Selasa, 08 Mei 2012

Pemda Boyolali dan Sukoharjo Tak Serius Lindungi Kesehatan Warganya

Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Boyolali termasuk daerah di Jawa Tengah yang belum menandatangani kerjasama program jaminan kesehatan daerah untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Munculnya berita ini sungguh sangat memprihatinkan kita karena kesehatan merupakan pelayanan dasar yang wajib disediakan pemerintah daerah. Tanpa dituntut atau diminta masyarakat, Pemda harus menyediakan anggarannya guna memproteksi layanan kesehatan masyarakat.

Faktanya saat acara MOU antara Pemda Se Jateng dengan Pemprop Jateng, kedua kabupaten tersebut belum membubuhkan persetujuannya. Alasan yang mengemuka karena belum ada dana pendampingan. Tentu menjadi alasan yang patut dipertanyakan.Selain kesehatan masuk dalam hak Ekosob seperti tertuang dalam UU mengenai konvenan Ekosob namun juga kondisi masyarakat miskin di dua wilayah itu lumayan tersebar. Tanpa adanya kerjasama, maka biaya yang dikeluarkan oleh warga untuk pemeliharaan kesehatan akan lebih besar.

Keputusan kedua wilayah ini mengejutkan banyak pihak. Wakil rakyat di Kota Susu dan Kota Makmur harus mempertanyakan alasannya. Pernyataan tidak adanya dana pendampingan sulit diterima. Bukankah anggaran kesehatan merupakan anggaran rutin yang memang harus dialokasikan? Anggaran ini tidak terkait musim, besar atau kecilnya APBD, siapa kepala daerahnya atau argumen apapun. Jadi apa yang sebenarnya terjadi menarik untuk disimak.

Salah satu sekolah di Sukoharjo
Pengesahan APBD juga sudah dilakukan jauh-jauh hari pada bulan Januari atau Februari. Bila mereka menjawab belum ada dana pendampingan, maksudnya seperti apa? Apakah dana belum terkumpul? Kan Pemprop tidak meminta mengumpulkan anggaran. Kalau sama sekali tidak dianggarkan tentu hal yang mustahil seperti disebut diatas. Pengajuan anggaran sendiri (RAPBD) diajukan sudah tahun lalu sehingga alokasi anggaran kesehatan otomatis sudah masuk.

Terlalu picik bila kita nilai mereka tak menganggarkannya sebab kesehatan merupakan urusan wajib pemerintah daerah. Apa karena APBD jumlahnya terbatas sehingga benar-benar tak ada duit untuk itu? Tidak juga. Perhatikan APBD Sukoharjo yang selalu menyisakan SILPA meski jumlahnya terus turun. Tahun 2010 terdapat SILPA Rp 52,7 M, kemudian mengecil menjadi Rp 45,8 M dan tahun ini diperkirakan tersisa hanya Rp 28,6 M.

Sementara untuk Boyolali, Tahun 2010 APBD menyisakan Rp 54,3 menjadi Rp 66,3 (2011) dan tahun ini diperkirakan ada Rp 58,3 M yang tidak terpakai. Harusnya mereka bisa menganggarkan untuk kerjasama itu. Boyolali malah lebih fokus merelokasi kantor pemerintahannya dibanding menganggarkan dana Jamkesmaskin. Dengan bekerjasama tentu kebutuhan anggaran untuk proteksi kesehatan masyarakat akan lebih ringan. Anggaran Jamkesda yang ditanggung propinsi 40 persen dan sisanya menjadi tanggungan kabupaten.

Pembagian proporsi seperti itu sangat meringankan beban Pemda. Apalagi kedua kabupaten ini selama 4 tahun menetapkan anggaran defisit. Bandingkan bila mereka harus mengcover biaya kesehatan, apa defisit tidak tambah membesar? Dibutuhkan kecerdasan perangkat daerah antara menyiasati minimnya anggaran dengan kebutuhan dasar masyarakat. Supaya anggaran yang didapat dari pajak dan retribusi yang dibayarkan masyarakat tidak terbuang sia-sia atau malah digunakan untuk meningkatkan fasilitas pejabat daerah.

0 komentar:

Posting Komentar