Kamis, 03 Januari 2013

Lagi, Pengelolaan Keuangan Di Solo Lamban

Hingga 26 Desember ternyata kurang lebih 50 persen APBD Kota Solo yang sudah digunakan belum dilaporkan. Padahal idealnya setelah pelaksanaan anggaran-anggaran itu kemudian dilaporkan. Hal ini mencuat di Solopos 27 Desember 2012. Dilihat nominalnya sangat besar yakni Rp 639 M, sebuah angka yang sangat besar. Bertolak belakang dengan hasil audit BPK yang selama 2 tahun memberi status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), sebuah status yang diincar seluruh Pemda di Indonesia.

Anggaran Rp 639 itu digunakan oleh 105 SKPD yang hingga penghujung tahun laporannya belum diserahkan. Berdasarkan data di DPPKAD sudah 85,04 persen atau Rp 1,075 trilyun dana tersalurkan ke berbagai program. Dari anggaran yang sudah dikucurkan yang realisasinya kurang dari 50 persen hanya ada di 2 SKPD, realisasi antara 51 persen - 75 persen ada 5 SKPD, dan yang telah terealisasi 76 persen - 100 persen mencapai 68 SKPD.

Kawasan Sriwedari
Data-data diatas yang diungkap media sangat mengejutkan. Mereka (para birokrat itu) tentu bukan sekarang saja mengelola anggaran. Secara teknis maupun substansial tidak ada perubahan PP atau Permen sehingga PNS kesulitan membikin laporannya. Ada beragam kemungkinan yang bisa saja menjadikan hal ini terjadi. Yang justru lebih penting apakah Walikota dan Sekda mengetahui hal ini. Karena butuh solusi konkrit agar di masa mendatang tidak terjadi lagi.

Beberapa kemungkinan yang terjadi yakni : pertama, anggaran keluar pada akhir tahun. Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa APBD seringkali pencairannya lambat sehingga pengerjaannya tergesa-gesa. Yang selalu tepat waktu hanya gaji dan operasional kantor. Hal ini diulangi terus menerus sejak Slamet Suryanto menjabat Walikota hingga sekarang. Anggota DPRD sendiri tidak banyak usaha mendorong supaya pencairan anggaran tidak mepet waktunya.

Kedua, aturan pencairan anggaran berbelit terutama untuk program yang dari pusat. Sebut saja Dana Alokasi Khusus, PPIP, BOS dan beragam program lainnya. Bisa juga ada ketentuan untuk verifikasi yang administrasinya berjenjang dan otomatis menjadikan proses pencairan molor. Program dari APBD Kota saja banyak yang cair menjelang tutup tahun. Sebut saja anggaran DPK cair bulan Agustus, hibah bagi Ketua Rt, RW dan LPMK, bantuan Posyandu bahkan bulan November.

Ketiga, birokrat menunda-nunda pengerjaan pelaporan kegiatan yang sudah selesai. Ini hampir menjadi kebiasaan yang terdapat diberbagai instansi. Menunda pekerjaan dan lebih mementingkan hal lainnya hampir menjadi mentalitas. Apalagi dipertengahan tahun 2012, ada pergantian walikota. Apakah proses pergantian Walikota mempengaruhi kinerja? entah namuan yang jelas fakta menunjukkan hal ini. Padahal dengan meningkatnya APBD seharusnya menambah kinerja pegawai negara.

Sayangnya media tidak mengejar sumber berita untuk menyajikan data berapakah rata-rata pelaporan dibuat pasca kegiatan selesai dilaksanakan. Dengan adanya pemberitaan ini, Walikota harus segera mengambil langkah nyata agar pada Tahun 2013 tidak terulang lagi apalagi telah menyandang predikat laporan WTP 2 tahun berturut-turut.

Disisi lain, DPRD idealnya selalu mengkroscek perkembangan pelaporan kegiatan. Misalnya saja melakukan pemantauan tiap program maksimal 2 minggu pasca pelaksanaan sudah bisa dilaporkan. Dengan pemberitaan ini sebetulnya juga menunjukkan bahwa legislatif sebagai lembaga yang mengawasi eksekutif juga tidak jalan. Seharusnya SKPD yang belum memberikan laporan, dia tidak bisa mencairkan anggaran kegiatan berikutnya.

0 komentar:

Posting Komentar