Setengah tahun belakangan ini nampaknya bencana sedang melanda Indonesia. Bertubi-tubi musibah hadir tanpa memandang kelas ekonomi, social ataupun status. Semua mengalaminya dan apakah kita masih menyalahkan alam semesta yang memang sedang berubah tanpa bisa kita antisipasi? Dalam berbagai pemberitaan, rata-rata pejabat berwenang ketika dikonfirmasi media seringkali “menghindar” untuk menyatakan bertanggungjawab. Alasan seperti adanya human eror, cuaca memang sedang tidak menentu, sifat dari kondisi dan lain sebagainya. Sungguh memprihatinkan membaca pernyataan mereka.
Selain menghindar, tak ada empati yang dikeluarkan setidaknya untuk meminta maaf atau bertindak secara nyata. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing dan menyerahkan pada pejabat dibawahnya. Benar-benar tidak ada tradisi merasa bertanggungjawab untuk kemudian melakukan langkah terobosan agar kondisi tersebut tak terulang kembali atau setidaknya tidak ada jatuh korban. Menyantuni atau menggalang sumbangan bagi para pejabat Indonesia, itu sudah merupakan bentuk tanggjungjawab riil atas musibah atau tragedy.
Bila kita lihat tragedy kecelakaan kereta api di Pemalang Sabtu (2/10) awal bulan ini. Puluhan orang tewas setelah Kereta Api Argo Anggrek jurusan Jakarta-Surabaya menabrak KA Senja Utama Jakarta-Semarang yang sedang berhenti dari belakang sekitar pukul 03.05 Wib. Kejadian yang membuat kita semua terhenyak. Kereta api bisa menabrak depannya apalagi saat berhenti di stasiun merupakan kejadian konyol yang sulit diterima oleh akal sehat. Pada kasus ini bisa dilihat mentalitas pejabat terkait yang bertugas benar-benar sangat sembrono. Pasca kejadian yang menewaskan puluhan orang, tak ada satupun pejabat dari Departemen Perhubungan maupun Direktorat Perhubungan Darat yang mengundurkan diri. Mereka menganggap itu kesalahan masinis serta petugas stasiun.
Kemudian soal gempa bumi yang sejak gempa aceh 2004 lalu sudah puluhan kali melanda berbagai wilayah Indonesia. Kejadian ini memang yang paling mudah bagi pejabat untuk menghindar dari tanggungjawab karena memang tidak ada gempa bumi yang disertai dengan pemberitahun terlebih dulu. Kadang kejadiannya pun tengah malam buta. Namun sejak tahun 2004, pelatihan gempa bumi sering dilaksanakan hanya pada masyarakat yang pernah mengalaminya. Sementara bagi wilayah yang tak merasakan, hampir tak pernah diadakan pelatihan soal ini. Pelatihannya pun semestinya tidak sekedar bagaimana menyelamatkan diri, namun juga mestinya prosedur evakuasi, mencari lokasi aman maupun bagaimana melatih masyarakat memberi pertolongan pertama jika ada korban. Padahal disisi lain sudah banyak lembaga internasional yang bisa memberi dukungan bagi penyelenggaraan kegiatan penanganan bencana gempa.
Gempa bumi terakhir menimpa Wasior di Propinsi Papua Barat maupun Mentawai Sumatera Barat. Di Wasior Papua Barat diperkirakan menelan korban jiwa hingga 103 jiwa sementara di Mentawai lebih 100 orang meninggal serta masih ada 500 warga yang hilang. Korban yang hilang kemungkinan meninggal karena gempa di Mentawai disertai oleh tsunami yang menyapu pulau disebelah selatan pulau Sumatra tersebut. Hingga 3 hari pasca kejadian, belum ada satupun pejabat yang menyatakan kejadian ini merupakan kejadian luar biasa. Artinya harus disikapi dengan konsekuensi. Bencana selanjutnya yakni banjir yang melanda ibu kota Jakarta. Memang korban jiwa tidak sampai puluhan namun dampak banjir seperti macet atau kerugian masyarakat mencapai ratusan miliar terutama yang dialami para pengusaha.
Gubernur DKI selayaknya menyatakan bertanggungjawab atas carut marutnya penataan kota yang menyebabkan dampak merugikan tersebut. Banjir dengan kedalaman beragam hampir merata terjadi di berbagai wilayah di Jakarta dan akibatnya macet hingga pukul 00.00 dinihari. Terakhir mengenai meletusnya (atau hanya erupsi) gunung merapi di wilayah Magelang, Klaten, Sleman maupun Boyolali. Sudah jatuh puluhan korban jiwa yang mungkin tak sempat terevakuasi maupun menyelamatkan diri. Termasuk diantaranya mbah Marijan, penunggu merapi. Kondisi pengungsian sungguh memprihatinkan dan sangat tidak layak baik prasarana, sarana maupun perangkat pendukung lainnya.
Lantas, dengan beragam kejadian ini, apa yang sebenarnya harus dilakukan oleh pemerintah? Media telah berperan besar dalam menyebarluaskan berbagai bencana dan langkah membantu warga harus segera ditempuh. Bila tak segera ditangani, korban akan terus bertambah. Koordinasi antara pemerintah pusat (kementrian) dengan pemerintah propinsi maupun daerah harus bisa efektif dan efisien sehingga korban-korban berikutnya tak lagi ada. Badan penanggulangan bencana juga harus bergerak cepat bersama PMI, TNI maupun institusi lain yang memiliki kepedulian atas musibah ini untuk bahu membahu menolong warga.
Yang justru aneh, maraknya berbagai pemberitaan media mengenai bencana hampir tidak terdengar kemana suara wakil kita di DPR. Apa yang mereka pikirkan atas bencana yang terjadi? Komisi- komisi yang berkaitan dengan bidang telah melakukan apa? Atau setidaknya wakil rakyat dari daerah bersangkutan turut terlibat membantu meringankan beban masyarakat korban. Mestinya mereka tak sibuk dengan hanya membangun gedung, kunjungan kerja, menambah fasilitas serta berbagai hal yang tidak ada kaitannya dengan rakyat. Namun sudah banyak masyarakat yang hilang asa atas mereka. Bagaimana dengan kita?
Selain menghindar, tak ada empati yang dikeluarkan setidaknya untuk meminta maaf atau bertindak secara nyata. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing dan menyerahkan pada pejabat dibawahnya. Benar-benar tidak ada tradisi merasa bertanggungjawab untuk kemudian melakukan langkah terobosan agar kondisi tersebut tak terulang kembali atau setidaknya tidak ada jatuh korban. Menyantuni atau menggalang sumbangan bagi para pejabat Indonesia, itu sudah merupakan bentuk tanggjungjawab riil atas musibah atau tragedy.
Bila kita lihat tragedy kecelakaan kereta api di Pemalang Sabtu (2/10) awal bulan ini. Puluhan orang tewas setelah Kereta Api Argo Anggrek jurusan Jakarta-Surabaya menabrak KA Senja Utama Jakarta-Semarang yang sedang berhenti dari belakang sekitar pukul 03.05 Wib. Kejadian yang membuat kita semua terhenyak. Kereta api bisa menabrak depannya apalagi saat berhenti di stasiun merupakan kejadian konyol yang sulit diterima oleh akal sehat. Pada kasus ini bisa dilihat mentalitas pejabat terkait yang bertugas benar-benar sangat sembrono. Pasca kejadian yang menewaskan puluhan orang, tak ada satupun pejabat dari Departemen Perhubungan maupun Direktorat Perhubungan Darat yang mengundurkan diri. Mereka menganggap itu kesalahan masinis serta petugas stasiun.
Kemudian soal gempa bumi yang sejak gempa aceh 2004 lalu sudah puluhan kali melanda berbagai wilayah Indonesia. Kejadian ini memang yang paling mudah bagi pejabat untuk menghindar dari tanggungjawab karena memang tidak ada gempa bumi yang disertai dengan pemberitahun terlebih dulu. Kadang kejadiannya pun tengah malam buta. Namun sejak tahun 2004, pelatihan gempa bumi sering dilaksanakan hanya pada masyarakat yang pernah mengalaminya. Sementara bagi wilayah yang tak merasakan, hampir tak pernah diadakan pelatihan soal ini. Pelatihannya pun semestinya tidak sekedar bagaimana menyelamatkan diri, namun juga mestinya prosedur evakuasi, mencari lokasi aman maupun bagaimana melatih masyarakat memberi pertolongan pertama jika ada korban. Padahal disisi lain sudah banyak lembaga internasional yang bisa memberi dukungan bagi penyelenggaraan kegiatan penanganan bencana gempa.
Gempa bumi terakhir menimpa Wasior di Propinsi Papua Barat maupun Mentawai Sumatera Barat. Di Wasior Papua Barat diperkirakan menelan korban jiwa hingga 103 jiwa sementara di Mentawai lebih 100 orang meninggal serta masih ada 500 warga yang hilang. Korban yang hilang kemungkinan meninggal karena gempa di Mentawai disertai oleh tsunami yang menyapu pulau disebelah selatan pulau Sumatra tersebut. Hingga 3 hari pasca kejadian, belum ada satupun pejabat yang menyatakan kejadian ini merupakan kejadian luar biasa. Artinya harus disikapi dengan konsekuensi. Bencana selanjutnya yakni banjir yang melanda ibu kota Jakarta. Memang korban jiwa tidak sampai puluhan namun dampak banjir seperti macet atau kerugian masyarakat mencapai ratusan miliar terutama yang dialami para pengusaha.
Gubernur DKI selayaknya menyatakan bertanggungjawab atas carut marutnya penataan kota yang menyebabkan dampak merugikan tersebut. Banjir dengan kedalaman beragam hampir merata terjadi di berbagai wilayah di Jakarta dan akibatnya macet hingga pukul 00.00 dinihari. Terakhir mengenai meletusnya (atau hanya erupsi) gunung merapi di wilayah Magelang, Klaten, Sleman maupun Boyolali. Sudah jatuh puluhan korban jiwa yang mungkin tak sempat terevakuasi maupun menyelamatkan diri. Termasuk diantaranya mbah Marijan, penunggu merapi. Kondisi pengungsian sungguh memprihatinkan dan sangat tidak layak baik prasarana, sarana maupun perangkat pendukung lainnya.
Lantas, dengan beragam kejadian ini, apa yang sebenarnya harus dilakukan oleh pemerintah? Media telah berperan besar dalam menyebarluaskan berbagai bencana dan langkah membantu warga harus segera ditempuh. Bila tak segera ditangani, korban akan terus bertambah. Koordinasi antara pemerintah pusat (kementrian) dengan pemerintah propinsi maupun daerah harus bisa efektif dan efisien sehingga korban-korban berikutnya tak lagi ada. Badan penanggulangan bencana juga harus bergerak cepat bersama PMI, TNI maupun institusi lain yang memiliki kepedulian atas musibah ini untuk bahu membahu menolong warga.
Yang justru aneh, maraknya berbagai pemberitaan media mengenai bencana hampir tidak terdengar kemana suara wakil kita di DPR. Apa yang mereka pikirkan atas bencana yang terjadi? Komisi- komisi yang berkaitan dengan bidang telah melakukan apa? Atau setidaknya wakil rakyat dari daerah bersangkutan turut terlibat membantu meringankan beban masyarakat korban. Mestinya mereka tak sibuk dengan hanya membangun gedung, kunjungan kerja, menambah fasilitas serta berbagai hal yang tidak ada kaitannya dengan rakyat. Namun sudah banyak masyarakat yang hilang asa atas mereka. Bagaimana dengan kita?