Pilkada DKI kurang dari 2 minggu atau 14 hari lagi dan 2
kandidat Calon Gubernur makin gencar mengoptimalkan suara mereka. Ada perbedaan
nyata cara kampanye yang bisa kita lihat signifikan. Ahok-Djarot terus membuka
apa langkah-langkah yang bakal dilakukan untuk masyarakat di periode ke 2.
Sementara Anies-Sandi setelah gagal dengan politisasi agama, beralih dengan
upaya intimidasi maupun sebar kabar bohong.
Kubu Anies-Sandi atau Cagub nomor 3 makin kebingungan menjawab
pola kampanye yang dilakukan lawan yang mampu menghadirkan fakta-fakta
keberhasilan program. Bukan hanya KJP yang manfaatnya bukan hanya untuk biaya
sekolah tetapi juga dapat digunakan membeli beras, minyak atau sayur mayor
namun pembangunan berbagai infrastruktur bisa dilihat masyarakat.
Ada beberapa tanda yang bisa kita lihat pasangan calon nomor
3 ini di sisa waktu malah menurun tajam. Pertama, politisasi ayat agama yang
awalnya digerakkan untuk menghadirkan simpati sebagian besar umat Islam sudah
tidak kelihatan wujudnya. Terakhir setelah Aksi Bela Islam berbagai jilid
terlihat tidak lagi punya daya. Tanggal 31 Maret kemarin (Aksi 313) kempes tak
bersisa. Bahkan FPI beserta Imam Besarnya Habieb Rizieq Shihab pun tak datang.
Tema aksi masih sama tentang dugaan penistaan agama namun mengapa FPI dan
Rizieq “membolos”?
Berdasarkan pemberitaan yang ada, aksi itu jelas ditunggangi
sebagai upaya makar. Penangkapan Al Khaththath atau Gatot Saptono beserta 4
temannya menunjukkan banyak hal. Polisi mengungkapkan ada berbagai skenario
yang direncanakan paska Pilkada 19 April mendatang. Aksi 313 diduga sebagai
ajang pemanasan menghadapi “kekalahan”. Buktinya polisi mengungkapkan ada
skenario paska Pilkada untuk menduduki gedung DPR. Mereka sudah membuat rencana
masuk ke DPR melalui mana saja hingga menabrakkan truk ke pagar belakang DPR.
Kedua, terungkapnya politisasi masjid memang by design alias
salah satu upaya. Hal ini didapatkan setelah beredar video pernyataan Eep dalam
sebuah pertemuan. Mereka menggunakan masjid sebagai tempat melakukan politisasi
namun tidak berupa seruan partisan yakni pilih si A, jangan pilih si B. Namun
memanfaatkan khatib-khatib, ulama, ustadz yang biasa mengisi di masjid terutama
khatib Sholat Jum’at. Walaupun dalam video penutup Eep menyatakan strategi itu
ingin digunakan untuk mengalahkan Ahok secara pribadi meski di forum tersebut
tidak menyepakati.
Faktanya, khotbah yang memojokkan Ahok, spanduk, ujaran
hingga ke berbagai group wa, sudah tidak terkendali bentuknya. Bukan hanya memojokkan
namun sangat rasis serta tidak berprikemanusiaan. Seakan-akan tidak ada satu
kebaikan yang sudah ditanamkan oleh Basuki Tjahaja Purnama. Penolakan sholat
jenazah hingga yang terakhir muncul mulai ditolaknya berjamaah atau sholat bagi
pendukung Ahok dibeberapa tempat muncul. Ketiga, terdesaknya Anies-Sandi
menjadikan mereka tidak muncul dalam debat yang diselenggarakan oleh Kompas TV
Minggu (2/4) yang di moderatori oleh Rossiana Silalahi. Akhirnya acara itu
hanya dihadiri pasangan Basuki dan Djarot.
Di medsos tersiar kabar bahwa mereka keberatan hadir
dikarenakan menginginkan format talkshow bukan debat. Keberatan itu disampaikan
oleh Tim Sukses mereka, Eep Saefullah Fatah. Mengapa pilih talk show? Sebab
lebih banyak mengulas gagasan atau program dan beda dengan debat yang memang
mendiskusikan serta menajamkan program yang diusung. Nampaknya ini menjadi
kekhawatiran yang perlu diantisipasi. Bisa jadi, tayangan Mata Najwa yang
menghadirkan Anies dan Ahok menjadi tolok ukur mereka bersedia atau tidak datang.
Setelah debat di Mata Najwa, beredar beragam meme hanya saja dari kupasan
beberapa analis, terlihat Anies kalah telak. Baik di soal DP rumah maupun
berbagai pernyataan Anies yang cenderung menyerang pribadi dan bukan kegagalan
program Ahok.
Keempat, meski beberapa tokoh atau pengusaha bergabung
disana namun tidak terlihat imbasnya. Walaupun paska putaran pertama pasangan
yang kalah Agus-Silvy membebaskan pemilihnya kemana, ditambah bergabungnya Harry
Tanoe dan Tommy Soeharto ke kubu mereka tapi sepertinya tidak berimbas pada
apapun. Menyeret-nyeret orde baru, tidak laku dijual sehingga nama besar
“Soeharto” tidak bisa mendongkrak apapun selain sebatas khaul di Masjid At Tiin
di TMII. Pertemuan dengan Harry Tanoe pun bukan berarti pasangan ini terangkat
pamornya di empat TV swasta (RCTI, MNC, Global dan I News).
14 hari jelas bukan waktu yang panjang apalagi mereka bakal
disibukkan dengan acara debat resmi KPUD yang digelar 12 April mendatang. Dua
program andalan mereka rontok karena alasan berbeda. Program OK OC ternyata
adalah program yang digagas dan diusulkan oleh sekelompok pengusaha dari
Jogjakarta. Tanpa menyatakan mau bekerjasama, tiba-tiba program itu sudah jadi
andalan Anies-Sandi. Sementara program rumah DP Rp 0 tidak hanya melanggar
ketentuan Bank Indonesia tetapi juga harga tanah yang digambarkan hampir
mustahil didapat di Jakarta serta pembiayaan subsidi dari Pemprop akan
membangkrutkan DKI.
Terus sekarang mengandalkan apalagi?