Sabtu, 28 November 2015

Ketua DPRD Gunungkidul Dukung Bahas Raperda Pendidikan di 2016

|0 komentar
Ketua DPRD Gunungkidul, Suharno menyatakan mendukung draft Raperda Pendidikan masuk dalam Prolegda 2016. "Pendidikan merupakan salah satu sektor penting sehingga pantas masuk prioritas pembahasan 2016" kata Suharno saat menjadi panelis Diskusi Publik Naskah Kebijakan Raperda Gunungkidul, 19 November lalu.

Pernyataan ini dikemukakan menanggapi hasil riset yang dilakukan Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) yang dalam salah satu poin disebutkan perlunya klausul Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah masuk dalam Perda. Raperda Pendidikan Gunungkidul tersebut merupakan hasil pembahasan DPRD periode 2009 - 2014 dan kini nasibnya masih belum jelas. Padahal menurut kewenangannya, Pendidikan merupakan salah satu layanan dasar yang harus dipenuhi daerah dalam menyelenggarakan pendidikan.

Kajian YSKK mengungkapkan, draft Raperda itu terdiri dari 9 bab dengan 51 pasal.  Ke Sembilan bab itu terbagi atas Ketentuan Umum, Fungsi dan Tujuan Pendidikan, Satuan Pendidikan, Program Pendidikan, Tata Kelola Pendidikan, Pengawasan, Sanksi dan Ketentuan Penutup. Dalam Raperda Pendidikan, hampir tidak ditemukan aturan yang lokal atau berbasis kebutuhan daerah. Hampir mayoritas merupakan turunan atau aturan-aturan yang telah diatur ditingkat nasional. 
 
Sedangkan klausul yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat hanya ada di 2 pasal yaitu pasal 46 ayat (3) dan pasal 47 ayat (1) dalam Bab VII Pengawasan. Pasal 46 ayat (3) tertulis “pengawasan secara eksternal terhadap satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat”. Sementara pasal 47 ayat (1) berbunyi “Pemerintah daerah, dewan pendidikan, komite sekolah/madrasah melakukan dukungan, pengawasan, nasehat, dan mediasi atas pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pada satuan jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing”

Panelis dari UNY, Dr Setya Raharja MPd mengungkapkan komite sekolah memegang peranan penting dalam konteks non akademik sebut saja manajemen sekolah, layanan pendidikan, pembiayaan dan lain sebagainya. Sementara untuk dewan guru fokus pada persoalan akademik. Keduanya akan berkontribusi pada peningkatan mutu satuan pendidikan.

Sementara panelis lainnya, Drs Andang Suhartanto mengutarakan Raperda Pendidikan Gunungkidul harus kembali pada filosofi pendidikan mataram. "Filosofi pendidikan Mataraman mengacu pada religiusitas, modern dan berbudaya dengan 3 tokoh kunci Ki Hajar Dewantoro, Ahmad Dahlan dan simbol Keraton Ngayogyakarto".  Dalam penilaian Andang yang juga anggota Dewan Pendidikan Gunungkidul ini, filosofi itu belum tercermin dalam Raperda sehingga harus dikaji ulang.

Termasuk juga partisipasi masyarakat baik melalui dewan pendidikan maupun komite sekolah. Sebab penyelenggaraan pendidikan yang baik dan memenuhi 3 unsur diatas tidak akan terwujud tanpa partisipasi masyarakat. Penyelenggara pendidikan boleh pemerintah tapi pendidikan sebagai subyek tetap harus turut dimiliki masyarakat sehingga keluaran pendidikan akan lebih baik.

 

Selasa, 24 November 2015

Mendorong Klausul Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan Masuk di Perda Pendidikan Surakarta

|0 komentar
Sekolah, dinas pendidikan dan entitasnya sebenarnya tidak sendiri dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Ada unsur masyarakat lain yang bisa dilibatkan dalam mengusahakan menaikkan kualitas pendidikan. Terutama orang tua siswa yang berkepentingan langsung dengan keluaran pendidikan sebab makin berkualitas pembelajaran disebuah sekolah, maka anaknya yang bersekolah disitu makin bagus. Bila pemerintah melalui Kementerian Pendidikan sudah menetapkan kebijakan pendidikan dan anggaran secara nasional, tentu dinas pendidikan maupun sekolah mengelola anggaran itu dengan keterlibatan unsur masyarakat. 

Seperti diamanatkan dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB XV Pasal 54 tentang Peran Serta Masyarakat  dalam Pendidikan menegaskan bahwa: (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. 

Desentralisasi bahkan masuk hingga ke tingkat nit layanan di mana sekolah adalah salah satunya. Kebijakan ini dipertegas dalam UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tentang MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Kebijakan MBS dimaksudkan untuk membentuk manajemen sekolah yang lebih otonom dalam menyelenggarakan pelayanan pendidikan bagi warga negara. Disisi lain, adanya Undang-undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah juga bersinggungan dengan sektor pendidikan. Disitu dijelaskan kewenangan pendidikan diatur sesuai jenjang masing-masing.

Untuk PAUD, TK hingga pendidikan dasar 9 tahun, tanggungjawabnya pada pemerintah kabupaten/kota, pendidikan menengah SMA/SMK menjadi kewenangan pemerintah provinsi serta pendidikan tinggi menjadi ranah pusat. Meski demikian, saat membedah Perda No 4 Tahun 2010, sudah banyak klausul yang tidak sesuai juga tidak adanya hal yang menyinggung perihal partisipasi masyarakat terutama melalui saluran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. 

YSKK sebagai salah satu entitas yang menaruh perhatian, mendorong adanya klausul tentang hal ini. Didahului dengan sebuah penelitian yang cukup mendalam, disusunlah Naskah Kebijakan tentang Revisi Perda tersebut. Kemudian guna lebih menguji kedalaman maupun menampung usulan masyarakat, pada 17 November kemarin diselenggarakan acara diskusi publik tentang draf Naskah Kebijakan Revisi Perda Pendidikan. Acara yang digelar di Baron Indah tersebut menghadirkan 1 presenter dengan 3 panelis.

Hasil riset YSKK dipaparkan oleh Adi Cahyo, koordinator MPPS dan ditanggapi oleh Putut Gunawan (Ketua Badan Pembentuk Peraturan Daerah/DPRD Komisi IV), Prof Sukarmin (FKIP UNS) dan Trijono (Komite Sekolah SDN Kleco 1). Peserta diskusi tidak hanya dihadiri oleh sekolah, komite sekolah namun juga tampak diantaranya Aryo Widyandoko (Sekretaris Disdikpora), Dr Siti Supeni (Dewan Pendidikan), aktivis mahasiswa, ormas dan pemerhati pendidikan lainnya.

Secara umum diskusi menghasilkan muara besar pentingnya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah diatur dalam Perda maupun Peraturan Walikota. Karena hingga saat ini, peran serta kontribusi 2 institusi tersebut masih minim. Padahal disisi lain, keberadaan mereka cukup strategis sebagai bagian yang tidak boleh diabaikan dalam pengambilan kebijakan pendidikan di daerah. Putut Gunawan bahkan mempersilahkan MPPS termasuk YSKK aktif dalam proses tahapan diskusi revisi Perda. Dia menjanjikan MPPS yang terlibat bisa banyak orang meskipun secara administratif yang tercatat hanya satu orang.

Sabtu, 07 November 2015

PAS GK Siap Kawal Kebijakan Pendidikan Gunung Kidul

|0 komentar
Salah satu strategi melakukan advokasi kebijakan yakni mengkonsolidasi masyarakat sipil yang akan menerima dampak sebuah kebijakan. Salah satu kabupaten di DIY yakni Gunung Kidul bakal segera membahas sebuah kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat luas yaitu pendidikan. Maka dari itu penting untuk segera menggalang kekuatan bersikap atas rancangan peraturan daerah tentang pendidikan.

Sebagai salah satu lembaga yang menaruh perhatian pada isu pendidikan, Yayasan Satu Karsa Karya pada 17 Oktober lalu mengundang beberapa elemen untuk mendiskusikan kondisi pendidikan di Gunung Kidul. Bukan hanya Dewan Pendidikan, Komite Sekolah namun juga organisasi masyarakat keagamaan, pemuda, LSM, komunitas perempuan diundang.

Mereka berkomitmen membentuk sebuah jaringan masyarakat sipil yang akan mengawal berjalannya pembahasan Raperda Pendidikan. Selama ini hampir jarang kebijakan ditetapkan dengan pembahasan yang partisipatif. Padahal prasyarat sebelum ditetapkannya sebuah aturan harus "mendengar" masyarakat.

Dalam acara tersebut, beberapa orang menyatakan pendidikan di Gunung Kidul kondisinya beragam. Ada yang menganggap sudah baik dan perlu ditingktkan namun tidak sedikit yang mengungkapkan keprihatinannya. Salah satu sessi yang menghadirkan mantan anggota DPR Alvin Lie, menjadi sessi diskusi menarik. Sebab Alvin memaparkan berbagai strategi agar suara masyarakat bisa "didengar". Masyarakat sendiri juga harus siap dengan konsekuensi tersebut misalnya bekerja dan mempelajari draft kebijakan lebih mendalam.

Mereka kemudian bersepakat membentuk sebuah jaringan bersama bernama PAS GK, Paguyuban Among Siswo Gunung Kidul. Koalisi masyarakat sipil ini bahkan sudah membentuk perangkat sebagai upaya serius bahwa bagi mereka kebijakan pendidikan di Gunung Kidul perlu disikapi serius.

Adapun langkah awal yang langsung disepakati dalam forum tersebut yakni menggelar sarasehan kandidat kepala daerah mengenai komitmen mereka terhadap pendidikan. Kegiatan ini sekaligus menjadi semacam penjajagan komitmen kandidat kepala daerah terhadap pendidikan di Gunung Kidul. Sarasehan kepala daerah ini bisa menjadi entry point bagi PAS GK untuk mengawal proses pembahasan Raperda Pendidikan.

Semoga mampu berjuang demi pendidikan Gunung Kidul

Selasa, 03 November 2015

Kemendikbud Harus Buat Formula Penghitungan Kebutuhan Biaya Siswa Pertahun

|0 komentar
Dalam pendidikan ada jargon yang cukup menarik,
terutama dalam hal penggalian anggaran sekolah

Ada sumbangan versus pungutan
Ada sekolah syariah versus non syariah
Ada "katanya" ikhlas versus pukul rata
Ada diatas meja versus dibawah meja


Miris rasanya mendengar jargon demikian padahal pemerintah telah menetapkan pendidikan dasar 9 tahun harus gratis tanpa pungutan. Rupanya, perintah negara ini tidak berarti pengelola sekolah negeri yang juga abdi negara mematuhi perintah tersebut. Ada saja berbagai alasan kenapa mobilisasi dana masih dilakukan.

Disisi lain, tidak banyak pemerintah daerah mau tahu kebutuhan sekolah. Hingga saat ini bisa dihitung dengan jari sekolah yang melakukan analisa kebutuhan biaya pendidikan per siswa per jenjang pendidikan. Padahal analisa beban biaya siswa ini salah satu hal penting yang seharusnya masuk dalam kebijakan pendidikan daerah.

Pemerintah pusat melalui Kemdikbud idealnya menyusun panduan bagaimana cara menghitung kebutuhan biaya tiap siswa. Sehingga membantu daerah mengalokasikan anggaran untuk pendidikan (selain anggaran rutin seperti gaji, operasional, dll). Seringkali BOSDA penentuannya hanya jumlah kira-kira saja.

Tools ini penting dikembangkan sehingga orang tua juga memahami dan tidak berkeberatan apabila memang ada edaran tentang partisipasi anggaran yang diminta sekolah. Tentu tiap sekolah kebutuhannya tidak sama namun ketika ada format penghitungan, bakal makin memudahkan sekolah maupun menjelaskan ke orang tua siswa.

Formula ini dapat sekaligus dimanfaatkan banyak pihak. Bagi Pemda, bisa digunakan untuk menghitung kebutuhan biaya siswa tiap tahun. Alokasi APBD untuk BOSDA makin jelas. Bagi DPRD, fungsi monitoring bagi alokasi pendidikan juga lebih terukur. Bagi sekolah, akan memudahkan sewaktu membuat perencanaan kegiatan sebab "pemasukan" sekolah bisa dipastikan. Dan bagi orang tua, tidak perlu bingung dan was-was akan kena iuran bulanan berapa karena perhitungan tiap siswa sudah jelas.