Kamis, 26 Mei 2016

Keluarga Kunci Utama Perbaikan Pendidikan

|0 komentar
Perbaikan pemahaman tentang pendidikan bagi anak-anak oleh para orang tua, akan merubah banyak tatanan dan meletakkan pondasi bagi perbaikan pendidikan. Dan dampaknya dimasa mendatang Indonesia akan menghasilkan generasi yang berkarakter kuat. Saat ini masyarakat sedang menghadapi berbagai krisis terkait pendidikan. Dengan banyak faktor yang berpengaruh, anak-anak kini jadi sasaran korban dari efek negatif perkembangan teknologi, derasnya arus informasi, pergaulan dan lain sebagainya.

Penegasan tersebut disampaikan oleh Nino Histiraludin, Kepala Divisi Pemberdayaan Anak Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) pada Rabu 25 Mei 2016. Nino menyampaikan hal itu dalam diskusi yang bertema "Problema Pendidikan di Kota Surakarta" yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa FKIP UNS. Menurut Aji Nugroho, Mahasiswa FISIP yang hadir dalam pertemuan mempertanyakan dengan kondisi pendidikan yang karut marut maka mana dulu yang harus dibenahi.

Nino menegaskan perspektif pendidikan dalam sebuah keluarga merupakan pondasi utama bagaimana tumbuh kembang anak menghadapi dunia luar. Karena landasan pokok dibangun oleh keluarga sejak anak berusia 0 hingga 8 tahun. Sementara dilingkungan sekolah formal, anak-anak mengalami transisi ketika usia diatas 8 tahun (kelas III keatas). Artinya mayoritas anak berada dalam didikan keluarga.

Sayangnya saat ini banyak keluarga di Indonesia menyerahkan pendidikannya kepada sekolah. "Ada salah persepsi dalam mindset para orang tua di Indonesia. Mereka menyimpulkan bahwa Pendidikan = sekolah. Faktanya para orang tua tidak banyak yang berkomunikasi, bermain, ngobrol dengan anak-anak mereka ketika pulang ke rumah. Itu menandakan bahwa mereka mempercayakan pendidikan pada sekolah dan ini berbahaya" tegas pria dengan tiga anak itu.

Sebab yang diberikan sekolah mayoritas merupakan ilmu pengetahuan, pembelajaran bukan pendidikan mengenai perilaku, sopan santun, budaya, mentalitas dan lain sebagainya. Akibatnya anak-anak tumbuh dengan mental rapuh, sikap yang tidak sesuai budaya, tidak punya perspektif dan lain sebagainya. Ditambah beban sekolah (banyak pelajaran, PR, materi), perkembangan teknologi (baik gadget maupun laptop membuat anak ingin memiliki), derasnya arus informasi (sosial media) menjadikan anak-anak menerima apapun tanpa filter.

Dalam diskusi tersebut, disampaikan pula bahwa banyak pemerintah daerah melanggar UUD 45 pasal 31 ayat 4 yang berbunyi " Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional." Faktanya kabupaten/kota se eks karesidenan Surakarta belum ada yang mencapai 20 persen. Kota Surakarta baru mengalokasikan APBD hanya 4,68 persen (atau tiap siswa mendapat Rp 506.200/siswa/tahun). 

Itu masih lumayan dibandingkan Kabupaten Sragen yang menempati posisi 34 untuk alokasi APBD bidang pendidikan yang hanya 1,39 persen (tiap siswa mendapat Rp 118.700/siswa/tahun) dan posisi buncit ditempati Boyolali yang hanya mengalokasikan 0,67 persen (tiap siswanya mendapat Rp 70.600/siswa/tahun). 

Masyarakat harusnya meminta apa yang telah diamanatkan dalam pendidikan harus dipenuhi. Pendidikan merupakan layanan dasar yang wajib disediakan. Belum lagi pemerintah pusat melalui berbagai program seperti BOS, BSM, maupun KIP berupaya memberi penanganan pada beban pendidikan masyarakat. Harusnya daerah tergerak untuk menutupi kekurangan biaya sehingga beban masyarakat bukan makin berat namun bertambah ringan.

Kamis, 19 Mei 2016

Mengeksplorasi Standar PAUD yang Ramah Anak

|0 komentar
Kebijakan sekolah ramah anak menjadi kebijakan yang sudah banyak difahami masyarakat. Sekolah Ramah Anak  adalah sekolah yang secara sadar berupaya menjamin dan memenuhi hak-hak anak dalam setiap aspek kehidupan secara terencana dan bertanggung jawab. Prinsip utama adalah non diskriminasi kepentingan, hak hidup serta penghargaan terhadap anak

Sebagaimana dalam bunyi pasal 4 UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, menyebutkan bahwa anak mempunyai hak untuk dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sekolah semestinya menjadi tempat ternyaman kedua setelah rumah bagi anak-anak. Meski demikian ternyata masih banyak kasus-kasus kekerasan terjadi di sekolah.

Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat. Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus," kata Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti Tahun 2015 jumlah kasus kekerasan terhadap anak juga tetap pada kisaran 5.000. Maka dari itu, YSKK yang memiliki dampingan PAUD, mendorong upaya adanya komitmen maupun kebijakan tentang PAUD yang Ramah Anak.

PAUD merupakan salah satu lembaga yang memiliki peran utama dan dasar memberi landasan bagi perkembangan anak. Rabu 18 Mei lalu, YSKK dengan 8 PAUD dampingan di Kecamatan Weru mengeksplorasi berbagai aspek tentang PAUD Ramah Anak. Hadir 17 pendidik PAUD di Permata Hati yang menggali berbagai hal terutama pada 2 bagian besar yakni Pendidik dan standar PAUD. Untuk Pendidik meliputi Sikap Dasar Pendidik dan Peran Pendidik dalam Pembelajaran.

Sementara standar PAUD yang Ramah Anak meliputi Ruang Kelas, Lingkungan Sehat, Keamanan, Standar Toilet, Alat Pembelajaran maupun Perlengkapan. PAUD yang terlibat dalam pembahasan tersebut yaitu PAUD Permata Hati, Candi Asri, Nurul Ilmi, Nurul Amal, Pamardi Yoga, Mawar, Mawar Biru serta Cahaya Hati. Sedangkan dari Tawang Indah maupun Aisyiyah berhalangan hadir.

Di masa mendatang harapannya eksplorasi tentang berbagai standar PAUD Ramah Anak ini akan menjadi pegangan, panduan atau bisa berupa kebijakan tingkat sekolah dalam menyediakan layanan serta fasilitas yang melindungi kepentingan anak. Memang belum semua yang menjadi topik bahasan sudah dipenuhi oleh PAUD yang ada. Setidaknya mereka berkeinginan hasil pertemuan siang itu menjadi landasan mereka merealisasikan PAUD Ramah Anak.

Yang dibutuhkan effort lebih keras pada soal memenuhi lingkungan yang sehat serta standar kamar mandi. Untuk lingkungan yang sehat termasuk diantaranya jajanan yang sehat dan aman sebab selama ini secara factual menjaga lingkungan PAUD steril dari penjual makanan tidak sehat. Termasuk juga mendorong atau menjaga orang tua tidak memberi makanan yang tidak baik/sehat bagi anak.

Mewujudkan PAUD yang ramah anak bisa dianggap mudah maupun sulit tergantung kemauan pendidik. Bagaimana menciptakan pembelajaran, suasana maupun infrastruktur di PAUD yang ramah anak. Seringkali banyak pihak menganggap menciptakan fasilitas PAUD ramah anak membutuhkan banyak sumberdaya. Selain itu kerjasama dengan orang tua siswa didik menjadi hal penting. Komitmen mewujudkan sekolah ramah anak harus menjadi

Sabtu, 07 Mei 2016

Melihat "Ke Dalam" Pendidikan Gratis Kabupaten Sukoharjo

|0 komentar
Tidak banyak daerah yang merealisasikan pendidikan gratis mulai jenjang pendidikan dasar hingga menengah (SD-SMA).Bila ditilik dari slogan mungkin banyak daerah mengklaim sudah menjalankan program pendidikan gratis namun dilapangan bisa menunjukkan hal sebaliknya. Siswa dipungut dengan beragam dalih mulai uang gedung, uang seragam, tambahan pelajaran, ekstra kurikuler dan lainnya.

Salah satu daerah yang diam-diam merealisasikan pendidikan gratis sudah cukup lama yakni Kabupaten Sukoharjo. Bahkan kebutuhan anggaran pendidikan siswa semua dicover oleh Bantuan Operasional Sekolah (BOS), APBD hanya menambahi anggaran Rp 450.000/siswa/tahun hanya untuk siswa SMK. "Alokasi APBD kebanyakan didistribusikan untuk peningkatan kualitas sarana prasarana maupun peningkatan mutu pendidikan" urai Mulyadi, Kabid Dikdas Dinas Pendidikan Kabupaten Sukoharjo.

Peningkatan kualitas sarana dan prasarana meliputi pembangunan ruang kelas SD/SMP, rehab ruang kelas SD/SMP, pembangunan pagar SD/SMP, pengadaan alat praktek dan lainnya. Sedang peningkatan mutu pendidikan diantaranya penyelenggaraan akreditasi sekolah, penyelenggaraan UKS, Penyelenggaraan lomba gugus, penyelenggaraan porseni dan lain sebagainya. Demikian ungkap Mulyadi dalam diskusi Hardiknas yang mengambil tema "Menakar Kualitas Pendidikan Gratis Sukoharjo" yang diadakan di Anugerah Resto Sukoharjo Rabu 4 Mei kemarin.

Eko Bani dari Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) salah satu narasumber mengungkapkan alokasi APBD Sukoharjo meski termasuk besar ditingkat Jawa Tengah namun tidak mencapai 20 persen seperti mandat undang-undang. "Tahun 2015, APBD Sukoharjo untuk pendidikan hanya dialokasikan sebanyak Rp 107 M alias 6 persen saja. Bila dirata-rata maka tiap siswa di Sukoharjo menerima Rp 712.000/siswa/tahun. Seharusnya alokasi anggaran bisa ditingkatkan lagi sebab merupakan mandat undang-undang" ungkap pria asal Tawangsari ini.

Dia juga menyoroti ketimpangan APK dan APM terutama pada jenjang siswa pendidikan menengah yang jauh dari makna adanya pendidikan gratis terutama pada Angka Partisipasi Murni yang menandakan fakta sesungguhnya anak yang mengakses pendidikan di Sukoharjo. Tahun 2013 APM pada sekolah menengah hanya 58,68 persen, meningkat menjadi 70,62 persen dan bertambah tidak signifikan pada 2015 menjadi 71,11 persen. Dalam seminar itu, anggota demisioner Dewan Pendidikan Drs H Awieg Soewignyo mengkritik Dinas Pendidikan yang tidak serius meningkatkan kualitas pendidikan di Sukoharjo.

"Sebagai salah satu buktinya, kepengurusan kami sudah setahun habis tidak juga segera diganti. Kami sudah bolak balik mengajukan permohonan pergantian baik ke Dinas Pendidikan maupun ke Bupati tetap tidak ada respon" ungkapnya. Beberapa peserta diskusi menyatakan, sisi negatif pendidikan gratis juga terjadi. Misalnya saja ekstrakurikuler di sekolah terbatas, minimnya pengayaan materi, minat ikut lomba turun dan lain sebagainya.

"Bagaimana tidak turun, kalau lolos menjadi juara biaya ikut lomba baik tingkat kabupaten bahkan provinsi sekolah yang menanggung. Padahal kami dilarang meminta dari orang tua siswa" ujar Suherman dari YPLP Sukoharjo. Program pendidikan gratis di Sukoharjo memang baik diteruskan hanya memang perlu dievaluasi untuk pembenahan sehingga layanan kualitas pendidikan bisa tetap terjaga.

Jumat, 06 Mei 2016

Baca Buku 15 Menit Sebelum Pelajaran Tidak Banyak didukung Sekolah

|0 komentar
 Himbauan menteri pendidikan Anies Baswedan untuk membiasakan membaca buku non pelajaran 15 menit pertama sebelum pelajaran dalam prakteknya tidak mudah. Karena dilapangan banyak sekolah mengganti anjuran menteri tersebut dengan membaca Al Quran. Tidak cukup banyak yang menjalankan anjuran Mendiknas. Di Solo, setidaknya ada SMPN 8 yang mempraktekkan anjuran Mendiknas meski hanya untuk 3 hari.

Bahkan dalam acara Talk Show di pembukaan Solo Book Fair yang digelar di Benteng Vastenberg 3 Mei, seorang guru dari SMP Diponegoro mempertanyakan keefektifan membaca 15 menit anjuran menteri. "Sebelum kebijakan diterapkan, sudah di ujicoba terlebih dahulu. Hasilnya kunjungan ke perpustakaan meningkat 140%. Tekniknya juga jangan hanya membaca hening. Bisa dengan kelompok, giliran, Semaan, dan kenapa ga lebih dari 15 menit? Karena targetnya kebiasaan. Jangan paksa anak-anak baca sesuai selera gurunya. Tanyakan pada minat anak-anak. Buku kita banyak tidak menarik. Seperti ilustrasi kurang, warna monoton dan lain sebagainya. Bila perlu ada taman bacaan, perpustakaan informal itu menarik. Mendorong tumbuhnya komunitas itu lebih kreatif." tegas Anis.

Menurut mantan Rektor Universitas Paramadina, literasi itu membaca tidak hanya calistung. Cara memancing membaca harus dari ortu. Di sekolah sudah dimulai dengan membaca 15 menit. Intinya agar anak-anak punya kebiasaan baca. Wawasan dan pengetahuan terus berubah, itu dampak dari membaca.
 
Sementara itu Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab mengaku awal ditunjuk duta baca membikin stress. "Bagaimana tidak stress, berdasarkan data di Eropa tiap anak dalam satu tahun membaca 25 buku, di Jepang membaca 12 buku dan di Indonesia 0 buku. Tapi ketika ketemu berbagai komunitas jadi agak optimis. Misalnya di Probolinggo, ada yang pake kuda pustaka seminggu sekali kuda itu berkeliling kampung mengangkut buku untuk dibaca anak-anak, di Polewali Mandar ada perahu pustaka. Itu agak melegakan" urai host Mata Najwa ini.

Ada banyak manfaat dari membaca itu selain bertambah pengetahuan juga menambah daya imajinasi dan biasanya hidupnya lebih bahagia karena stres berkurqng, tidak cepat pikun dan masih banyak lainnya. Berdasar sebuah penelitian, bila tiap hari baca cukup 6 mnit akan kurangi stres.

Assisten Gubernur Jateng yang mewakili Gubernur, Pramono menegaskan minat baca anak-anak di Jawa Tengah terus ditingkatkan. Tidak hanya koleksi buku ditingkatkan namun juga pelayanannya. Kini sudah ada 38 perpusling. 3 bulan pertama koleksi perpustakaan bertambah 9.000 koleksi baru. 

Mendikbud menambahkan bila anak-anak mau sukses di masa depan harus punya mimpi, imajinasi, maupun kreativitas. Itu harus dirangsang dari membaca buku. Tumbuhnya minat baca sejak dini, dimulai dari kita sebagai ortu. Seringkali ortu tidak sadar, tidak anggap (membaca) itu ketrampilan penting. "Termasuk soal baca 15 menit, bukan menitnya yang dipentingkan tapi kebiasaannya" lanjut Mendikbud.

Najwa menambahkan di Jakarta juga ada aplikasi gratis perpustakaan. Informasi bisa di akses lewat banyak akses. Membaca buku itu merangkai. Beda dengan baca wa, SMS. Lihat pemain bola latian. Saat berlatih mereka lama bermain umpan, mendrible bola, menggirig, mendrible, menshoot dan lain sebagainya. Latihan bermain sangat jarang namun hasilnya kita semua bisa melihat seperti Jerman, Spanyol, Belgia dan masih banyak lagi.. Membaca itu latihan mcerna masalah dalam kehidupan. Mereka yang tidak telaatih membaca tidak bisa dapat konteksnya.

Jadi membaca itu bukan sekedar melek aksara dan mengeja. Indonesia hebat karena founding father kita bacaannya luas. Itu tidak terjadi mendadak karena latar belakang mereka yang bacaan mereka sangat kuat. Dua hal yang perlu terus ditingkatkan yakni. 1 minat baca 2. Daya baca. Daya baca itu yang terkait kekuatan seseorang ketika membaca buku yang serius dan panjang. Dengan demikian, dibutuhkan revolusi gerakan membaca sehingga terjadi perubahan membaca .