Persekusi dalam 1 bulan ini berulang kali disebut diberbagai
media baik televise, radio, media cetak hingga media elektronik. Dan silahkan
amati, hampir semua korban persekusi adalah perempuan maupun anak-anak.
Mengapa? Karena kelompok intoleran yang melakukan persekusi hanya berani pada
wanita dan anak-anak. Mereka sama sekali tidak menyentuh selain anak-anak dan
perempuan.
Berdasar data yang dikutip dari SAFENET (Southeast Asia
Freedom of Expression Network), dalam kurun 4 bulan atau sejak awal tahun sudah
ada 59 korban. Dan pada bulan Mei eskalasinya makin tinggi serta mengkhawatirkan.
Sasaran perempuan itu meski berpendidikan juga tidak ambil pusing, maklum cara
mereka keroyokan dan model intimidasi. Persekusi sendiri menurut KBBI yakni
bermakna pada pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga
dengan disakiti, dipersusah atau ditumpas.
Pelaku persekusi mayoritas adalah kelompok intoleran yang
sama sekali tidak bisa diajak dialog atau mau mendengar. Mereka cenderung mau
menang sendiri dan tidak melandaskan argumentasi yang jelas baik berdasar
undang-undang maupun agama. Jika jeli kita melihatnya persekusi dilakukan oleh
2 kelompok yakni kelompok intoleran serta kelompok bhineka. Mengapa kelompok
bhineka ikut melakukan persekusi dan siapa korbannya? Mereka ini murni
masyarakat yang hatinya tersakiti oleh tokoh atau orang yang terus menerus
menebarkan kebencian. Kedua korbannya yakni Fachri Hamzah dan Jonriah Ukur Ginting
alias Jonru Ginting.
Seperti kita tahu, Fachri Hamzah adalah Wakil Ketua DPR yang
tidak mewakili partai apapun (PKS sendiri tidak mengakui FH sebagai anggota
fraksi karena sudah dipecat) yang sering menebar permusuhan dalam setiap
statemennya. Selalu memojokkan pemerintah, membela kelompok yang melakukan terror
termasuk beberapa kali mempertanyakan terorisme, tidak mengayomi sebagai wakil
rakyat dan sebagainya. Sementara Jonru salah satu medsos selebritas yang hampir
mayoritas postingannya menyudutkan pemerintah. Bisa diibaratkan Jonru merasa
tinggal di negara yang tepat. Bukan hanya itu, selalu mendiskreditkan NU, Ansor
maupun gerakan masyarakat yang menjunjung tinggi keberagaman.
Maka ketika Fachri turun di Bandara Sam Ratulangi pada 14
Mei 2017 seluruh sudut bandara dipenuhi masyarakat dan memaksa wakil rakyat itu
kembali ke Jakarta. Sementara Jonru diusir dari Pelabuhan Lorens Says pulau
Pemana Kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur 26 Mei 2017. Kelompok Bhinneka ini
mengusir orang-orang yang memang menjadi symbol atau motor dari kelompok
intoleran. Lihat saja status-status permusuhan yang diucapkan Fachri Hamzah di media massa maupun Jonru di Fanspage miliknya menimbulkan permusuhan. Jangankan dengan pihak lain, Fachri dengan PKS saja sudah tidak dianggap. Pun dengan Jonru yang menjelek-jelekkan sang mentor menulisnya sendiri. Coba bandingkan persekusi yang dilakukan oleh kelompok intoleran,
korbannya wanita bahkan anak-anak dengan model keroyokan bahkan intimidasi. Jangankan tokoh, mereka orang biasa yang mungkin friendlistnya di sosmed hanya ratusan saja.
Sebut saja ibu Indri Sorraya Zulkarnain, mereka tidak
sekedar memaksa si ibu ini untuk menandatangani surat pernyataan tapi massa
yang berada dilingkungan rumahnya mencapai 60 orang. Bukan hanya itu, perempuan
bertempat tinggal di Tangerang ini mendapat berbagai ancaman melalui akun medsosnya.
Padahal Sorraya hanya mengkritik pimpinan FPI Rizieq Shihab yang sikapnya tidak
bertanggungjawab atas kasus yang membelitnya. Contoh lain, Nurul Indra yang
warga Batam melakukan aksi menyalakan seorang diri. Dia dibully habis-habisan,
diancam, dituduh bernama Deborah, dituduh non muslim bahkan mereka siap
menggruduk ke rumahnya. Namun Nurul tak bergeming, tetap pada pendiriannya.
Yang paling parah tentu saja yang menimpa dokter Fiera
Lovita dan Putra Mario Alfian. Dokter Fiera meski sudah menandatangani surat
pernyataan, intimidasi diseputar rumahnya Solok Sumatera Barat hingga dini
hari. Sang Gubernur, Irwan Prayitno yang merupakan kader PKS membantah adanya
intimidasi dan masalah sudah selesai. Faktanya, dokter Fiera harus diungsikan
keluar Sumbar hingga diamankan di Jakarta. Padahal dokter Fiera memiliki 2 anak
kecil serta Muslim dan pelaku intimidasi juga beragama yang sama. Kasus ini
sedang dikembangkan dan Mabes Polri bersikap tegas, mencopot Kapolres Solok
karena tidak mampu melindungi warga dari tindakan sewenang-wenang.
Untuk kasus Putra Mario Alfian perlakuan kekerasan jelas
terjadi dan bisa disaksikan dalam video yang menyebar kemana-mana. Dua pelaku
penganiayaan terhadap bocah berusia 15 tahun itu sudah ditangkap polisi. Mereka
melakukan persekusi berawal dari status Mario yang memojokkan pimpinan FPI.
Padahal status Mario itu karena menjawab diskusi dengan temannya dan status itu
si screenshoot lalu disebarkan. Dikepung lebih dari 40 orang, Mario diminta
keluar rumah kemudian dipukul. Dibawa ke sebuah tempat dan diintimidasi serta
diminta membuat surat pernyataan. Bukan hanya itu, ibunda Mario, janda beranak
6 dipecat dari tempatnya bekerja. Mario sendiri diberhentikan dari sekolahnya.
Di duga toko dan tempat sekolah itu takut jadi korban gerudukan kelompok
intoleran.
Dengan demikian jelas, bahwa kelompok intoleran merupakan
kelompok yang hobinya keroyokan, tidak memakai ajaran Islam, suka memaksa, mau
menang sendiri, tidak memakai dialog dan lain sebagainya. Yang mereka lakukan
berbeda dengan yang dicontohkan oleh Barisan Ansor Serbaguna alias Banser.
Beberapa penghina ulama NU, diajak tabayyun ke kyai yang bersangkutan untuk
meminta maaf secara langsung. Berdialog, ngobrol, makan-makan dan dinasehati. Lihat
saja beberapa video yang dilakukan Ansor. Tidak ada teriak-teriak, memaki,
mengancam apalagi melakukan tindak kekerasan. Ansor melakukan tabayun sesuai
yang diajarkan oleh Rasulullah karena memang tauladan mereka. Lantas kelompok
intoleran itu melakukan model tabayyun dengan mencaci maki, menggertak,
menghina hingga melakukan kekerasan itu adakah contoh yang dianut dalam Islam?
Tabayyun ajaran mana yang kau anut wahai kaum Intoleran?