasi yang serba canggih sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai alat bagi sosialisasi pemahaman maupun gagasan atau ide yang akan disampaikan. Tidak ada lagi informasi yang perlu menunggu jam atau menit bahkan hari. Semakin cepat gerakan penyadaran pentingnya perempuan hadir diranah publik dan pemahaman tentang peran lebih cepat disampaikan maka penyebaran informasi lebih luas menyebar dan tersampaikan pada masyarakat. Kecanggihan media ini sebaiknya ditangkap sebagai peluang untuk mendorong dan mendesakkan kepentingan perempuan yang bisa dimanfaatkan.

Keenam adalah jaringan berbagai kelompok maupun institusi. Bila kita mencoba setback kebelakang, keberhasilan affirmative action keterwakilan 30 persen perempuan dalam calon legislative adalah berfungsinya jaringan. Terbukti juga berbagai kebijakan yang dilahirkan di negara ini juga karena adanya jaringan yang kuat. Komunitas perempuan harus memperkuat jaringan tidak hanya sesame organisasi perempuan namun juga berbagai komunitas yang lain termasuk pemerintahan. Sehingga ketika memperjuangkan kepentingan kelompok perempuan akan semakin mudah mencapai target.

Harapannya, bahwa barier atau hambatan untuk keterlibatan atau partisipasi perempuan dalam politik dan kebijakan bisa dengan sendirinya hilang. Disinilah nanti akan dipetik berbagai manfaat dengan peningkatan peran perempuan yang sejajar dengan “komunitas” laki-laki. Berbagai kebijakan akan lahir dengan penuh makna atas kepentingan perempuan maupun laki-laki tidak sekedar kebijakan yang menyenangkan salah satu pihak. Maka dari itu, marilah kita sebagai salah satu kelompok penting baik di daerah, di partai maupun negara ini segera melakukan sesuatu. Kita tidak bisa menunggu siapa dulu yang harus berbuat dan siapa yang harus bertanggungjawab. Perempuan harus menolong dirinya sendiri dan tidak lagi menunggu belas kasihan kelompok lain. Semoga.

0 komentar:

Posting Komentar