Upah pungut yang pada tahun 2005 hingga 2010 banyak bermasalah diberbagai daerah ternyata masih berlaku hingga kini. Padahal kurun waktu itu, tidak sedikit kepala daerah diseret ke meja hijau dikarenakan menyalahgunakan upah pungut. Salah satunya adalah kasus korupsi Syaukani Hasan Rais yang didakwa menerima upah pungut dana perimbangan minyak dan gas hingga Rp 93 M. Hanya saja sekarang istilahnya berganti menjadi insentif pemungutan pajak dan retribusi daerah.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di PP ini cukup banyak berisi hal-hal yang mengatur bagaimana insentif ini dipungut dan dibagikan tidak hanya ke eksekutif namun membuka peluang bagi pihak lain untuk menerima. Agak aneh tetapi pada pasal 3 ayat (2) e tertulis bahwa penerima insentif termasuk pihak lain yang membantu instansi pelaksana pemungut pajak dan retribusi. Contoh sederhana misalnya retribusi parkir sah diberikan pada pengelola parkir.
Sedangkan kepala daerah, wakil kepala daerah dan sekretaris daerah meski tidak secara langsung berkutat dalam pemungutan pajak serta retribusi, dia berhak menerimanya (pasal 3 ayat {2} huruf b dan c). Selain itu kepala desa/lurah dan camat diberikan insentif hanya terkait Pajak Bumi dan Bangunan. Instansi bersangkutan atau petugas pemungut otomatis juga mendapat alokasi insentif (huruf a). Sementara besaran insentif yang bisa diambil paling tinggi hanya 5 persen (untuk kabupaten/kota). Meski tertulis paling tinggi, banyak daerah menetapkan insentif sebesar itu.
Besaran 5 persen itu tertulis dari rencana pendapatan pajak dan retribusi bukan dari realisasi. Sehingga meski belum ada perhitungan berapa dana yang masuk ke kas daerah, kepala daerah bisa menerima dana insentif tersebut. Termasuk bila realisasi pendapatan tidak sesuai rencana (lebih rendah) maka tidak membatalkan insentif tersebut (Pasal 4 ayat 6).
Melihat total insentif sebesar 5 persen dari pendapatan pajak daerah serta retribusi daerah, nilai itu cukup besar. Solo misalnya yang dalam kurun tiga tahun belakangan APBD melonjak drastis. Lihat saja pendapatan pajaknya mencapai Rp 53,5 M (2010) kemudian Rp 90,8 M (2011) dan target tahun ini Rp 106 M. Sedangkan retribusi menyumbangkan Rp 46,9 naik menjadi Rp 49 M dan terakhir ditarget Rp 56 M. Dari penjumlahan keduanya maka setidaknya insentif Rp 5 M (2010), Rp 6,9 M (2011) dan Rp 8,1 M Tahun 2012.
Artinya tiap bulan ada anggaran Rp 418 juta (2010), Rp 583 juta (2011) dan Rp 676 juta (2012) yang dibagikan pada kepala daerah, wakil kepala daerah, sekretaris daerah, kepala SKPD berkaitan dan staf pemungut insentif. Sebuah angka yang mengejutkan dan luar biasa besarnya. Asumsi saja bila setiap petugas pemungut hingga kepala daerah dihitung jumlah personelnya apakah akan mencapai 418 orang? Kalau toh pun iya, masak kepala daerah mendapat bagian Rp 1 juta sama seperti petugas pemungut?
Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di PP ini cukup banyak berisi hal-hal yang mengatur bagaimana insentif ini dipungut dan dibagikan tidak hanya ke eksekutif namun membuka peluang bagi pihak lain untuk menerima. Agak aneh tetapi pada pasal 3 ayat (2) e tertulis bahwa penerima insentif termasuk pihak lain yang membantu instansi pelaksana pemungut pajak dan retribusi. Contoh sederhana misalnya retribusi parkir sah diberikan pada pengelola parkir.
Pasar Gede Solo salah satu kawasan penyumbang retribusi (Photo : ardian) |
Besaran 5 persen itu tertulis dari rencana pendapatan pajak dan retribusi bukan dari realisasi. Sehingga meski belum ada perhitungan berapa dana yang masuk ke kas daerah, kepala daerah bisa menerima dana insentif tersebut. Termasuk bila realisasi pendapatan tidak sesuai rencana (lebih rendah) maka tidak membatalkan insentif tersebut (Pasal 4 ayat 6).
Melihat total insentif sebesar 5 persen dari pendapatan pajak daerah serta retribusi daerah, nilai itu cukup besar. Solo misalnya yang dalam kurun tiga tahun belakangan APBD melonjak drastis. Lihat saja pendapatan pajaknya mencapai Rp 53,5 M (2010) kemudian Rp 90,8 M (2011) dan target tahun ini Rp 106 M. Sedangkan retribusi menyumbangkan Rp 46,9 naik menjadi Rp 49 M dan terakhir ditarget Rp 56 M. Dari penjumlahan keduanya maka setidaknya insentif Rp 5 M (2010), Rp 6,9 M (2011) dan Rp 8,1 M Tahun 2012.
Artinya tiap bulan ada anggaran Rp 418 juta (2010), Rp 583 juta (2011) dan Rp 676 juta (2012) yang dibagikan pada kepala daerah, wakil kepala daerah, sekretaris daerah, kepala SKPD berkaitan dan staf pemungut insentif. Sebuah angka yang mengejutkan dan luar biasa besarnya. Asumsi saja bila setiap petugas pemungut hingga kepala daerah dihitung jumlah personelnya apakah akan mencapai 418 orang? Kalau toh pun iya, masak kepala daerah mendapat bagian Rp 1 juta sama seperti petugas pemungut?