Jumat, 09 Januari 2015

Biarkan Pemerintah Daerah Entaskan Kemiskinan, Pusat Hanya Support

Meributkan Data Orang Miskin (3)

Nah, melanjutkan 2 artikel sebelumnya tentang pendataan warga miskin (artikel 1 dan artikel 2) penting kiranya pemerintah pusat membuat design besarannya. Tak perlu terlalu intervensi cukup dalam. Sudah menjadi pengetahuan umum, pendataan yang dilakukan BPS maupun orang lokal sama saja, bermasalah. Problemnya pada indikator yang ditentukan dari pusat serta integritas pendata.

Perubahan design dilakukan dengan metode berbeda. Penentuan indikator dilakukan pemerintah daerah (artikel 2) namun pusat merumuskan secara umum kuota anggaran warga miskin tiap wilayah (langkah pertama). Pasti akan muncul pertanyaan, (1) apakah dari jumlah orang miskinnya? (2) apakah dari besaran APBDnya? (3) apakah dari kondisi alamnya? maksudnya tak punya SDA (4) apakah dari tingkat inflasi dan lain-lain.

Dalam hitungan seperti ini, di Kementrian Keuangan banyak jagoannya. Lulusan doktoral universitas eropa maupun amerika cukup banyak. Sediakan ruang dan waktu untuk mereka diskusi. Saya melalui tulisan ini, usul saja sebagai bahan diskusi mereka.

Bagaimana kalau aspek inflasi, gap keuangan, IPM, Index Gini Ratio, KHL, PAD, DBH dan lainnya bisa menjadi faktor perhitungan penentu alokasi anggaran bagi warga miskin. Yang jelas jumlah warga miskin dihitung terbalik. Bila sebuah daerah warga miskinnya besar akan mendapat bobot rendah dan sebaliknya. Hal ini supaya Pemda tak asal-asalan menyetor jumlah warga miskin secara besar.

Langkah Kedua, buatlah mekanisme transfer yang dikoordinasikan oleh propinsi. Jadi pemerintah pusat membangun sistem transfer ke propinsi dan propinsi ke daerah. Sepanjang kabupaten/kota belum menyerahkan daftar nama penerima anggaran pengalihan subsidi BBM, maka daerah tidak bisa mengambil anggaran tersebut.

Dengan penghitungan alokasi anggaran oleh pusat dengan berbagai variabel dan daerah merumuskan sendiri indikator kemiskinan akan menimbulkan konsekuensi. Yang paling menonjol adalah dana yang diterima warga miskin ditiap wilayah akan berbeda. Bagi saya ini cukup fair dan akan membawa impact positif dimasa depan.

Di daerah A, tiap KK miskin bisa mendapat uang Rp 600.000/4 bulan namun di kabupaten B memperoleh Rp 1 juta/bulan. Ya tidak masalah wong harga semangkuk bakso tiap daerah bisa berbeda. Yang penting pemerintah pusat dan propinsi mendorong ketepatan sasaran. Tim evaluasi penyaluran anggaran serta mekanisme penentuan siapa orang miskin bisa dari pusat dan propinsi.

Tiap semester, mintakan daerah mengirimkan hasil musyawarah desa/kelurahan terhadap masyarakat miskin di desanya yang sudah by name by adress. Barangkali ada yang pindah, ada yang meninggal atau ekonominya memang sudah berubah.

Harapannya dengan model begini, warga miskin menjadi tanggungjawab bersama. Pun menjadi orang miskin akan memiliki beban tersendiri karena menjadi pembahasan masyarakat di desanya. Kenapa selama ini warga banyak mau mengaku miskin? karena jarang ada yang tahu dimana data itu, siapa yang bisa merubah dan siapa yang berhak mengganti.

Bertambah atau berkurangnya warga miskin, minimnya konflik di daerah terkait data warga miskin, efektifitas program bisa menjadi tambahan tolok ukur pusat untuk reward serta punishment pemberian DAK atau penghargaan lainnya. Jangan lagi pusat urus-urus orang miskin langsung sebab jangkauan pusat terlalu jauh.

0 komentar:

Posting Komentar