Jumat, 13 Agustus 2010

Membangun C(er)itra

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI saat ini pada posisi yang terjun bebas di mata rakyat Indonesia setelah beberapa kinerjanya terus menerus di sorot oleh masyarakat. Kondisi ini nampaknya harus disadari betul dan dibenahi tidak sekedar oleh satu dua orang anggota namun juga secara kolektif kolegial bersama. Partai Politik sebagai pemilik maupun pihak yang berkepentingan menaikkan posisi tawar dimata rakyat harus benar-benar memperhatikan tingkah laku tersebut. Tanpa itu semua, niscaya tingkat kepercayaan masyarakat akan terus menurun.

Sudah mafhum diketahui bahwa partai politik berjuang untuk meraih kekuasaan namun bukan berarti dengan segala cara. Harus melalui cara-cara yang elegan, legal dan menguntungkan masyarakat secara umum. Awal kinerja anggota dewan periode 2009-2014 diuji dengan penelusuran kasus Bank Century yang pembahasan Pansusnya berjalan cukup panjang. Namun kini hasil rekomendasi yang berbentuk pengawasan tak kunjung jelas. Bahkan ada rumor akan dihentikan dan ditindaklanjuti. Apalagi 2 orang yang dibidik sudah memegang posisi strategis. Tentu makin sulit saja meneruskan kasus ini lebih dalam meski fakta-fakta yang terungkap dalam rapat-rapat pansus telah jelas.

Begitu berita ini meredup, muncul isu baru rencana pembangunan gedung DPR yang kata anggota dewan gedung telah miring sehingga membahayakan penghuninya. Pernyataan yang bersumber dari pengecekan PU pun telah dibantah. Hingga kini, siapa orang yang melontarkan awal rencana pembangunan gedung baru tidak jelas. Masyarakat, ahli, akademisi dan berbagai unsur mengkritik keras atas usulan pembangunan gedung baru sebagai akal-akalan anggota saja. Perlu diketahui awal dilantiknya anggota dewan periode ini terjadi gempa bumi di daerah Jakarta termasuk yang ikut “bergoyang” ya senayan. Menurut seorang teman yang menempati lantai 13, getarannya sangat terasa sehingga menimbulkan kepanikan.

Tiga bulan sesudahnya, kondisi gedung di cek dan konstruksi yang terganggu kemudian di suntik agar kembali kuat. Entah penelitian dari mana sehingga rumor gedung miring itu muncul. Belum hilang dari peredaran, ada lontaran dari salah satu fraksi pentingnya dana aspirasi anggota DPR sebesar Rp 15 M/anggota. Bila dikalikan dengan jumlah anggota 560 orang maka akan didapat anggaran trilyunan. Karuan saja isu ini menjadi pemberitaan yang kembali mendapat sorotan masyarakat. Dr Harry Azhar yang saat itu menjadi Ketua Badan Anggaran menyatakan fungsi dana aspirasi ini untuk pemerataan.

Sebenarnya gagasan ini cukup bisa diterima akal sehat hanya saja ada 2 catatan penting. Pertama, besaran nominal dengan jumlah yang sama akan menimbulkan ketimpangan antara Jawa dengan Luar Jawa. Anggaran yang bakal teralokasi di Jawa akan sangat besar karena memang Dapil terbanyak ada di Jawa. Selain itu dengan nominal sebesar itu di Jawa dapat dimanfaatkan dengan luar biasa. Sementara di luar Jawa seperti Kalimantan maupun Papua tentu tidak seberapa. Apalagi, jumlah anggota dewan dari dua pulau itu sangat minim. Maka dari itu, kalau mau direalisasikan harus mengacu pada asas proporsionalitas.

Kedua, Usulan yang akan ditangkap dengan dana aspirasi harus melalui Musrenbang. Tidak bisa anggota DPR asal mengajukan maupun hasil lobi kepala daerah dengan anggota dewan. Catatan yang perlu digarisbawahi adalah penyelenggaraan Musrenbang harus transparan, aspiratif, partisipatif dan akuntabel. Proses yang terselenggara harus benar-benar bottom up bukan top down. Sehingga program yang diajukan tidak sekedar keinginan para legislative daerah atau eksekutif local namun usulan yang melalui proses yang dapat dipertanggungjawabkan. Usulan ini sebenarnya ingin mengadopsi konsep “pork barrel” kongres Amerika. Sayangnya lontaran ini tidak secara utuh ditangkap masyarakat sehingga mentah lagi.

Entah karena masalah ini atau bukan, yang jelas kini Dr Harry Azhar Azis telah diganti oleh Melcias Mekeng. Pasca penolakan dana aspirasi, sempat muncul dana pembangunan desa Rp 1 M/desa namun perdebatannya tidak cukup panjang. Belum reda isu ini di media, public kembali dikagetkan dengan malasnya anggota dewan mengikuti sidang paripurna di DPR. Setjen sendiri diduga justru yang membocorkan dokumen kehadiran. Tercatat setidaknya dalam Sembilan bulan terakhir kehadiran wakil rakyat merosot. Bila masa sidang I (1 Oktober – 4 Desember 2009) mencapai 92,57%, dan turun pada masa sidang ke II (4 Januari – 5 Maret 2010) menjadi 84,32 % kemudian masa sidang III (5 April – 18 Juni 2010) tinggal 71,59 %. Ditengah sorotan tajam itu, anggota dewan kemudian melakukan pembelaan diri secara berlebihan.

Bahkan dalam sidang paripurna terakhir (29 Juli 2010), seorang anggota DPR menyatakan Setjen harus ditegur atas ulahnya membocorkan kehadiran anggota DPR. Gonjang-ganjing masih berlangsung, muncul isu baru yang bakal segera menguras emosi masyarakat. Pius Lustrilanang dari Fraksi PDIP menyatakan telah ada kesepakatan di Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR akan mengalokasikan rumah aspirasi di daerah sebesar Rp 200 juta/ anggota sehingga dibutuhkan anggaran Rp 122 M dalam satu tahun untuk merealisasikan rumah aspirasi tersebut. Gagasan itu merupakan studi banding BURT ke Jerman dan Perancis. Kalau demikian, apakah benar berbagai isu yang dilontarkan dapat MEMBANGUN C(ER)ITRA anggota dewan yang kian hari kian merosot?

0 komentar:

Posting Komentar