Perubahan paradigma pembangunan yang dimulai sejak hancurnya rezim orde baru terus mengalami perkembangan hingga saat ini. Perkembangan semangat otonomi daerah yang mengacu pada UU 22 tahun 1999 tetapi belum mempunyai konsepsi yang sama mengakibatkan tangkapan tiap daerah menjadi ‘bubrah’. Pemerintah Daerah memahami beralihnya kekuasaan dari pusat ke daerah banyak dimanfaatkan untuk semakin memperkaya sendiri. Sementara itu kalangan legislative beranggapan saat ini merekalah yang paling punya hak atas daerah. Diluar itu masyarakat tetap tersibukkan bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup dan memenuhi kewajiban membayar pajak.
Padahal bila dicermati, UU 22 tahun 99 tentang Pemerintahan Daerah membuka peluang bagaimana membangun sebuah tatanan kemasyarakatan yang adil, sejajar, demokratis dan transparan. Pada bagian menimbang disebutkan penyelenggaraan otonomi daerah ‘dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah’. Jadi bagaimana pemerintah mengatur dan mengurus rumah tangganya bersama-sama dengan warganya dan bukan mengatasnamakan masyarakat. Kalangan DPRD pun tidak mengambil alih peran yang memang seharusnya dilakukan masyarakat.
Pasal 92 ayat 2 secara jelas menyatakan ‘pengikutsertaan masyarakat merupakan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perkotaan’. Hal itu dipertegas di penjelasan pasal tersebut yang berbunyi ‘pemberdayaan masyarakat adalah pengikutsertaan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemilikan’. Artinya setiap tahapan perencanaan pembangunan kota merupakan keharusan serta menjadi bagian utama kepentingan masyarakat. Undang-undang ini telah membuka ruang atas prakarsa masyarakat yang didasari nilai-nilai dan mekanisme yang demokratis.
Permasalahannya adalah belum ada persepsi yang sama baik dari pihak pemerintah maupun dari masyarakat bagaimana mengimplementasikan perubahan paradigma pembangunan tersebut. Bagaimana mengkreasikan budaya local, mengangkat keunggulan-keunggulan daerah, potensi ekonomi dan sebagainya untuk dipadukan menjadi kekuatan riil daerah. Kita bisa lihat hal ini dalam Visi Misi Kota, Propeda, Repetada dan Renstra daerah yang dilakukan birokrasi. Sehingga yang patut diperhatikan adalah niat pemerintah untuk melibatkan warga yang diwakili oleh stakeholder tingkat kota untuk bersama-sama merancang strategi pembangunan kota yang berfokus pada kebutuhan masyarakat.
Peluang-peluang untuk itu juga tercermin di UU nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada penjelasan Bab III Pasal 3 yang dimaksud asas kepentingan umum adalah mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif serta selektif. Kemudian dalam Keppres nomor 49 tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau Sebutan Lain di Bab I pasal 1 dijelaskan bahwa lembaga kemasyarakatan tersebut dimaknai sebagai wadah yang dibentuk atas prakarsa masyarakat sebagai mitra Pemerintah Kelurahan dalam menampung dan mewujudkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat dibidang pembangunan, jadi lembaga kemasyarakatan tersebut bukan merupakan kepanjangan tangan dan dapat dimanfaatkan oleh pihak kelurahan.
Selama penguasaan orde baru proses perencanaan pembangunan dilakukan searah dari atas (top down) yang aplikasinya hanya melibatkan tokoh masyarakat untuk menyetujuinya. Bukan melibatkan seluruh masyarakat apalagi mengikutsertakan stakeholders kelurahan. Dalam UU nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Di Daerah tahapan perencanaan dimulai dari tingkat kelurahan yang dinamakan Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang). Dalam penyelenggaraannya masyarakat (elit kelurahan) tinggal membahas yang ditawarkan pemerintah.
Forum Warga
Lalu forum atau institusi ideal seperti apa yang bisa dicoba dalam mengaplikasikan UU nomor 22 tahun 1999. Yang sering dilontarkan banyak pengamat yakni perlu dibentuk forum warga atau forum kota. Bagaimana rumusan pola pembentukannya, mekanisme kerjanya, siapa saja yang berhak terlibat didalamnya dan langkah-langkah atau kegiatan apa yang harus dilakukan. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dikritisi dan direnungkan. Sayangnya dari banyak aturan yang dikeluarkan pemerintah, masih minim petunjuk pelaksanaannya sehingga tidak semua daerah siap menangkap apalagi mengimplementasikannya.
Forum-forum yang selama ini ada pun diinisiasi kalangan Non Government Organization (NGO). Padahal semestinya pemerintah daerah yang memfasilitasi. Tapi jika benar pemerintah daerah dapat memfasilitasi terbentuknya forum tersebut, pertanyaan yang muncul adalah apakah bisa menjamin tingkat efektifitasnya menjadi mitra kerja dan bukan malah menjadi kepanjangan tangan pemerintah sendiri. Dalam buku Forum Warga, Meretas Jalan Menuju Partisipasi (Ahsanul Minan dkk, hal 12) dijelaskan makna forum warga yakni merupakan sebuah kumpulan dari beberapa kelompok strategis masyarakat sipil (diluar komponen pemerintah dan legislative) yang memiliki kesamaan misi untuk berpartisipasi dan seterusnya.
Di beberapa wilayah di Surakarta pun telah banyak dibentuk forum seperti itu. Sebut saja Formas (Sragen), Forwas (Sukoharjo), Forabi (Boyolali), Sompis (Solo), FKRK (Karanganyar) dan sebagainya. Nampaknya banyak institusi itu justru menjadi lembaga pressure bagi pemerintahan. Sebenarnya dimana letak partisipasi mereka seperti disebutkan dalam undang-undang. Atau memang birokrasi setempat tidak mewadahi atau bahkan menolak melibatkan mereka dalam system perencanaan pembangunan kota.
Kebanyakan forum yang dibentuk terdiri dari komunitas yang mempunyai perhatian, kepedulian dan keseriusan untuk membangun wilayahnya supaya partisipatif. Sayangnya platform yang dibangun lebih mengarah menjadi institusi yang ‘konfrontatif’ daripada mengembangkan semangat kemitraan. Di sisi lain kelompok ini sering dipandang eksekutif dan legislative menjadi penganggu bukan kawan yang patut diajak duduk bersama untuk merumuskan strategi pembangunan wilayah dimasa depan.
Inilah kendala yang kerap dijumpai banyak institusi hasil inisiasi warga. Sudah selayaknya birokrasi mau membuka diri, transparan, adil dan demokratis. Dalam buku 10 Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik yang menjadi pedoman penyelenggaraan pemerintah dijabarkan penyelenggaraan pemerintahan harus berdasar partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsive atau tanggap, kesetaraan, berwawasan strategis, efektif dan efisien, profesionalisme, pertanggunjawaban serta pengawasan.
Kesepuluh prinsip itu adalah hasil pertemuan bulan Mei 2001 dari hasil rumusan Asosiasi Pemerintah Kota (Apeksi) dan disepakati Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) serta Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi). Hal ini mestinya menjadi pijakan pelaksanaan pembangunan. Tapi tampaknya sudah menjadi tradisi bahwa ketetapan adalah hitam diatas putih dan tidak ada satupun yang mau atau berkehendak menerapkannya.
Pelembagaan Perencanaan Pembangunan Partisipatif
Di Surakarta sejak tahun 2000 sudah diinisiasikan model perencanaan pembangunan yang partisipatif. Model itu secara terus menerus dipantau, dikaji dan diperbaiki hingga saat ini sudah mulai menampakkan hasilnya. Di beberapa wilayah masyarakat sudah merasakan bagaimana perencanaan yang mereka lakukan direspon pemerintah kota. Birokrasi sendiri tidak hanya diam berpangku tangan. Sekretaris Daerah Kota, Drs Qomarudin dalam berbagai kesempatan memaparkan perubahan paradigma pembangunan itu.
Lebih bijak lagi Slamet Suryanto, orang nomor satu di kota ini sering bilang kebijakan birokrasi harus berprinsip nguwongke uwong (memanusiakan manusia). Tanpa prinsip itu segala perencanaan pembangunan tidak akan pernah dirasakan masyarakat kota. Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Partisipatif sendiri secara rinci diatur dalam Surat Keputusan Walikota nomor 410/45-A/I/2002. Tahapan perencanaan itu juga dimulai dari tingkatan terbawah Rt hingga tingkat kota. Selain mewakili kewilayahan, stakeholders lain juga dilibatkan.
Kalangan NGO juga tidak ketinggalan untuk terlibat secara aktif mengembangkan dan mendampingi masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain adalah menggelar seminar dan diskusi yang berkaitan dengan peningkatan Perencanaan Pembangunan Partisipatif dengan mengundang masyarakat, legislative dan eksekutif. Kegiatan ini dilakukan antara lain sebagai wadah persamaan persepsi di antara ketiga pihak tersebut dalam melaksanakan Perencanaan Pembangunan Partisipatif.
Tinggal bagaimana mengelola forum atau tahapan Perencanaan Pembangunan Partisipatif menjadi sebuah institusi yang secara rutin dilakukan seluruh masyarakat kota. Sehingga rumusan perencanaan pembangunan yang dikerjakan masyarakat bawah bisa tidak hanya terakomodir namun juga terlaksana. Perencanaan Pembangunan Partisipatif pada dasarnya tidak hanya memecahkan problem masyarakat namun lebih pada mewujudkan kohesivitas antar masyarakat, antar elemen, antar stakeholders.
Bukan mimpi rasanya apabila SK yang mengatur tentang Pedoman Penyelenggaraan Musyawarah Kelurahan Membangun, Musyawarah Kecamatan Membangun dan Musyawarah Kota Membangun Kota Surakarta Tahun 2002 bisa ‘naik pangkat’ menjadi Peraturan Daerah. Inilah yang menjadi pekerjaan bersama seluruh masyarakat, eksekutif maupun legislative guna merancang pada hal yang lebih aplikatif bagaimana menterjemahkan UU 22 Tahun 99 betul-betul menjadi wahana pemberdayaan masyarakat. Tidak heran apabila akhir bulan Agustus atau awal bulan September kita semua akan melihat perhelatan besar yang bernama Kongres Rakyat Surakarta
Penulis adalah pekerja social di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo
Padahal bila dicermati, UU 22 tahun 99 tentang Pemerintahan Daerah membuka peluang bagaimana membangun sebuah tatanan kemasyarakatan yang adil, sejajar, demokratis dan transparan. Pada bagian menimbang disebutkan penyelenggaraan otonomi daerah ‘dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah’. Jadi bagaimana pemerintah mengatur dan mengurus rumah tangganya bersama-sama dengan warganya dan bukan mengatasnamakan masyarakat. Kalangan DPRD pun tidak mengambil alih peran yang memang seharusnya dilakukan masyarakat.
Pasal 92 ayat 2 secara jelas menyatakan ‘pengikutsertaan masyarakat merupakan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perkotaan’. Hal itu dipertegas di penjelasan pasal tersebut yang berbunyi ‘pemberdayaan masyarakat adalah pengikutsertaan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemilikan’. Artinya setiap tahapan perencanaan pembangunan kota merupakan keharusan serta menjadi bagian utama kepentingan masyarakat. Undang-undang ini telah membuka ruang atas prakarsa masyarakat yang didasari nilai-nilai dan mekanisme yang demokratis.
Permasalahannya adalah belum ada persepsi yang sama baik dari pihak pemerintah maupun dari masyarakat bagaimana mengimplementasikan perubahan paradigma pembangunan tersebut. Bagaimana mengkreasikan budaya local, mengangkat keunggulan-keunggulan daerah, potensi ekonomi dan sebagainya untuk dipadukan menjadi kekuatan riil daerah. Kita bisa lihat hal ini dalam Visi Misi Kota, Propeda, Repetada dan Renstra daerah yang dilakukan birokrasi. Sehingga yang patut diperhatikan adalah niat pemerintah untuk melibatkan warga yang diwakili oleh stakeholder tingkat kota untuk bersama-sama merancang strategi pembangunan kota yang berfokus pada kebutuhan masyarakat.
Peluang-peluang untuk itu juga tercermin di UU nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada penjelasan Bab III Pasal 3 yang dimaksud asas kepentingan umum adalah mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif serta selektif. Kemudian dalam Keppres nomor 49 tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau Sebutan Lain di Bab I pasal 1 dijelaskan bahwa lembaga kemasyarakatan tersebut dimaknai sebagai wadah yang dibentuk atas prakarsa masyarakat sebagai mitra Pemerintah Kelurahan dalam menampung dan mewujudkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat dibidang pembangunan, jadi lembaga kemasyarakatan tersebut bukan merupakan kepanjangan tangan dan dapat dimanfaatkan oleh pihak kelurahan.
Selama penguasaan orde baru proses perencanaan pembangunan dilakukan searah dari atas (top down) yang aplikasinya hanya melibatkan tokoh masyarakat untuk menyetujuinya. Bukan melibatkan seluruh masyarakat apalagi mengikutsertakan stakeholders kelurahan. Dalam UU nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Di Daerah tahapan perencanaan dimulai dari tingkat kelurahan yang dinamakan Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang). Dalam penyelenggaraannya masyarakat (elit kelurahan) tinggal membahas yang ditawarkan pemerintah.
Forum Warga
Lalu forum atau institusi ideal seperti apa yang bisa dicoba dalam mengaplikasikan UU nomor 22 tahun 1999. Yang sering dilontarkan banyak pengamat yakni perlu dibentuk forum warga atau forum kota. Bagaimana rumusan pola pembentukannya, mekanisme kerjanya, siapa saja yang berhak terlibat didalamnya dan langkah-langkah atau kegiatan apa yang harus dilakukan. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dikritisi dan direnungkan. Sayangnya dari banyak aturan yang dikeluarkan pemerintah, masih minim petunjuk pelaksanaannya sehingga tidak semua daerah siap menangkap apalagi mengimplementasikannya.
Forum-forum yang selama ini ada pun diinisiasi kalangan Non Government Organization (NGO). Padahal semestinya pemerintah daerah yang memfasilitasi. Tapi jika benar pemerintah daerah dapat memfasilitasi terbentuknya forum tersebut, pertanyaan yang muncul adalah apakah bisa menjamin tingkat efektifitasnya menjadi mitra kerja dan bukan malah menjadi kepanjangan tangan pemerintah sendiri. Dalam buku Forum Warga, Meretas Jalan Menuju Partisipasi (Ahsanul Minan dkk, hal 12) dijelaskan makna forum warga yakni merupakan sebuah kumpulan dari beberapa kelompok strategis masyarakat sipil (diluar komponen pemerintah dan legislative) yang memiliki kesamaan misi untuk berpartisipasi dan seterusnya.
Di beberapa wilayah di Surakarta pun telah banyak dibentuk forum seperti itu. Sebut saja Formas (Sragen), Forwas (Sukoharjo), Forabi (Boyolali), Sompis (Solo), FKRK (Karanganyar) dan sebagainya. Nampaknya banyak institusi itu justru menjadi lembaga pressure bagi pemerintahan. Sebenarnya dimana letak partisipasi mereka seperti disebutkan dalam undang-undang. Atau memang birokrasi setempat tidak mewadahi atau bahkan menolak melibatkan mereka dalam system perencanaan pembangunan kota.
Kebanyakan forum yang dibentuk terdiri dari komunitas yang mempunyai perhatian, kepedulian dan keseriusan untuk membangun wilayahnya supaya partisipatif. Sayangnya platform yang dibangun lebih mengarah menjadi institusi yang ‘konfrontatif’ daripada mengembangkan semangat kemitraan. Di sisi lain kelompok ini sering dipandang eksekutif dan legislative menjadi penganggu bukan kawan yang patut diajak duduk bersama untuk merumuskan strategi pembangunan wilayah dimasa depan.
Inilah kendala yang kerap dijumpai banyak institusi hasil inisiasi warga. Sudah selayaknya birokrasi mau membuka diri, transparan, adil dan demokratis. Dalam buku 10 Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik yang menjadi pedoman penyelenggaraan pemerintah dijabarkan penyelenggaraan pemerintahan harus berdasar partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsive atau tanggap, kesetaraan, berwawasan strategis, efektif dan efisien, profesionalisme, pertanggunjawaban serta pengawasan.
Kesepuluh prinsip itu adalah hasil pertemuan bulan Mei 2001 dari hasil rumusan Asosiasi Pemerintah Kota (Apeksi) dan disepakati Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) serta Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi). Hal ini mestinya menjadi pijakan pelaksanaan pembangunan. Tapi tampaknya sudah menjadi tradisi bahwa ketetapan adalah hitam diatas putih dan tidak ada satupun yang mau atau berkehendak menerapkannya.
Pelembagaan Perencanaan Pembangunan Partisipatif
Di Surakarta sejak tahun 2000 sudah diinisiasikan model perencanaan pembangunan yang partisipatif. Model itu secara terus menerus dipantau, dikaji dan diperbaiki hingga saat ini sudah mulai menampakkan hasilnya. Di beberapa wilayah masyarakat sudah merasakan bagaimana perencanaan yang mereka lakukan direspon pemerintah kota. Birokrasi sendiri tidak hanya diam berpangku tangan. Sekretaris Daerah Kota, Drs Qomarudin dalam berbagai kesempatan memaparkan perubahan paradigma pembangunan itu.
Lebih bijak lagi Slamet Suryanto, orang nomor satu di kota ini sering bilang kebijakan birokrasi harus berprinsip nguwongke uwong (memanusiakan manusia). Tanpa prinsip itu segala perencanaan pembangunan tidak akan pernah dirasakan masyarakat kota. Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Partisipatif sendiri secara rinci diatur dalam Surat Keputusan Walikota nomor 410/45-A/I/2002. Tahapan perencanaan itu juga dimulai dari tingkatan terbawah Rt hingga tingkat kota. Selain mewakili kewilayahan, stakeholders lain juga dilibatkan.
Kalangan NGO juga tidak ketinggalan untuk terlibat secara aktif mengembangkan dan mendampingi masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain adalah menggelar seminar dan diskusi yang berkaitan dengan peningkatan Perencanaan Pembangunan Partisipatif dengan mengundang masyarakat, legislative dan eksekutif. Kegiatan ini dilakukan antara lain sebagai wadah persamaan persepsi di antara ketiga pihak tersebut dalam melaksanakan Perencanaan Pembangunan Partisipatif.
Tinggal bagaimana mengelola forum atau tahapan Perencanaan Pembangunan Partisipatif menjadi sebuah institusi yang secara rutin dilakukan seluruh masyarakat kota. Sehingga rumusan perencanaan pembangunan yang dikerjakan masyarakat bawah bisa tidak hanya terakomodir namun juga terlaksana. Perencanaan Pembangunan Partisipatif pada dasarnya tidak hanya memecahkan problem masyarakat namun lebih pada mewujudkan kohesivitas antar masyarakat, antar elemen, antar stakeholders.
Bukan mimpi rasanya apabila SK yang mengatur tentang Pedoman Penyelenggaraan Musyawarah Kelurahan Membangun, Musyawarah Kecamatan Membangun dan Musyawarah Kota Membangun Kota Surakarta Tahun 2002 bisa ‘naik pangkat’ menjadi Peraturan Daerah. Inilah yang menjadi pekerjaan bersama seluruh masyarakat, eksekutif maupun legislative guna merancang pada hal yang lebih aplikatif bagaimana menterjemahkan UU 22 Tahun 99 betul-betul menjadi wahana pemberdayaan masyarakat. Tidak heran apabila akhir bulan Agustus atau awal bulan September kita semua akan melihat perhelatan besar yang bernama Kongres Rakyat Surakarta
Penulis adalah pekerja social di Indonesian Partnership on local Governance Initiatives (IPGI) Solo