Rabu, 24 November 2010

Rasio Kemandirian Daerah Yang Patut Dipertanyakan

Pengelolaan keuangan daerah merupakan system pengelolaan keuangan yang ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Peningkatan kemakmuran rakyat tidak hanya pelayanan public namun juga tercakup didalamnya adalah membangun wilayah-wilayah Indonesia agar tidak ada ketimbangan dalam pemerataan. Namun yang jamak diketahui, pengelolaan keuangan di Indonesia memang masih butuh banyak dibenahi. Banyak pihak menyatakan system sudah cukup bagus guna mencegah kebocoran keuangan Negara namun tinggal bagaimana mendisiplinkan aparatur. Berbagai regulasi terkait keuangan Negara/daerah telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat namun masih saja gap antar daerah terlihat tinggi.

Pungutan pajak dan retribusi yang dilakukan pemerintah masih saja tidak cukup besar untuk mensejahterakan masyarakat. Bahkan semakin hari semakin besar saja pajak maupun retribusi yang dipungut namun disisi lain tetap saja belum bisa memenuhi kewajiban pemerintah dalam mencukupi hak dasar warga. Di sector pendapatan, bila kita lihat banyak daerah menggantungkan pendapatannya justru dari Negara. Tingkat kemandirian anggaran sangat minim meski otonomi telah diberlakukan. Ada beberapa factor yang mempengaruhi pendapatan daerah belum memberi kontribusi cukup signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah.

Faktor yang bisa kita kupas misalnya banyak pungutan ditingkat lokal masih disentralisasi baik dipusat maupun propinsi. Contohnya pungutan Surat Tanda Nomor Kendaraan, Pajak Bumi Bangunan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan masih banyak sekali. Sementara daerah hanya memiliki kewenangan menarik uang receh saja (sebut misalnya parkir, retribusi sampah, retribusi pemakaman dan lainnya) yang besarannya rata-rata dibawah Rp 1juta pertahun. Faktor akuntabilitas penerimaan retribusi juga ikut berpengaruh didalamnya. Siapa yang bisa tahu berapa pendapatan dari retribusi terminal pertahunnya, berapa pemasukan dari pajak makanan dan minuman atau berapa pendapatan dari sector hiburan?

Mari kita lihat potret pendapatan daerah di eks Karesidenan Surakarta dan berapa prosentasenya menyumbang Pendapatan Asli Daerah di Tahun 2010 (Lihat Tabel).

Tabel 1
Pendapatan Kabupaten/Kota Se Eks Karesidenan Surakarta
Tahun 2010

Daerah                          PAD                     Dana Perimbangan          Lain2 Pdapatn yg Sah      Total Pdptn
Prov. Jawa Tengah      3,729,062                     1,757,664                          24,590                   5,511,315
Kab. Boyolali                   80,020                        682,045                        150,250                      912,315
Kab. Karanganyar            73,977                        610,311                          66,111                      750,399
Kab. Klaten                      71,371                        843,372                       110,774                   1,025,517
Kab. Sragen                     69,398                         649,984                         69,123                     788,505
Kab. Sukoharjo                60,298                         620,295                         53,168                     733,760
Kab. Wonogiri                  64,818                         729,751                         84,733                     879,303
Kota Surakarta                120,183                        531,857                       176,594                     828,635
Sumber : Kemenkeu.go.id

Secara keseluruhan, pendapatan daerah terbesar diperoleh Kabupaten Klaten yang mencapai Rp 1 trilyun lebih, disusul Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Wonogiri. Sedangkan daerah dengan pendapatan paling kecil adalah Sukoharjo yang “hanya” berkisar Rp 750 M. Namun tingginya pendapatan ini tidak selalu parallel dengan kemampuan daerah menarik pendapatan dari masyarakat. Tingginya pendapatan bisa dipengaruhi factor banyaknya jumlah pegawai, sumber daya alam yang tersedia atau memang tingkat akuntabilitas pendapatannya memang patut diacungi jempol.

Kota Surakarta yang Tahun 2010 ini masuk urutan ke 3 dalam pemberantasan korupsi versi Transparansi Internasional Indonesia justru hanya mampu mengumpulkan pendapatan sebesar Rp 828 M atau di posisi tengah-tengah disbanding daerah lainnya. Namun yang terlihat mencolok dari Solo adalah Pendapatan Asli Daerahnya mencapai Rp 120 M atau 14,5 persen dari Pendapatan Daerah. Kemampuan 14,5 persen merupakan rasio kemampuan daerah dalam kemandirian pendapatan (lihat table 2). Klaten yang dari nominal memiliki pendapatan daerah tertinggi namun prosentase PAD terhadap total pendapatan daerahnya justru paling parah, tidak mencapai 7 persen. Daerah dengan PAD tinggi dapat dimaknai 2 hal yakni pertama, mampu melakukan pemetaan sector pendapatan daerah potensial serta kedua, intensifikasi pendapatan yang bisa disebut berhasil.

Tabel 2
Prosentase 3 Pendapatan Terhadap Total Pendapatan Daerah
Tahun 2010

Daerah                         % PAD thd Pdptn       % P'imbngn thd Pdptn   % Pdptn Lain yg sah thd Pdptn           Prov. Jawa Tengah                67.66                               31.89                                    0.45
Kab. Boyolali                          8.77                               74.76                                  16.47
Kab. Karanganyar                   9.86                               81.33                                    8.81
Kab. Klaten                            6.96                               82.24                                   10.80
Kab. Sragen                           8.80                                82.43                                    8.77
Kab. Sukoharjo                      8.22                                84.54                                    7.25
Kab. Wonogiri                       7.37                                 82.99                                    9.64
Kota Surakarta                    14.50                                 64.18                                   21.31
Ket : Data diolah

Pendapatan Dana Perimbangan terbesar tentu dapat diprediksi yakni Kabupaten Klaten. Sebab total pendapatan daerahnya paling tinggi diantara 6 kabupaten/kota lain. Ini mengindikasikan jumlah pegawai kabupaten ini cukup besar. Sebab dana perimbangan memang lebih banyak digunakan untuk pembayaran gaji pegawai. Komponen Dana Alokasi umumnya bisa dipastikan mendominasi dana perimbangan. Solo, hanya mendapat Rp 500 M saja atau selisih lebih dari Rp 300an milyar. Potret prosentase dana perimbangan terhadap total pendapatan otomatis paling minim meski prosentasenya masih hampir 65 persen. Selisih dengan daerah lain mencapai 10 persen atas total pendapatan daerahnya.

Untuk pendapatan lain-lain yang sah, secara nominal Kota Solo tercatat menyumbang nominal lebih dari Rp 170 milyar, diikuti Kabupaten Boyolali yang memberi pemasukan bagi daerahnya Rp 150 milyar. Sementara nominal paling minim tercatat ada di Sukoharjo yang berkisar Rp 53 milyar saja atau selisih dengan Kota Solo mencapai lebih dari Rp 100 milyar. Pemerintah daerah harus segera menemukan formula supaya tingkat ketergantungan anggaran dari pusat semakin berkurang. Memang ada beberapa pendapatan daerah yang ditarik ke pusat dan itu masuk kategori pendapatan yang potensial. Sembari terus berjuang mendapatkan kembali hak daerah, seharusnya daerah terus berkreasi dan berinovasi mengembangkan potensi daerah agar mendapat kontribusi yang signifikan.

0 komentar:

Posting Komentar