Senin, 08 November 2010

Penerapan Anggaran Pendidikan 20 Persen

Pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia agar kehidupannya jauh lebih baik. Tidak hanya para orang tua tetapi juga Negara dan agama mengajarkan pentingnya menempuh pendidikan. Namun kenyataannya tak semua orang secara mudah mengakses pendidikan di Indonesia. Masih banyak masyarakat diperkotaan maupun pedesaan kesulitan mengakses pendidikan. Hal ini dikarenakan keterbukaan akses, jaminan serta kemauan penggerak pendidikan bahkan Negara tak kunjung serius membenahi pendidikan di Indonesia. Sudah banyak peraturan ataupun pemahaman bahwasanya pendidikan merupakan hal prinsip yang harus didapat semua orang. Dalam Amandemen UUD 45 disebutkan salah satu hak warga Negara yakni pendidikan.

Faktanya diberbagai pelosok daerah kita masih menemukan banyak anak usia sekolah yang mengamen, menyemir sepatu atau meminta-minta. Mereka tak lagi sanggup bersekolah. Problem masyarakat miskin di perkotaan dengan masyarakat di pedesaan untuk mengakses pendidikan itu tak sama. Di perkotaan yang rata-rata sekolah negeri sudah banyak bebas biaya, mengutip dana tambahan dengan nama sumbangan. Tak pelak mereka yang harusnya bisa menikmati bangku sekolah menjadi terpental. Sementara di pedesaan yang jauh dari pantauan, masih saja dipungut biaya wajib yang meskipun besarnya tak seberapa tetapi tetap saja memberatkan. Lantas, kalau mau dilihat secara jeli kemanakah anggaran pendidikan yang besarnya 20 persen dari APBN pertahun itu?

Kalau semua pihak merasa peduli dengan pendidikan dan mengawasi setiap sen alokasi pendidikan, kenapa masih saja biaya pendidikan itu memberatkan? Seringkali para pemangku kepentingan pendidikan berargumentasi bahwa besarnya biaya untuk membenahi gedung sekolah, membangun sekolah di pedalaman, menambah fasilitas dan banyak lagi alasan yang lainnya. Kemanakah anggaran pendidikan sebelumnya? Toh pada tahun-tahun belum diberlakukannya anggaran pendidikan 20 persen, dengan partisipasi masyarakat, warga mampu menyekolahkan anaknya. Perbaikan prasarana sekolah justru dijadikan alasan menambah beban bagi orang tua peserta didik.

Dalam Renstra Kementrian Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014, alokasi anggaran pendidikan untuk Kementrian Pendidikan Nasional besar sekali. Anggaran tersebut dipilah menjadi 2 yakni yang dikelola Kemdiknas serta untuk transfer daerah (Lihat Tabel). Formasi anggaran yang besar justru dialokasikan ke daerah. Tetapi jumlah yang paling menyita tentu saja untuk DAU Pendidikan alias gaji-gaji guru. Disitu tertulis anggaran tahun 2010 mencapai Rp 55 Trilyun yang dalam APBN-P menjadi Rp 62,5 T. Kemudian meningkat menjadi Rp 65 T pada tahun 2011. Kenaikan 13 persen didapat pada tahun 2012 yang menjadi Rp 75 T. Sayangnya kenaikan yang besar ini banyak dialokasikan untuk tunjangan profesi dan kegiatan prioritas Renstra Kemdiknas lainnya. Sedangkan alokasi BOS dialokasikan tidak bergeser dari angka Rp 17 trilyun.

Anggaran Pendidikan 2010 - 2014

Semestinya, dengan alokasi anggaran yang besar tersebut masyarakat dapat diringankan untuk mengenyam pendidikan setidaknya pendidikan dasar 9 tahun. Faktanya masih banyak kejadian dan anak usia sekolah tak mudah mendapatkan hal tersebut. Harus ada terobosan yang luar biasa dari berbagai pihak yang mendesak baik Diknas Daerah maupun Kemdiknas untuk mengimplementasikan anggaran yang mampu menjamin keberlangsungan pendidikan bagi anak-anak. Pemerintah pusat sebaiknya juga mengurangi peran di sector implementasi dan hanya bekerja pada tataran kebijakan serta pengawasan terhadap anggaran daerah. Sehingga anggaran akan lebih banyak dialokasikan ke daerah dan tidak melulu untuk gaji para guru. Bukan menganggap bahwa gaji guru tak penting. Faktanya setelah ada sertifikasi, tak adan peningkatan cukup signifikan bagi keluaran pendidikan di Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar