Jumat, 28 Oktober 2016

Bikin Suasana PAUD Serasa di Rumah Sendiri

|0 komentar
Jadikan PAUD tempat bermain anak-anak yang menyenangkan sehingga bakat anak bisa makin berkembang. Demikian dinyatakan Anik Murdaningsih, Ketua Pengurus Pos PAUD Mawar, Dusun Ngepung Karanganyar Kecamatan Weru Sukoharjo. "Buat mereka seakan berada dirumah dan betah bermain di PAUD. Ini yang dibagikan bapak yang dari YSKK Insya Allah membantu kita mengembangkan PAUD semakin baik" tambah Anik pada acara Parenting Education yang diadakan di POS PAUD Mawar, Kamis 27 Oktober 2016 diikuti oleh 11 orang tua siswa.

Pertemuan PE hari itu memang dimaksudkan untuk menggalang dukungan orang tua dalam mengimplementasikan PAUD Ramah Anak. PAUD Mawar merupakan salah satu PAUD dampingan Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) yang berkomitmen mewujudkan layanan yang ramah anak. Ditambahkan oleh Anik, PAUD tersebut memang satu-satunya POS PAUD yang diinisiasi oleh PKK dan kini sedang diarahkan naik menjadi BKB.

Sementara itu Nino Histiraludin sebagai pendamping dalam sessi sebelumnya menjabarkan pentingnya PAUD Ramah Anak. "Program PAUD Ramah Anak itu tidak hanya membuat anak merasa senang di tempat pembelajaran namun otaknya mampu berkembang optimal. Program PAUD Ramah Anak ini mensyaratkan pada 3 elemen yaitu sikap pendidik, pembelajaran dan lingkungan sekolah yang ramah anak" ujar Nino.

Untuk pengurus dan pendidik sudah berkomitmen mewujudkan PAUD Mawar yang ramah anak. Sedang orang tua dimintai komitmen mendukung program PAUD Ramah Anak dengan menandatangani surat pernyataan. Dukungan itu berupa 1) menjaga kebersihan lingkungan 2) menyediakan makanan sehat untuk anak, 3) berbicara santun, 4) berperilaku sopan, 4) tidak melakukan tindak kekerasan terhadap anak.

Pendidik membagikan surat pernyataan serta lampiran PAUD Ramah Anak dari aspek pendidik dan pembelajaran kepada orang tua siswa untuk ditandatangani. Meski belum semua menandatangani surat pernyataan tersebut, sebagian besar sudah menyerahkan ke sekolah. Memang hari itu tidak semua orang tua siswa hadir dikarenakan musim panen sehingga orang tua pergi ke ladang.

Bunda Is, salah satu pendidik mengungkapkan Program PAUD Ramah Anak sangat bagus bukan hanya bagi anak namun juga bagi pendidik. "Karena kita dalam memperlakukan anak harus hati-hati dan memang semestinya begitu. Seberat apapun persoalan kita (pendidik) harus sanggup kita atasi dan tidak boleh dibawa ke depan anak-anak. Kami sudah berkomitmen begitu. Ini demi kita semua tidak hanya demi saya" ungkap Bunda Is.

Anik mengakui infrastruktur di PAUD Mawar memang belum memadai dan desa sudah berkomitmen membantu. Hanya saja dalam RPJMDes ada skala prioritas program mana saja yang harus lebih dulu dituntaskan. "Misal soal infrastruktur jalan, mengatasi problem limbah tahu dan berbagai masalah lain. Ini yang kita hadapi bunda. Doakan saja semoga desa bisa segera merealisasikan membantu PAUD kita karena kalau soal tanah, desa sudah menyediakan tanah kas desa" ujar Anik yang juga istri Kepala Desa Karanganyar.

Minggu, 16 Oktober 2016

Transparansi Anggaran di Sekolah Negeri? Mimpi

|0 komentar
Transparansi pada jaman modern sebenarnya sudah menjadi syarat wajar bagi sebuah institusi. Tanpa menjalankan transparansi, sebuah institusi dapat dikatakan sebagai sebuah institusi tradisional. Bagaimana dengan transparansi anggaran di sekolah negeri? Bagai sebuah idiom jauh panggang dari api, mimpi. Kejadian ini dapat kita saksikan diberbagai sekolah negeri baik negeri umum maupun agama.

Entah sudah berapa UU, PP, Permendikbud, juklak juknis, pelatihan bendahara sekolah, pelatihan manajemen sekolah hingga ceramah keagamaan yang diikuti pengelola atau pimpinan sekolah namun mereka tetap tidak mau menerapkan.

Padahal anggaran yang mereka kelola jelas uang public yang dilewatkan kementrian pendidikan untuk dikelola. Anggarannya mau, transparansinya ogah. Jika tak punya anggaran teriak-teriak tidak cukup, giliran mengelola anggaran diam seribu bahasa. Bayangkan, pengelola anggaran itu para guru, para suri tauladan bahkan kini sekolah negeri berbasis agama juga mendapat alokasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) namun transparansinya nihil. Kapan pendidikan kita akan baik kalau para pengelola anggaran yang notabene mendidik anak-anak kita mereka tidak mau terbuka?  Toh uang itu bukan milik mereka.

Kalau toh pun anggaran itu dibuka, tidak ada orang tua siswa yang meminta BOS dari pemerintah. Bagaimana orang tua siswa mau membantu sekolah jika sekolah hanya memaparkan kebutuhannya namun tidak menjelaskan dengan detil anggaran yang didapat dari Negara dipakai untuk apa. Bagaimana kami tahu sekolah betul-betul butuh uang? Dan kami para orang tua harus berpartisipasi? Para pendidik dan pengelola anggaran itu pasti tahu UU, PP atau Permendikbud pasal berapa, ayat berapa yang mewajibkan sekolah mempublikasikan Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS).

Tak perlu kami sampaikan rujukannya sebab itu bagaikan kita mengajari ikan berenang. Seperti yang saya alami, siang itu kami para orang tua sekolah dikumpulkan oleh sekolah negeri berbasis agama. Rencananya sekolah menarik pungutan untuk membeli computer sebab mereka akan mengikuti UN berbasis computer (Computer Base Test). Tidak ada lembaran RKAS yang dibagikan melainkan surat pernyataan kesediaan membayar iuran pembelian computer dengan nominal Rp 500.000/siswa tanpa disertai RKAS atau RAB. Acara diisi parade sambutan dan rencana kegiatan mulai dari sambutan ketua panitia, kepala sekolah, wakil kepala bidang kurikulum, wakil kepala bidang kesiswaan, dan wakil kepala sekolah bidang sarana prasarana.

Dan tidak ada ruang atau kesempatan klarifikasi, pertanyaan atau dialog. Entah apa yang mereka pikirkan. Apakah kami para orang tua dianggap seperti anak SD kelas 1 atau 2 yang tidak tahu apa-apa. Padahal sebagai orang tua siswa kami berhak tahu apa yang hendak dilakukan sekolah.

Masak transparansi di sekolah masih kalah dengan di masjid? Lihat saja berbagai masjid yang ada. Mereka menerima infaq dari jamaah dalam sebuah kotak, tidak ada yang tahu siapa berinfaq berapa tapi jumlah dana terkumpul selalu dihitung terbuka, dicatat dalam papan dan penggunaannya ditulis juga. Kalau rencana membangun masjid kurang anggarannya ya menunggu hingga anggaran cukup atau membangun setahap demi setahap. Itu jelas dan lihat saja, jarang jamaah meributkan soal infaq yang masuk dan berapa atau dibelanjakan untuk apa.

Jargon para pengelola sekolah minta keikhlasan agar dapat pahala namun mereka tidak melakukan transparansi, kewajiban yang diamanarkan oleh aturan. Ah sampai kapan mereka menyadari atas kewajiban itu? Bukankah rakyat melalui Negara telah memenuhi kewajiban meningkatkan kesejahteraan para guru. Lantas kapan para pengelola sekolah berubah?

Sabtu, 15 Oktober 2016

"Parah, Orang Dinas Pendidikan Koq Tidak Faham PAUD"

|0 komentar
Kata-kata omelan muncul dari salah satu peserta Rapat Kajian Peraturan Perundang-undangan terhadap Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan keserasian perundang-undangan untuk kajian draf Raperda Pendidikan. Acara ini diadakan di DPRD Kota Surakarta Senin 10 Oktober 2016. “Waduh bapak itu tidak mutu, parah, ga jelas. Masak orang dinas pendidikan ga faham tentang PAUD. Bagaimana mau memajukan pendidikan di Solo kalau begini?” demikian gerutuan kecil Asriani, salah seorang perwakilan LPMK yang hadir.

Gerutuan itu muncul saat orang yang dimaksud yakni Sekretaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Surakarta mengomentari 1 pertanyaan dan 1 pernyataan dari Nino Histiraludin. Dalam sesi tanggapan, Nino melontarkan agar DPRD menanyakan ke Dikpora yang sudah menyusun grand design pendidikan agar visi pendidikan kota Surakarta bisa dimasukkan dalam raperda. “Setiap daerah semestinya punya visi atau arah yang mau dicapai misalnya kalau ada kaitannya dengan pendidikan ya apa visi pendidikan Surakarta. Dikpora Solo kabarnya sudah menyusun grand design pendidikan dan ini kesempatan DPRD meminta Dikpora memberi hasil penyusunan grand design” tanya Nino.

Hal kedua, struktur Raperda Pendidikan akan dibuat seperti apa. Karena, lanjut Nino ada Bab mengenai Pendidikan Dasar dan PAUD serta ada Pendidikan Informal dan Non Formal. Sementara jenis pendidikan sendiri terbagi atas Pendidikan Formal, Pendidikan Informal dan Pendidikan Non Formal dan PAUD itu masuk dalam 3 jenis pendidikan tersebut. Sehingga struktur Raperda harus disesuaikan dengan pemilahan tersebut.

Aryo Widyandoko SH MH ketika diberi kesempatan oleh pimpinan rapat menanggapi salah satunya tentang PAUD itu. “Taman Kanak-kanak itu ya masuk PAUD dan semua PAUD masuk dalam pendidikan non formal” katanya.

Kalimat itulah yang menyebabkan Asriani yang kebetulan pendidik PAUD menggerutu dan mengaku tidak habis pikir. Aryo bukan pejabat baru di Sekretaris Dikpora, sudah menjabat lebih dari 3 tahun namun persoalan sepele seperti itu tidak difahaminya. Pengelompokan Pendidikan Anak Usia Dini diatur jelas pada regulasi. Dalam Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bagian Ketujuh tentang Pendidikan Anak Usia Dini pasal 27 ayat (2) – (5) jelas mengatur itu.

Ayat 2 berbunyi “Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal”. Kemudian ayat (3) “Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederaja”. Ayat (4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain  (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Ayat (5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Acara ini sebenarnya sangat strategis karena legislative memberi kesempatan masyarakat memberi masukan atas Draft Raperda Pendidikan yang akan dibahas setelah selesai dirumuskan oleh Tim Ahli. Kegiatan yang diadakan DPRD Kota Surakarta tersebut dihadiri sekitar 75 orang dari berbagai perwakilan  berbagai elemen pendidikan seperti yayasan pendidikan, sekolah, dewan pendidikan, komite sekolah, Dikpora, LPMK, guru, ormas maupun LSM.

Jumat, 14 Oktober 2016

Perencanaan Desa Juga Harus Perhatikan 4 Pendekatan

|0 komentar
Meski APBDes menjadi kewenangan desa namun juga harus dilakukan dengan 4 pendekatan yakni pendekatan teknokratis, pendekatan birokratis, pendekatan politis dan pendekatan partisipatif. Demikian diungkapkan Sunarjo, Direktur Eksekutif Idea Jogjakarta saat memfasilitasi In House Training yang diikuti oleh seluruh staff pelaksana program Yayasan Satu Karsa Karya Selasa (11/10) di kantor YSKK.

“Jangan dipikir kalau pembahasan APBDes tidak ada 4 pendekatan tersebut. Pendekatan politis maksudnya perencanaan desa harus sesuai dengan visi misi Kades terpilih, pendekatan birokratis menunjukkan perencanaan desa tidak boleh melenceng dari perencanaan daerah (Pemda), pendekatan teknokratis merupakan wujud dari kewenangan serta tupoksi Kaur dan pendekatan partisipatif merupakan aspirasi masyarakat. Sehingga tidak bisa semua aspirasi masyarakat otomatis masuk dalam APBDes” urainya.

Selain itu, ada berbagai perubahan sebagai konsekuensi UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 menuntut staff YSKK harus memahami konstruksi perencanaan desa. Sebut saja struktur pemerintahan desa yang kini hanya ada maksimal 3 kepala seksi (kasie) yang berada dibawah Sekdes untuk menjalankan tugas fungsional dan kepala dusun/dukuh yang menjalankan fungsi teritori.

Dengan semakin meningkatnya dana desa, upaya mendorong peningkatan masyarakat tidak hanya sekedar berpartisipasi namun mampu memahami dan menguasai isu-isu yang berkaitan dengan desa. Fokus penguasaan tersebut lebih pada 4 kewenangan desa yakni bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa seperti diatur dalam pasal 18 UU nomor 6 tahun 2014. Pemahaman ini disinergikan dengan berbagai program yang sedang dijalankan oleh YSKK sehingga ketika mendorong komunitas dapat terealisasi dilapangan.

Nino Histiraludin dari divisi pemberdayaan anak mengungkapkan pemahaman UU Desa penting dimiliki terutama para aktivis masyarakat. “Isu desa sampai kapanpun akan menarik dan tanpa menguasai isu tersebut kita sebagai pekerja social ya akan tercerabut dari masyarakat yang didampingi” ungkapnya. Apalagi berdasarkan mandate konstitusi tersebut, desa kini mengelola anggaran yang tidak sedikit. Tanpa dukungan dan pengawasan masyarakat, ancaman penyalahgunaan anggaran desa terbuka lebar.

Dalam In House Training tersebut, para staff juga diminta berlatih membuat program maupun kegiatan berdasarkan 4 kewenangan yang dimiliki desa. Pembuatan program disesuaikan dengan divisi yang ada di YSKK. Hal yang menarik yakni, konsistensi program dalam 4 kewenangan itu penting dijaga. “Presentasi dari divisi pemberdayaan anak sangat menarik karena korelasi antar program di kewenangan saling berhubungan meski yang di kemasyarakatan tadi ada kekeliruan. Tapi teman-teman jeli melihat apa yang harus dilakukan” ungkap Suroto, Direktur YSKK yang terlibat secara penuh di acara tersebut.

Hal lain yang juga penting difahami, pada APBDes ternyata pembelanjaan berdasarkan 4 kewenangan. Hal ini berbeda sama sekali dengan APBD maupun APBN yang memakai nomenklatur belanja langsung dan tidak langsung. Kebijakan itu sendiri baru berlaku tahun ini.

Rabu, 12 Oktober 2016

Konsultan Raperda Pendidikan Surakarta Tak Banyak Jawab Pertanyaan

|0 komentar
Tenaga Ahli DPRD untuk Raperda Pendidikan tidak banyak menjawab berbagai hal yang dilontarkan peserta saat acara Rapat Kajian Peraturan Perundang-undangan terhadap Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan keserasian perundang-undangan untuk kajian draf Raperda Pendidikan. Acara ini diadakan di DPRD Kota Surakarta Senin 10 Oktober 2016 dan dihadiri perwakilan dari berbagai elemen pendidikan seperti yayasan, sekolah, dewan pendidikan, komite sekolah, Dikpora, LPMK, guru, ormas maupun LSM.

Pertanyaan tentang naskah akademik, tidak masuknya klausul sekolah inklusi, operasional komite sekolah dan masih banyak lainnya. Tim ahli terkesan tidak serius dan professional menyiapkan Raperda ini dan terkesan hanya asal-asalan. Disisi lain, Dikpora yang harusnya memiliki kepentingan nyaris tidak serius menyimak kegiatan ini meski dihadiri oleh Sekretaris Dikpora, Aryo Widyandoko SH MH.

Padahal ini merupakan kegiatan strategis bagi tenaga ahli untuk menerima berbagai masukan untuk penyempurnaan draf Raperda Pendidikan. Bagi YSKK melalui jaringan Masyarakat Peduli Pendidikan (MPPS) merupakan kesempatan mendorong upaya masuknya pasal-pasal yang mengatur tata kelola pendidikan yang transparan, akuntabel dan partisipatif.

Presentasi tenaga ahli menjadi urutan acara pertama yang dilanjutkan dengan komentar atau tanggapan peserta. Tri Joko dari salah satu komite sekolah SD mengapresiasi draft Raperda yang diajukan dan salah satunya terdapat klausul yang mendorong kepala sekolah mempublikasikan RKAS dan RAPBS. “Biasanya kami ini dicari pas butuh saja pak. Jadi saya kira ini bagus supaya kepala sekolah menghargai kami-kami (komite sekolah) ini” urainya. Nino yang diberi kesempatan menanyakan berbagai hal strategis. Misalnya soal visi pendidikan Surakarta.

“Setiap daerah semestinya punya visi atau arah yang mau dicapai misalnya kalau ada kaitannya dengan pendidikan ya apa visi pendidikan Surakarta. Dikpora Solo kabarnya sudah menyusun grand design pendidikan dan ini kesempatan DPRD meminta Dikpora memberi hasil penyusunan grand design” ujarnya. Selain visi, nino juga menyampaikan mengenai Naskah 

Akademik yang baginya penting diketahui oleh public. Hal ini juga ada kaitannya dengan klausul menimbang. Pada klausul menimbang, munculnya argumentasi perlunya Raperda Pendidikan ini hanya karena mandate UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan beberapa pasal yang tidak sesuai.

“Apa landasan filosofis dan sosiologis yang mendorong DPRD maupun temuan TA dalam mengajukan draft ini, belum saya lihat. Tadi Tenaga Ahli juga menyampaikan hal-hal besar secara nasional, tidak memotret problem-problem pendidikan Kota Surakarta. Terus Perda ini untuk menjawab apa? Struktur Perda juga tidak jelas, ada Bab tentang pendidikan dasar dan ada bab tentang pendidikan informal dan pendidikan non formal. Harusnya ya konsisten, pendidikan dasar itu masuk dalam pendidikan formal” jelas Kepala Divisi Pemberdayaan Anak YSKK itu.

Anwar, salah satu perwakilan dari LPMK mengapresiasi munculnya klausul Komite Sekolah yang dibahas cukup luas. Hal ini diharapkan akan menjadikan komite sekolah lebih berdaya. “Tidak seperti selama ini, hanya alat kepala sekolah saja. Bila perlu kasih juga dong anggaran dari APBD” ungkapnya disambut riuh peserta acara.

Ketika tim ahli melakukan tanggapan, mereka tidak menguraikan berbagai hal yang ditanyakan melainkan menjawab hanya sekenanya. Tenaga ahli yang hadir juga sepertinya sangat muda, kurang pengalaman maupun pengetahuan pendidikannya masih butuh banyak di upgrade. Tim ini berasal dari Fakultas hukum UNS dan sepertinya hadir seorang diri. Pada pagi hari, dia juga mempresentasikan Raperda Kesehatan di tempat terpisah.

Acara yang dipandu Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (BP2D) Putut Gunawan dimulai dengan presentasi tenaga ahli. Sayangnya sang tenaga ahli membuka dengan sesuatu hal yang konyol yaitu menunjukkan meme perbandingan antara Amien Rais yang lulusan S3 Amerika tapi gagal jadi presiden sementara Obama lulusan SD Negeri Indonesia bisa jadi presiden Amerika. Belum usai menuntaskan kata soal joke ini, sontak Ketua DPKS dan salah satu anggota BP2D melakukan interupsi. Mereka meminta agar tenaga ahli meminta maaf dan menyatakan joke itu tidak merepresentasikan lembaga UNS.

Nino mengkritik keras soal meme itu diawal slide apapun motifnya. “Memprihatinkan, kita disini akan mendiskusikan Raperda Pendidikan namun tindakan tenaga ahli justru tidak mencerminkan makna pendidikan, atau memiliki karakter yang baik seperti tadi yang anda sampaikan di awal acara” urai pria beranak tiga ini.

Selasa, 11 Oktober 2016

Mengkritisi Terminologi Pendidikan di UU Sisdiknas

|0 komentar
“Pendidikan adalah proses/usaha sadar yang tidak berbatas ruang, usia, waktu, tidak hanya berpatokan pada nilai akademik (pengetahuan, karakter, sikap), untuk perubahan yang memerdekakan dan berlangsung terus menerus serta menyenangkan”. Demikian benang merah diskusi MPPS tentang pendidikan yang diadakan di secretariat SpekHAM Solo Jumat (7/10).

Diskusi tersebut merupakan agenda rutin MPPS untuk mengeksplorasi makna pendidikan yang sudah bergeser dari makna hakiki. Lihat saja dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar  dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan  yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Sementara secara bahasa sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan sebagai sebuah proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik.

Menurut Elist Listyani, pendidikan itu sebetulnya tidak melulu focus pada nilai akademik melainkan ada factor lain yang penting. “Termasuk perilaku, sikap maupun aspek lain. Sayangnya di sekolah hal-hal semacam ini tidak dilihat oleh pendidik” ungkap Direktur SpekHAM itu. Agus, aktivis pendidikan lainnya menambahkan, pemahaman yang tidak tepat itu menjadikan sekolah menjadi sentra-sentra akademik sehingga potensi non akademik malah tidak berkembang.

Pendidikan membutuhkan peran dari semua pihak yaitu orang tua, lingkungan (masyarakat) maupun Negara (termasuk sekolah). Pardoyo, yang mantan anggota Dewan Pendidikan Kota Surakarta melihat banyak masyarakat menilai sekolah adalah segalanya. “Ibaratnya kalau anak tidak sekolah masa depannya akan suram” urai pria yang juga anggota Komite Sekolah dibeberapa sekolah negeri.

Padahal jenis pendidikan di masyarakat ragamnya sangat banyak dan masing-masing punya keunggulan. Persepsi tentang pendidikan yang dikupas kali ini memang dalam menghadapi rencana pembahasan Raperda Pendidikan yang akan digelar oleh DPRD Kota Surakarta. Dalam draf Raperda tersebut memang lebih banyak mengatur persekolahan. Inilah yang diupayakan oleh MPPS agar pemerintah mampu melihat pendidikan secara menyeluruh.

“Eksplorasi mengenai pendidikan ini penting tidak hanya bagi kita tapi juga bagi pihak lain. Sayangnya secara regulasi memang ada kekurangtepatan dalam merumuskan sehingga otomatis pemaknaan pendidikan di Indonesia banyak yang tidak pas” ujar Nino Histiraludin dari YSKK yang malam itu memfasilitasi pertemuan.

Minggu, 09 Oktober 2016

Pendidikan Tidak Sama Dengan Persekolahan

|0 komentar
Masyarakat Peduli Pendidikan Kota Surakarta mendorong agar Raperda Inisiatif tentang Penyelenggaraan Pendidikan lebih banyak mengatur pendidikan dikembalikan pada soal/hal yang mendasar. “Pendidikan itu tidak sama dengan persekolahan, sementara yang diatur disini lebih banyak mengurus persekolahan. Maka keluaran pendidikan yang diharapkan tidak akan tercapai” ungkap Bu Nunung Purwanti, salah satu aktivis MPPS dalam rapat pengurus MPPS Kamis (6/10).

Ada pemahaman yang keliru, terutama dari Dinas Pendidikan yang memang lebih banyak mengurusi sekolah. Adi Cahyo, Koordinator MPPS menyatakan hal senada. Bahkan Dikpora Surakarta seperti enggan mengeluarkan Perda Pendidikan. “Salah satu pejabat teras Dikpora Surakarta menyatakan buat apa Perda Pendidikan? Semua banyak diatur oleh PP, UU hingga Permendikbud, semua sudah jelas” kata Adi menirukan ucapan pejabat teras Dikpora.
Tentu pernyataan tersebut menjadi keprihatinan semua. Regulasi pemerintah itu berlaku se Indonesia sedang Perda berlaku lokal.

Contoh sederhana misalnya tentang unit cost berdasarkan BOS pusat. Harusnya daerah menghitung kebutuhan operasional tiap anak sehingga dapat ditetapkan apakah masih butuh sumbangan atau tidak dari orang tua. Hal ini yang tidak disadari oleh birokrat. Nino Histiraludin dari YSKK dalam rapat pengurus menyampaikan pandangan tentang gambaran besar tentang bahan Raperda pendidikan Solo yakni tentang klausul menimbang, struktur Perda yang tidak terbagi jelas antara jenjang dan jalur pendidikan, Tidak ada klausul visi pendidikan

Bahkan sebelumnya Dikpora Surakarta sudah menyusun Grand Design Pendidikan namun hingga kini hasilnya tidak jelas. “Kita harus mempertanyakan nasib grand design pendidikan ke Dikpora karena grand design ini penting bagi arah pendidikan kota Surakarta. Dikpora tidak bisa berlindung regulasi pendidikan berpatokan UU, PP maupun Permendikbud karena kebijakan pusat berlaku nasional. Perda pendidikan penting untuk merumuskan arah keluaran pendidikan, panduan kebijakan serta anggaran daerah, perlindungan pendidikan bagi masyarakat” ungkapnya.

Rapat pengurus MPPS diselenggarakan untuk membedah secara detil tentang rumusan Raperda Pendidikan kota Surakarta yang rencananya segera direvisi. Harapannya akan ditemukan klausul-klausul yang tidak sesuai kebutuhan masyarakat, tidak realistis maupun bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi.

Rapat pengurus yang diadakan di secretariat Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) juga menyepakati akan menanyakan ke legislative mengenai penyusunan Raperda berpatokan pada apa. Naskah Akademik (NA) dibutuhkan bila penyusunan Perda dilandaskan untuk menjawab problem-problem yang muncul. Sedang bila tanpa NA, harus ada landasan filosofis penting yang mendasarinya. Faktanya Revisi pendidikan tidak sekedar disebabkan munculnya UU 23 Tahun 2014 namun juga karena adanya problem pendidikan daerah serta filosofi pendidikan yang dibutuhkan penting menjadi argumentasi Revisi Raperda.

Pengurus MPPS juga menyepakati, mendorong MPPS mendiskusikan term pendidikan pada 7 Oktober sehingga Perda Pendidikan tidak berkutat pada persekolahan.

Rabu, 05 Oktober 2016

Salah Kelola Bantuan APBN di 2 Sekolah, Warning Bagi Dikpora Solo

|0 komentar
Munculnya 2 indikasi korupsi dalam renovasi di 2 sekolah negeri di Surakarta harus diwaspadai Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Surakarta. Apalagi, modus keduanya mirip yakni melakukan pembelanjaan fiktif hingga kwitansi fiktif. Adanya indikasi ini juga cukup mengejutkan karena kedua sekolah ini mengelola anggaran dari APBN untuk renovasi gedung sekolak. Pun proyek keduanya dilakukan hampir dalam waktu yang beriringan.

Indikasi pertama yakni di SMPN 14 Surakarta. Kasus ini muncul di media pada 23 September 2016. Alokasi anggaran Rp 1,2 M dari APBN digunakan sebagai revitalisasi gedung.

"Setelah dilakukan pengecekan ke toko-toko bahan material di sekitar 12 toko, ada indikasi penyimpangan dari nota-nota pembelian ya. Kami temukan nota palsu, stempel palsu, tanda tangan palsu, pembelian fiktif, serta mark up pembelian," kata Suyatno Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Surakarta. Sedang indikasi kedua muncul di SDN Danukusuman Surakarta. Anggaran yang digunakan lebih besar yaitu Rp 2,2 M.

Kedua sekolah melakukan  mengelola anggaran secara swakelola dengan cara membentuk Panitia Revitalisasi Sekolah (PRS) yang dikepalai oleh salah satu guru sekolah. Padahal dengan anggaran sebesar itu aturannya jelas. Ada batasan Rp 200 juta yang bisa di swakelola atau dengan penunjukan sementara nominal diatas itu harus ditenderkan. Pun demikian indikasi ini hanya muncul di 2 sekolah saja, tidak terjadi di sekolah lain. Artinya ada kesalahan di Pemkot dalam melakukan pengawasan proyek yang didanai oleh APBN.

Apapun alasannya, kepala sekolah di 2 tempat ini harus dikenakan sanksi segera. Bahkan bila perlu sebelum proses persidangan dilakukan. Tujuannya ada 2 yakni pertama, agar kepala sekolah focus untuk menyelesaikan masalahnya dan kedua, sebagai bentuk pembelajaran atas pelanggaran yang dilakukan yakni tidak patuh pada perundang-undangan.

Munculnya indikasi korupsi dengan nota fiktif, pembelian palsu, nota palsu, dan berbagai hal yang lain juga mengejutkan. Apa yang mau dicari para kepala sekolah itu? Memang pimpinan proyek bukan mereka tapi mereka penanggungjawab proyek. Peraturan juga jelas mengatur tentang bagaimana proyek dengan nominal miliaran dikelola. Sampai saat ini, Dikpora tidak memberi penjelasan apapun terkait masalah tersebut. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Sekelas pemerintah kota Surakarta membiarkan hal-hal seperti ini terjadi.

Masyarakat harus mendorong komite sekolah, dewan pendidikan bahkan anggota legislative turut memantau perkembangan mengenai dugaan korupsi di 2 sekolah tersebut. Tanpa penyidikan yang transparan maka kasus-kasus ini dapat terulang kembali dimasa mendatang.

Minggu, 02 Oktober 2016

Besaran BOS Tiap Daerah Mestinya Proporsional

|0 komentar
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional sudah beberapa tahun ini memberi Bantuan Operasional Pemdidikan (BOS) kepada siswa Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Ini sebagai wujud komitmen pemerintah membebaskan biaya pendidikan baik di pendidikan dasar maupun menengah. Tujuan diberikannya BOS untuk pemerataan akses bagi seluruh siswa didik.

Disisi lain, beban penyelenggaraan pendidikan sebetulnya cukup besar dan sesuai UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, untuk jenjang pendidikan dasar 9 tahun bebas biaya alias gratis. Yang dimaksudkan disini bebas biaya tentu saja orang tua siswa tidak perlu mengeluarkan biaya karena biaya pendidikan ditanggung Negara.

Alokasi BOS makin tahun terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2014 pemerintah mengucurkan Rp 24,1 T, kemudian 2015 disediakan Rp 31,3 T dan tahun ini anggaran BOS mencapai Rp 43,9 T. Sebuah lonjakan kenaikan yang lumayan drastic. Hal ini dapat dimaklumi karena pada tahun ini mulai didistribusikan BOS untuk jenjang SMA. Alokasi BOS untuk tiap jenjang besarannya berbeda. Hal ini melandaskan kebutuhan operasional tiap jenjang juga berbeda. Tahun ini siswa SD mendapatkan BOS sebesar Rp 800.000/ tahun, siswa SMP mendapat Rp 1 juta/tahun dan SMA/SMK mendapat Rp 1,2 juta/tahun.

Harapannya dengan BOS tersebut semua siswa di Indonesia akan bebas biaya. Faktanya tidak demikian. Diberbagai wilayah, sekolah atau daerah kita menemukan kasus sekolah masih menarik iuran dengan berbagai dalih.

Anggaran BOS dapat dimanfaatkan untuk belanja berbagai hal seperti disebut dalam Juklak Juknis BOS. Artinya hampir semua pembiayaan bisa dianggarkan tentu dengan persyaratan yang sesuai maupun kebutuhan kegiatan yang diperlukan. Betapa tidak luwes, tidak hanya untuk biaya penyelenggaraan tambahan jam pelajaran, bahkan untuk honor tambahan guru tidak tetap saja juga bisa. Artinya sekolah harusnya tidak boleh beralasan meminta tambahan operasional kepada orang tua siswa. Pun demikian bila ingin melakukan pembangunan gedung, tentu bukan memakai BOS melainkan mengajukan anggaran terpisah baik kepada pusat (APBN) maupun daerah (APBD).

Memang kebutuhan tiap daerah untuk operasional besarannya tidak sama. Salah satu faktornya tingkat kemahalan/inflasi tiap daerah berbeda. Pemerintah harus menentukan besaran BOS dengan memperhatikan beberapa hal. Misalnya inflasi, PAD, APBD, tingkat kemampuan daerah dan lain sebagainya.

Hanya saja pemerintah harus mengawasi ketat implementasi BOS di sekolah. Karena masih adanya sumbangan atau tidak lebih pada komitmen kepala daerah. Tanpa komitmen tinggi dari kepala daerah sumbangan di sekolah negeri tetap berlangsung. Kedua, komitmen kepala sekolah juga menduduki peran penting kedua. Lihat saja diberbagai wilayah yang menyatakan menghapus sumbangan namun faktanya tarikan uang dengan berbagai dalih masih terjadi.

Lihat saja misalnya dengan BOS yang ada saat ini, Sukoharjo sudah tidak ada lagi sumbangan apalagi pungutan. Hal ini wujud komitmen tinggi kepala daerah dan pemantauan sekolah dengan ketat. Sama sekali tidak ada sekolah yang berani main-main dengan kebijakan bupati. Sebab bila ditemukan ada tarikan, maka Bupati Sukoharjo tak segan-segan mencopot jabatan sang kepala sekolah.