Rabu, 30 Juli 2014

Mengkritisi Bantuan Desa Oleh Gubernur Jawa Tengah

|0 komentar
Pada bulan Februari lalu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memberi bantuan ke desa yang ada di Jawa Tengah. Bantuan itu besarannya mulai Rp 40 juta bagi desa dengan kategori kemiskinan rendah (ada 4.373 desa). Rp 60 juta untuk kategori kemiskinan sedang (ada 2.080 desa) dan bantuan Rp100 juta (1.356) untuk kategori kemiskinan tinggi. Selain digunakan memperbaiki infrastruktur daerah, bantuan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan alokasi yang lumayan besar ini, terjadi realokasi besar-besaran di SKPD Propinsi.

Setidaknya ada Rp 435,32 M yang dikucurkan ke 7.809 desa yang berada di 537 kecamatan dan 29 kabupaten. Selain memperbaiki infrastruktur, Ganjar berharap masyarakat mau berlatih terutama pemerintah desa bagaimana mengelola dana yang cukup besar sehingga nantiunya bila ADD cair, sudah tidak perlu kaget. Menyimak statement ini, harusnya gubernur tahu diri bahwa kondisi tiap desa tidak sama. Baik kondisi masyatakatnya, SDM perangkat desanya apalagi kebutuhan warganya. Pemerintah Propinsi harus melakukan serangkaian kajian yang matang sehingga anggaran itu tidak terbuang percuma.

Solopos cetak 7 Februari 2014
Disisi lain, model ini tidak bisa begitu saja diterapkan diawal tahun., Kenapa? bisa jadi SKPD sudah membuat perencanaan secara matang tetapi diawal tahun harus disesuaikan dengan kemauan gubernur. Ingat, alokasi ini penting bagi desa dan idealnya harus terus berjalan. Cuma dimasa mendatang tetap harus ada persiapan matang. SKPD juga harus ada yang menjadi pioner, bukan sekedar bagaimana administrasi penyalurannya ke kabupaten atau desa namun juga rambu-rambu lain yang juga penting. Misalnya selain infrastruktur bisa untuk apa saja, persiapannya bagaimana, pelaporannya bagaimana dan lain sebagainya.

Dijalankannya proses Musrenbang sebenarnya cukup membantu banyak bila semua daerah begitu. Namun faktanya hampir kebanyakan wilayah menjalankan Musrenbang sebagai rutinitas belaka. Sehingga tidak ada dokumen perencanaan yang baik. Lantas alokasi dana puluhan juta itu bisa saja tidak tepat sasaran. Bisa saja Pemprop bekerjasama dengan daerah untuk memanfaatkan fasilitator PNPM, LSM, SKPD kabupaten atau institusi legal lainnya yang memang layak dipercaya. Buat regulasi untuk mengatur implementasi, monitoring maupun pelaporannya.

Dengan demikian dana yang dialokasikan akan bermanfaat bagi masyarakat. Apabila berani, Ganjar harus memberi reward bagi tiap desa di 1 kabupaten yang terbaik akan mendapat alokasi tambahan 10 persen misalnya. Dari 29 Kabupaten paling kan cuma Rp 290 juta saja. Model pemberian reward semacam inilah yang jarang dilakukan pemerintah pusat dan propinsi tidak boleh menirunya. Masyarakat desa tidak butuh seremoni, upacara penyerahan trophy atau seremoni lainnya, yang penting ditahun mendatang mereka mendapat anggaran lebih besar.

Jumat, 25 Juli 2014

Reformasi Birokrasi dan Kemandirian Pangan Harus Turut Diperhatikan

|0 komentar
Enam Agenda Penting Revolusi Mental Pemerintahan Jokowi - JK (2)
(Sambungan)

Disisi lain, kawasan hutan sebagai paru-paru dunia yang terdapat cukup banyak di Indonesia kini merosot tajam. Dalam satu tahun puluhan hektar atau seukuran ratusan lapangan sepakbola hutan kita habis dibabat. Penghilangan hutan tidak sekedar karena kepentingan kebutuhan kayu atau pemukiman namun eksplorasi tambang. Kejadian ini bahkan sempat menjadi sorotan dunia meski pelakunya secara tidak langsung ya negara-negara besar itu. Jokowi harus berani dan tegas melihat, mengevaluasi bahkan bila perlu mengusir bila perjanjian yang ada justru merugikan kita.

Keempat Revolusi Mental yang tak kalah pentingnya yakni pada Birokrasi khususnya dalam pelayanan publik. Baik layanan publik berbayar maupun layanan publik yang gratis. Layanan publik berbayar misalnya soal perijinan usaha, retribusi, pajak dan lain sebagainya. Sementara layanan publik yang gratis bisa semacam akta lahir, KTP, KK dan berbagai layanan lainnya. Jokowi pernah menjadi Walikota dan Gubernur, tentu faham bagaimana menggerakkan birokrasi. Pilihlah menteri dalam negeri yang memang punya kapasitas yang baik.

Revolusi Mental kelima yang penting dibidang Kemaritiman kita. Laut Indonesia sebenarnya lebih luas dari daratannya namun sejarah kemaritiman nampaknya benar-benar pupus. Kenangannya tinggal dalam sebait lagu "nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarungi luas samudra". Padahal dengan kepemilikan laut yang luar biasa tersebut, bisa menjadikan Indonesia negara yang patut disegani. Pidato pertama di kapal Phinisi memberi makna mendalam bagi masyarakat kita. Ini menjadi pijakan penting yang harus jadi titik balik penting.

Termasuk gagasan Jokowi saat debat Capres beberapa waktu lalu tentang angkutan laut yang hampir tidak dimanfaatkan secara optimal. Disisi lain masih ada pariwisata, kekayaan bawah laut, transportasi dan sektor lain yang bisa dioptimalkan tidak sekedar perikanannya saja. Dan Keenam, Revolusi Mental yang diperlukan bangsa ini adalah Kemandirian Pangan. Entah sudah berapa komoditi kita yang impor dari negara lain. Tidak hanya beras, gula, daging, garam, minyak goreng, kopi, teh dan masih banyak yang lainnya.

Artinya Indonesia belum menjadi negara yang berdaulat dari sisi pangan meski kawasan negara Indonesia termasuk kawasan yang luar biasa bagi tumbuhan pangan. Kalangan BPPT dan Universitas harus mendorong, menciptakan dan berkreasi menumbuhkan inovasi-inovasi dibidang ketahanan pangan. Sudah saatnya kalangan akademisi turut berpartisipasi dalam pembangunan negara. Setidaknya terobosan-terobosan itu menjadi perhatian penting.

Itulah 6 Revolusi Mental mendasar yang harus menjadi prioritas pasangan Calon Presiden terpilih periode 2014 - 2019. Tentu diseputaran Ir H Joko Widodo - H Jusuf Kalla terdapat kalangan akademisi, praktisi, tim sukses yang bisa memberi kontribusi penting atas isu-isu diatas. Enam hal mendasar itu akan cukup merubah wajah Indonesia dimasa mendatang, di tangan Presiden baru, Presiden yang sungguh dicintai rakyatnya.

Tidak sekedar cerdas, pintar namun juga mampu mengorganisasi pemerintahan dalam negeri. Selain Mendagri, Menteri PAN dan RB juga turut memegang peranan penting dalam hal road map penjenjangan karier PNS. Hingga saat ini masih ada kendala dalam pengaturan dan mutasi birokrasi. Bahkan ada tuntutan guru minta diangkat menjadi pegawai pusat. Nah problem mendasar dari birokrasi di Indonesia yaitu mentalitas dan komitmen pada pekerjaan mereka. Masih mudah kita temui birokrasi tanpa semangat, dedikasi dan semangat kerja sebagai pelayan warga.

Kamis, 24 Juli 2014

Pemilih Solo Abstain 25 Persen

|0 komentar
Pemilu 2014 menyuguhkan kontestasi yang menarik, tidak hanya siapa yang akan bertarung namun siapa masyarakat yang akan menggunakan hak pilihnya. Akhirnya pasca penggunaan hak suara, tingkat partisipasi masyarakat naik. Penggunaan hak di Kota Solo menarik diamati tetapi melepaskan faktor statement Jokowi berniat Nyapres bukan hal yang bijak. Diakui atau tidak, Nyapresnya Joko Widodo membuat pengguna suara di Kota Solo bertambah. Bahkan tingkat kemenangan di kota kelahirannya cukup tinggi. Tidak hanya sebatas dari Solo, Jokowi bahkan pernah menjadi Walikota hampir 2 periode penuh.

Dibandingkan jumlah, memang hampir semua kecamatan pemilihnya bertambah. Laweyan di Pemilu 2009 tercatat 71.839 suara, pemilu ini menjadi 73.446. Pasar Kliwon yang sewaktu 2009 tercatat 62.379 pemilih naik menjadi 63.293. Adapun Kecamatan Serengan menjadi 39.661, bertambah sedikit dari 39.278 pemilih. Kecamatan Banjarsari yang tercatat sebagai pemilih terbanyak 124.109 naik luar biasa menjadi 128.005 sementara Jebres dari 100.532 tidak cukup signifikan yakni 105.322.

Dilihat dari pertambahannya maka Jebres menempati posisi paling banyak mencapai 4.790 pemilih diikuti Banjarsari (3.896), Laweyan (1.607), Pasar Kliwon (914) dan Serengan paling kecil atau cuma 383 pemilih. Sehingga apabila dijumlah total pemilih tahun 2014 mencapai 409.777 suara. Dan yang menggunakan suaranya sebanyak 299.790 yang terbagi atas 158.361 perempuan dan 141.424 laki-laki. Dengan demikian prosentase pemilih tidak menggunakan haknya mencapai 25 persen. Solo cukup diuntungkan karena majunya Joko Widodo membuat tugas KPU menjadi ringan.

Pencapresan Joko Widodo membuat PDI Perjuangan bekerja tidak cukup berat sedangkan bagi partai lain, harus melipatgandakan kerja mereka. Tanpa kerja keras, mereka akan banyak kehilangan kursi. Dari kondisi pemilu sebelumnya setidaknya yang cukup berpotensi kehilangan kursi adalah Partai Demokrat dan Partai Golkar. Adapun partai lainnya seperti PKS dan PAN serta Gerindra minimal perolehan suara akan naik. Pengaruh tokoh partai di tingkat nasional untuk pemilih Solo cukup tinggi.

Hal ini dikarenakan keteladanan maupun kiprah tokoh partai politik lokal selain PDI Perjuangan tidak cukup terlihat. Bahkan hingga Joko Widodo menjadi Gubernur DKI, tidak ada tokoh partai lokal yang memanfaatkan momentum untuk mengambil inisiatif. Kebanyakan mencari amannya saja.dan itu bisa dilihat dari kondisi perpolitikan Solo tidak dinamis. Hingga sekarang tidak ada manuver politik yang cerdas untuk mengkritisi pemerintahan daerah. Justru dengan demikian parpol selain PDI Perjuangan yang malah dirugikan.

Revolusi Penegakan Hukum dan Pendidikan Target Utama

|0 komentar
Enam Agenda Penting Revolusi Mental Pemerintahan Jokowi - JK (1)

Tulisan Martin Suryajaya di Indoprogress hari Rabu (23/7) sungguh mengusik. Pengambilan posisi antara relawan dengan tim sukses sungguh tepat. Pasca terpilihnya pasangan calon presiden dan wakil presiden Ir H Joko Widodo dan Jusuf Kalla harus segera ditindaklanjuti. Bukan hanya syukuran, senang-senang apalagi mengumbar kejelekan pasangan. Biarlah urusan Capres nomor 1 pasangan Prabowo Subianto dengan Hatta Rajasa menjadi urusan mereka sendiri. Beberapa tokoh di parpol pengusung juga sudah mulai ancang-ancang meninggalkan koalisi.

Bagi masyarakat, utamanya relawan yang memiliki harapan membesarkan bangsa ini harus membedah minimal 5 tahun kedepan apa yang bisa kita kontribusikan. Apakah sebagai pendukung Jokowi, ketika menang berhenti begitu saja? Bahkan tidak mau berdialektika? Berdiskusi? Oh jangan sampai. Justru saat ini momentum penting untuk mempertajam visi misi Jokowi JK saat maju sebagai kandidat Capres. Kesempatan besar bagi kita segera menggali apa-apa saja yang menjadi tantangan terbesar bangsa ini kedepan.

Pidato perdana pasca penetapan kemenangan oleh KPU yang dilakukan di pelabuhan Sunda Kelapa diatas kapal Pinishi jelas menegaskan pentingnya maritim. Itu satu hal yang mengisyaratkan sesuatu. Namun yang menjadi Visi besar Jokowi JK adalah Revolusi Mental. Ya pembenahan mentalitas rakyat hingga seluruh elemen bangsa memang harus dibenahi. Tanpa adanya revolusi mental, terpilihnya Jokowi akan menjadi sia-sia, tanpa arti dan akan seperti yang lainnya. Lantas Revolusi Mental dimanakah yang harus segera menjadi prioritas kita?

Pertama, Revolusi Mental dalam penegakan hukum. Saat ini penegakan hukum sepertinya tajam kebawah dan tumpul keatas. Jokowi harus mampu menegakkan kembali keadilan, menyegarkan lagi bahwa hukum harus adil buat siapapun. Lihat, hampir semua melakukan pelanggaran hukum. Kasus korupsi bahkan menjalar ke aparat hukum yang sudah seharusnya menjaga. KPK saat ini sendirian dan inilah kesempatan bagi Jokowi membenahi lembaga penegakan hukum kita. Bersihkan lembaga peradilan dari pelaku-pelaku kotor.

Penjarakan hakim-hakim yang terbukti bersalah, seret jaksa yang main-main kasus, perkarakan polisi-polisi yang main kasus atau bawa pengacara-pengacara yang mencoba menyuap aparat. Lihat saja di kabinet Indonesia Bersatu Jilid II sudah 2 Menteri yang tersangkut kasus korupsi. Salah satunya malah sudah mendapat vonis hukuman 4 tahun. Kedua, Revolusi Mental dibidang pendidikan yang menyangkut segala aspek. Seperti yang Jokowi katakan, aspek pendidikan moral untuk SD 80 persen dan sisanya pengetahuan dan terus berkurang hingga berkebalikan pada saat SMA perimbangannya.

Benahi juga mentalitas guru yang hingga kini meski sudah diberi tunjangan sertifikasi 1 kali gaji tetapi peruntukannya lebih banyak bukan untuk peningkatan kapasitas. Bayangkan dijaman modern begini, dia beli hp bisa seharga Rp 2 juta lebih namun membeli komputer atau laptop cuma seharga Rp 3,5 juta. Artinya grand design perubahan kurikulum 2013 harus lebih diintensifkan lagi. Lantas yang juga perlu di revolusi dalam sistem pendidikan kita adalah sistem ujian dengan menggunakan multiple choice bukan isian bebas. Sistem pilihan membentuk karakter anak bukan mencari jawaban tetapi hanya memilih.

Ketiga, Revolusi Mental Pengaturan Sumber Daya Alam. Evaluasi semua kontrak karya yang dimiliki Indonesia dengan berbagai perusahaan besar seperti Freeport, Exxon Mobil, Adaro Energy, Total E&P, Newmont dan masih banyak yang lainnya. Evaluasi kontrak tidak sekedar melihat apakah kita diuntungkan secara ekonomi, pekerja, majunya kawasan namun juga sustainability lingkungan, kawasan tetap utuh alias tidak rusak dan lain sebagainya. Berbagai pertambangan itu bergerak tidak hanya minyak dan gas tapi juga non migas.


Bersambung



Rabu, 23 Juli 2014

Latar Belakang Prabowo Menolak Hasil Pilpres

|2 komentar
Pasca pengumuman rapat pleno Komisi Pemilihan Umum semalam, masyarakat riuh rendah merayakan kemenangan. Meski hanya sebagian karena sebagian yang lain pendukung Capres Prabowo sibuk mengutuk kekalahannya. Belum lagi muncul statement mengejutkan dari Capres Nomor 1 yang menarik diri dari proses pemilu. Ada beberapa pengamat menyatakan tidak berpengaruh, namun ada juga yang menyatakan tidak memiliki makna namun ada yang bilang memiliki konsekuensi hukum. Secara pribadi agak aneh rasanya dengan proses penarikan diri ini.

Gelagat ini sebenarnya agak mendadak sebab jauh-jauh hari hingga H-4 dari Pleno KPU mereka masih menyatakan menang. Padahal sejak H-7, telah ada situs www.kawalpemilu.org yang memuat hasil perhitungan atas form C1 unggahan di website KPU. Dan hasilnya, pasangan Ir H Joko Widodo - Jusuf Kalla memenangkan pertarungan. Pasca pemungutan suara terjadi pertarungan versi quick count di media. Sebagian besar memenangkan pasangan Capres nomor 2 namun ada 4 lembaga quick count yang memenangkan Capres nomor 1.

Keduanya menyatakan memenangkan Pilpres, namun tak berselang lama SBY sebagai presiden memanggil keduanya. Mereka diminta untuk meredakan situasi terutama pendukung masing-masing. SBY sadar bila dibiarkan tentu bisa timbul konflik yang tak berkesudahan. Release quick count pun dilarang ditampilkan. Namun Capres no 1 menanyangkan real count tim mereka sendiri di televisi jaringan MNC Group. Maklum Harry Tanoe membelot ke Prabowo meski secara resmi Hanura mendukung Jokowi - JK. Disisi lain, kubu Jokowi - JK tetap yakin menang karena lembaga penyelenggara quick count yang memenangkan mereka adalah kredibel dan tidak mereka bayar.

Oleh para tokoh, keduanya diminta untuk bersabar menunggu hasil perhitungan resmi KPU atau real count. Di tingkat massa, banyak yang merelease proses perhitungan form C1 unggahan KPPS. Faktanya dari situs itu, Jokowi leading, memenangi pilpres. Pada saat itu, muncullah dorongan dari pihak-pihak independen untuk sama-sama menunggu hasil perhitungan KPU. Kedua Capres pun sepakat cooling down terutama bagi kedua pendukung yang terlihat panas di sosial media.

Kedua capres menurunkan tensinya tapi di sosial media masih saja perang saraf terus terjadi. Pun demikian ketika terjadi perhitungan suara di luar negeri. Beberapa negara mengalami kekisruhan baik di proses pemilihan, perhitungan maupun pengiriman drop box suara. H-2, kedua Capres masih sama-sama optimis memenangkan pertarungan bahkan hingga pleno KPU berjalan menghitung puluhan propinsi. Selasa (22/7) sore, kubu Prabowo tanpa Hatta menyatakan menarik diri.

Lho, bukannya sama-sama berjanji menunggu perhitungan suara di KPU? Dan akan legowo menerima hasilnya? Pun keduanya sudah mendeklarasikan siap menang-siap kalah? Prabowo beralasan ada banyak kecurangan hingga dirinya gagal menang. Saya melihat, kekalahan sebenarnya adalah hal yang biasa. Prabowo juga pernah mengalami kegagalan dalam pertarungan Pilpres 5 tahun lalu. Lantas kenapa sekarang reaksinya berlebihan?

Pertama, orang disekelilingnya memberi informasi tidak tepat sehingga dirinya tidak siap. Kedua, terlanjur keluar duit cukup besar, maklum partai yang mendukungpun juga banyak. Ketiga, Tim internal perhitungan mereka merelease data tidak sesuai fakta sehingga informasi kemenangan masih ada dipikiran mereka. Keempat, yang mengalami kekalahan cuma satu pasang, tidak seperti kemarin ada temannya sehingga kekecewaannya tidak besar.

Jumat, 18 Juli 2014

RPJMDes Harus Jadi Sebelum Pencairan ADD Rp 1 Miliar

|0 komentar
Meski pemerintahan desa sudah ada sejak dahulu kala namun bergesernya paradigma pembangunan desa yang bertumpu pada perencanaan desa masih banyak belum dikuasai pemerintah desa. Mudah kita temui pembangunan desa yang tidak terarah. Alasan utamanya tentu keuangan desa yang tak pasti. Jangankan membuat perencanaan jangka menengah, untuk pembangunan tahunan hasil Musrenbangdespun mereka masih bingung harus didanai dari mana. Dana dari kabupaten yang berupa Alokasi Dana Desa (ADD) sering habis untuk tunjangan penghasilan bagi perangkat desa.

Kalau toh pun ada sisa ya hanya sekitar Rp 25 juta hingga Rp 40 juta bagi di desa yang ada di Jawa khususnya seputar Solo Raya. Sawah bengkok yang menjadi andalan desa semakin tak menambah nilai karena hasilnya tak banyak memberi keuntungan. Lihat saja desa lebih banyak menyewakan tanah bengkok dibandingkan dengan mengelolanya sendiri. Banyak pula desa fokus menggali pendapatan dari layanan masyarakat seperti pengurusan surat menyurat. Sepertinya era begini akan segera berakhir pasca ditetapkannya UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Musrenbangkot Kota Solo 2014 (Photo By BChrist)

Mulai tahun 2015, desa akan segera mendapatkan kucuran Alokasi Dana Desa kisaran Rp 1 miliar hingga Rp 3 miliar/desa/tahun. Bila dilihat dari pengalaman pemerintah desa mengelola dana puluhan juga menjadi ratusan juta tentu menimbulkan kekhawatiran. Oleh sebab itu, penyiapan kondisi desa terutama perangkat desa menjadi penting. Yang kedua yakni penyiapan design perencanaan pembangunan desa untuk kurun jangka menengah 6 tahun (Pasal 79 ayat 2(a)). Perangkat desa selama ini tidak familier dengan penyusunan dokumen perencanaan.

Inilah pentingnya melakukan capacity bulding dalam menyambut ADD ditahun mendatang. Mereka harus dilatih bagaimana membuat perencanaan desa. Dokumen Perencanaan Jangka Menengah merupakan turunan atau implementasi dari Visi Misi kepala desa yang terpilih. Pemerintah Kabupaten hingga kini jarang yang memiliki regulasi ditingkat daerah bagi desa yang memang menjadi panduan penyusunan RPJMDes. SKPD seperti Bappeda, Bapermas, Bagian Pemerintahan, Kantor Pemberdayaan Desa seharusnya rutin menyelenggarakan pelatihan bagi pemerintah desa.

Kurangnya kemampuan aparatur ditingkat pemerintah daerah menyebabkan pemerintah pusat harus turut campur mengeluarkan regulasi penyusunan RPJMDes. Dengan jumlah total sekitar 73.000 desa di Indonesia tentu bisa kita bayangkan betapa beragamnya kekayaan desa. Tidak hanya cara mengelola desa, potensi, bahasa, suku dan lainnya. Selayaknya Kemendagri hanya membuat regulasi bahwa desa perlu membuat RPJMDes untuk panduan penyusunan RKPDes (acuan Musrenbangdes). Tentang tata cara, serahkan ke tiap daerah karena menghargai keragaman.

Adanya pengaturan ditingkat pusat menyebabkan potensi-potensi desa terancam tidak tergarap atau tidak muncul. Seharusnya tiap Pemerintah Daerah memfasilitasi penyusunan RPJMDes melalui pelatihan yang diselenggarakan bergulir pada seluruh kecamatan yang ada. Harapannya masyarakat dalam melakukan perencanaan tidak lagi berdasar keinginan namun memang dikarenakan adanya kebutuhan bagi mereka. Perencanaan jangka menengah lebih melandaskan pada potensi, problem substansi serta fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Maka harapannya dalam Musrenbangdes tahunan tak ada lagi usulan membangun gapura desa, pembuatan pos jaga, bantuan pengadaan tikar di semua Rt, pengadaan seragam bagi PKK dan kebutuhan tak substansi lainnya. Dalam Musrenbangdes, stakeholders yang hadir tinggal mengevaluasi hasil pembangunan yang sudah dilaksanakan, membuka rencana kegiatan yang akan dilakukan tahun berjalan serta kegiatan ditahun depan yang harus diprioritaskan yang mana. Tanpa itu, ADD Rp 1milliar hingga Rp 3 miliar tak akan berdampak apapun.

Kamis, 03 Juli 2014

Dua Periode Pemilu Berjaya, Kini Demokrat Runtuh

|0 komentar


Siapa yang tak mengakui kedigdayaan Partai Demokrat sewaktu Pemilu bahkan Pilpres 2004 dan 2009. Dua periode yang menandakan kecemerlangan taktik pendiri partai yang juga kini menjabat Ketua Umum Partai serta Presiden Indonesia ke VI, DR Soesilo Bambang Yudhoyono. Sayangnya di periode jabatan kedua kalinya, struktur partai dan kiprah partai hancur lebur. Banyak pentolan partai terkena kasus korupsi hingga saat ini tidak kunjung terurai. Mulai dari pejabat teras partai, dewan penasehat maupun yang memegang Ketua Umum partai terjerat korupsi.

Sebut saja dijajaran pengurus teras mulai salah satu wakil ketua DPP yakni Angelina Sondaakh dan Nazarudin. Kemudian Dewan Penasehat yang mulai menjadi saksi ada Jero Watjik dan Andi Malarangeng dan top leader sang Ketua Umum yang kini berada di sel tahanan yaitu Anas Urbaningrum. Rentetan peristiwa inilah yang secara perlahan merobohkan kokohnya Partai Demokrat. Soesilo Bambang Yudhoyono nampaknya cukup fair membiarkan KPK bekerja meski  konsekuensi partainya akan hancur lebur di Pemilu 2014.

Benar saja, di Pemilu 2014 demokrat tak berkutik dihabisi 2 partai besar yakni Golkar dan PDI Perjuangan. Nasib peserta konvensi calon presiden makin tak tentu arah. Persiapan Pemilu 2014 terasa jauh lebih berat karena mereka melawan dari luar dan dari kadernya sendiri. Tahun 2009 merupakan puncak kejayaan demokrat. Meski perolehannya cuma 20,85 persen tetapi bisa memenangkan pilpres. Hal ini berkat bangunan koalisi bagi-bagi kursi dengan banyak partai. Saat itu yang menjadi oposisi hanya PDI Perjuangan dan Gerindra.

Pada 2004, Demokrat cuma mendapat 7,45 persen (8,455 juta) suara berada di urutan 5 sehingga diganjar 55 kursi. Pasca kemenangannya dalam Pilpres 2004 menjadikan Pemilu 2009 benar-benar milik partai ini dengan meraih suara terbanyak mencapai 21,7 juta. Perolehan kursi hampir 3 kali lipat yaitu 150 kursi. Nah berdasar catatan diatas, di 2014 betul-betul merosot hampir setengahnya. Suara yang didapat demokrat tinggal 12,7 juta suara (10.1 persen) dan kursi tinggal 61 saja dan berada di urutan keempat.

Kehilangan hampir separo suara otomatis menyisakan kursi yang tak lagi gemuk seperti periode lalu. Suara 12,7 juta tersebut hanya 6,85 persen suara dari pemilih yang terdaftar atau sebesar 9,12 persen dari pemilih yang menggunakan haknya. Adapun Caleg Demokrat total menyumbangkan 3,5 juta suara (27,83 persen) serta sisanya 9,1 juta memilih lambang partai. Dari 77 Dapil, mereka hanya mendapat dari 59 dapil atau 18 sisanya tak mendapatkan kursi. Perolehan suara terbanyak masih atas nama Edhie Baskoro Yodhoyono (Jatim VII/243.747).

Diikuti oleh Willem Wandik dari Papua meraih 178.682 dan Libert Kristo Ibo dari Papua juga 166.734 suara. Minimnya suara didapat atas nama Caleg Agung Budi Santoso (Jabar II/18.847), Nur Hayati Ali Assegaf (Jatim V/18.162) serta Ayub Khan (Jatim IV/15.975). Pada periode ini beberapa artis asal Demokrat sudah tak menjabat lagi diantaranya H Qomar. Setidaknya masih ada Ruhut Sitompul (Sumut I/34.685),  Venna Melinda (Jatim VI/49.383) serta wakil rakyat baru Dede Yusuf Macan Effendi (Jabar II/142.939).

Rabu, 02 Juli 2014

Kualitas Pendidikan Di Indonesia Hanya Jargon

|0 komentar
Kemajuan sebuah negara sering diukur dari maju tidaknya pendidikan. Hal itu karena asumsi pendidikan sebagai ujung tombak perubahan. Sayangnya asumsi tersebut dipatahkan oleh kajian Prof Dr Baedhlowi, MSi dalam pengukuhan guru besar Manajemen Sumber Daya Manusia FKIP UNS 12 November 2009. Dan hingga kini terlihat perkembangan pendidikan seakan tidak beranjak membaik. Tiap tahun yang diributkan hanya soal tunjangan sertifikasi dan biaya pendidikan. Sinyal yang diberikan Prof Baedhowi seakan-akan makin menunjukkan kebenarannya.

Sudah bertahun-tahun tunjangan sertifikasi diberikat dan makin banyak yang menerima. Sayangnya problem pendidikan dari yang teknis hingga non teknis masih terus saja muncul. Baik berdasarkan periodisasi, elemen sekolah, jenis sekolah, manajemen dan masih banyak lagi lainnya. Berdasar periodisasi atau waktu, pungutan seragam saat pendaftaran siswa baru, pungutan daftar ulang, pungutan uang ujian dan lainnya masih terjadi dalam waktu tertentu. Berdasar elemen sekolah misalnya masih ruwetnya data base guru yang tidak update. Lihat saja beberapa daerah bahkan muncul gugatan keaslian data Guru Tidak tetap.

Sementara untuk jenis sekolah, adanya sekolah negeri dan swasta selalu menjadi pertentangan. Ada sekolah negri iri terhadap sekolah swasta berbayar mahal dan gaji gurunya besar namun ada sekolah swasta hampir menerima murid tiap kelasnya tidak lebih dari 15 orang. Tentu ini PR yang tidak gampang sebab nasib guru pengajarnya akan seperti apa. Maka dari itu, masih sangat jauh kita membedah atau berharap kualitas pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik. Tentu yang dimaksudkan kualitas pendidikan adalah output atau keluaran lembaga pendidikan.

Perubahan kurikulum 2013 yang digembar-gemborkan hingga kini banyak menemui kendala. Tak jelas bagaimana hasil ujicoba bagi sekolah percontohan yang sudah berjalan 1 tahun ini. Perubahan kurikulum sebenarnya memang baik namun terkesan tergesa-gesa karena guru atau yang bakal memfasilitasi diruang-ruang kelas masih banyak yang mindsetnya terbelakang. Susah berharap perubahan dari mereka. Harusnya ditiap sekolah ada percontohan terlebih dahulu. Dorong bagi guru-guru yang sudah mendapat sertifikasi untuk melaksanakannya.

Pemantauan bisa dilakukan oleh dinas secara berjenjang. Seperti kita tahu, jumlah guru luar biasa banyaknya. Tetapi jarang sekali mereka tergerak secara bersama untuk mereformasi sistem pendidikan yang menghargai potensi anak. Sudah jelas ada pembatasan-pembatasan misalnya jumlah siswa dalam 1 kelas hanya 20, ya tetap saja di sekolah terdapat lebih dari 28 orang dengan alasan yang bisa saja dibuat. Apalagi soal lainnya.

Lantas kapankah kualitas pendidikan di Indonesia akan bisa di"panen"? Sebagai sebuah proses tentu akan membutuhkan waktu lama apalagi dalam kondisi persepsi tentang pendidikan di Indonesia masih beragam. Tujuan masih berbeda dan sistem pendidikannya masih output oriented. Kalau sistem sudah dirubah menjadi proccess oriented, menghargai kelebihan Individu anak didik dan para guru sudah tidak lagi meributkan apa yang didapatkan tetapi apa yang bisa didedikasikan, itulah titik awal kualitas pendidikan kita akan lebih baik. Kapan? Ah semoga tak lama lagi.