Beberapa pihak terutama Gerindra hingga saat ini masih
ngotot calonkan Prabowo sebagai Calon Presiden 2019. Mereka meyakini bahwa sang
pendiri partai akan mampu bersaing dengan sang petahana, Joko Widodo. Entah
mereka melandaskan pada apa. Ada banyak factor sebetulnya yang harusnya membuat
Partai Gerindra harus berpikir ulang menjadikan Prabowo sebagai Capres.
Bukan sekedar 3 kali kegagalan pertarungan pada Pilpres baik
saat menjadi Cawapres maupun Capres namun juga latar belakang dan kontribusinya
bagi bangsa ini meski harus dihargai namun patut dipertanyakan jika
dibandingkan dengan kandidat lain. Banyak pihak sudah mempertanyakan pria
mantan Danjen Kopassus yang dicopot gegara melanggar hokum yakni memerintahkan
anak buahnya menculik aktivis, kabur saat Negara ini kondisi ekonominya porak
poranda, partai yang didirikannya malah getol menyuarakan pembubaran KPK, hampir
tidak pernah terlihat sholat berjamaah hingga perceraian dengan Titik Soeharto.
Pun paska tiga tahun kepemimpinan Joko Widodo secara pribadi
maupun kepartaian bukan memberi keteladanan sebagai seorang tokoh namun justru
sering membuat pernyataan atau sikap yang tidak semestinya. Salah satunya
tudingan kepada pemerintah mengenai bantuan ke Rohingya hanya sebagai
pencitraan semata.
Sikap-sikap yang dibangun dan ditunjukkan ke publik malah
merugikan diri sendiri. Hal ini bias dilihat dari hasil survey elektabilitas
Prabowo yang relative stagnan bahkan ada yang malah melorot. Misalnya dalam survey
yang dilakukan oleh CSIS di 2015, elektabilitas Prabowo masih 28 persen,
kemudian turun menjadi 24,3 persen dan September tahun ini bergerak diangka
25,8 persen. Padahal Joko Widodo elektabilitasnya makin membaik yaitu 36,1
persen (2015), menjadi 41,9 persen (2016) dan tahun ini menjadi 50,9 persen.
Lembaga survey lain yakni SMRC yang melakukannya Juni 2017,
elektabilitas Prabowo hanya 37,2 persen. Padahal Joko Widodo mencapai 53,7
persen, unggul jauh. Sedangkan berdasarkan survey Indobarometer yang dilakukan
pada Maret 2017, elektabilitas Prabowo hanya 28,8 persen tertinggal jauh dengan
sang petahana yang mendapat 50,2 persen. Adapun lembaga survey Median yang
menggelar survey September 2017 menghasilkan elektabilitas Prabowo 23,2 persen
dan Joko Widodo mencapai 36,2 persen.
Beberapa hasil ini harusnya membuat Gerindra bukan hanya
introspeksi, mengevaluasi pencalongan Prabowo, tetapi penting menimbang ulang
apakah tidak mengganti strategi dengan melibatkan diri berkontribusi pada
pemerintah. Tentu bukan tanpa kritik, karena tugas partai politik memang
mengawasi pemerintah. Lakukan kritik, pengawasan, pemantauan yang proporsional
dan tidak melukai hati rakyat. Kasus pembentukan Pansus KPK, electoral threshold
capres hingga Pansus e-KTP jelas-jelas posisi Gerindra malah berada disebrang
harapan masyarakat. Jika hingga tahun 2018 masih tetap begitu, lupakan saja
jabatan Presiden Republik Indonesia disandang Prabowo periode 2019 – 2024.