Minggu, 02 April 2017

Tanda-Tanda Kekalahan Anies-Sandi Makin Nyata

Pilkada DKI kurang dari 2 minggu atau 14 hari lagi dan 2 kandidat Calon Gubernur makin gencar mengoptimalkan suara mereka. Ada perbedaan nyata cara kampanye yang bisa kita lihat signifikan. Ahok-Djarot terus membuka apa langkah-langkah yang bakal dilakukan untuk masyarakat di periode ke 2. Sementara Anies-Sandi setelah gagal dengan politisasi agama, beralih dengan upaya intimidasi maupun sebar kabar bohong.

Kubu Anies-Sandi atau Cagub nomor 3 makin kebingungan menjawab pola kampanye yang dilakukan lawan yang mampu menghadirkan fakta-fakta keberhasilan program. Bukan hanya KJP yang manfaatnya bukan hanya untuk biaya sekolah tetapi juga dapat digunakan membeli beras, minyak atau sayur mayor namun pembangunan berbagai infrastruktur bisa dilihat masyarakat.

Ada beberapa tanda yang bisa kita lihat pasangan calon nomor 3 ini di sisa waktu malah menurun tajam. Pertama, politisasi ayat agama yang awalnya digerakkan untuk menghadirkan simpati sebagian besar umat Islam sudah tidak kelihatan wujudnya. Terakhir setelah Aksi Bela Islam berbagai jilid terlihat tidak lagi punya daya. Tanggal 31 Maret kemarin (Aksi 313) kempes tak bersisa. Bahkan FPI beserta Imam Besarnya Habieb Rizieq Shihab pun tak datang. Tema aksi masih sama tentang dugaan penistaan agama namun mengapa FPI dan Rizieq “membolos”?

Berdasarkan pemberitaan yang ada, aksi itu jelas ditunggangi sebagai upaya makar. Penangkapan Al Khaththath atau Gatot Saptono beserta 4 temannya menunjukkan banyak hal. Polisi mengungkapkan ada berbagai skenario yang direncanakan paska Pilkada 19 April mendatang. Aksi 313 diduga sebagai ajang pemanasan menghadapi “kekalahan”. Buktinya polisi mengungkapkan ada skenario paska Pilkada untuk menduduki gedung DPR. Mereka sudah membuat rencana masuk ke DPR melalui mana saja hingga menabrakkan truk ke pagar belakang DPR.

Kedua, terungkapnya politisasi masjid memang by design alias salah satu upaya. Hal ini didapatkan setelah beredar video pernyataan Eep dalam sebuah pertemuan. Mereka menggunakan masjid sebagai tempat melakukan politisasi namun tidak berupa seruan partisan yakni pilih si A, jangan pilih si B. Namun memanfaatkan khatib-khatib, ulama, ustadz yang biasa mengisi di masjid terutama khatib Sholat Jum’at. Walaupun dalam video penutup Eep menyatakan strategi itu ingin digunakan untuk mengalahkan Ahok secara pribadi meski di forum tersebut tidak menyepakati.

Faktanya, khotbah yang memojokkan Ahok, spanduk, ujaran hingga ke berbagai group wa, sudah tidak terkendali bentuknya. Bukan hanya memojokkan namun sangat rasis serta tidak berprikemanusiaan. Seakan-akan tidak ada satu kebaikan yang sudah ditanamkan oleh Basuki Tjahaja Purnama. Penolakan sholat jenazah hingga yang terakhir muncul mulai ditolaknya berjamaah atau sholat bagi pendukung Ahok dibeberapa tempat muncul. Ketiga, terdesaknya Anies-Sandi menjadikan mereka tidak muncul dalam debat yang diselenggarakan oleh Kompas TV Minggu (2/4) yang di moderatori oleh Rossiana Silalahi. Akhirnya acara itu hanya dihadiri pasangan Basuki dan Djarot.

Di medsos tersiar kabar bahwa mereka keberatan hadir dikarenakan menginginkan format talkshow bukan debat. Keberatan itu disampaikan oleh Tim Sukses mereka, Eep Saefullah Fatah. Mengapa pilih talk show? Sebab lebih banyak mengulas gagasan atau program dan beda dengan debat yang memang mendiskusikan serta menajamkan program yang diusung. Nampaknya ini menjadi kekhawatiran yang perlu diantisipasi. Bisa jadi, tayangan Mata Najwa yang menghadirkan Anies dan Ahok menjadi tolok ukur mereka bersedia atau tidak datang. Setelah debat di Mata Najwa, beredar beragam meme hanya saja dari kupasan beberapa analis, terlihat Anies kalah telak. Baik di soal DP rumah maupun berbagai pernyataan Anies yang cenderung menyerang pribadi dan bukan kegagalan program Ahok.

Keempat, meski beberapa tokoh atau pengusaha bergabung disana namun tidak terlihat imbasnya. Walaupun paska putaran pertama pasangan yang kalah Agus-Silvy membebaskan pemilihnya kemana, ditambah bergabungnya Harry Tanoe dan Tommy Soeharto ke kubu mereka tapi sepertinya tidak berimbas pada apapun. Menyeret-nyeret orde baru, tidak laku dijual sehingga nama besar “Soeharto” tidak bisa mendongkrak apapun selain sebatas khaul di Masjid At Tiin di TMII. Pertemuan dengan Harry Tanoe pun bukan berarti pasangan ini terangkat pamornya di empat TV swasta (RCTI, MNC, Global dan I News).

14 hari jelas bukan waktu yang panjang apalagi mereka bakal disibukkan dengan acara debat resmi KPUD yang digelar 12 April mendatang. Dua program andalan mereka rontok karena alasan berbeda. Program OK OC ternyata adalah program yang digagas dan diusulkan oleh sekelompok pengusaha dari Jogjakarta. Tanpa menyatakan mau bekerjasama, tiba-tiba program itu sudah jadi andalan Anies-Sandi. Sementara program rumah DP Rp 0 tidak hanya melanggar ketentuan Bank Indonesia tetapi juga harga tanah yang digambarkan hampir mustahil didapat di Jakarta serta pembiayaan subsidi dari Pemprop akan membangkrutkan DKI.

Terus sekarang mengandalkan apalagi?

0 komentar:

Posting Komentar