Sabtu, 20 Desember 2003

EMBEL – EMBEL NAMA SUAMI

(Tanggapan Untuk Ike Janita Dewi dan Reko Alum)
Oleh: Muhammad Histiraludin

Mencemati tulisan-tulisan di rubrik Swara sangat menarik. Banyak kupasan yang dibedah untuk mengkritisi soal perempuan. Diantara yang menarik bagi saya adalah tulisan 2 ibu rumah tangga yakni artikel berjudul Istri Yang Kehilangan Nama (Ike Janita Dewi, Kompas 15 Desember 2003) dan Namaku Adalah … (Reko Alum, Kompas 23 Maret 2004). Kenapa begitu? Karena keduanya mengupas soal eksistensi perempuan dalam kehidupan sehari-hari yang mungkin bagi sebagian orang lain tidak menarik. “Memang begitu kenyataannya” komentar istri saya waktu dimintai komentar soal dua tulisan tersebut. Nampaknya ada kepasrahan total dari komentar itu namun tidak dari Ike ataupun Reko.

Gugatan yang diajukan oleh Ike lebih dikarenakan posisi atau bargaining seorang perempuan yang berpendidikan tinggi. Sayangnya Reko tak menjelaskan latar belakang pendidikannya sehingga agak susah memotret ‘pemberontakan’ tersebut. Tapi setidaknya, dari tulisan itu ditangkap ada kecerdasan yang bisa dimaknai pembaca bahwa para perempuan itu butuh pengakuan. Posisi Ike jauh lebih sulit karena beliau tinggal di Jogjakarta yang nuansa primordialnya lebih kental. Belum lagi pergaulan lingkungan lebih sering terjadi dibanding Reko yang tinggal (paling tidak) di pinggiran kota besar.

Terlepas itu semua, saya sepakat bahwa penggunaan nama pribadi jauh lebih penting ketimbang menggunakan nama suami. Tidak hanya sebatas penghargaan atas pemberian nama seseorang tetapi manfaat penggunaan nama sendiri yang jauh lebih besar. Sayangnya tradisi yang entah siapa yang memulainya nama seorang perempuan akan berganti menjadi Ibu ini, Ibu itu dengan menggunakan nama suaminya. Kadang saya ingin protes namun pada siapa protes itu saya lontarkan. Toh Presiden kita tetap menyandang Ibu Megawati Soekarnoputri bukannya Ibu Taufik Kiemas. Ibu-ibu pejabat kita juga tetap digunakan meski nama suaminya tetap menempel misalnya Ny Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Ny Nina Akbar, Ny Tien Suharto dan lain sebagainya.

Nampaknya ketika nama suami diikutkan akan berpengaruh, namun bagi kita (para suami) apa sih dampaknya. Saya sendiri yang berposisi sebagai suami sama sekali merasa tak nyaman nama saya diembelkan dibelakang nama istri saya. Toh kalau dia berhasil bukan karena saya namun karena prestasinya sendiri. Kebetulan saya dan istri sebagai pekerja sosial di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sekitar tetap manggilnya ya Ibu Iral (panggilan saya-pen). Saya pernah mencoba berdiskusi dengan istri saya untuk merubah itu. Awalnya yang saya tawarkan sederhana. Kebetulan saya Sekretaris Rt di kampung dan ada ibu-ibu yang suaminya sudah meninggal dan ada yang tidak dirumah. Hak mereka untuk ikut rapat Rt menjadi hilang (asumsi umum) makanya saya menawari istri saya sekali waktu untuk menggantikan pas rapat Rt. Eh dia menjawab tidak mau karena dipandang aneh. “Lho kan belum mencoba” bujuk saya. Dia tetap menolak. Maksud saya biar ibu-ibu yang tidak ada bapaknya itu mau hadir.

Ada beberapa kesulitan sebagai pengurus Rt bila ibu-ibu itu tidak memakai namanya sendiri. Misalkan soal kartu pemilih untuk pemilu ini yang dibagikan. Karena kita tidak pernah tahu nama ibu-ibu itu maka pas saat pembagian terpaksa kita menanyakan langsung dan itu perlu waktu berulang kali. Ada pula pembantu rumah tangga mereka tidak tahu siapa nama majikan perempuannya. Lalu ada orang mencari rumahnya siapa, ada tagihan rumah (karena kami tinggal diperumahan), surat dan saya selaku pengurus Rt juga dibuat bingung. Sebab memang tidak tahu siapa sebenarnya yang bernama ibu Tuti, Ibu Nurul dan seterusnya. Bahkan nama Istri Ketua Rtpun saya tidak tahu!.

Pada saat pembagian kartu pemilih ada beberapa orang yang ikut membagikan. Orang-orang itu ikut ya karena penasaran nama ibu-ibu di Rt kami. Ada yang nama orang kota dan ada nama ndeso kata orang yang ikut membagikan. Ada pula ibu yang meskipun sudah ditinggal meninggal suaminya masih menyandang nama suami. Sampai kapan akan disandangnya? Apakah itu tidak akan menganggu eksistensinya sebagai warga negara?.

Bila dilihat pada proses, sebetulnya dimanakah letak pergantian nama seorang perempuan atau penempelan nama suami? Sedari kecil seorang anak perempuan hingga selesai kuliah bahkan bekerja masih akan menyandang namanya. Namun begitu menikah dan masuk dalam lingkungan masyarakat (otomatis menjadi anggota PKK) secara otomatis namanya berubah. Ada nuansa ketidakmampuan (atau dipaksa) oleh masyarakat. Bila kita simak tulisan Ike, ketika berbelanja didepan rumah ditanya siapa namanya, beliau dipaksa menjawab Ibu anu (nama suaminya). Bisakah kita secara perlahan merombak itu semua?. Paling tidak dari diri kita sendiri. Saya sangat heran sewaktu memulai hidup berumah tangga. Pada saat acara perkenalan, kebetulan ada acara 17 Agustusan saya sudah memperkenalkan nama istri. Eh yang diingat dan menjadi panggilan koq nama saya.

Saya sedang memikirkan minimal untuk lingkungan saya supaya pertemuan-pertemuan dikampung tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Tapi usaha itu tidak mudah. Ada beragam jawaban sewaktu diusulkan pertemuan Rt dan PKK dijadikan satu. Ada yang menjawab karena sudah dari dulu begitu, ada yang bilang siapa yang momong anak, ada yang bilang bapak-bapak pertemuannya malam. Kenapa kalau dirubah pertemuannya dijadikan satu. Lebih efektif, dan anak kan bisa diajak ikut pertemuan karena yang selama ini terjadi rapat PKK selalu riuh rendah celoteh anak. Kalau soal malam hari, rapat Rt itu paling malam kan tidak larut sekali hingga pukul 23.00. Namun begitulah kenyataan protes yang terlontar.

Ada persoalan yang sudah mendarah daging sehingga ‘pemberontakan’ perempuan di masyarakat tidak berhasil. Pertama soal budaya patriarkhi. Merubah budaya ini tidak semudah membalik telapak tangan. Disatu sisi saya berhasil mengatasnamakan STNK sepeda motor dengan nama istri namun gagal menempel papan nama atas nama dia. Ada kesedihan mendalam dalam diri saya sewaktu memesan papan nama tersebut. Kedua, Laki-laki adalah kepala rumah tangga. Hal itu jelas termaktub dalam UU Perkawinan. Konsekuensinya istri harus menjadi second position. Banyak perempuan menganggap hal ini sebagai wahyu sehingga mereka tidak pernah mau memprotesnya. Ketiga, ketidaksiapan perempuan. Memang tidak semuanya tetapi diakui atau tidak asumsi umum mengatakan demikian. Seringkali perempuan ketika mengalami kegagalan, baginya itu merupakan sebuah bencana besar. Tetangga saya bahkan melahirkan anak keduanya sambil menangis. “Anak satu saja mendidiknya sulit apalagi anak dua” katanya.

Terakhir persoalan kepasrahan total istri dalam mengelola rumah tangganya. Ini tidak diartikan menang-menangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Banyak perempuan keluar dari kerja hanya karena mereka menikah atau punya anak padahal karir kedepan lebih bagus. Kedepan semua ini perlu kita rubah sehingga antara laki-laki perempuan harus berposisi sejajar dan bermitra. Ada kohesivitas positif yang menguntungkan kedua belah pihak dan kerjasam untuk membangun rumah tangga yang lebih baik. Saya hanya ingin mengucapkan iri dengan Ibu Ike dan Ibu Reko karena mereka bisa menuliskan Ibu Rumah Tangga, apakah akan saya tulis Bapak Rumah Tangga? Salam buat suami anda.



Muhammad Histiraludin
Pekerja Sosial di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo

1 komentar:

  • Reko Alum says:
    13 April 2019 pukul 20.53

    Setelah sekian lama, saya baru melihat tanggapan tulisan saya di Kompas, belasan tahun lalu. Walau pun sangat terlambat, saya ingin menjawab pertanyaan mengenai pendidikan saya. Saya seorang sarjana komunikasi, dan bekerja sebagai wartawan :)

Posting Komentar