Rumah Aspirasi yang kini lagi mencuat menjadi perdebatan baru atas langkah controversial anggota DPR RI menambah panjang daftar catatan atas kinerja mereka. Masyarakat melihatnya anggota dewan yang terhormat melakukan segala sesuatu harus dibiayai Negara. Padahal gaji mereka sendiri sudah mencapai puluhan juta. Lantas apakah tugas dan tanggungjawab mereka sudah setimpal dengan apa yang mereka terima? Perdebatan tentang rumah aspirasi merupakan perdebatan kesekian kali yang dilontarkan anggota DPR RI periode 2010-2014 ditahun pertamanya. Dan banyak perdebatan yang dimunculkan tidak ke hal yang substansial melainkan aspek teknis yang kemudian menimbulkan konsekuensi biaya tinggi. Lihat saja isu gedung miring, dana aspirasi, studi banding dan sekarang yang baru muncul tentang rumah aspirasi.
Soal rumah aspirasi ini sebenarnya juga bukan hal yang baru karena DPD (Dewan Perwakilan Daerah) juga telah memilikinya. Bahkan beberapa anggota DPR sebut saja seperti Budiman Sudjatmiko dan Anas Urbaningrum telah memilikinya. Isu ini muncul dari penjelasan anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI, Pius Lustrilanang yang menyatakan BURT telah menyepakati program rumah aspirasi bagi anggota untuk anggaran tahun 2011. Adapun biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 122 M atau Rp 200 juta/anggota/tahun. Biaya itu diperlukan bagi penyerapan aspirasi didaerah. Apa sebetulnya rumah aspirasi dan bagaimana sebenarnya isu ini serta penting atau tidak bagi anggota? Apa pula pendapat para pimpinan parpol atau ketua fraksi?
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi munculnya gagasan ini (versi penulis) yaitu : pertama, Penggalangan isu daerah bisa lebih strategis. Tiap daerah dipastikan memiliki isu yang kebijakannya menjadi urusan pusat. Maka dari itu bila didorong secara bersama-sama oleh Rumah Aspirasi yang disambungkan dengan anggota DPR dari satu dapil maka akan jauh lebih kuat. Sebab anggota yang tersebar dibeberapa komisi dapat menyuarakan aspirasi terkait isu daerah. Berbeda bila isu hanya diangkat oleh seorang anggota saja. Kedua, Keterpilihan anggota DPR periode 2009-2014 berdasarkan suara terbanyak sehingga mereka lebih merepresentasikan wakil rakyat bukan sekedar wakil partai. Hal ini dipertegas dalam UU MD3 pasal 69 ayat (2) yang menyatakan “ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam representasi rakyat”. Isu daerah tentu saja berkaitan dengan kebutuhan atau prioritas bagi anggota DPR untuk memperjuangkannya. Hambatannya bila rumah aspirasi dikelola oleh perseorangan anggota DPR yakni bila komunitas yang memiliki aspirasi kebetulan bukan basis anggota DPR bersangkutan, majemuk partai atau bahkan komunitas non partisan. Akan ada kendala bagi komunitas yang tidak sealiran politik dalam penyaluran aspirasi
Ketiga, Membangun politicall culture baru di Indonesia baik sebagai pendidikan politik baik bagi anggota DPR maupun pendidikan politik masyarakat. Selama ini, berbeda partai bisa dimaknai berbeda segalanya. Maka dari itu penting membangun RA berbasis daerah pemilihan dan bukan berbasis individu. Sangat penting melakukan pendidikan bagi masyarakat sebagai bentuk pendewasaan bersikap. Agar konflik-konflik horizontal dimasa mendatang bisa dihilangkan. Dan keempat, Pengelolaan RA secara bersama-sama satu dapil akan memperkuat legitimasi baik penyikapan atas sebuah isu maupun ketika mendorong kebijakan. Bila berjalan sendiri-sendiri akan terlihat jelas lebih berpihak pada kepentingan segelintir orang atau kepentingan partai. Nuansa ini bisa sangat terlihat jelas dan berbeda dengan didorong secara bersama. Namun ternyata perdebatan rumah aspirasi di BURT tidak terjadi seperti 4 alasan yang disebutkan diatas sehingga kemudian rumah aspirasi berbentuk tempat penyaluran aspirasi secara tersendiri oleh anggota-anggota DPR di daerah pemilihannya.
Rumah aspirasi yang dirumuskan di BURT merupakan hasil kunjungan mereka ke Jerman dan Perancis. Meski pernyataan ini telah dikeluarkan oleh anggota parpol di BURT, namun nampaknya banyak yang tidak berkoordinasi dengan pimpinan parpol bersangkutan. "Rumah Aspirasi sangat penting. Selain menjadi kantor perwakilan di daerah pemilihan, juga menjadi tanda kedekatan politik anggota dewan dengan konstituen. Namun Rumah Aspirasi tidak perlu dibangun atas biaya APBN,," kata Anas Urbaningrum Ketua Umum Partai Demokrat dalam pesan tertulisnya kepada media, Kamis, 5 Agustus. Sementara Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso mengatakan “Golkar memandang Rumah Aspirasi yang menggunakan dana APBN tidak perlu didirikan, karena peran dari Rumah Aspirasi dapat dilaksanakan dengan baik oleh partai. Menurut Priyo, partai-partai pun ke depannya akan lebih berfungsi, berdaya guna, dan melekat di hati rakyat, apabila bermanfaat dan dekat dengan konstituennya sendiri.”
Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo menilai, ide `rumah aspirasi` anggota Dewan jelas meredusir fungsi DPRD dan Parpol. "Padahal, sistem demokrasi yang kita bangun adalah melalui penguatan sistem partai politik (Parpol). Lalu, kok muncul ide gagasan `rumah aspirasi` bagi anggota Dewan," tanyanya. Sekretaris Fraksi PPP Rhomahurmuziy, keberadaan rumah aspirasi akan menghapus peran kantor Parpol di Kabupaten dan anak cabang yang selama ini sudah bisa memerankan diri sebagai rumah aspirasi dengan pembiayaan swadaya para pengurus dan donatur partai. Sedangkan Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI Achmad Rubaei mengungkapkan "Saya tidak yakin kalau Rumah Aspirasi itu akan berfungsi dengan baik dan benar. Belum lagi pembiayaan untuk pemeliharaan, perawatan dan petugas yang menjaga Rumah Aspirasi itu. Dari mana dananya mau diambil, apakah masih membebankan APBN?" tanya Rubaie.
Sebenarnya gagasan rumah aspirasi itu menunjukkan bahwa selama ini fungsi partai politik tidak begitu jalan sehingga diupayakan di dorong melalui jalur lain tidak seperti yang ada selama ini. Namun pemahaman yang belum clear, ternyata sudah muncul dipermukaan. Sehingga para pimpinan parpol harusnya introspeksi dengan munculnya isu ini. Apalagi yang melontarkan adalah orang-orang partai di legislative. Lantas, apa yang akan terjadi di tahun 2011 nanti? Menarik kita tunggu wacana ini apakah hanya menjadi perdebatan media atau akan tetap direalisasi? Kalau direalisasi, lantas fungsi kepanjangan parpol di daerah akan menjadi apa?
0 komentar:
Posting Komentar