Hampir setiap tahun Kabupaten Wonogiri mengalami kendala kekeringan di beberapa kecamatan. Setidaknya ada 7 titik kecamatan yang rutin mendapat kesulitan air bersih. Kondisi ini semestinya tidak diatasi dengan kegiatan karitatif seperti droping air bersih. Sebab droping hanya bersifat sementara dan tidak berjangka panjang. Pemerintah dalam hal ini BPBD Wonogiri mesti mengupayakan ketersediaan air bersih bagi masyarakat. Tidak mudah memang mengusahakan air bersih di wilayah yang minim sumber mata air.
Selain kesulitan menemukan sumber mata air, biaya membuat jaringan air bersih diwilayah tersebut juga tinggi. Apalagi Wonogiri dikenal dengan kabupaten yang kering, berbukit dan struktur tanahnya dipenuhi bebatuan. Tidak mudah mengkross pipa untuk menyingkat jarak, menembus hutan, menggali tanah untuk mencapai sumber mata air. BPBD perlu melakukan upaya menciptakan kantong-kantong air diwilayah tersebut. Selain itu, kampanye penyimpanan air dalam tanah perlu digalakkan. Tanpa peran aktif masyarakat, upaya pemerintah akan makin berat.
Berdasarkan media cetak yang edar pada 23 September 2014, 7 kecamatan itu meliputi Giriwoyo (4 desa krisis air, ada 1786 keluarga dan 6461 jiwa), Nguntoronadi (5 desa, 1001 keluarga, 3103 jiwa), Eromoko (4 desa, 1580 keluarga dan 6622 jiwa), Manyaran (2 desa, 590 keluarga dan 2181 jiwa), Paranggupito (8 desa, 2922 keluarga, dan 8456 jiwa), Pracimantoro (9 desa, 6010 keluarga dan 19180 jiwa) serta Giritontro 5 desa, 3465 keluarga dan 12133 jiwa).
Melihat data diatas, maka prioritas yang harus segera ditangani yakni Kecamatan Pracimantoro karena jumlah jiwa hampir 20.000. Kemudian diikuti Giritontro, Paranggupito, Eromoko, Giriwoyo, Nguntoronadi serta Manyaran. Sedangkan kebutuhan suplemen air bersih tentu makin banyak jumlah jiwa, tingkat kebutuhannya makin tinggi. Kebutuhan air bersih diprioritaskan untuk konsumsi serta non konsumsi. Kekeringan itu melanda hingga sumber mata air beserta sungai sehingga kebutuhan non konsumsi harus dipenuhi juga.
Untungnya sudah masuk bulan September dan diperkirakan 2 bulan hujan sudah turun. Total kebutuhan air bersih mencapai 464 tanki hingga 2 bulan kedepan. Apabila dihitung biayanya hampir mencapai Rp 5 M kurang sedikit. Memang dari aspek anggaran, Pemkab Wonogiri selalu punya SILPA yang jumlahnya Rp 70 M tiap tahunnya. Yang perlu dicatat, Pemda dan masyarakat tidak boleh terus berharap begini sebab tingkat ketergantungannya cukup besar. Bupati harus mencari terobosan lain seperti yang dilakukan didaerah lain di Indonesia.
Sebut saja Jembrana Bali yang mendapat hibah alat pengolah air laut menjadi air siap konsumsi. Dengan melihat kecamatan yang mengalami kekurangan air berada di tepian pantai selatan, seharusnya bupati mampu mengusahakannya. Bupati Jembrana saat itupun mendapatkan alat dari Jepang secara gratis. Instalasi alat tersebut juga dibantu oleh lembaga internasional. Masyarakat Wonogiri harus mendorong setidaknya wakil rakyat supaya musibah tahunan itu bisa segera teratasi.
Selain kesulitan menemukan sumber mata air, biaya membuat jaringan air bersih diwilayah tersebut juga tinggi. Apalagi Wonogiri dikenal dengan kabupaten yang kering, berbukit dan struktur tanahnya dipenuhi bebatuan. Tidak mudah mengkross pipa untuk menyingkat jarak, menembus hutan, menggali tanah untuk mencapai sumber mata air. BPBD perlu melakukan upaya menciptakan kantong-kantong air diwilayah tersebut. Selain itu, kampanye penyimpanan air dalam tanah perlu digalakkan. Tanpa peran aktif masyarakat, upaya pemerintah akan makin berat.
Berdasarkan media cetak yang edar pada 23 September 2014, 7 kecamatan itu meliputi Giriwoyo (4 desa krisis air, ada 1786 keluarga dan 6461 jiwa), Nguntoronadi (5 desa, 1001 keluarga, 3103 jiwa), Eromoko (4 desa, 1580 keluarga dan 6622 jiwa), Manyaran (2 desa, 590 keluarga dan 2181 jiwa), Paranggupito (8 desa, 2922 keluarga, dan 8456 jiwa), Pracimantoro (9 desa, 6010 keluarga dan 19180 jiwa) serta Giritontro 5 desa, 3465 keluarga dan 12133 jiwa).
Melihat data diatas, maka prioritas yang harus segera ditangani yakni Kecamatan Pracimantoro karena jumlah jiwa hampir 20.000. Kemudian diikuti Giritontro, Paranggupito, Eromoko, Giriwoyo, Nguntoronadi serta Manyaran. Sedangkan kebutuhan suplemen air bersih tentu makin banyak jumlah jiwa, tingkat kebutuhannya makin tinggi. Kebutuhan air bersih diprioritaskan untuk konsumsi serta non konsumsi. Kekeringan itu melanda hingga sumber mata air beserta sungai sehingga kebutuhan non konsumsi harus dipenuhi juga.
Untungnya sudah masuk bulan September dan diperkirakan 2 bulan hujan sudah turun. Total kebutuhan air bersih mencapai 464 tanki hingga 2 bulan kedepan. Apabila dihitung biayanya hampir mencapai Rp 5 M kurang sedikit. Memang dari aspek anggaran, Pemkab Wonogiri selalu punya SILPA yang jumlahnya Rp 70 M tiap tahunnya. Yang perlu dicatat, Pemda dan masyarakat tidak boleh terus berharap begini sebab tingkat ketergantungannya cukup besar. Bupati harus mencari terobosan lain seperti yang dilakukan didaerah lain di Indonesia.
Sebut saja Jembrana Bali yang mendapat hibah alat pengolah air laut menjadi air siap konsumsi. Dengan melihat kecamatan yang mengalami kekurangan air berada di tepian pantai selatan, seharusnya bupati mampu mengusahakannya. Bupati Jembrana saat itupun mendapatkan alat dari Jepang secara gratis. Instalasi alat tersebut juga dibantu oleh lembaga internasional. Masyarakat Wonogiri harus mendorong setidaknya wakil rakyat supaya musibah tahunan itu bisa segera teratasi.