Jumat, 21 November 2008

MENGKALKULASI RENCANA PEMBANGUNAN HOTEL BOUTIQUE

Munculnya rencana pembangunan Hotel Boutique di lokasi strategis menimbulkan pro kontra. Banyak masyarakat yang menentang namun tidak sedikit yang mendukung pendirian hotel itu. Meski pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah sudah mengizinkan, nyatanya banyak kelompok masyarakat (terutama komunitas seniman) menentang rencana itu. Sebenarnya pertentangan itu muncul dikarenakan dikawasan tersebut ada bangunan peninggalan Belanda yakni Benteng Vastenburg yang selama ini memang tidak ada yang merawatnya. Statusnya sendiri awal mula dimiliki oleh militer Indonesia namun entah mengapa kini sudah ada ditangan pengusaha nasional Robby Sumampauw.

Mestinya polemic pendirian Hotel Boutique tidak dilihat dari sudut pandang saja terutama aspek ekonomi yang memang seringkali meninggalkan aspek lainnya. Kajian mendalam atas pendirian Hotel dan pusat perbelanjaan itu harus dikaji secara menyeluruh baik meliputi ekonomi, sosial, budaya maupun aspek lainnya. Disinilah pentingnya peran stakeholders kota yang harus dilibatkan oleh Walikota sehingga tidak mudah memberikan izin pembangunan (IMB). Memang hingga sekarang IMB belum terbit sehingga pelaksanaan pembangunan belum bisa segera dimulai. Justru itu, apabila Joko Widodo memang mau mempertimbangkan masak-masak hendaknya melibatkan seluruh pemangku kepentingan di Kota Solo untuk segera diajak duduk bersama membahas rencana pendirian Hotel Boutique.

Pembicaraan bersama itu bukan untuk menghadap-hadapkan atau mengadu antara pihak investor dengan kelompok tertentu tetapi untuk mencari jalan keluar terbaik agar penyelesaian masalah dapat diterima semua pihak. Analisis penulis, yang berkepentingan atas pembangunan hotel itu tidak hanya investor dengan kelompok seniman saja (seperti yang muncul di media massa akhir-akhir ini) namun juga komunitas yang lain. Beberapa waktu yang lalu (sebelum polemik ini muncul) para pemilik hotel dan restoran yang tergabung dalam PHRI Solo menegaskan bahwa mereka masih mampu menampung tamu-tamu yang hadir di Kota Solo untuk berbagai kepentingan.

Sebut saja pengguna jasa transportasi yang sering melintas di kawasan Jend Sudirman. Apakah dengan pendirian Boutique member dampak atau tidak. Kemudian masyarakat di Sudiroprajan, Kampung Baru, Sangkrah, Kauman dan Kedunglumbu siap tidak menghadapi berbagai kemungkinan yang timbul atas pendirian Boutique entah dalam aspek pemenuhan tempat tinggal pekerja hotel (kos atau kontrak) ataupun system drainase yang selama ini ada. Jangan-jangan kawasan Sangkrah dan Sudiroprajan yang selama ini sudah sering tergenang bila musim hujan (karena meluapnya sungai pepe atau kali jenes untuk Kedunglumbu) justru akan bertambah parah seiring berkurangnya daerah resapan air.

Kawasan itu sendiri tidak semuanya milik Robby tetapi masih ada 4 pemilik yang lain seperti BPN, Bank Danamon, PSP dan juga Hartono. Selama ini yang terlihat “antusias” membangun hotel hanyalah Robby Sumampou sementara keempat pihak lain belum mengemukakan sesuatu. Apakah memang selain Robby sudah setuju atau ada perjanjian sewa menyewa diantara mereka karena memang bangunan hotel itu meliputi seluruh kawasan. Yang memang agak mengherankan, “diam”nya BPN selama ini. Padahal kalau benar mereka memiliki sebagian tanah dikawasan tersebut tentu prosedur di internal mereka jauh lebih kompleks. BPN (dan ke 3 pihak lain) perlu segera membuka terkait rencana Robby agar semuanya menjadi jelas.

Di lahan seluas 23.717m2 persegi itu sekitar 75 persennya akan digunakan untuk bangunan hotel dan pusat perbelanjaan. Menurut rencana, Hotel Boutique akan didirikan untuk 3 basement dan 13 lantai. Sedangkan pusat perbelanjaan terdapat 1 basement dengan 4 lantai (solopos 28/10). Solo sendiri memang memfokuskan mendapatkan pendapatan dari sector jasa dan perdagangan sehingga makna pendirian hotel dan kawasan perbelanjaan akan menambah PAD (Pendapatan Asli Daerah). Tentu saja rencana pendirian hotel dan pusat perbelanjaan itu akan menambah pundi-pundi bagi kota. Berarti dampak dalam aspek pendapatan daerah memang bisa dipotret. Hanya saja bukan 1 hal saja yang dilihat tetapi menyeluruh.

Jika saja kita berandai-andai untuk memetakan kemungkinan dampak positif dan negative untuk 10 aspek akan bisa dipilahkan. Dampak positif bisa terlihat dalam 8 aspek yang penulis kaji yakni meliputi aspek heritage, tenaga kerja, pendapatan warga sekitar, tempat kos, penataan kawasan, pendapatan daerah, perdagangan dan keindahan kota. Sementara kemungkinan aspek negative yang muncul terdapat di 8 aspek juga yakni heritage, tenaga kerja, lalu lintas, resapan air, pendapatan warga sekitar, tempat kos, penataan kawasan serta perdagangan (lihat table).

Jadi, pemberian Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) pendirian hotel itu harus mempertimbangkan berbagai aspek. Butuh kajian komprehensif yang melibatkan banyak pihak baik itu seniman, budayawan, akademisi, masyarakat sekitar lokasi atau pihak-pihak yang akan menerima dampak jika hotel tersebut jadi dibangun. Daripada segera menerbitkan IMB dan bila dikemudian hari timbul masalah tentu yang akan terkena dampak duluan adalah Walikota. Belum lagi saat ini 3 apartemen (Solo Paragon, Solo Center Point dan Kusuma Mulia Tower) yang salah satunya dilengkapi pusat perbelanjaan juga sedang dibangun.

Belum lagi dampak lanjutan bila ada salah satu pusat perbelanjaan tidak laku kemudian tutup. Tentu masyarakat yang akan dirugikan terutama pekerja di pusat perbelanjaan. Sudah ada 2 mall yang tutup akibat pendirian Solo Grand Mall di kawasan Slamet Riyadi yakni Hero Supermarket dan Matahari. Disisi lain masyarakat harus pro aktif memberikan masukan bagi walikota bukan soal setuju atau tidaknya namun dampak apa saja yang dapat timbul bila Hotel Boutique dan pusat perbelanjaan itu dibangun. Adakah solusi lain yang juga baik untuk mengantisipasi dampak negative yang bisa muncul. Bukankah rencana pengembangan kawasan timur Solo juga didengung-dengungkan Joko Widodo saat awal menjabat walikota. Bagaimana sekarang?

0 komentar:

Posting Komentar