Sabtu, 29 November 2008

MEMOTRET KEMAMPUAN PEMERINTAH DAERAH DALAM OPTIMALISASI PENDAPATAN DAERAH

Oleh : M Histiraludin *)

Berjalannya sebuah pemerintahan saat ini sangat bergantung banyak dengan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang sering dikenal dengan APBD. Hampir semua kabupaten kota di Indonesia jangankan mandiri, mengurangi ketergantungan pembangunan dari APBD saja nampaknya menjadi impian belaka. Bahkan banyak daerah yang justru menaikkan pendapatan mereka dengan sewenang-wenang. Menetapkan perda-perda baru yang justru malah memberi tambahan beban bagi warganya. Hal itu terbukti dengan maraknya pencabutan perda yang dilakukan oleh mendagri (silahkan cek di Permendagri www.depdagri.go.id). Nampaknya meskipun desentralisasi sudah dilaksanakan sejak 9 tahun lalu tetapi pola pikir birokrasi tak juga ada pembenahan.

APBD merupakan alat vital bagi pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahannya. Hal itu secara jelas tercantum dalam UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Dalam lampiran penjelasan pasal-pasal terutama di Penjelasan Umum I point 6 alenia ke 2 dijelaskan bahwa “Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara”.  Maka dari itu pemerintah daerah harus mampu mengelola APBD secara baik dan jelas peruntukannya. Struktur APBD sendiri (yang sudah berubah dari model anggaran tradisional ke anggaran kinerja) terdiri dari pendapatan, belanja dan pembiayaan.

Pada aspek pendapatan inilah, banyak pemda melihat peluang untuk seenaknya melakukan pungutan-pungutan yang kadang dasar hukumnya sangat lemah. Padahal seperti diamanatkan dalam  PP No 58 Tahun 2005 Tentang Keuangan Daerah Penjelasan huruf A point 1 alenia 5 bahwa “Pendapatan daerah (langsung) pada hakikatnya diperoleh melalui mekanisme pajak dan retribusi atau. pungutan lainnya yang dibebankan pada seluruh masyarakat. Keadilan atau kewajaran dalam perpajakan terkait dengan prinsip kewajaran "horisontal" dan kewajaran "vertikal". Prinsip dari kewajaran horisontal menekankan pada persyaratan bahwa masyarakat dalam posisi yang sama harus diberlakukan sama, sedangkan prinsip kewajaran vertikal dilandasi pada konsep kemampuan wajib pajak/restribusi untuk membayar, artinya masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk membayar tinggi diberikan beban pajak yang tinggi pula. Tentunya untuk menyeimbangkan kedua prinsip tersebut pemerintah daerah dapat melakukan diskriminasi tarif secara rasional untuk menghilangkan rasa ketidakadilan.”

Seringkali penetapan perda tentang pajak maupun retribusi tidak melaui kajian yang matang dari berbagai aspek yang melingkupinya. Yang menjadi patokan kajian hanyalah aspek ekonomi atau peluang penambahan penghasilan. Wajar saja jika bupati/walikota menghendaki. Karena semakin meningkat PAD (Pendapatan Asli Daerah) akan meningkatkan dukungan biaya operasional kepala daerah. Sementara kajian aspek kebudayaan, sosial, keamanan serta tanggungjawab sosial sering diabaikan. Disisi lain kadangkala naiknya pajak dan retribusi tidak diikuti kenaikan fasilitas atau layanan yang semakin baik. Inilah yang membuat masyarakat semakin apatis dan tidak peduli dengan berbagai program yang dicanangkan kepala daerahnya. Kita tidak akan mengupas aspek-aspek diatas namun akan melihat besaran pendapatan 7 kabupaten/kota di Solo raya untuk kurun waktu 2005 – 2007 (3 tahun terakhir).
 
    Sumber : LHP BPK           
    Anggaran yang tercantum merupakan rencana anggaran dan bukan realisasi

Dari aspek Pendapatan Asli Daerah (PAD), Kota Solo selalu unggul dibanding daerah lainnya. Selisihnya pun ada yang mencapai 50 persen. Padahal kita semua tahu bahwa Kota Solo wilayahnya tidak cukup luas dan banyak mengandalkan sektor jasa serta pariwisata. Kabupaten Sragen yang menjadi idola dalam urusan pelayanan satu atap itu ternyata pengumpulan PADnya masih kalah dengan Kabupaten Boyolali (yang pelayanan OSSnya tidak jelas). Bahkan Kabupaten Karanganyar yang pada tahun 2005-2006 PAD nya masih tertinggal jauh dengan Sragen maka pada tahun 2007 sudah hanya terpaut sekitar Rp 1 M. Kabupaten Sukoharjo mendapatkan PAD paling sedikit diantara 6 daerah yang lain. Apakah karena bupati Sukoharjo paling peduli dengan rakyatnya? Tunggu dulu. Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, karena bupati tidak ingin membebani masyarakatnya. Kedua, Potensi PAD tidak digarap secara optimal sehingga tidak banyak mendapat pendapatan. Ketiga, Banyak terjadi kebocoran dalam pungutan dilapangan.
Lihat saja perbandingan target pendapatan tiap tahunnya. Memang ada daerah yang kurang lebih sama namun jangan membandingkan dengan Kota Solo yang mematok PAD bisa sampai selisih lebih dari Rp 10 M. Daerah lain paling hanya berani mematok selisih Rp 3 – 8 M saja.

Wonogiri lebih aneh lagi, mematok PAD tahun 2007 justru lebih rendah dari PAD tahun sebelumnya. Untuk dana perimbangan, selama 3 tahun yang mendapat alokasi cukup besar adalah Kabupaten Klaten. Namun hal ini tidak bisa menjadi patokan keberhasilan kepala daerah. Sebab hampir 90 persen lebih dana perimbangan merupakan Dana Alokasi Umum dari pemerintah pusat dan peruntukannya untuk gaji pegawai. Artinya kalau Kabupaten Klaten mendapat alokasi terbesar berarti jumlah pegawainya bisa diasumsikan yang terbanyak. Untuk urusan dana perimbangan, Kota Solo paling minim mendapat alokasi itu karena mungkin saja jumlah pegawainya tidak cukup besar.

Apabila matrikulasi pendapatan 7 kabupaten/kota se Solo Raya itu dicermati, akan dapat diambil beberapa asumsi awal atas kondisi pendapatan daerah tahun 2005 - 2007. Pertama, Prediksi yang dilakukan pemerintah daerah sering tidak transparan, akibatnya kita tidak mengetahui indikator-indikator apa yang digunakan untuk mematok pendapatan tersebut. Akibat turunannya adalah target pendapatan tidak sesuai meskipun hasil akhir tahun lebih sering jauh melebihi plafon. Anehnya, pada perhitungan APBD, seringkali menjadi defisit bukan malah surplus. Kedua, prediksi yang diterapkan pemerintah daerah memiliki gejala yang sama yakni melakukan mark down (penurunan target). Hal ini dilakukan agar setelah perhitungan APBD, masyarakat melihatnya Pemda telah berhasil mencapai targetnya. Padahal target yang ditetapkan diawal tahun adalah target memang dibawah penilaian bukan target obyektif.

Ketiga, hampir tidak ada gambaran yang cukup jelas bagi tiap daerah untuk unggulan mendapatkan pajak ataupun retribusinya. Tentu saja hal ini tidak berlaku bagi Kota Solo. Walikota Solo menyatakan ketika pasar menjadi penyumbang terbesar PAD, maka otomatis distribusi belanja bagi pasar mendapatkan alokasi yang proporsional.Lalu bagaimana dengan yang lain? Boyolali tak jelas apakah dari sector pertanian mereka mendapat alokasi besar? Faktanya perdagangan hasil-hasil pertanian juga tidak mendapat porsi yang adil. Maka dari itu kabupaten-kabupaten perlu menetapkan target pendapatan dan meningkatkan atau memelihara sector yang telah menyumbangkan PAD tersebut.


Penulis adalah peminat masalah sosial dan good governance, tinggal di Sukoharjo

0 komentar:

Posting Komentar