Apapun Karni Ilyas, host Indonesia Lawyers Club (ILC) pantas
kita acungi jempol dan cerdas memanfaatkan momen. Terutama pada gelaran ILC
yang tayang di TVONe kemaren Selasa 5 Desember 2017 dengan “Tema 212 : Perlukah
Reuni?”. Pemerintah dan kelompok nasionalis harusnya berterima kasih atas ide
briliannya bukan hanya mengangkat tema tersebut namun atas narasumber yang
dihadirkan juga sangat menguntungkan. Seperti diketahui, paska debat itu malah
menimbulkan perdebatan di sosmed berkepanjangan. Lantas mengapa pemerintah dan
kelompok nasionalis harus berterima kasih?
Pada ILC itu yang turut hadir kelompok pendukung alumni 212
yakni Al Khathath, Eggi Sujana, Fachri Hamzah, Fadli Zon, Felix Siaw, Ahmad
Dhani hingga Rocky Gerung. Sementara dari kubu penolak reuni, 2 aktivis sosmed
yaitu Denny Siregar, Abu Janda, anggota DPR dari PDIP, Aan Anshori hingga salah
satu Ketua PBNU, Marsudi Mashud. Pihak netral yang sempat dihadirkan secara
langsung Sujiwo Tejo dan yang tidak langsung adalah Mahfud MD. Rekaman ulang
ILC bisa disaksikan di youtube baik secara lengkap maupun secara terpotong.
Yang jelas, dari tema utama tentang Reuni 212 sempat melebar dan memperdebatkan
tentang khilafah. Terutama antara Permadi Arya alias Abu Janda dengan Felix
Siaw.
Di medsos Rabu, kubu pendukung Reuni Nampak sorak sorai
merayakan kemenangan “pembantaian” Abu Janda dan Denny Siregar yang menurut
mereka kalah telak. Apalagi ditunjang dengan apologi Abu Janda maupun Denny di
akun sosmednya. Padahal bila dianalisa secara mendalam, justru kelompok pro 212
kalah telak. Terbukti Fachri Hamzah sampai menegur penggunaan kata “kafir” oleh
Eggi Sujana. Padahal seperti kita tahu, FH selama ini hampir tidak pernah
mengkritik secara tajam rekannya sendiri.
Lalu sebenarnya dimana kekalahan telak para pendukung 212?
Baiklah, saya coba urai secara mendalam penelanjangan 212 oleh Karni Ilyas.
Pertama, aksi reuni 212 jelas sudah digelar dan ILC diadakan
tanggal 5 dengan tema “Perlukah Reuni 212?”. Tema ini justru merendahkan para
pendukung 212, sebab kegiatan sudah berlalu. Karni cerdas, dia sengaja
menghadirkan hal itu dengan kesan membela para aktivis 212. Tapi dengan kata
“Perlukah” semestinya kelompok pro 212 menolak kecuali kata “perlukah” diganti dengan
“Agenda strategis paska reuni 212”. Tema ini jauh lebih visioner dan membuka
cakrawala tentang strategisnya gerakan ini.
Kedua, pihak yang dihadirkan baik yang pro dan yang kontra
tidak sejajar. Bukankah sejak rencana reuni 212 digelar setidaknya ada 3 pihak
atau kelembagaan yang jelas menolak. Mengapa bung Karni tidak menghadirkan
mereka? Ada dari NU, Muhammadiyah dan MUI. Memang PBNU hadir tapi tidak
mengundang Muhammadiyah dan MUI. Malah yang dihadirkan Abu Janda dan Denny
Siregar. Mereka siapa? Aktivis sosmed yang fans nya sangat cair, tidak punya
ikatan kuat. Pengen tahu buktinya? Ditangkap dan diprosesnya Asma Dewi, Buni
Yani, Jonru, pemilik Saracen tidak mampu menghadirkan 1000 orang saja dalam
tiap persidangan mereka. Bahwa tulisan mereka disukai atau merasuki itu jelas
tapi sampai menimbulkan pembelaan berlebihan ya tidak. Contoh mudah lagi,
sinetron sebagus apapun, berseri hingga tahunan ketika habis ya sudah. Apa
pernah fans nya demo minta diperpanjang? Tidak.
Terjebak Kata "Ustadz"
Belum lagi banyak pendukung 212 tidak faham penggunaan kata
“ustadz” dan nama abu janda. Dipikirnya ini ustadz beneran dan abu janda nama
yang serius. Baca saja di group pro 212, membully abu janda dengan hinaan
serius terhadap kata “ustadz” dan “abu janda”. Padahal nama itu digunakan Permadi
Arya sebagai sindiran pada teroris ISIS asal Indonesia, Abu Jandal Al
Indonesiyi. Tidak lebih. Jelas bully-bullyan di group pro 212 gagal total dan
abu janda melenggang tenang. Lalu dengan DS, ya dia enjoy saja. Penulis itu
tidak terpengaruh dengan model bully-bullyan, hinaan, caci maki, merendahkan
begitu. Dia akan sangat terpengaruh jika berdebat langsung dengan durasi cukup
panjang. Lihat, tidak akan berdampak apapun. Ke depan tulisan-tulisan DS tetap
akan tajam, satir dan ditunggu penggemarnya.
So, jika ada yang bilang Felix, Al Khathath atau Eggi
berhasil mengalahkan ya salah. Mereka menendang angin. Apalagi uraian KH
Marsudi Masyhud dari PBNU tidak dibantah atau malah mereka tidak bisa
membantah. Sudah begitu lihat yang pro 212 siapa saja? Al Khathath jelas bekas
pimpinan HTI, Felix merupakan ustadznya HTI/pengusung ideology khilafah, Eggi
Sujana pengacara Rizieq Shihab, dan nama lain yang sudah pasti punya posisi.
Artinya oleh Karni diposisikan orang-orang penting itu levelnya sepadan dengan
aktivis medsos di kubu kontra 212.
Ketiga, acara itu berhasil membuka kedok bahwa ideology
khilafah masih ada dalam otak Felix. Mengapa diskusi tentang reuni 212, Felix
terbawa arus oleh pancingan Abu Janda tentang bendera ISIS. Entah by design
atau by accident, penunjukan foto bendera tauhid mampu memancing masih
bercokolnya faham khilafah dalam otak Felix. Sampai-sampai prof Mahfud
menguliahi Felix soal ini dan menyebut bahwa Khilafah yang diperjuangkan HTI
itu bukan tentang kepemimpinan tapi sistem pemerintahan. Memperjuangkan system
pemerintahan di Indonesia jelas makar dan harus menghadapi proses hukum. Jika
berdalih bahwa khilafah merupakan system yang harus dianut Islam, mengapa di
timur tengah system pemerintahan tidak ada yang sama. Dengan tegas Prof Mahfudz
menyatakan Indonesia sudah menggunakan system Khilafah al Indonesie, sudah
Islami.
Keempat, keyakinan Felix yang menyebut bendera Rasulullah
adalah seperti yang dibawa oleh mayoritas peserta Reuni 212 dipertanyakan
banyak pihak. Bahkan prof Nadirsyah Hosen mengupas dalam tentang hal itu dan
mempertanyakan kesimpulan Felix. Felix Siaw pun terjerembab dalam kesombongan
diri serta menyatakan orang paling tahu tentang Turki Utsmani. Dugaan saya
tentu hanya karena dia pernah menulis buku tentang itu. Padahal seperti kita
tahu kesombongan seperti itu dilarang dalam Islam. Apakah dia sangat yakin
tidak ada orang Indonesia yang pernah meneliti tentang hal itu? Bagaimana
dengan beberapa orang yang pernah kuliah disana, mengajar disana bahkan juga
melakukan penelitian serupa?
Kelima, Fachri Hamzah dan Sujiwo Tejo malah menyudutkan kubu
pro 212. Fachri menasehati Eggi dengan kesalahan menyebut kafir serta Sujiwo
Tejo mengungkapkan kalimat yang ditujukan pada Rocky Gerung memakai kunci kata
murid saya ada 2 yakni Cak Nun dan Gus Mus. Bagi yang faham itu kritikan sangat
pedas dan telak. Tampak Rocky tersenyum kecut sedangkan yang lain tersenyum
tanpa tahu maknanya.
Di akhir penutupan, Karni Ilyas terlihat tersenyum puas atas
suksesnya ILC kali ini yang menelanjangi kubu pro 212. Bagi awam, nampaknya
memang mereka memenangkan pertarungan tapi hingga H+3 acara itu, tiba-tiba bak
air bah membuka semua tabir argumentasi kubu pro 212 tertelan argumentasi
tersebut. Beruntungnya isu itu segera tertutupi pernyataan Donald Trump tentang
Jerussalem dan pergantian Panglima TNI. Bersyukurlah kawan.
0 komentar:
Posting Komentar