Oleh : Muhammad Histiraludin*)
Belum hilang ingatan kita pada kasus kekerasan dalam penerimaan mahasiswa baru yang menimpa Aditya (Mahasiswa Fakultas Teknik UNS) tahun lalu yang mengakibatkan dirinya harus menginap dirumah sakit, kini kasus kekerasan itu terjadi kembali. Cicilia Puji Rahayu, mahasiswi Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan Undip harus kehilangan nyawanya (Solopos 27/8). Kemudian Agus juga melaporkan tindakan bentak-bentakan di Osmaru Fakultas Hukum UNS yang mengakibatkan seorang mahasiswi pingsan. Tidak hanya itu, aroma minum-minuman tercium dari mulut pembentak.
Kasus-kasus seperti ini 4 tahun terakhir mewarnai tahun ajaran baru penerimaan mahasiswa. Fenomena apakah yang terjadi sehingga warna-warna kekerasan fisik dan mental menjadi hal yang akrab ditulis media. Apakah betul mahasiswa senior mempunyai tujuan memplonco, tes mental atau memang punya tujuan ‘membunuh’ mental adik-adik kelasnya. Ataukah dia kehilangan jatidirinya, eksistensinya sebagai seorang mahasiswa, proses pencarian identitas diri atau cerminan budaya militer yang secara tidak sadar memang telah diajarkan oleh kakak kelasnya.
Aditya masih beruntung mau melawan dan mengakibatkan pelaku tindak kekerasan harus di meja hijaukan. Tapi Cicilia, apa yang bisa dilakukan oleh gadis yang masa depannya masih panjang. Kegiatan Pengenalan Kehidupan Ilmiah Kampus (Pekik) Undip yang seharusnya menjadi orientasi pengenalan mahasiswa baru terhadap lingkungannya berubah. Anehnya jawaban kakak kelasnya yang bertanggung jawab atas kejadian itu justru terkesan cuci tangan. “Jadi kesimpulan kami sementara Cicilia meninggal bukan karena gojlokan” kata Koordinator Lapangan Pekik Sutopo (Solopos 28/8). Hanya seperti itukah pertanggungjawabannya ketika sebuah kegiatan mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.
Banyak ditangkap kegiatan penerimaan mahasiswa baru (dulu namanya Orientasi Studi Pengenalan Kampus/Ospek) berbau militerisme. Sering terjadi hal-hal yang tidak boleh dilakukan lingkungan yang sangat akademis malah menjadi rutinitas. Bentak-bentakan, push up, lari lapangan, berteriak-teriak dan tugas-tugas yang tidak bisa diterima akal sehat. Padahal semestinya seorang mahasiswa baru butuh pengenalan mengenai apa sebetulnya kampus, bagaimana seorang mahasiswa itu harus berpikir, bagaimana dia harus bertindak. Wong mahasiswa itu katanya agent of change (agen perubahan).
Belenggu Budaya
Secara tidak sadar kegiatan penerimaan mahasiswa baru itu sudah menjadi semacam budaya dan bentuknya sangat militeristik. Kampus sebagai institusi yang merdeka selayaknya membuat suasana berkembang mengarah pada kehidupan demokratis, egaliter, menghargai dan nilai-nilai ideal lainnya. Nampaknya secara tidak sadar kita bersama telah membangun kehidupan yang sangat keras, kejam dan tega. Pelajaran dari kejadian penerimaan mahasiswa baru sebelumnya tidak menjadikan cerminan bagi panitia penerimaan mahasiswa baru. Terbukti kasus-kasus yang mengarah ke kriminal tetap mewarnai.
Pola militeristik yang berkembang sebenarnya berangkat dari pola kehidupan yang ada dikampus dan melembaga. Pada jaman regim orde baru budaya militerisme sebenarnya juga diajarkan meskipun tidak mengarah ke fisik tapi berbentuk indoktrinasi ideology. Dulu kita sangat mengenal adanya penataran P4 yang minimal harus kita ikuti 45 jam. Itulah sejarah dimulainya budaya militerisme dikelembagaan kampus. Indoktrinasi ideology yang dilakukan secara terus menerus menjadikan civitas akademika terbelenggu rutinitas yang sempit.
Adanya SK Bersama 3 menteri yang mengharuskan dibentuknya Resimen Mahasiswa (Menwa) di Perguruan Tinggi semakin memperkokoh intervensi budaya militer. Meskipun sudah banyak dikritik tapi lembaga yang tidak jelas maksud pembentukannya masih berdiri kokoh diantara sekretariat UKM dan senat mahasiswa. Atau distribusikan saja tenaga-tenaga Menwa yang gagah berani itu untuk menjaga keamanan kampus bekerja sama dengan Satpam agar kejadian kriminal di perguruan tinggi bisa diminimalisir.
Begitu orde baru runtuh, indoktrinasi ideology ditolak tapi tidak di sadari bahwa metode militerisme itu tetap dipakai. Mahasiswa lama memaksakan untuk tetap diadakannya kegiatan pengenalan kampus apapun bentuknya. Sayangnya dari sini pihak rektorat tidak menangkap budaya dasar yang memang telah memerangkap mereka semua. Karena bagi birokrat kampus memang kepentingannya jelas, tidak hanya adanya kegiatan namun juga berapa uang yang bisa ditarik dari kegiatan yang dilakukan. Lantas klop sudah kebutuhan akan kegiatan pengenalan kampus. Berulang kali kita baca dimedia juga sesudah kejadian memilukan hati terjadi. Kalangan kampus berjanji tidak akan mengijinkan kegiatan serupa. Semua bersuara sama dan itu bisa kita tarik dalam kasus Aditya. Tapi tahun ini di Fakultas Hukum UNS terjadi hal serupa meskipun akibatnya tidak sefatal tahun lalu (Solopos 28/8).
Ternyata kasus-kasus kekerasan tidak hanya terjadi dilingkungan internal kampus. Belum lama ini nyaris terjadi baku hantam antara aktivis HMI dan IMM di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Gara-garanya sederhana, hanya soal pamflet dan promosi organisasi itu supaya dapat banyak kader. Dalam kasus Ospek tidak sedikit pula dari mahasiswa yang lebih senior minum-minuman keras supaya lebih ‘berani’. Lengkap sudah bukti-bukti bahwa secara tidak sadar budaya kekerasan dan berpikir diluar hati nurani telah menguasai jagat pendidikan Indonesia. Lalu sebenarnya nilai-nilai apa yang selama ini dikembangkan oleh institusi perguruan tinggi.
Reorientasi Penerimaan Mahasiswa Baru
Berarti tugas apa yang harus kita kembangkan kedepan guna membongkar budaya menang-menangan, jagoan dan heroik. Seperti telah ditulis diatas, institusi perguruan tinggi seharusnya mengembangkan nilai-nilai demokratis, egaliter, menghargai, terbuka sehingga mampu membentuk seorang mahasiswa mengerti dalam hal teknis apa yang dipelajarinya dibangku kuliah dan non teknis memahami sebagai seorang sarjana apa yang harus dilakukannya kelak sesudah lulus untuk masyarakat. Kenapa saat penyelenggaraan orientasi tidak dibuka ruang untuk mempelajari tentang analisa social masyarakat, pemahaman demokrasi, HAM, kesetaraan genders dan sebagainya.
Setelah nilai dasar itu bisa dibentuk berikan kesempatan pada Unit-Unit Kegiatan Mahasiswa mempromosikan kegiatannya, program Senat Mahasiswa, Pengenalan Organisasi Ekstra Kampus sehingga ada pemahaman dan kesadaran diri ketika mereka nanti beraktivitas ada pilihan. Kalau perlu ajari mahasiswa baru untuk berdemonstrasi dan mereka akan merasakan hal baru. Bukannya penggojlokan yang justru menimbulkan dendam-dendam yang pada gilirannya akan dibalaskan pada adik-adik kelas mereka.
Kampus selayaknya dengan segenap unsur didalamnya mampu mengembangkan wacana keilmuan dan pengetahuan. Ilmu-ilmu yang diajarkan mampu mengeliminir sifat-sifat yang bertentangan dengan hakekat manusia. Lantas apa yang selama ini diajarkan dan mereka terima. Kenapa kekerasan dan sifat tidak manusiawi masih juga muncul. Padahal mata kuliah agama juga ada. Berarti ada hal-hal yang memang perlu menjadi perhatian bersama.
Makna yang bisa dipetik dari uraian diatas adalah institusi penyelenggaraan penerimaan mahasiswa baru tetap perlu diselenggarakan tetapi yang harus dicermati tujuan dan strategi apa yang akan dicapai. Ini perlu difahami tidak hanya oleh panitia penyelenggara tapi juga pihak rektorat sehingga kerangka besarnya bisa dicapai dan dirasakan bersama. Selain itu juga mekanisme penyelenggaraannya bagaimana, hal-hal apa yang tidak boleh dilakukan saat kegiatan itu berlangsung. Kalau kesepakatan ini bisa dicapai tidak perlu ada kekhawatiran adanya kekerasan yang akan terjadi kembali.
Sebaiknya keikutsertaan bagi mahasiswa dalam kegiatan penerimaan mahasiswa baru tidak perlu. Terkecuali orientasi dan tujuannya jelas. Toh tidak ada persyaratan yang mewajibkan dan kalau tujuannya tidak jelas perlu ditentang bersama. Siapa yang berani menjamin jika mengikuti kegiatan itu tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Beranikah panitia bertanggungjawab (tidak sekedar lisan) secara moril atau materiil jika merugikan peserta penerimaan mahasiswa baru.
Ada 4 hal pokok yang perlu ditanamkan dalam pengenalan orientasi. Pertama, pemahaman sebagai mahasiswa. Mereka telah berubah dari bangku SMU dan apa yang akan dialami sebagai seorang mahasiswa berbeda dari komunitas mereka sebelumnya. Kedua, tanamkan nilai-nilai dasar mengenai jatidiri. Artinya bekali mahasiswa baru dengan wacana-wacana yang mencerahkan. Ketiga, arahkan mereka mempunyai aktivitas yang produktif. Jadilah aktivis dan bukan aktivisme. Keempat, baru pengenalan soal rutinitas pendidikan yang akan dijalani.
*) Penulis adalah Pekerja Sosial di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo.
0 komentar:
Posting Komentar