Jumat, 24 Oktober 2008

Polemik Galabo, Dibiarkan atau Dibenahi?

Oleh : M Histiraludin*)

Gladak Langen Bogan atau lebih dikenal dengan Galabo merupakan tempat wisata kuliner baru di Kota Solo. Bila kita cermati dalam 6 bulan terkahir, lokasi itu ramai dikunjungi wisatawan yang ingin memanjakan lidah mereka. Baik wisatawan local maupun domestic banyak berdatangan untuk menikmati hidangan khas dari Solo. Ratusan sepeda motor dan puluhan mobil berjajar ditemat parkir di seputaran gladak mengantar sang pemilik menyantap makanan yang disajikan. Pusat kuliner baru itu nyaris tak pernah sepi dari pengunjung. Namun beberapa hari terakhir ini, berbagai media di Kota Solo mengupas kontroversi seputar pungutan retribusi ditempat itu. Data yang disajikanpun sangat mengejutkan, dana yang ditarik dari pedagang ternyata tak disetorkan ke Pemkot Solo alias dinikmati oleh pengelola.

Siapa pengelola, dari mana dia mendapat mandate dan atas dasar apa sekelompok orang mengatasnamakan pengelola dapat memungut retribusi pedagang. Berdasar statement dari plt Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal (Disperindag & PM) Saryanto Joko Pangarso, sudah ada ada kesepakatan awal antara Pengelola dengan Pemkot bahwa pendapatan Galabo merupakan hak pengelola sepenuhnya (Solopos, 21/10/08). Disitu tidak ada kesepakatan hitam putih perjanjian pelimpahan pengelolaan. Disamping itu, muncul pertanyaan, Pemkot akan mendapat keuntungan apa. Sungguh hal yang aneh. Berdasarkan data yang didapat dari Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) Kota Surakarta Tahun Anggaran 2007 disebutkan, untuk pengadaan fasilitas di Galabo menghabiskan dana lebih dari Rp 1 milyar. Sebagian dana itu digunakan untuk Kanopi, gerobak, meja kayu, toilet berjalan, pengadaan pakaian kerja lapangan dan lain sebagainya (lihat table 1). Hal itu menandakan bahwa anggaran yang dipakai tentu saja memakai APBD alias dana publik.

Tabel 1
Penggunaan Dana Untuk Fasilitas Galabo

No    Pengadaan Pusat Jajanan Malam    Nominal
1    Kanopi Shelter    Rp     920.000.000,00
2    Pengadaan Grobak    Rp     118.200.000,00
3    Pengadaan Meja Kayu    Rp       35.000.000,00
4    Toilet Berjalan    Rp       96.750.000,00
    Jumlah    Rp  1.169.950.000,00
Sumber : LHP BPK Kota Surakarta TA 2007

Selain mendapat fasilitas yang lumayan, para pedagang masih mendapat keistimewaan yang lain diantaranya penutupan akses jalan, pengamanan yang lebih ketat, pengaturan arus lalu lintas yang melibatkan DLLAJ dan fasilitas tambahan lain. Bandingkan dengan beberapa lokasi para pedagang kaki lima (PKL) yang dibiarkan begitu saja misalnya dikawasan timur Solo Square, belakang stadion Manahan bahkan PKL di city walk serta kawasan lain. Mereka tidak mendapat keistimewaan yang lain. Artinya perbedaan perlakuan atau diskriminasi ini menimbulkan berbagai pertanyaan dikalangan pelaku usaha sendiri. Seharusnya Pemkot tidak membedakan pelaku usaha agar perkembangan ke depan tidak menyimpan konflik.

Potensi pemasukan yang bisa didapat Pemkot dari Galabo sendiri sebenarnya cukup besar. Setidaknya perbulan tiap pedagang mengeluarkan anggaran Rp 528.000 (lihat table 2). Bila dikalikan jumlah pedagang yang mencapai jumlah 75 pedagang akan ada potensi Rp 39.600.000 atau Rp 475.000.000 untuk 1 tahun. Bandingkan dengan pemasukan dari para PKL yang perhari pungutannya Rp 400 – Rp 500/hari. Bila dihitung, akan dibutuhkan 2.638 PKL yang harus ditarik tiap harinya untuk mencapai pendapatan yang sama. Dengan jumlah 5.817 PKL, berarti pemasukan Galabo mencapai separuhnya. Pedagang Galabo sendiri tidak menolak pungutan dari pengelola meskipun mengetahui tarikan bulanan itu tidak memakai karcis resmi Pemkot.

Tabel 2
Beban Tiap Pedagang/bl
No    Pengeluaran    Nominal/hari    Perbulan
1    Retribusi    Rp 15.000,00    Rp  450.000,00
2    Tambahan Listrik    Rp 500,00    Rp    15.000,00
3    Uang Kebersihan        Rp    10.000,00
4    PPn        Rp    53.000,00
    Jumlah        Rp  528.000,00
Sumber : Solopos, 20 Oktober 2008

Sementara itu jika kita mencoba mengkalkulasi keuntungan yang didapat pengelola, mereka mendapat keuntungan yang luar biasa. Perbulannya bisa mencapai Rp 12.875.000. Tentu keuntungan yang tidak cukup kecil karena pekerja pendorong gerobak dan tenaga kebersihan sudah mendapat upah harian. Perhitungan ini didapat dari total pemasukan 75 pedagang dari retribusi dan biaya tambahan listrik sebesar Rp 34.875.000 sedangkan pengeluarannya hanya 22.000.000 (lihat table 3). Apakah kejadian ini tidak menginsirasi masyarakat melakukan hal yang sama? Memakai fasilitas umum, meminta sarana pada Pemkot untuk berdagang, menutup jalan kemudian memungut tariff tiap bulan untuk mendapat keuntungan.

Table 3
Keuntungan Pengelola Tiap Bulan

No    Item    Satuan/bl    Unit    Sub total    Total
    Pemasukan
1    Retribusi    450.000,00    75 pedagang    33.750.000,00   
2    Tambahan listrik    15.000,00    75 pedagang    1.125.000,00   
    Jumlah                34.875.000,00
    Pengeluaran
1    Penitipan gerobak    60.000,00    75 pedagang    4.500.000,00   
2    Upah pendorong gerobak    600.000,00    12 orang    7.200.000,00   
3    Upah tenaga kebersihan    600.000,00    8 orang    4.800.000,00   
4    Biaya Listrik    5.000.000,00        5.000.000,00   
5    Biaya air    500.000,00        500.000,00   
    Jumlah                22.000.000,00
    Keuntungan                12.875.000,00
Sumber : Solopos, 20 Oktober 2008


Berdasarkan penjelasan diatas, jelas tergambarkan bahwa ada berbagai kejanggalan dalam proses pungutan di Galabo. Setidaknya ada 3 langkah yang harus dilakukan Walikota yakni, pertama, mengadakan perjanjian resmi/kontrak kerja dengan pengelola. Hal ini demi ketertiban administrasi serta mengantisipasi potensi penyelewengan kewenangan yang dimiliki walikota. Kedua, meminta pengelola segera menyetor pendapatan yang didapat pengelola ke kas daerah. Karena semakin hari tentunya dana yang didapat pengelola semakin banyak padahal fasilitas benar-benar disediakan oleh Pemkot. Ketiga, menjelaskan pada masyarakat atas apa yang terjadi dengan pola pengelolaan Galabo. Sebab dengan penyediaan fasilitas dari Pemkot, harusnya ada kerjasama yang jelas sehingga ada transparansi pendapatan dan perlakuan sama antar pelaku usaha terutama usaha kecil dan menengah. Tugas Pemkot adalah membina dan mengangkat usaha kecil agar mencapai kesejahteraannya. Niatan baik kadangkala memang harus diawasi agar tidak dimanfaatkan sekelompok orang untuk mendapatkan keuntungan secara pribadi.

Apabila hal ini diabaikan, berpotensi melanggar UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 3 ayat (4), UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pasal 66 ayat (1) dan pasal 66 ayat (3), PP No 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 4 ayat (1) serta Permendagri No 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 4 ayat (1). Dalam pasal 3 ayat (4) UU No 17 Tahun 2003 (juga UU No 33/2004 ps 66 ayat (3)) dinyatakan bahwa “APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.” Dalam klausul penjelasan disebutkan bahwa Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran Negara/daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Sedangkan pasal 66 ayat (3) UU 33/2004 (juga Ps 4 ayat (1) PP No 58/2005 dan permendagri 13/2006) disebutkan “Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat”. Pada penjelasan disebutkan Keadilan adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya. Artinya pengguna anggaran tidak bisa seenaknya mengalokasikan dana APBD sekehendak sendiri. Kalau demikian, apakah persoalan akan dibiarkan begitu saja pak Wali?


Penulis adalah peminat masalah sosial dan good governance, tinggal di Sukoharjo
No Kontak 08122514473
Update 24 Oktober 2008

0 komentar:

Posting Komentar