Di era serba keterbukaan ini seharusnya menjadi perhatian banyak pihak. Terutama bagi pengelola uang negara karena dengan transparansi sebenarnya memenuhi hak warga masyarakat untuk tahu, terbuka dan akuntabel (bisa dipertanggungjawabkan). Salah satu dari berbagai anggaran pemerintah yang semestinya itu bisa diakses dan transparan yakni Bantuan Operasional Siswa (BOS). Kurun sebulan terakhir pada medio Juli - Agustus, Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) Surakarta beserta puluhan NGO mencoba melakukan uji akses terhadap dana BOS.
Hasilnya sungguh mencengangkan. Masih terdapat banyak sekolah yang jangankan memberikan SPJ penggunaan dana BOS, memberi jawaban atas surat permohonan akses dana BOS saja tidak. Uji akses itu dilakukan terhadap 112 SD dan 110 SMP di 8 Propinsi yakni Jateng, Jatim, Jabar, DIY, DKI, Banten, Aceh dan Lampung. Jumlah sekolah yang diuji akses yaitu Propinsi Jawa Tengah (39 SD dan 41 SMP), DIY (22 SD dan 23 SMP), Jawa Timur (16 SD dan 14 SMP), Jawa Barat (10 SD dan 10 SMP), DKI (9 SD dan 10 SMP), Lampung serta Aceh (masing-masing 5 SD dan 5 SMP) serta Banten (4 SD dan 4 SMP).
Uji akses ini sekaligus sebagai upaya pembuktian difahaminya UU No 14 Tahun 2008 Tentang Kebebasan Informasi Publik sebagai hak warga. Permohonan yang diajukan dari jaringan NGO tersebut ada yang atas nama organisasi berbadan hukum (56 persen), perseorangan mewakili dirinya sendiri (29 persen) serta perseorangan mewakili kelompok (15 persen). Mayoritas permohonan dikirimkan langsung (90 persen) dan sisanya melalui surat menyurat. Dari ratusan permohonan tersebut ternyata sikap sekolah beragam.
Jumlah terbanyak yakni diam membisu (22 persen), dialihkan (18 persen), penolakan lisan (15 persen), informasi diterima (13 persen), menolak untuk menerima (12 persen), Informasi tidak ada (10 persen), Jawaban tidak memadai (6 persen), akses parsial (3 persen) serta penolakan tertulis (1 persen). Sementara dari 22 persen jawaban diam membisu banyak terjadi di DKI Jakarta, Aceh, Jatim, Banten dan DIY paling minim.
Hasil ini menandakan proses tranformasi dan pemahaman atas undang-undang tidak cukup dikuasai oleh sekolah. Padahal pendidikan di Indonesia mengelola anggaran terbesar dibandingkan sektor lain sesuai mandat UUD. Anggaran besar tidak hanya untuk sekolah, siswa, peningkatan mutu tetapi hingga gaji-gaji guru sering mendominasi mayoritas anggaran. Sayangnya besarnya anggaran tidak dibarengi dengan sikap yang terbuka dan transparan. Sekolah merupakan salah satu institusi yang anggarannya didapat dari pusat, propinsi dan kabupaten/kota.
Mendikbud Muhammad Nuh perlu mendorong keterbukaan sekolah supaya pendidikan tidak sekedar gratis namun berguna bagi semua. Biarlah sekolah swasta mahal asal sekolah negeri memang untuk warga. Negara ini bukan negara Sosialis apalagi Komunis namun berlandaskan Pancasila sehingga yang disokong adalah masyarakat miskin. Tidak ada prinsip sama rata, sama rasa atau adil itu harus sama. Sudah selayaknya sekolah berubah.
Hasilnya sungguh mencengangkan. Masih terdapat banyak sekolah yang jangankan memberikan SPJ penggunaan dana BOS, memberi jawaban atas surat permohonan akses dana BOS saja tidak. Uji akses itu dilakukan terhadap 112 SD dan 110 SMP di 8 Propinsi yakni Jateng, Jatim, Jabar, DIY, DKI, Banten, Aceh dan Lampung. Jumlah sekolah yang diuji akses yaitu Propinsi Jawa Tengah (39 SD dan 41 SMP), DIY (22 SD dan 23 SMP), Jawa Timur (16 SD dan 14 SMP), Jawa Barat (10 SD dan 10 SMP), DKI (9 SD dan 10 SMP), Lampung serta Aceh (masing-masing 5 SD dan 5 SMP) serta Banten (4 SD dan 4 SMP).
Ilustrasi |
Uji akses ini sekaligus sebagai upaya pembuktian difahaminya UU No 14 Tahun 2008 Tentang Kebebasan Informasi Publik sebagai hak warga. Permohonan yang diajukan dari jaringan NGO tersebut ada yang atas nama organisasi berbadan hukum (56 persen), perseorangan mewakili dirinya sendiri (29 persen) serta perseorangan mewakili kelompok (15 persen). Mayoritas permohonan dikirimkan langsung (90 persen) dan sisanya melalui surat menyurat. Dari ratusan permohonan tersebut ternyata sikap sekolah beragam.
Jumlah terbanyak yakni diam membisu (22 persen), dialihkan (18 persen), penolakan lisan (15 persen), informasi diterima (13 persen), menolak untuk menerima (12 persen), Informasi tidak ada (10 persen), Jawaban tidak memadai (6 persen), akses parsial (3 persen) serta penolakan tertulis (1 persen). Sementara dari 22 persen jawaban diam membisu banyak terjadi di DKI Jakarta, Aceh, Jatim, Banten dan DIY paling minim.
Hasil ini menandakan proses tranformasi dan pemahaman atas undang-undang tidak cukup dikuasai oleh sekolah. Padahal pendidikan di Indonesia mengelola anggaran terbesar dibandingkan sektor lain sesuai mandat UUD. Anggaran besar tidak hanya untuk sekolah, siswa, peningkatan mutu tetapi hingga gaji-gaji guru sering mendominasi mayoritas anggaran. Sayangnya besarnya anggaran tidak dibarengi dengan sikap yang terbuka dan transparan. Sekolah merupakan salah satu institusi yang anggarannya didapat dari pusat, propinsi dan kabupaten/kota.
Mendikbud Muhammad Nuh perlu mendorong keterbukaan sekolah supaya pendidikan tidak sekedar gratis namun berguna bagi semua. Biarlah sekolah swasta mahal asal sekolah negeri memang untuk warga. Negara ini bukan negara Sosialis apalagi Komunis namun berlandaskan Pancasila sehingga yang disokong adalah masyarakat miskin. Tidak ada prinsip sama rata, sama rasa atau adil itu harus sama. Sudah selayaknya sekolah berubah.