Oleh Muhammad Histiraludin
Jejaring pendidikan nasional merupakan upaya dari pemerintah terutama Departemen Pendidikan Nasional yang diharapkan dapat mempercepat pengembangan integrasi Teknologi Informasi dan Komunikasi pada program pemerintah sektor pendidikan untuk kemajuan Pendidikan Indonesia saat ini dan di masa depan. Pada sisi lain, upaya peningkatan kualitas pendidikan dijabarkan dalam 8 Standar Pendidikan Nasional seperti yang diatur oleh Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 35 dan kemudian dipertegas dalam PP No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Konsekuensi atas penetapan PP tersebut, semua penyelenggaraan harus memenuhi (1) standar kompetensi lulusan, (2) standar isi, (3) standar proses, (4) standar sarana dan prasarana, (5) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (6) standar manajemen, (7) standar pembiayaan serta (8) standar penilaian.
Untuk menunjang standar sarana dan prasarana, Depdiknas menyelenggarakan Jardiknas untuk seluruh Indonesia. Penyelenggaraan Jardiknas tidak hanya digunakan mensupport guru dan peserta didik terutama dalam hal ketersediaan bahan namun juga sekaligus dimaksudkan untuk membantu peningkatan standar manajemen sekolah. Yang jamak diketahui sejak penetapan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen kenyataannya belum mampu meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Oleh karena itu Jardiknas dilihat dari aspek maksud dan tujuannya patut diapresiasi dan didukung supaya mampu menghasilkan anak didik yang tangguh dan mampu bersaing dalam era globalisasi.
Yang dipercaya untuk pengelolaan Jardiknas yakni Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi (Pustekkom) Depdiknas sejak Tahun 2007 setelah sebelumnya dikelola oleh tiap direktorat di Departemen Pendidikan. Untuk perangkat utama Jardiknas ini, Pustekkom menyediakan atau menyewa bandwith dari provider-provider besar di Indonesia untuk dialokasikan ke daerah atau sekolah-sekolah. Dalam pelaksanaannya, jejaring ini dibagi menjadi 4 (empat) zona jaringan, yaitu: Zona Kantor Dinas Pendidikan, Zona Perguruan Tinggi (INHERENT), Zona Sekolah dan Zona Personal. Pembagian zona didasarkan pada kondisi geografis, ketersediaan teknologi, skala kebutuhan, fungsi dan manfaat program Jardiknas untuk setiap institusi dan komunitas pendidikan.
Fitur-fitur yang disediakan terbagi dalam 2 besaran yaitu e-pembelajaran dan e-administrasi yang diharapkan mampu membantu siswa maupun sekolah. Di e-pembelajaran tersedia buku sekolah elektronik atau buku pelajaran yang bisa diunduh oleh siapapun secara gratis karena pemerintah telah membeli hak ciptanya ratusan juta rupiah tiap judul. Di e-administrasi juga dimaksudkan agar terjadi peningkatan kapasitas menejemen sekolah. Anggaran selama 3 tahun terakhir yang dianggarkan sangat besar.
No Kegiatan Anggaran
2007 2008 2009
1 E Administrasi 258.463.016.000 233.255.346.000 263.755.346.000
2 E-Learning 155.075.865.000 285.800.000.000 360.000.000.000
3 Sarana 336.196.375.000 1.547.436.500.000 1.901.000.000.000
Jumlah 749.735.616.000 2.066.491.846.000 2.524.755.346.000
Sumber : Laporan hasil kerja Panja TIK Komisi X DPR RI dan Tim TIK Depdiknas 2007
Penerima Manfaat
Bila dilihat dari sisi anggaran, terlihat budget yang bisa dikatakan besar meski di tahun 2010 dana alokasi jejaring pendidikan nasional (Jardiknas) senilai Rp 247.255.586.000. Artinya ada penurunan anggaran yang drastis. Alokasi anggaran terbesar yakni pada sewa bandwith senilai Rp 190 M dan nilai ini terbesar sejak tahun 2007. Artinya dengan alokasi dana ini terpaut sedikit dengan bea siswa miskin siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI) senilai Rp 230 M.
Meski telah menghabiskan anggaran ratusan milyar tiap tahun, bukan berarti semuanya berjalan lancar. Sudah banyak yang mengadu terkait sulitnya mengakses fasilitas yang disediakan. Misalnya kendala mengunduh BSE baik karena lambat atau tiba-tiba putusnya akses jaringan, Bank soal yang disediakan pun sulit didapat oleh para pengguna. Salah seorang pakar teknologi informasi, Prof Marsudi W Kisworo saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi X menegaskan bahwa fasilitas laboratorium internet untuk pendidikan dasar tidak sesuai. Karena pada tingkat SD-SMP, pembelajaran tidak dapat tergantung pada media namun pada seluruh perilaku guru.
Pada aspek pengelola Jardiknas tingkat pusat sendiri, pemahaman atas manajemen masih berorientasi pada output bukan pada outcame bahkan impact. Mereka selalu membanggakan sudah membuka jaringan di berapa sekolah, sudah melatih perangkat di daerah berapa ribu guru atau tiap hari di akses berapa puluhribu siswa. Padahal yang jauh lebih penting memotret outcame dan dampak adanya Jardiknas ini. Bila tujuannya meningkatkan kualitas, sudah semestinya ada indikator yang bisa dilihat dari hasil pengelolaan Jardiknas. Belum ada penelitian independen atas pengaruh program Jardiknas pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sayangnya hingga tahun 2009, berdasar data-data yang ditunjukkan oleh Pustekkom terhadap pemanfaatan layanan ini masih minim. Misalnya saja untuk e-edukasi yang berisi bank soal, artikel, profil sekolah, peningkatan kompetensi guru dinyatakan diakses oleh 20.000 pengunjung/hari. Kemudian buku sekolah elektronik yang berisi materi-materi pelajaran sekolah dikunjungi 46.542 orang/hari, sicerdik berisi berbagai konsep cyber school hanya dilihat 2.332 orang perbulan. Tentu jumlah yang sangat tidak sebanding dengan data siswa maupun guru di Indonesia yang mencapai 50.954.358 siswa (usia 0-18 tahun) dan 3.558.231 guru TK-SMA (berdasarkan data pokok pendidikan 2007/2008).
Kondisi berbagai daerahpun tidak bisa dianggap sama bahwa semua sekolah telah siap dengan program Jardiknas. Tidak usah kita membayangkan bagaimana dengan saudara kita di Papua, berbagai pelosok atau pedalaman di Jawa saja masih asing dengan computer apalagi internet. Sehingga tak aneh bila di pelosok pedesaan kita menemukan computer yang berdebu atau justru masih tertutup kardus dan sama sekali belum dibuka. Di Kabupaten Sragen Jawa Tengah saja, mendorong kepala desa untuk menggunakan computer, Pemda menyediakan satu orang tiap desa membantu menangani, mengajari bahkan merawat computer tersebut. Berbagai wilayah yang lain bahkan tidak ada energy listrik yang cukup tersedia sehingga justru ketika dipasang computer tidak bisa digunakan untuk aktivitas lainnya.
Tugas Penting Pengelola Jardiknas
Maka dari itu, adanya Jardiknas sebenarnya cukup potensial menjadi supporting sistem pendidikan di Indonesia. Keberadaannya memang sangat penting dan perlu di jaga keberlangsungannya. Jardiknas mestinya tidak hanya menjadi penyedia jasa layanan pendidikan tetapi justru didorong menjadi dinamisator pendidikan yang memanfaatkan perkembangan teknologi.
Kedepan, pengelola Jardiknas dalam hal ini Pustekkom harus melakukan terobosan-terobosan penting tidak terkesan ini semata-mata proyek alias business as usual. Langkah tersebut yaitu pertama perlunya strategic plan pengelolaan Jardiknas dan bukan sekedar IT (Information Technologi) plan semata. Kedua, dibutuhkan adanya monitoring dan evaluasi berkala bagi penyelenggaraan Jardiknas oleh pihak independen untuk mengetahui dan membenahi kekurangan yang ada. Sampai saat ini, belum pernah dilakukan evaluasi atas pelaksanaan program Jardiknas. Termasuk juga untuk melihat perlakuan-perlakuan terhadap sekolah yang tentu saja berbeda. Untuk sekolah perkotaan misalnya ada standar tertentu bagi penyediaan Jardiknas yang berbeda dengan sekolah di pedesaan atau pedalaman. Demikian juga untuk level SD, manajemen pengajaran serta ilmu yang disampaikan sampai pada level tertentu yang tidak sama dengan level SMU maupun perguruan tinggi.
Ketiga, adanya survey dan pemetaan atas dampak pemasangan Jardiknas hingga akhir tahun 2009. Pemetaan ini untuk mendapatkan potret dampak dan penyebab adanya dampak itu. Pemetaan ini penting dalam kerangka input penyusunan strategic plan. Keempat, memasukkan Teknologi Informasi dan Komputer (TIK) masuk dalam KBM (kegiatan belajar mengajar) di sekolah-sekolah. Agar TIK tidak dimaknai sempit sebagai mata pelajaran komputer dan internet tetapi tiap mata pelajaran dapat menggunakan internet. Ada integrasi antara TIK dengan metode pembelajaran sekolah.
Yang mendasar sebenarnya adalah membudayakan teknologi bagi masyarakat. Sebab teknologi informasi bagi masyarakat Indonesia nampaknya belum menjadi kebutuhan penting terutama bagi masyarakat pedesaan atau pedalaman. Teknologi komputerisasi tumbuh jauh lebih lambat dibanding alat-alat elektronik. Bila media elektronik seperti televisi, radio maupun telepon genggam relative lebih cepat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan teknologi internet mudah bagi masyarakat di perkotaan atau cenderung bisa diterima di level menengah keatas. Maka dari itu, pemerintah mestinya tidak hanya mengandalkan Depdiknas untuk menyebarkan Jardiknas namun beriringan dengan departemen lain menumbuhkan budaya melek teknologi yang ramah terhadap siapapun supaya dampak yang diharapkan dari program jejaring pendidikan nasional benar-benar terwujud, semoga.
Penulis adalah Staff ahli anggota DPR RI Komisi X Periode 2010-2014
Tulisan ini adalah pendapat pribadi