Pada era sebelum reformasi (pra 1999) gerakan pramuka merupakan salah satu kegiatan ekstra kulikuler yang cukup digemari siswa sekolah dasar hingga orang dewasa. Mulai dari level siaga, penegak, pandega bahkan setiap departemen (sekarang kementrian) memiliki yang namanya satuan karya. Mereka berlomba-lomba menggerakkan anggotanya berpartisipasi secara aktif tanpa paksaan dari siapapun. Namun pasca reformasi, gerakan pramuka semakin hari semakin lesu hingga hampir tidak pernah disebut lagi dalam berbagai media. Hari Pramuka 14 Agustus yang dulu selalu diwarnai dengan jamboree kini hanya tinggal kenangan semata.
Belum jelas factor apa yang mempengaruhi namun yang jelas berbagai pihak memprihatinkan kondisi ini. Hampir semua masyarakat bila ditanya tentang kemanfaatan pasti akan menjawab bermanfaat namun kenyataan yang ada justru sebaliknya. Kondisi inilah yang kemudian ditangkap pemerintah perlu dibangkitkan kembali (revitalisasi). Hanya saja pemerintah melihatnya, mengaktifkan kembali pramuka dengan membuat peratutan (baca : undang-undang) dengan harapan akan terjadi kebangkitan. Bila dilihat dari aspek social, ide mengundang-undangkan pramuka sebenarnya tidak tentu tepat sebab bisa dimaknai ada pemaksaan melakukan kegiatan kepramukaan. Padahal seperti terungkap diatas, maraknya gerakan pramuka tidak dikarenakan adanya aturan namun kesadaran atas kebutuhan.
Maka dari itu salah satu target penyelesaian UU tahun ini adalah adanya UU Gerakan Pramuka yang masuk dalam daftar legislasi nasional serta tinggalan dari DPR RI periode 2004-2009. Undang-undang ini merupakan usul inisiatif pemerintah dengan berbagai alasan. Seperti dikemukakan Prof Dr dr Azrul Azwar MPH sebagai Ketua Kwartir Nasional menyebutkan 4 alasan penting yakni pertama, Pramuka memiliki nilai-nilai khusus. Kedua, Pramuka mampu melahirkan militanisme. Ketiga, karena Pramuka telah mencontohkan sebagai organisasi pembinaan watak, sikap, generasi muda dan yang keempat, pendidikan Pramuka dianggap mampu memberikan hasil yang baik buat generasi muda. keempat, sesungguhnya pula lah pendidikan Pramuka itu kalau dijalankan dengan baik akan memberikan hasil yang baik. Pendidikan akan baik kalau ditopang oleh pengadaan sumber yang cukup. Untuk pengadaan sumber-pengadaan sumber, harus ada dasar hukumnya (http://www.madina-sk.com).
Namun dalam perkembangannya, dalam pembahasan Panitia Kerja RUU Gerakan Pramuka di DPR memunculkan banyak penafsiran yang tidak sama. Belum menyentuh ke berbagai kerangka atau batang tubuh, penamaan RUU ini sendiri telah menimbulkan perbedaan. Ada 2 kelompok di DPR yang terpecah dalam penamaan RUU tersebut. Fraksi PD, FPDIP, FPKB menyepakati usulan pemerintah, sedangkan Fraksi PG, FPKS, FPAN lebih memilih RUU Kepramukaan. Dari penamaan yang hingga kini belum disepakati menimbulkan konsekuensi pada kerangka lanjutannya yang tentu akan menimbulkan serentetan pemahaman yang berbeda.
Lihat saja dalam klausul penjelasan, pendidikan kepramukaan, siapa Pembina, anggota hingga metode pengajaran. Pemerintah dalam berbagai statementnya masih juga mencampuradukkan istilah kepramukaan dengan kepanduan yang sebenarnya secara substansial jauh berbeda. Bahkan dalam perkembangannya ada beberapa kepala daerah hingga kepala Negara tidak memahami substansi kepanduan hingga kostum yang dipakainya tidak mencirikan gerakan kepanduan. Belum lagi perdebatan apakah kepramukaan ditingkat nasional saja yang satu tapi bisa beragam di daerah. Dalam salah satu Rapat Dengar Pendapat Umum yang mengundang beberapa gerakan kepanduan seperti Hizbul Wathan, Saka Dharma, Pandu PKS dan lainnya terungkap, mereka secara jelas menyampaikan aspirasi tetap menggunakan kepanduan.
Mengutip salah satu aktivis Pandu Rakyat Indonesia, R Darmanto Djojodibroto menjelaskan bahwa tujuan kepanduan adalah menjadikan anak menjadi warganegara yang bermutu, utamanya dalam karakter dan kesehatannya. Caranya dengan menangkap karakter anak-anak ketika mereka dalam keadaan antusiasme yang menyala-nyala dan menggemblengnya dalam bentuk yang benar, membimbing dan mengembangkan pribadinya, hingga mereka dapat mendidik dirinya sendiri menjadi orang baik dan warganegara yang berguna untuk tanah airnya. Perlu ditegaskan lagi bahwa kepanduan sejak semula adalah PERMAINAN yang menolong anak mengembangkan diri dengan sedikit mungkin pengawasan dari orang dewasa.
Artinya bila dikupas lebih jauh ada banyak perbedaan signifikan antara kepramukaan (yg terdapat dalam RUU) dengan metode kepanduan yang telah menjadi konsensus internasional. Setidaknya bila dirunut dari aspek sejarah. Kata PANDU, dilontarkan pertama kali oleh H Agus Salim untuk mengganti kata Padvinder yang menggunakan Bahasa Belanda. Kata ini juga terdapat dalam lagu kebangsaan Indonesia serta tercantum dalam dalam ikrar sumpah pemuda. Oleh karena itu idealnya kondisi ini tidak menjadikan kita buta pada sejarah bangsa. Bila disatukan ditingkat pusat, akan muncul kendala apakah ormas yang memiliki gerakan kepanduan bersedia menjadi bagian dari Kwarda? Mereka juga memiliki hirarki hingga tingkat nasional.
Selain itu, pasal 28 UUD menyebutkan setiap warga berhak menyatakan pendapat, berkumpul, berserikat dan berorganisasi. Bila dipaksakan, UU ini akan menghadapi judicial review dari para aktivis kepanduan. Selayaknya para wakil rakyat harus melihat secara jernih kondisi ini. Karena sebenarnya tanpa UU, toh gerakan pramuka, gerakan kepanduan atau apapun namanya bila itu muncul dari kesadaran masyarakat tentu akan aktif. Bukankah jaman dulu juga tetap eksis tanpa aturan apapun? Pun demikian, bila tanpa UU, gerakan pramuka tidak akan menjadi oleng, kisruh atau menjadi kegentingan yang teramat sangat. Jika dipaksakan, kita lihat bagaimana akhirnya?
Belum jelas factor apa yang mempengaruhi namun yang jelas berbagai pihak memprihatinkan kondisi ini. Hampir semua masyarakat bila ditanya tentang kemanfaatan pasti akan menjawab bermanfaat namun kenyataan yang ada justru sebaliknya. Kondisi inilah yang kemudian ditangkap pemerintah perlu dibangkitkan kembali (revitalisasi). Hanya saja pemerintah melihatnya, mengaktifkan kembali pramuka dengan membuat peratutan (baca : undang-undang) dengan harapan akan terjadi kebangkitan. Bila dilihat dari aspek social, ide mengundang-undangkan pramuka sebenarnya tidak tentu tepat sebab bisa dimaknai ada pemaksaan melakukan kegiatan kepramukaan. Padahal seperti terungkap diatas, maraknya gerakan pramuka tidak dikarenakan adanya aturan namun kesadaran atas kebutuhan.
Maka dari itu salah satu target penyelesaian UU tahun ini adalah adanya UU Gerakan Pramuka yang masuk dalam daftar legislasi nasional serta tinggalan dari DPR RI periode 2004-2009. Undang-undang ini merupakan usul inisiatif pemerintah dengan berbagai alasan. Seperti dikemukakan Prof Dr dr Azrul Azwar MPH sebagai Ketua Kwartir Nasional menyebutkan 4 alasan penting yakni pertama, Pramuka memiliki nilai-nilai khusus. Kedua, Pramuka mampu melahirkan militanisme. Ketiga, karena Pramuka telah mencontohkan sebagai organisasi pembinaan watak, sikap, generasi muda dan yang keempat, pendidikan Pramuka dianggap mampu memberikan hasil yang baik buat generasi muda. keempat, sesungguhnya pula lah pendidikan Pramuka itu kalau dijalankan dengan baik akan memberikan hasil yang baik. Pendidikan akan baik kalau ditopang oleh pengadaan sumber yang cukup. Untuk pengadaan sumber-pengadaan sumber, harus ada dasar hukumnya (http://www.madina-sk.com).
Namun dalam perkembangannya, dalam pembahasan Panitia Kerja RUU Gerakan Pramuka di DPR memunculkan banyak penafsiran yang tidak sama. Belum menyentuh ke berbagai kerangka atau batang tubuh, penamaan RUU ini sendiri telah menimbulkan perbedaan. Ada 2 kelompok di DPR yang terpecah dalam penamaan RUU tersebut. Fraksi PD, FPDIP, FPKB menyepakati usulan pemerintah, sedangkan Fraksi PG, FPKS, FPAN lebih memilih RUU Kepramukaan. Dari penamaan yang hingga kini belum disepakati menimbulkan konsekuensi pada kerangka lanjutannya yang tentu akan menimbulkan serentetan pemahaman yang berbeda.
Lihat saja dalam klausul penjelasan, pendidikan kepramukaan, siapa Pembina, anggota hingga metode pengajaran. Pemerintah dalam berbagai statementnya masih juga mencampuradukkan istilah kepramukaan dengan kepanduan yang sebenarnya secara substansial jauh berbeda. Bahkan dalam perkembangannya ada beberapa kepala daerah hingga kepala Negara tidak memahami substansi kepanduan hingga kostum yang dipakainya tidak mencirikan gerakan kepanduan. Belum lagi perdebatan apakah kepramukaan ditingkat nasional saja yang satu tapi bisa beragam di daerah. Dalam salah satu Rapat Dengar Pendapat Umum yang mengundang beberapa gerakan kepanduan seperti Hizbul Wathan, Saka Dharma, Pandu PKS dan lainnya terungkap, mereka secara jelas menyampaikan aspirasi tetap menggunakan kepanduan.
Mengutip salah satu aktivis Pandu Rakyat Indonesia, R Darmanto Djojodibroto menjelaskan bahwa tujuan kepanduan adalah menjadikan anak menjadi warganegara yang bermutu, utamanya dalam karakter dan kesehatannya. Caranya dengan menangkap karakter anak-anak ketika mereka dalam keadaan antusiasme yang menyala-nyala dan menggemblengnya dalam bentuk yang benar, membimbing dan mengembangkan pribadinya, hingga mereka dapat mendidik dirinya sendiri menjadi orang baik dan warganegara yang berguna untuk tanah airnya. Perlu ditegaskan lagi bahwa kepanduan sejak semula adalah PERMAINAN yang menolong anak mengembangkan diri dengan sedikit mungkin pengawasan dari orang dewasa.
Artinya bila dikupas lebih jauh ada banyak perbedaan signifikan antara kepramukaan (yg terdapat dalam RUU) dengan metode kepanduan yang telah menjadi konsensus internasional. Setidaknya bila dirunut dari aspek sejarah. Kata PANDU, dilontarkan pertama kali oleh H Agus Salim untuk mengganti kata Padvinder yang menggunakan Bahasa Belanda. Kata ini juga terdapat dalam lagu kebangsaan Indonesia serta tercantum dalam dalam ikrar sumpah pemuda. Oleh karena itu idealnya kondisi ini tidak menjadikan kita buta pada sejarah bangsa. Bila disatukan ditingkat pusat, akan muncul kendala apakah ormas yang memiliki gerakan kepanduan bersedia menjadi bagian dari Kwarda? Mereka juga memiliki hirarki hingga tingkat nasional.
Selain itu, pasal 28 UUD menyebutkan setiap warga berhak menyatakan pendapat, berkumpul, berserikat dan berorganisasi. Bila dipaksakan, UU ini akan menghadapi judicial review dari para aktivis kepanduan. Selayaknya para wakil rakyat harus melihat secara jernih kondisi ini. Karena sebenarnya tanpa UU, toh gerakan pramuka, gerakan kepanduan atau apapun namanya bila itu muncul dari kesadaran masyarakat tentu akan aktif. Bukankah jaman dulu juga tetap eksis tanpa aturan apapun? Pun demikian, bila tanpa UU, gerakan pramuka tidak akan menjadi oleng, kisruh atau menjadi kegentingan yang teramat sangat. Jika dipaksakan, kita lihat bagaimana akhirnya?