Jumat, 04 Desember 2015

Mengikat Komitmen Calon Kepala Daerah Kabupaten Gunungkidul

|0 komentar
Tanggal 9 Desember merupakan hari penting bagi beberapa wilayah yang bakal menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah. Salah satu daerah yang akan menggelar Pilkada yakni Kabupaten Gunungkidul Provinsi DIY. Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) sebagai salah satu lembaga yang banyak melakukan pemberdayaan masyarakat di Gunungkidul melihat peluang strategis. Kesempatan untuk mengikat komitmen antar kontestan yang bakal bertarung.

Berbalut sarasehan pendidikan, diambillah tema "Pendidikan Gunungkidul Mau dibawa Kemana?". Seperti kita tahu, Gunungkidul merupakan salah satu wilayah yang kondisi geografisnya beragam. Ada bibir pantai, perbukitan maupun perkampungan biasa. Sehingga membedah pendidikan merupakan hal yang cukup strategis.

Dalam pertarungan 9 desember mendatang ada 4 kandidat yang bertarung yakni Hj Badingah, S Sos yang berpasangan dengan Dr Drs Immawan Wahyudi, Benyamin Sudarmadi dengan Mustangid, H Djangkung Sudjarwadi dengan Endah Subekti dan terakhir pasangan H Subardi TS dengan Wahyu Purwanto. Dengan adanya 4 pasang calon yang bertarung menandakan bahwa Gunungkidul cukup strategis ditambah lagi potensi pariwisatanya yang tumbuh sangat pesat.

Maka dari itu, sebelum pertarungan sesungguhnya digelar YSKK menggandeng Patembayan Among Siswo (PAS) Gunungkidul merasa perlu membedah perspektif pasangan calon, mendalami visi misi serta meminta mereka mau menandatangani komitmen pada bidang pendidikan. PAS GK merupakan aliansi berbagai organisasi masyarakat yang peduli pada pendidikan di Gunungkidul baik ormas keagamaan, organisasi perempuan, senat mahasiswa, aktivis LSM, Komite Sekolah dan lainnya.

Bertempat di Balai Sewoko Prodjo, pada Jum'at 20 November 2015 diselenggarakan Sarasehan Pendidikan tersebut. Rupanya 3 kandidat melihat forum ini cukup strategis sehingga hadir dalam pertemuan, sedang sang incumbent Hj Badingah maupun Wakilnya, Immawan hingga acara selesai tidak muncul.

Benyamin Sudarmadi menekankan pada tiga hal yakni 1) Memberikan kemudahan layanan 
pendidikan yang murah dan berkualitas, termasuk pendidikan ketrampilan; 2) Mendorong 
Perda Pendidikan Wajib Belajar 12 tahun (pendidikan gratis) dan memfokuskan pada 
pendidikan ketrampilan sejak jenjang SMP; 3) Membangun layanan teknologi informasi berupa 
jaringan internet dan perpustakaan ditingkat desa maupun kecamatan.

Sementara H Djangkung menegaskan untuk berkomitmen 1) Peningkatan kualitas pendidikan 
baik tingkat PAUD, TK, wajib belajar 12 tahun, pendidikan non formal, mutu pendidik dan 
tenaga kependidikan, jaminan pendidikan; 2) Perda Pendidikan harus mampu mengakomodasi 
kepentingan pendidikan daerah dan masuk dalam Prolegda 2016 dengan target 3 bulan bisa 
ditetapkan; 3) Memberi jaminan keberlangsungan PAUD yang menjadi tanggungjawab 
Pemerintah Desa.

Tidak berbeda jauh, H Subardi fokus pada 1) Meningkatkan budaya belajar yang didukung 
oleh  fasilitas pendidikan yang berkualitas, terjangkau dan merata bagi seluruh lapisan 
masyarakat yang berbasis potensi daerah; 2) Perda Pendidikan harus diwujudkan termasuk 
mereformasi birokrasi pendidikan serta membentuk Unit Penyuluhan Masyarakat tentang 
Pentingnya Pendidikan; 3) Pendidikan harus terintegrasi sejak SD – hingga perguruan tinggi 
dan anti diskriminasi termasuk masyarakat diffable; 4) Membangun akademi komunitas bagi 
peningkatan sumberdaya pemuda.
 

Selasa, 01 Desember 2015

Akademisi dan Konsultan Kemdikbud Sepakat Revisi PP 17/2010 pada Klausul Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah

|0 komentar
Alokasi anggaran pendidikan dari APBN maupun APBD kini sudah mencapai 20 persen. Bahkan dibeberapa daerah sudah lebih dari ketentuan. Meski demikian tata kelola sekolah hingga saat ini masih perlu dibenahi. Salah satu indikatornya masih maraknya pemberitaan berbagai pungutan, iuran atau pembelian buku, seragam dengan dalih peningkatan kualitas keluaran pendidikan.

Untuk mendorong tata kelola pendidikan yang baik salah satunya memningkatkan partisipasi masyarakat. Sekolah sendiri sesuai amanat UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mensyaratkan pelibatan masyarakat baik melalui Dewan Pendidikan serta komite sekolah.
Pada Bab XV Pasal 54 tentang Peran Serta Masyarakat  dalam Pendidikan menegaskan bahwa: (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.

Sayangnya berdasar penelitian yang dilakukan Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) bulan September - Oktober 2015 di 5 provinsi (Jateng, DIY, Lampung, Banten dan NTT) menunjukkan kondisi bahwa peran dan fungsi Dewan Pendidikan maupun Komite Sekolah belum optimal. Prof Sudjarwo, mantan Dewan Pendidikan Provinsi Lampung dan merupakan akademisi Unila menyatakan PP 17/2010 yang terkait DP dan KS layak direvisi. Klausul yang dijadikan sasaran tentang sistem pemilihan, sistem keanggotaan, penganggaran, tata laksana maupun pengawasannya.

Tanpa pembenahan di 5 hal itu, sekolah tidak akan dikelola dengan prinsip transparan. Sementara panelis dari Dewan Pendidikan Kota Bandarlampung, Dr Syarifudin Dahlan mengungkapkan partisipasi masyarakat jadi bagian penting tata kelola sekolah. Padahal pendidikan menjadi tonggak sumberdaya utama sebuah bangsa. Panelis dari Kemdikbud, Drs Suparlan MPd bersepakat terhadap keduanya dan revisi PP 17/2010 menjadi keniscayaan.

Pernyataan ketiganya terungkap di acara Diskusi Publik Naskah Kebijakan Revisi PP No 17/2010 yang diadakan YSKK pada Senin 23 November di Hotel Inna Eight Bandarlampung. Suroto sebagai presenter hasil penelitian yang juga Direktur YSKK menjelaskan pihaknya akan mencatat dan memasukkan hasil Diskusi Publik sebagai bagian yang tak terpisahkan untuk diajukan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada medio pertengahan Desember 2015.

Salah satu isu cukup krusial dalam Naskah Kebijakan tersebut yakni ketiadaan anggaran bagi DP dan KS yang dialokasikan baik dari APBN maupun APBD. Dampaknya institusi tersebut bekerja seadanya bahkan ada stigma sebagai lembaga stempel semata. Anggaran operasional hanya salah satu titik yang patut untuk dimasukkan dalam regulasi sehingga dimasa mendatang komite sekolah dan dewan pendidikan dapat berperan optimal sebagaimana diamanatkan dalam Permendikbud no 44 Tahun 2002.