Oleh : Muhammad Histiraludin*)
“Saya telah menjadi ketua LKMD selama 15 tahun dan saya mengerti dan memahami keinginan warga” kata Suroto (Solopos 10 Juli 2002). Perkataan Ketua LKMD Kepatihan Kulon itu mencerminkan bahwa selama ini elit masyarakat ‘menganggap’ dirinya lebih tahu dan lebih faham apa yang terjadi dimasyarakat. Pertanyaan selanjutnya, ungkapan Suroto tadi dikatakan dalam kaitannya soal dana block grant yang diduga diselewengkan. Lalu sebenarnya bagaimana peranan masyarakat untuk memantau dan mengetahui aliran dana Muskelbang ?. Bagaimana pula mekanisme pertanggungjawabannya selama ini ?. Siapa saja yang mengelola. Apakah hanya elit masyarakat (yang sering tercermin dalam LKMD), Pemerintah Kelurahan, ataukah seluruh stakeholders (masyarakat yang berkepentingan) juga bisa terlibat.
Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang merupakan wujud implementasi dari UU 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang digagas Walikota Surakarta merupakan sebuah langkah maju guna mewujudkan desentralisasi pembangunan yang berbasis perencanaan masyarakat. Hal itu termaktub dalam Surat Keputusan Walikota nomor 410/45-A/I/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Musyawarah Kelurahan Membangun, Musyawarah Kecamatan Membangun dan Musyawarah Kota Membangun Kota Surakarta tahun 2002. Artinya dibanding dengan pelaksanaan UU nomor 5 Tahun 74 tentang Pemerintahan Daerah dalam pelaksanaannya (mulai Musbangkel, Rakorbang) jelas berlawanan. UU 5/74 lebih mengedepankan program dari pemerintah dan masyarakat tinggal menyetujui. Sebaliknya di UU 22 tahun 1999 atau melihat SK Walikota sangat membuka peluang atas peningkatan partisipasi masyarakat.
Yang lebih perlu jeli dilihat yakni sejauh mana mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Sejak digulirkannya mekanisme Perencanaan Pembangunan Partisipatif tahun 2001 tidak jarang terjadi kendala dalam hal penggunaan Dana Bantuan Pembangunan Kelurahan dari Pemerintah Kota (dulu disebut block grant). Pemkot Surakarta yang menangkap perubahan itu sebagai reposisi peran pemerintah menjadi public servant atau fasilitator bagi masyarakatnya berusaha menggulirkan Dana Bantuan Pembangunan Kelurahan yang secara kuantitatif meningkat. Tahun 2001 tiap kelurahan diberi rata Rp 50 juta. Namun sekarang bervariasi mulai dari Rp 112 juta hingga sekitar Rp 170-an juta tiap kelurahan. Turunnya dana itu berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk dan jumlah keluarga miskinnya.
Pencairan dana yang dibagi 3 termin (30 persen, 30 persen dan 40 persen) sangat membantu masyarakat meminimalisir penyelewengan dana. Teknis pelaksanaan program pembangunan tahun 2002 sangat beragam. Ada yang dibagi rata per Rw (yang justru tidak menyelesaikan permasalahan), Ada yang berdasarkan hasil Muskelbang tahun 2001 tetapi tidak ada Tim Monevnya sehingga ketika dimintai pertanggungjawabannya sulit menjelaskan, ada pula yang memasang agenda pembangunan sesuai hasil Muskelbang 2001 di papan-papan pengumuman yang ada di tiap Rw. Yang terakhir ini salah satunya dilakukan oleh Kelurahan Kratonan yang juga diselipkan nama-nama tim monitoringnya.
Mekanisme pertanggungjawaban tahun 2002 yang dalam pelaksanaan program pembangunan belum semuanya melibatkan masyarakat. Contohnya yang terjadi dalam kasus Kelurahan Kepatihan Kulon masih ada tokoh elit kelurahan yang mencoba ‘bermain-main’ sehingga ketika masyarakat tahu akhirnya mau membongkar karena memang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan. Siapa yang patut dipersalahkan dengan munculnya kasus ini. Tentu bukan siapanya yang perlu dicermati tetapi apakah monitoring pelaksanaan dan mekanisme pertanggungjawaban panitia pelaksana telah direncanakan sebelumnya. Sangat wajar apabila itu semua tidak dibahas dan disepakati oleh masyarakat.
Monitoring dan Evaluasi Partisipatif
Berdasarkan pengalaman-pengalaman itulah butuh tindakan nyata guna memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program pembangunan. Maka wacana Monitoring dan Evaluasi secara Partisipatif yang dilakukan stakeholders kelurahan perlu dikembangkan. Dibutuhkan tim monitoring dan evaluasi secara partisipatif (selanjutnya disebut MEP) yang dilakukan stakeholders kelurahan. Robert Chamber dalam bukunya yang berjudul “Chalanging The Professional” (hal 76) mengatakan pelaksanaan proyek waktu dulu hanya didominasi kaum professional dan ekonom yang hanya memikirkan kegiatan teknis seperti infra struktur, jadual dan hal-hal kuantitatif. Saat ini ada paradigma baru dan pemahaman kaum professional bahwa memulai proyek itu dari orang bukan dari sesuatu, beradaptasi dengan proses bukan berdasar rencana kegiatan.
Ada beberapa keuntungan jika MEP dilakukan yakni (1) Masyarakat mempunyai inisiatif untuk merencanakan dan mengambil keputusan. Peluang ini sudah diberikan oleh birokrasi melalui Muskelbang dan tinggal mengoptimalkan pelaksanaannya. (2) Adanya keterbukaan. Apakah seluruh elemen masyarakat yang ada, datang dan secara bersama merencanakan program pembangunan. Keputusan yang diambil pun kemudian menjadi milik bersama bukan hanya dimiliki panitia atau lebih parah lagi ‘elit masyarakat setempat’. (3) Adanya pertanggungjawaban bersama. Dalam hal ini masyarakat bisa belajar mengenai sebetulnya aspek apa yang perlu direncanakan sehingga berdampak positif bagi mereka. Kajian hasil pembangunan perlu juga dilakukan sehingga tidak hanya semuanya bertanggung jawab tetapi juga berperan. (4) Adanya rasa handarbeni atau memiliki bagi program. Yang terjadi sebelum ini banyak proyek pembangunan dibangun pemerintah dan masyarakat tidak mempunyai kepedulian keberhasilan bahkan acuh tak acuh terhadap apa yang dikerjakan pemerintah. Hal ini menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang harganya lebih mahal daripada biaya pembangunan itu sendiri.
Perencanaan MEP itu sendiri secara sadar dikelola dan berakar pada pemahaman bahwa perencanaan harus didasarkan pada kebutuhan (bukan keinginan) dan prioritas dari kelompok sasaran yang telah teridentifikasi melalui tahapan Pra Muskelbang I, Pra Muskelbang II sampai pelaksanaan Muskelbang. Kemudian mengalokasikan panitia dan mengorganisasi mereka kedalam sebuah tim yang saling terkait dalam menjalankan kegiatan. Selain itu mengakomodir panitia dalam melaksanakan kegiatan secara langsung. Tak kalah pentingnya bagaimana tim itu bisa memonitor secara periodic dan mengevaluasi sesuai waktu atau agenda yang disepakati untuk mengetahui kemajuan dan masalah yang muncul pada proyek yang sedang dilakukan.
Siapa dan Apa Tugasnya
Dalam SK Walikota nomor 410/45-A/I/2002 pada point peserta Muskelbang disebutkan komposisi peserta Muskelbang meliputi perwakilan Rt, perwakilan Rw, wakil organisasi social, wakil kelompok social, wakil organisasi seni, karang taruna dan organisasi pemuda, sector privat, wakil perempuan serta tokoh masyarakat. Artinya ada peluang seluruh elemen masyarakat disebuah kelurahan terlibat dalam perencanaan pembangunan bagi wilayah mereka. Yang selanjutnya pada saat digelar Musyawarah Kelurahan Membangun semua stakeholders tahu, menyepakati, dan mengagendakan hal-hal yang perlu ditangani secara bersama. Kemudian diperlukan sebuah tim untuk melakukan monitoring dan evaluasi bagi pelaksanaan program pembangunan tahun mendatang.
Secara tegas dalam SK Walikota di point Muskotbang item m ditulis “Sidang Muskelbang menetapkan mekanisme dan susunan panitia untuk monitoring dan evaluasi pelaksanaan hasil-hasil Muskelbang. Susunan dan mekanisme kerja panitia tersebut ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Kelurahan”. Disini terbuka peluang siapapun bisa menjadi tim monitoring dan evaluasi. Siapapun yang jadi kelompok kepentingan kelurahan idealnya bisa masuk dalam tim ini dan tidak hanya berbasis kewilayahan seperti hanya perwakilan Rt/Rw saja. Padahal tidak tertutup kemungkinan proyek-proyek itu dikucurkan pada komunitas yang sering kali terpinggirkan.
Tugas tim monitoring dan evaluasi itu sendiri yakni pertama merumuskan mekanisme kerjanya. Apakah mereka akan bekerja sendiri atau akan melibatkan kalangan ahli diwilayah mereka untuk membantu. Kedua Membuat time schedule tentang kegiatan-kegiatan apa yang harus mereka kerjakan. Kapan akan melakukan pendataan kegiatan yang mendapat dana, kapan proyek A akan dibangun (untuk dimonitor), kapan akan melakukan evaluasi, dan seterusnya. Sehingga ketika ditemui kendala dilapangan, tim bisa bekerja dengan optimal guna memecah hambatan yang ada. Ketiga, melakukan koordinasi yang bersifat internal maupun eksternal institusi. Hal ini dilakukan untuk cross cek data ataupun klarifikasi proyek pembangunan. Keempat yang tidak boleh dilupakan yakni menentukan indicator keberhasilan proyek. Pembuatan indicator keberhasilan dilakukan saat merencanakan program pembangunan
Akhirnya pembentukan tim akan semakin meningkatkan keberdayaan warga masyarakat. Tokoh elit maupun kalangan tertentu sudah tidak bisa lagi mendominasi, memanipulasi, dan semakin membuat rakyat terbodohkan. Dengan sendirinya target pemberdayaan masyarakat akan berjalan sendiri dan dengan bertambahnya waktu mereka akan berkembang menjadi komunitas yang kritis, yang berpengatahuan, mempunyai skill dan keberanian, semoga.
*) Pekerja Sosial di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo
0 komentar:
Posting Komentar