JAJAK PENDAPAT DAN HARAPAN RAKYAT
Oleh: Muhammad Histiraludin
Untuk mengetahui siapa Presiden RI ke VI memang masih 11 bulan lagi. Prosesnya pun masih melewati jalan berliku mulai dari pemilihan umum untuk memilih DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II tanggal 5 April 2004, pemilihan presiden tahap I tanggal 5 Juli 2004 dan baru tanggal 20 September 2004 kita akan tahu siapa dia. Masyarakat sendiri lebih banyak diam dan melihat apa yang akan terjadi daripada ribut-ribut soal capres mendatang. Atau karena mereka (rakyat) tidak tahu bahwa system pemilu sudah diubah. Yang jelas sejak beberapa bulan lalu tidak sedikit lembaga yang menyelenggarakan pooling/jajak pendapat mengenai siapa kandidat presiden mendatang. Setidaknya penulis mencatat ada 5 kali jajak pendapat yang dimuat di media massa. Penyelenggaranyapun kebanyakan lembaga-lembaga penelitian atau lembaga independent
Melihat 5 penyelenggaraan memang belum bisa diprediksikan bahwa yang diunggulkan pasti akan menjadi presiden. Apalagi yang mendulang suara terbanyakpun berbeda-beda. Pooling itu diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan & Penerangan Ekonomi & Sosial (LP3ES), Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), International Foundation For Election System (IFES), John Caine Center (JCC), Lembaga Studi & Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEU Indonesia) dengan waktu berbeda. Tidak semua nama juga masuk nominasi. Misalnya Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur hanya masuk dalam penelitian LSPEU Indonesia, Aburizal Bakrie juga hanya masuk dalam poolingnya JCC. Meski tidak ada satu namapun yang masuk 5 jajak pendapat itu, ada juga nama di yang mendapat suara di 4 lembaga seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sementara Amin Rais dan Megawati masuk dalam nominasi 3 lembaga. Selain itu dalam pengumuman tiap lembaga, tidak semua nama dicantumkan karena pertimbangan perolehan suaranya tidak cukup signifikan. Bahkan IFES Cuma mencantumkan Capres 3 besar saja. Ditilik dari perolehan suara ternyata jumlah prosentase terbesar didapat Wiranto di JCC yang memang respondennya hanya berasal dari DPD Partai Golkar 7 kota. Hasil ini memang klop dengan hasil konvensi terakhir ditingkat DPD I yang memperoleh 23 suara. Penjaringan nama calon presiden terbanyak didapat JCC (10 nama), LP3ES (7) dan SSS lima nama. Untuk jumlah responden, SSS cukup besar yakni mencapai 10.000 orang, diikuti LP3ES dan IFES (3.000), lalu LSPEU Indonesia 2.995 dan JCC ‘Cuma’ 258. Untuk pemerataan wilayah kabupaten atau kota, SSS mensurvei 33 propinsi, disusul IFES 32 Propinsi, LP3ES 13 Propinsi, lalu JCC 7 kota dan LSPEU Indonesia 6 kota.
Calon Independen
Dari nama yang keluar itu hanya terdapat satu nama yang tidak berasal dari partai politik yakni Nurcholis Madjid. Meskipun sempat mengikuti konvensi Partai Golkar, perolehan suara dalam pooling ini tidak cukup berarti. Artinya memang (seakan-akan) hanya partailah yang berhak mendapat kursi presiden sementara pihak independent peluangnya menjadi minim. Pilihan kandidat bagi masyarakatpun menjadi terbatas. Mereka tidak bisa melihat atau memilih tokoh-tokoh yang independent yang komitmentnya lebih netral dibanding ketua-ketua partai. Kondisi ini bisa berpengaruh dalam kerangka pendidikan politik yang dibangun. Padahal dalam pemilihan Gubernur DKI, ada tokoh masyarakat dari komunitas becak berani mencalonkan diri. Demikian pula ketika terjadi pemilihan Bupati Boyolali, Jaswadi salah satu tokoh Kedungombo juga berani maju (meskipun akhirnya ditolak karena tidak memenuhi persyaratan).
Yang perlu dicermati juga adalah banyaknya prosentase responden yang menjawab tidak tahu atas pertanyaan siapa presiden yang layak dan akan dipiliih 2004 mendatang. Memang pemilihan itu menjadi hak seseorang tetapi dalam sebuah pooling setidaknya rakyat tidak ragu lagi menentukan siapa yang akan dipilih atau layak menjadi presiden. Dalam jajak pendapat LP3ES ditanyakan siapakah yang layak menjadi presiden 2004, ternyata 46 persen responden (dari 3.000) menjawab tidak tahu. Kemudian dari LSPEU Indonesia 45 persen juga menjawab tidak tahu siapa yang akan dipilih dalam pemilihan presiden mendatang. Meski prosentase ini perlu diteliti lagi apakah betul demikian, ada pelajaran yang bisa kita ambil. Bahwa sepak terjang calon-calon presiden itu masih belum meyakinkan masyarakat untuk segera menentukan pilihannya.
Pengumpulan suara-suara dalam pooling itu memang tidak serta merta menggambarkan apa yang akan terjadi pada 20 September mendatang. Ada beberapa factor yang berpengaruh dalam metode jajak pendapat. Pertama, siapa yang menyelenggarakan kegiatan ini. Kadang ada pula lembaga menerima pesanan dari pribadi karena motif tertentu. Sang pemesanpun akan memberikan nomor telepon yang akan dijadikan sampling sehingga suara calonpun menjadi besar. Kenapa order ini dikehendaki? Ya karena calon ingin membentuk image melalui media massa bahwa dia mendapat dukungan secara signifikan. Tanpa melalui kampanye, opini publik sudah otomatis terbangun dari media yang memuat hasil jajak pendapat. Belum lagi ditambah komentar pakar tentang dukungan suara. Kedua, pemilihan kota untuk jajak pendapat juga ikut berpengaruh. Misalkan untuk daerah Eks Karesidenan Solo dibanding Kabupaten Magelang akan berbeda. Di Solo yang akan unggul pasti Megawati atau Amin Rais sementara di Pati nama Gus Dur akan mendapat perolehan suara banyak.
Ketiga, kondisi psikologis responden ikut menjadi factor yang berpengaruh. Seperti usia, tingkat pendidikan, pengalaman pribadi, aktivitas atau pergaulan dan lainnya. Tentu seseorang yang banyak bergelut dibidang usaha akan memilih calon yang banyak melindungi usahanya. Sementara seorang birokrat akan memilih calon presiden yang sering manaikkan gaji pegawai negeri. Kondisi-kondisi inilah yang berpengaruh pada pilihan seseorang. Sehingga apapun hasilnya harus tetap diletakkan sekedar alat untuk membaca kecenderungan dan bukan “memastikan” kecenderungan (survei/polling bukan bukti empirik) apalagi realitas politik itu sendiri (Moh Samsul Arifin/Kompas 16/10).
Harapan
Lantas, bagaimana kita membaca, menelaah dan meresapi banyaknya jajak pendapat itu. Semakin mendekati hari H pemilihan presiden tidak tertutup kemungkinan akan lebih banyak pihak menyelenggarakan kegiatan yang sama. Kegunaan jajak pendapat bagi setiap pihak akan berbeda. Kita sebagai rakyat biasa hanya akan menganggap itu sebagai gambaran munculnya kandidat calon presiden. Masih banyak kandidat yang belum masuk seperti Eros Jarot (PNBK), Sukmawati (Partai Pelopor), KH Zainuddin MZ (PBR) dan lainnya. Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2003, penetapan calon baru akan dilakukan Bulan Desember 2003 mendatang. Bagi aktivis partai politik, polling ini merupakan masukan yang tentu menjadi rujukan. Kenapa si A bisa unggul, si B bisa kalah dan calonnya malah tidak masuk sama sekali.
Meskipun jajak pendapat bukan merupakan penilaian akhir, setidaknya hal itu menjadi gambaran bersama. Bila perlu mari kita jadikan pelajaran untuk melihat ketika seorang dicalonkan atau diunggulkan apakah ada perubahan sikap. Bagaimana sikap partai asal calon tersebut, masih maukah mereka memperjuangkan kehidupan rakyat kecil yang banyak didera kelaparan, kemiskinan dan bencana kekeringan. Jauh lebih prinsip adalah bagaimana semua stakeholders pemilu menjalankan proses ini dengan jujur, adil dan tanpa ada kekerasan yang terjadi yang malah menyengsarakan rakyat kecil. Harapan kita semua pada saat pemilu terjadi tetap pada keinginan bersama yakni berjalan damai!. Semoga.
Penulis adalah pekerja social di lembaga Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo
Oleh: Muhammad Histiraludin
Untuk mengetahui siapa Presiden RI ke VI memang masih 11 bulan lagi. Prosesnya pun masih melewati jalan berliku mulai dari pemilihan umum untuk memilih DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II tanggal 5 April 2004, pemilihan presiden tahap I tanggal 5 Juli 2004 dan baru tanggal 20 September 2004 kita akan tahu siapa dia. Masyarakat sendiri lebih banyak diam dan melihat apa yang akan terjadi daripada ribut-ribut soal capres mendatang. Atau karena mereka (rakyat) tidak tahu bahwa system pemilu sudah diubah. Yang jelas sejak beberapa bulan lalu tidak sedikit lembaga yang menyelenggarakan pooling/jajak pendapat mengenai siapa kandidat presiden mendatang. Setidaknya penulis mencatat ada 5 kali jajak pendapat yang dimuat di media massa. Penyelenggaranyapun kebanyakan lembaga-lembaga penelitian atau lembaga independent
Melihat 5 penyelenggaraan memang belum bisa diprediksikan bahwa yang diunggulkan pasti akan menjadi presiden. Apalagi yang mendulang suara terbanyakpun berbeda-beda. Pooling itu diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan & Penerangan Ekonomi & Sosial (LP3ES), Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), International Foundation For Election System (IFES), John Caine Center (JCC), Lembaga Studi & Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEU Indonesia) dengan waktu berbeda. Tidak semua nama juga masuk nominasi. Misalnya Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur hanya masuk dalam penelitian LSPEU Indonesia, Aburizal Bakrie juga hanya masuk dalam poolingnya JCC. Meski tidak ada satu namapun yang masuk 5 jajak pendapat itu, ada juga nama di yang mendapat suara di 4 lembaga seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sementara Amin Rais dan Megawati masuk dalam nominasi 3 lembaga. Selain itu dalam pengumuman tiap lembaga, tidak semua nama dicantumkan karena pertimbangan perolehan suaranya tidak cukup signifikan. Bahkan IFES Cuma mencantumkan Capres 3 besar saja. Ditilik dari perolehan suara ternyata jumlah prosentase terbesar didapat Wiranto di JCC yang memang respondennya hanya berasal dari DPD Partai Golkar 7 kota. Hasil ini memang klop dengan hasil konvensi terakhir ditingkat DPD I yang memperoleh 23 suara. Penjaringan nama calon presiden terbanyak didapat JCC (10 nama), LP3ES (7) dan SSS lima nama. Untuk jumlah responden, SSS cukup besar yakni mencapai 10.000 orang, diikuti LP3ES dan IFES (3.000), lalu LSPEU Indonesia 2.995 dan JCC ‘Cuma’ 258. Untuk pemerataan wilayah kabupaten atau kota, SSS mensurvei 33 propinsi, disusul IFES 32 Propinsi, LP3ES 13 Propinsi, lalu JCC 7 kota dan LSPEU Indonesia 6 kota.
Calon Independen
Dari nama yang keluar itu hanya terdapat satu nama yang tidak berasal dari partai politik yakni Nurcholis Madjid. Meskipun sempat mengikuti konvensi Partai Golkar, perolehan suara dalam pooling ini tidak cukup berarti. Artinya memang (seakan-akan) hanya partailah yang berhak mendapat kursi presiden sementara pihak independent peluangnya menjadi minim. Pilihan kandidat bagi masyarakatpun menjadi terbatas. Mereka tidak bisa melihat atau memilih tokoh-tokoh yang independent yang komitmentnya lebih netral dibanding ketua-ketua partai. Kondisi ini bisa berpengaruh dalam kerangka pendidikan politik yang dibangun. Padahal dalam pemilihan Gubernur DKI, ada tokoh masyarakat dari komunitas becak berani mencalonkan diri. Demikian pula ketika terjadi pemilihan Bupati Boyolali, Jaswadi salah satu tokoh Kedungombo juga berani maju (meskipun akhirnya ditolak karena tidak memenuhi persyaratan).
Yang perlu dicermati juga adalah banyaknya prosentase responden yang menjawab tidak tahu atas pertanyaan siapa presiden yang layak dan akan dipiliih 2004 mendatang. Memang pemilihan itu menjadi hak seseorang tetapi dalam sebuah pooling setidaknya rakyat tidak ragu lagi menentukan siapa yang akan dipilih atau layak menjadi presiden. Dalam jajak pendapat LP3ES ditanyakan siapakah yang layak menjadi presiden 2004, ternyata 46 persen responden (dari 3.000) menjawab tidak tahu. Kemudian dari LSPEU Indonesia 45 persen juga menjawab tidak tahu siapa yang akan dipilih dalam pemilihan presiden mendatang. Meski prosentase ini perlu diteliti lagi apakah betul demikian, ada pelajaran yang bisa kita ambil. Bahwa sepak terjang calon-calon presiden itu masih belum meyakinkan masyarakat untuk segera menentukan pilihannya.
Pengumpulan suara-suara dalam pooling itu memang tidak serta merta menggambarkan apa yang akan terjadi pada 20 September mendatang. Ada beberapa factor yang berpengaruh dalam metode jajak pendapat. Pertama, siapa yang menyelenggarakan kegiatan ini. Kadang ada pula lembaga menerima pesanan dari pribadi karena motif tertentu. Sang pemesanpun akan memberikan nomor telepon yang akan dijadikan sampling sehingga suara calonpun menjadi besar. Kenapa order ini dikehendaki? Ya karena calon ingin membentuk image melalui media massa bahwa dia mendapat dukungan secara signifikan. Tanpa melalui kampanye, opini publik sudah otomatis terbangun dari media yang memuat hasil jajak pendapat. Belum lagi ditambah komentar pakar tentang dukungan suara. Kedua, pemilihan kota untuk jajak pendapat juga ikut berpengaruh. Misalkan untuk daerah Eks Karesidenan Solo dibanding Kabupaten Magelang akan berbeda. Di Solo yang akan unggul pasti Megawati atau Amin Rais sementara di Pati nama Gus Dur akan mendapat perolehan suara banyak.
Ketiga, kondisi psikologis responden ikut menjadi factor yang berpengaruh. Seperti usia, tingkat pendidikan, pengalaman pribadi, aktivitas atau pergaulan dan lainnya. Tentu seseorang yang banyak bergelut dibidang usaha akan memilih calon yang banyak melindungi usahanya. Sementara seorang birokrat akan memilih calon presiden yang sering manaikkan gaji pegawai negeri. Kondisi-kondisi inilah yang berpengaruh pada pilihan seseorang. Sehingga apapun hasilnya harus tetap diletakkan sekedar alat untuk membaca kecenderungan dan bukan “memastikan” kecenderungan (survei/polling bukan bukti empirik) apalagi realitas politik itu sendiri (Moh Samsul Arifin/Kompas 16/10).
Harapan
Lantas, bagaimana kita membaca, menelaah dan meresapi banyaknya jajak pendapat itu. Semakin mendekati hari H pemilihan presiden tidak tertutup kemungkinan akan lebih banyak pihak menyelenggarakan kegiatan yang sama. Kegunaan jajak pendapat bagi setiap pihak akan berbeda. Kita sebagai rakyat biasa hanya akan menganggap itu sebagai gambaran munculnya kandidat calon presiden. Masih banyak kandidat yang belum masuk seperti Eros Jarot (PNBK), Sukmawati (Partai Pelopor), KH Zainuddin MZ (PBR) dan lainnya. Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2003, penetapan calon baru akan dilakukan Bulan Desember 2003 mendatang. Bagi aktivis partai politik, polling ini merupakan masukan yang tentu menjadi rujukan. Kenapa si A bisa unggul, si B bisa kalah dan calonnya malah tidak masuk sama sekali.
Meskipun jajak pendapat bukan merupakan penilaian akhir, setidaknya hal itu menjadi gambaran bersama. Bila perlu mari kita jadikan pelajaran untuk melihat ketika seorang dicalonkan atau diunggulkan apakah ada perubahan sikap. Bagaimana sikap partai asal calon tersebut, masih maukah mereka memperjuangkan kehidupan rakyat kecil yang banyak didera kelaparan, kemiskinan dan bencana kekeringan. Jauh lebih prinsip adalah bagaimana semua stakeholders pemilu menjalankan proses ini dengan jujur, adil dan tanpa ada kekerasan yang terjadi yang malah menyengsarakan rakyat kecil. Harapan kita semua pada saat pemilu terjadi tetap pada keinginan bersama yakni berjalan damai!. Semoga.
Penulis adalah pekerja social di lembaga Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo