Rabu, 17 Maret 2004

MENANTI KIPRAH LEGISLATIF PEREMPUAN

Usai sudah pesta demokrasi melalui pemilihan umum tahun 2004 ini. Meskipun masih menyisakan pemilihan presiden namun tidak ada kejadian berarti selama masa kampanye hingga hari pemungutan suara. Memang disana sini banyak keluhan dan protes tetapi makna demokrasi dapat kita rasakan. Bahkan pemantau pemilu sekelas Uni Eropa pun memuji atas keberhasilan pelaksanaan pemilu. Soal riak-riak dalam pelaksanaan, biarlah dituntaskan oleh yang pihak-pihak yang bertanggungjawab seperti Panwaslu, Polri dan Pengadilan. Bagi masyarakat, harapan yang dititipkan calon anggota legislative terpilih tidak macam-macam. Yakni agar mereka mau mendengar suara rakyat, memperjuangkan aspirasi, membuat masyarakat dapat bekerja dengan tenang. “Vox dei vox populi” suara rakyat suara tuhan. Begitulah. Ada secercah asa yang tersirat dari rakyat agar itu semua dapat terwujud. Wong mereka juga sudah menggunakan hak pilihnya.

Peringatan Hari Kartini baru saja berlalu beberapa hari. Titik titik perjuangan emansipasi wanita yang dibawanya hingga kini masih terasa bahkan kesempatan bekerja, bersekolah, mendapatkan pelayanan, kesetaraan kian terbuka luas. Diberbagai sektor, perempuan telah menunjukkan kemampuan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Lantas masihkah kita menganggap perempuan sebelah mata dan hanya meletakkan sebagai “konco wingking” semata?. Dalam bidang politik, saat pembahasan UU  No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu tentunya masih melekat diingatan kita banyak elemen seperti Ormas, OKP, LSM dan elemen lainnya yang peduli pada persoalan perempuan gencar melakukan kampanye kuota perempuan sebesar 30 %. Perjuangan itu akhirnya ‘agak’ berhasil dengan dimasukkannya usulan tersebut. Pada pasal 65 ayat 1 tertulis “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” Memang sebagian kalangan menganggap ditampungnya pasal itu hanya akal-akalan atau kompromi elit karena terdapat kata ‘Dapat’. Sebagian yang lain menyatakan masuknya pasal ini merupakan tindakan affirmative.

Terlepas dari masalah itu, kemudian ramai-ramailah partai peserta pemilu menyodorkan perempuan untuk memenuhi kuota 30 % tersebut. Masyarakat kembali kecewa sebab dari banyak partai yang mengajukan calonnya hanya untuk memenuhi persyaratan undang-undang. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya caleg perempuan yang diletakkan pada urutan bawah. Selain itu, caleg perempuan banyak juga masih ada hubungan dengan pejabat teras partai bersangkutan. Banyak kritikan yang diajukan pada caleg-caleg itu meskipun akhirnya mereka tetap maju ke medan pertempuran. Sementara partai membelanya dengan mengatakan caleg (perempuan) itu memang kader partai dan siap bersaing dengan caleg laki-laki.

Memang disayangkan, pemaknaan pasal itu yang melenceng dari komitmen awal. Artinya para aktivis berharap partai bersedia membuka diri, mencari, menggodok bahkan bernegosiasi dengan perempuan yang memang kapabel untuk itu. Aktivis partai malah mengelak dengan tidak mau mencari perempuan yang sudah jelas komitmennya untuk memperjuangkan perempuan. Apalagi menaruhnya diurutan atas. Sudah pasti protes dari sana sini mengalir deras. Kita semua mendapati bahwa partai tidak melakukan regenerasi secara seimbang antara laki-laki dan perempuan. Bahkan berdasarkan sebuah penelitian disebutkan dari 6 partai di Solo, perempuan yang masuk dikepengurusan hanya 5,26 % (Siti Supeni, Peran Politik Perempuan 2004).

Analisis
Baiklah kita tinggalkan problem-problem diatas dan coba kita lihat hasil pemilu di 19 Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Tengah. Berdasarkan perkiraan caleg perempuan yang berhasil mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten/Kota di 19 wilayah Jawa Tengah tidak ada yang melebihi 16 persen (data didapat dari berbagai media massa di jawa Tengah). Justru yang mampu meloloskan calegnya mencapai 16 persen untuk jadi wakil rakyat periode 2004 – 2009 yakni 6 partai dari berbagai daerah pemilihan yang ada untuk menjadi anggota di DPRD I Jawa Tengah. Peningkatannya sangat tajam karena periode sebelumnya hanya terdapat 4 anggota legislative perempuan. Untuk kabupaten/kota hanya ada 10 partai yang meloloskan caleg perempuannya untuk jadi wakil rakyat (Lihat Tabel). Sementara Kabupaten/Kota yang mampu menembus 15 % keterwakilan perempuan (7 orang) hanya ada 2 yakni Kabupaten Pekalongan dan Purbalingga.

Dibawahnya Kota Tegal (6 orang/13,3 %), disusul Banjarnegara, Purworejo, Batang, Pemalang dan Kabupaten Tegal berjumlah 5 orang (11,1 %). Sisanya 11 wilayah yang tidak mendudukkan caleg perempuannya melebihi 10 persen. Dua wilayah yang caleg perempuannya minim yakni Kabupaten Temanggung 2 orang (4,4 %) dan Kota Solo hanya 5 persen (2 orang dari 40 anggota). Khusus Kota Solo (berdasar news letter Grha Perempuan edisi 09 Maret 2004) terdapat 12 partai yang mengajukan caleg lebih dari ketentuan undang-undang. Partai tersebut adalah PNI Marhaenisme (35 %), PBB (39 %), PPP (37 %), Partai PIB (60 %), PNBK (30 %), PKPI (30 %), PPDI (46 %), PKPB (30 %), PKB (39 %), PKS (40 %), PDS (52 %), P Golkar (32 %), P Patriot (33 %) dan PPD sebesar 37 %. Dari 12 partai itu yang meloloskan caleg perempuannya PDS dan PDIP (yang kuotanya hanya 21 %).

Dari kesepuluh partai, yang penyebaran caleg perempuan yang dipastikan jadi, hampir merata di 19 wilayah tentu saja PDI Perjuangan. Hanya ada 6 daerah yang caleg perempuannya diperkirakan tidak mewarnai dewan yaitu di Solo, Karanganyar, Pemalang, Pati, Kab Semarang dan Temanggung. Kemudian Partai Golkar (8 daerah), PKB dan Partai Demokrat  (10). Sedangkan 3 partai hanya mampu mendudukkan 1 wakil perempuan di legislative yakni PKPB (Pemalang), PDS (Solo) dan PBB (Boyolali). Yang disayangkan adalah Partai Keadilan Sejahtera. Dari 17 Kabupaten/Kota yang mampu meloloskan kadernya menjadi dewan, ternyata hanya terdapat dua kader perempuan yang duduk menjadi anggota legislative. Padahal, Jawa Tengah mampu meloloskan Ny Hj Nafisal Sahal menjadi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan meraup suara terbanyak 1,7 juta lebih. Berdasarkan data sementara KPU Pusat, dari 32 propinsi di Indonesia hanya ada 9 propinsi yang tidak berhasil ‘meloloskan” calon perempuannya sebagai DPD.

Harapan
Setelah kita semua tahu seperti itu, apa yang kita tunggu dari kiprah mereka selama 5 tahun kedepan. Tidak mudah memantau kinerja mereka apalagi anggota legislative akan diikat norma-norma kedewanan ditambah aturan partai yang sangat membelenggu. Sebelum pemilu digelar, dibanyak wilayah ada gerakan yang cukup menarik simpati masyarakat yakni soal political contract atau kontrak politik. Memang dibeberapa tempat hanya kader Partai Keadilan Sejahtera yang berani membuat perjanjian didepan notaris. Lalu di Solo ada sebuah LSM yang kemudian bersepakat bersama-sama membuat kontrak politik dengan caleg perempuan. Tujuannya agar caleg yang kemudian berhasil menjadi anggota dewan tidak mudah berubah haluan. Selain itu juga untuk memantau kinerja selama 5 tahun kedepan apakah dia akan bekerja untuk kelompoknya atau untuk meningkatkan dan mensejahterakan perempuan.

Diluar itu, tidak berlebihan bila kita mempunyai harapan supaya wakil rakyat perempuan ini terus berjalan on the track. Ada beberapa point yang mungkin harus tetap dijaga oleh mereka yakni pertama, dengan duduknya mereka menjadi anggota dewan telah membuktikan adanya partisipasi perempuan. Hal ini harus diperluas lagi dengan aktifnya mereka dalam pengambilan kebijakan yang berpihak pada perempuan. Bagaimana memformat agar APBD lebih banyak memberi roh dan mampu meningkatkan kepedulian pada perempuan. Bagaimana anggaran pendidikan dapat memberi peluang pada anak didik perempuan menjadi setara dalam hal kesempatan untuk mencari ilmu. Dibidang kesehatan misalnya, program kesehatan reproduksi dan kesejahteraan perempuan perlu menjadi prioritas utama

Yang tak kalah pentingnya yakni menciptakan aturan agar kekerasan terhadap perempuan (apapun bentuknya) pelakunya harus mendapat hukum setimpal. Kedua, peneguhan komitmen bahwa duduknya mereka di legislative betul-betul memberi manfaat dan bukan hanya pelengkap penderita. Kreatifitas dalam melakukan fungsi legislasi harus terlihat sehingga makna hadirnya wakil perempuan di parlemen menjadi kenyataan. Tidak banyak berkutat dengan kelompoknya sendiri namun membangun jaringan lebih besar sehingga dukungan datang tidak hanya dari konstituen saja. Ini lebih efektif dalam mendesakkan kebijakan yang peduli perempuan daripada mengandalkan partai semata.

Ketiga, pengabdian itu bukan pada kekuasaan, bukan pada partai namun pada kelompok-kelompok perempuan, marginal, lemah yang selama ini mereka hidup dalam tekanan. Prioritas bidang kerja bukan berorientasi pada bagaimana mengembalikan modal kampanye atau memperkaya diri sendiri. Tiga hal inilah yang menjadi kunci untuk menjawab layakkah perempuan menjadi wakil rakyat. Akhirnya, marilah kita semua berdoa agar mereka yang pada 1 Oktober nanti dilantik tetap peduli pada masyarakat dan tidak lupa diri, semoga.

0 komentar:

Posting Komentar