Kamis, 27 Februari 2014

Sekilas Pemilu 1999 - 2014

|0 komentar
Pemilihan Umum Tahun 2014 merupakan Pemilu ke empat pasca Reformasi yang digadang-gadang runtuhnya Orde Baru bakal menghadirkan kesejahteraan warga. Namun apa daya, hingga 15 tahun reformasi berjalan, tingkat kesejahteraan masyarakat tak kunjung meningkat. Secara umum pendapatan warga memang bertambah tetapi naiknya inflasi yang lebih tinggi justru mengabaikan peningkatan pendapatan yang diperoleh masyarakat. Apakah Pemilu keempat sejak 1999 akan membawa perubahan lebih baik? Atau sama saja? atau bahkan lebih buruk?

Dilihat dari peserta pemilu saja, jumlah parpol yang "bertarung" berubah-ubah bahkan relatif terus ada Parpol baru disetiap Pemilu. Parpol ini benar-benar baru bukan parpol koalisi, leburan atau parpol lama yang tidak memenuhi electoral treshold kemudian bertarung lagi. Dari aspek ini bisa dilihat ternyata mendirikan parpol merupakan salah satu hal yang strategis. Soal pengurus, bisa bajak membajak dari manapun. Banyak individu yang suka melompat pindah partai.

Saat kampanye, bendera parpol dimana-mana
Pada pemilu 1999, era baru muncul makanya terjadi euforia parpol. Saat itu KPU merupakan representasi Parpol sehingga banyak sekali parpol yang lolos verifikasi. Padahal belum tentu mereka benar-benar memperjuangkan ideologi mensejahterakan masyarakat. Yang lolos verifikasi sampai 48 partai sehingga kertas caleg luar biasa lebarnya. Pemilihpun kelabakan mencoblos parpol yang memang dipilihnya sebab tak mudah melihat dimana parpol pilihannya. Dari jumlah itu, tak ada separo (20 parpol) yang mendapatkan kursi di DPR RI. Itupun 8 Parpol mendapat 1 kursi dan 2 parpol mendapat 2 kursi sehingga yang memperoleh diatas 2 kursi hanya 10 partai.

Partai pemenang pemilu yakni PDIP dengan 33 persen suara (153 kursi) diikuti Golkar dengan 25 persen suara (120 kursi) dan 12,5 persen suara oleh PPP (58 suara). Lima tahun berikutnya, atau Tahun 2004 ditetapkan 24 partai politik yang bertarung. Pada pemilu inilah dimulai dengan tidak hanya partai tetapi nama Caleg secara terbuka. Sebelumnya DCT hanya ditampilkan dalam pengumuman semata. Dengan daftar nama Caleg, otomatis surat suara juga berukuran besar. Dalam Pemilu 2004 dimenangkan oleh Partai Golkar dengan 21 persen suara (memperoleh 128 kursi), kemudian PDI Perjuangan dengan 18 persen suara (109 kursi) dan PKB dengan 10 persen (52 kursi).

Kemudian di Tahun 2009, jumlah parpol kembali membengkak menjadi 44 partai ditambah 6 partai lokal Aceh. Pemilu 2009 dimenangkan oleh Partai Demokrat, dengan prosentase 20 persen suara (150 kursi), posisi kedua oleh Partai Golkar dengan 14,45 persen mendapat 107 kursi dan posisi ketiga PDI Perjuangan dengan 14,03 persen yang hanya meraih 95 kursi saja. Pemilu Tahun 2009 ditandai dengan perubahan besar tentang Caleg yang berhak menjadi anggota legislatif. Mahkamah Konstitusi yang waktu itu diketuai oleh Mahfudz MD menetapkan Caleg terpilih yakni yang meraih suara terbanyak bukan lagi berdasarkan nomor urut.

Perubahan signifikan ini telah menyebabkan banyak pengurus partai yang tidak aktif terjun ke masyarakat gagal terpilih. Atau juga, Caleg dengan kemampuan finansial besar tingkat keterpilihannya lebih tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh pola kampanye massif dalam beragam bentuk dan dapat juga digunakan model pertemuan atau dengan membantu warga. Pada konteks nasional kemenangan telak Demokrat lebih banyak disebabkan performa Presiden SBY ditahun pertamanya yang dianggap masyarakat memberi kesan baik. Lantas, bagaimana dengan Pemilu 2014?

Tahun ini Pemilu akan diikuti oleh "hanya" 12 partai politik nasional dan 3 parpol lokal Aceh. Tahun ini pertarungan yang cukup fair bagi berbagai partai. Bagi Demokrat, era SBY sudah selesai, bagi Prabowo inilah tantangan menunjukkan seberapa garang Gerindra. Bagi Golkar, penting menandakan ARB apakah mampu mengelola isu lewat media yang dikuasainya. Yang tidak banyak dilirik adalah Hanura yang optimis mencalonkan Wiranto-Harry Tanoe pemilik MNC Group. Meski mencoba terus-menerus kampanye di MNC Group nampaknya tidak banyak yang simpati.

Sedangkan beberapa partai lain, terkesan tidak serius mengajukan Capres sebelum Pemilu diselenggarakan. PAN tidak getol "menjajakan" Hatta Rajasa, PPP bingung dan tidak yakin dengan SDA atau bahkan PKB berdiri di 2 Capres antara Mahfudz MD dan H Rhoma Irama. Sementara PDI Perjuangan belum mengajukan Capres. Di arus bawah menghendaki Gubernur DKI Jakarta, Ir H Joko Widodo sedangkan kewenangan berada di Ketua Umum Megawati. Namun kalau mau memenangkan Pileg, sebaiknya segera umumkan Joko Widodo sebagai Capres.

Rabu, 26 Februari 2014

Apa Kabar RTLH?

|0 komentar
Salah satu tugas Pemerintah Daerah bagi warganya adalah menyediakan tempat hunian yang layak bagi yang tidak mampu. Namun banyak Pemda yang abai terhadap hal ini dan kebanyakan terjadi pada Kota yang mulai tumbuh. Beda dengan wilayah kabupaten yang masih terdapat banyak lahan luas maupun penduduk yang belum padat. Migrasi serta ketimpangan ekonomi menjadi penyebab utama kenapa beban kota atas hunian menjadi tantangan yang harus dientaskan. Pemerintah pusat memang menyediakan bantuan bagi hunian warga miskin.

Tidak hanya melalui pembangunan Rusunawa namun juga renovasi terhadap hunian yang tidak layak. Ada yang disalurkan melalui Kementrian PU (Prasarana Wilayah), melalui PNPM maupun melalui bantuan APBD kabupaten/kota. Surakarta sebagai salah satu kota yang berkembang cukup pesat, menjadikan beberapa kawasan menjadi lokasi perkantoran, perdagangan, wisata, olahraga dan lain sebagainya. Akibatnya lokasi hunian bergeser. Bagi warga yang tidak mampu, mereka akan mengontrak, kos, sewa bedeng atau tinggal ditempat yang tidak seharusnya. Sebut saja magersari di bantaran jalan, bantaran rel, bantaran sungai, tinggal di kios, di pasar dan lainnya.

Source : Solopos Cetak
Program perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) mulai berjalan Tahun 2008. Awalnya program ini malah berasal dari program televisi bernama bedah rumah. Pemerintah mulai tergerak untuk turut membantu warga yang tidak mampu membenahi rumah warga yang tidak layak. Tidak layak disini lebih banyak dikategorikan dari sisi kesehatan bukan luas, jumlah warga yang menghuni atau kategori lainnya. Artinya renovasi itu bukan memperluas rumah, memindah warga yang menghuni satu rumah berlebih, menambah fasilitas atau yang tidak berkait dengan kesehatan.

Sehingga program RTLH fokus pada pembenahan MCK, pembuangan IPAL, lantai, atap hingga dinding rumah. Berapapun luas dan jumlah penghuninya tidak akan disentuh disana. Kota Surakarta sebagai salah satu kota yang berkembang pesat menjadi sasaran program ini. Hingga akhir 2013 tercatat masih ada 14.000 rumah yang harus direnovasi. Dengan biaya Rp 2,5 juta tiap rumah tentu status rumah menjadi layak masih jauh dari harapan. Anggaran itu sangat minim merubah rumah menjadi layak apalagi inflasi tiap tahun masih terjadi.

Tahun 2008 ada 1587 rumah dibenahi dari APBN (Rp 188 juta ) dan APBD (Rp 3 M), Tahun 2009 jumlah rumah dan anggaran totalnya turun drastis. Bahkan di Tahun 2012 dan 2013 tidak ada alokasi APBD Kota untuk merenovasi rumah warga. Hadi Rudyatmo sebagai Walikota Surakarta semestinya kembali memfokuskan program ini sebagai bentuk perbaikan kualitas hidup masyarakatnya. Kondisi rumah yang tidak layak dapat mempengaruhi sektor yang lain baik pendidikan, kesehatan, ekonomi hingga tingkat kriminalitas.

Peningkatan derajat hidup maupun kualitas hidup warga dapat tercermin dan lingkungan tinggal. Setidaknya hunian menjadi tolok ukur kemampuan masyarakat menghadapi kesulitan hidup lainnya. Apalagi bila dibandingkan biaya studi banding anggota DPRD Kota yang Tahun 2013 mencapai Rp 7 M lebih, tentu mencerminkan sisi ketidakadilan. Meski dalam perspektif ekonomi tingkat kota, Surakarta menunjukkan kenaikan yang signifikan tetapi kemampuan masyarakat harusnya menjadi kriteria penilaian tambahan agar tumbuhnya ekonomi bisa berjalan seiring.

Senin, 24 Februari 2014

Potensi Pertanian Wonogiri Menggiurkan

|0 komentar
Bila diberbagai kabupaten lain luas maupun hasil produksi pertanian makin turun, tidak demikian dengan di Kabupaten Wonogiri. Kabupaten ini terkenal dengan Kota Gaplek memiliki struktur tanah yang tidak sesubur Boyolali, Klaten maupun Sukoharjo. Banyak terdapat kawasan pegunungan batuan kapur, ditepi selatan laut Jawa menjadikan pertanian bukan andalan. Meski demikian dalam kurun waktu 5 tahun terakhir mampu mendongkrak tumbuhnya pertanian.

Walaupun dipimpin oleh bupati berlatar belakang pebisnis namun Danar Rahmanto mampu mendorong berkembangnya pertanian terutama padi. Kondisi ini harus dipertahankan sebab dimasa mendatang wilayah dengan produksi padi tinggi akan mengeruk keuntungan. Tantangan terberat yaitu ada 2 bagaimana terus menambah luasan lahan serta menggalakkan minat generasi muda menjadi petani. Seperti awam diketahui, banyak penduduk Wonogiri merantau ke berbagai daerah untuk menjadi pedagang jamu. Hal ini dikarenakan anggapan tanah kelahiran mereka kurang subur.

Source : Solopos cetak
Selain pertanian, produksi kacang mete dari daerah ini juga menjadi andalan utama selain produksi Jamu maupun batuan kapur. Khusus untuk produksi batuan kapur, suatu saat pasti akan habis karena merupakan sumber daya alam non renewable alias tidak bisa diperbaharui. Disisi lain, sang bupati juga berhasil mengembangkan kawasan industri baru ditepian laut selatan dengan masuknya Sritex yang akan membangun pabrik besar disana. Ada juga investor China yang menggagas penanaman investasi meskipun belum mulai, baru survey lokasi.

Jangan sampai terulang kejadian kontrak kerjasama Pemkab dengan China saat dijabat Begug Purnomosidi yang hingga kini Alas Kethu tetap begitu. Padahal dulu akan dijadikan sebuah kawasan ekonomi. Danar yang pengusaha otobus harus jeli melihat potensi yang sudah muncul. Tidak perlu mencontoh Surakarta yang bisa bagus pariwisatanya atau Sukoharjo yang mampu menyulap Solo Baru menjadi kawasan mandiri. Surakarta pariwisata berkembang karena packaging event yang luar biasa dan Solo Baru berkembang karena si investor mampu berkorban cukup banyak sejak 1990an.

Wonogiri memiliki kawasan yang potensial dari berbagai sudut. Meski banyak wilayah atau kecamatan mengalami sulit air saat kemarau, hendaknya bisa segera diantisipasi sebelum mengembangkan wisata. Sebut saja Goa Kahyangan, Pantai Praci, Waduk Gajahmungkur dan lain sebagainya. Penggarapan yang optimal akan menarik wisatawan dari daerah sebelah yang minim wisata sebut Sukoharjo maupun Ngawi dan Nganjuk. Belum lagi rumah penduduk di pedalaman masih banyak yang asli berdiri diatas tanah tandus dengan bambu diatasnya.

Sementara itu, tumbuhnya pertanian hingga Tahun 2012 baik luasan maupun produksi menandakan keberhasilan petani mengoptimalkan yang mereka miliki. Dampingi terus mereka sehingga bagi warga yang mengandalkan usaha batu kapur, gaplek atau usaha kecil lainnya akan ikut bertanam padi. Dorong SKPD Pertanian memprogramkan pendampingan, bantuan benih, bantuan pupuk dan lainnya. Minta DPU membantu mencarikan titik air dan eksplorasi sumber mata air bagi pertanian maupun kehidupan sehari-hari. Inilah peluang yang bisa mensejahterakan warga Wonogiri yang tinggal diberbagai desa.

Selasa, 18 Februari 2014

Sukoharjo Harus Dorong Hasil Pertanian Meningkat

|0 komentar
Kabupaten yang berada di seputar Kota Surakarta dan mampu mengembangkan wilayah untuk menangkap perkembangan yaitu Kabupaten Sukoharjo. Padahal ada 3 kabupaten yang berbatasan langsung dengan Kota Surakarta yakni Boyolali, Karanganyar dan Sukoharjo. Boyolali cukup diuntungkan dengan keberadaan bandar udara Adi Sumarmo. Faktanya Kota Susu ini hampir tidak bisa mengoptimalkan dengan baik bandara tersebut. Demikian pula Karanganyar, justru lahan pertaniannya di invasi oleh hotel, restauran, rumah makan, perkantoran.

Sedangkan Kabupaten Sukoharjo mengambil porsi tidak sama, tetap mengembangkan pertanian tetapi disisi lain mengembangkan kawasan lain baik bagi industri maupun perumahan. Lihat saja pengembangan pabrik seperti batik keris, konimex, sritex terus tumbuh, produksi pertanian juga bertahan baik. Disisi lain, kawasan perumahan tumbuh di kecamatan yang berbatasan dengan Kota Surakarta sebut saja Baki, Kartosuro, Grogol dan lain sebagainya. Meski demikian, Wardoyo Wijaya sebagai bupati perlu merenovasi pasar tradisional untuk menjaga konsistensi produksi pertanian.

Walau baru saja melakukan revitalisasi pasar tradisional, sayangnya pasar Ir Sukarno hingga kini malah berlarut-larut. Meski sudah melibatkan BPK, namun bukannya selesai konflik melebar bahkan pedagang turut menuntut segera selesai renovasinya. Disaat yang sama, maraknya pertokoan hingga pertokoan modern berkembang pesat di Sukoharjo. Kawasan yang diincar oleh para investor tentu saja di Solo Baru. Daerah mandiri yang memang sejak awal disetting menjadi pusat tumbuhnya perekonomian baru. Di sini sudah berdiri 2 mall besar yakni Hartono Mall dan The Park.

Sekitarnya juga turut tumbuh pertokoan yang menyediakan berbagai perlengkapan. Namun bupati harus waspada dan menjaga keseimbangan antara pemilik modal dan usaha kecil. Sebut ada Goro Assalam, Hypermart, Soba Swalayan, Luwes Group, Mitra, Hartono Mall, The Park dan belum lagi kelompok Alfamart dan Indomart yang tersebar hampir di semua kecamatan. Bupati perlu mencontoh Kota Surakarta yang hampir tak memiliki lahan pertanian malah mampu mengembangkan pasar tradisional. Semua jualannya didistribusi oleh kabupaten sekitar.

Hal ini semestinya dimanfaatkan betul oleh Sukoharjo. Karena kabupaten ini hampir minim tempat wisata alamnya. Tanpa campur tangan Pemda memproteksi hasil-hasil pertanian akan menyurutkan minat petani mengembangkan hasil pertanian. Yang terjadi justru mereka malah menjual lahannya untuk kebutuhan hunian baru. Biarkan kawasan yang berbatasan dengan Kota Solo berkembang menjadi hunian namun segera buat regulasi bagi kawasan dipedesaan tetap dipertahankan pertaniannya. Bila perlu beri para petani insentif yang menarik guna menjaga produksi hasil pertaniannya.

Sebab dengan demikian Sukoharjo akan memiliki daya tarik yang kuat. Pariwisata dibidang agronomi hampir belum ada di Soloraya. Seperti diketahui, secara nasional produksi pertanian menyusut drastis. Berbagai produk pertanian di impor dari luar negeri. Ketahanan pangan Indonesia sudah tidak banyak yang mempedulikan. Beberapa kepala daerah yang dianggap visioner karena citra mereka melayani publik dan belum ada yang dikenal peduli pada hasil pertanian. Saatnya Wardoyo Wijaya memberikan aksi nyata bagaimana memproteksi petani.

Senin, 10 Februari 2014

Pegawai Masih Jadi Beban APBD

|0 komentar
Kota Surakarta memiliki beban penggajian pada Pegawai Negeri Sipil yang lumayan besar walaupun dibanding 6 kabupaten di Eks Karesidenan Surakarta tentu paling kecil. Wajar saja karena luas wilayah cuma 44 Ha, jumlah kecamatan hanya 5, jumlah kelurahan juga 51, serta penduduknya Tahun 2014 awal sekitar 600ribu jiwa saja. Tetapi bila dibandingkan dengan jumlah PNS yang tercatat sebenarnya selisih tidak banyak. Kabupaten Klaten dan Wonogiri memang memiliki PNS yang terbesar dibanding 4 kabupaten lain yang berkisar 10.000an orang.

Source : Solopos Cetak
Pasca keluarnya Undang-Undang No 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, sebagai ganti PNS, pemerintah pusat tidak lagi mentolerir adanya pegawai kontrak yang dibayar dari selisih atau sisa APBD. Kalau Pemda memang membutuhkan ya harus dianggarkan secara tersendiri. Tidak mengambil alokasi sisa DAU yang mayoritas memang diperuntukkan bagi gaji pegawai. Dengan kondisi ini, banyak Pemda kewalahan termasuk Pemkot Surakarta. Apalagi secara nasional telah diberlakukan moratorium selama 2 tahun ditambah analisa beban kerja ditiap SKPD.

Hal itu menjadikan Pemkot Surakarta masih harus menunggu 1 tahun melengkapi syarat penerimaan pegawai yaitu selesainya analisa beban kerja SKPD, Belanja Pegawai dibawah 60 persen APBD. Seperti banyak ditemui dilain wilayah, jumlah pegawai terbanyak tentu ada di instansi pendidikan maupun kesehatan. Mereka ada yang berkategori K2 diberi kesempatan diangkat menjadi PNS pada awal Februari dan jumlahnya mencapai 837 orang. Hadi Rudyatmo selaku walikota berkeinginan agar tenaga kontrak tetap dipertahankan dengan alasan pengabdian mereka selama ini.

Dari 7 kabupaten/kota di eks Karesidenan Surakarta yang meloloskan jumlah K2 terbanyak yaitu Sukoharjo dan Klaten. Kedua wilayah ini mampu meluluskan pegawai kategori K2 sebanyak kurang lebih 50 persen sementara yang lain jauh dibawah 50 persen. Sekarang tinggal bagaimana tiap pemerintah daerah mensikapi keberadaan tenaga kontrak. Tentu memPHK mereka bukan keputusan bijak. Bagaimanapun dedikasi, loyalitas dan kinerja mereka selama ini sudah diberikan. Memang gaji pegawai masih cukup besar tetapi tak bijak asal memberhentikan mereka.

Selain mencarikan solusi, kepala daerah harus belajar ke depan bahwa kebijakan merekrut pegawai tanpa koordinasi dengan pemerintah pusat tidak boleh asal-asalan. Sudah sejak 2005 ada PP yang melarang daerah merekrut pegawai kontrak, nyatanya tetap saja dilanggar. Atas hal ini, pusat juga tidak mengenakan sanksi. Oleh sebab itu, banyak program yang bersentuhan dengan rakyat berikan saja ke daerah dan pusat fokus pada aspek menejerial layanan, monitoring maupun evaluasi program daerah. Sehingga bisa jauh lebih berdampak pada rakyat.

Di Tahun 2013, hanya ada Kabupaten Boyolali dan Klaten yang tidak perlu menambah anggaran menggaji pegawai dari pos lainnya selain DAU. Karena alokasi DAU telah cukup bahkan sisa, sementara 4 kabupaten/kota lainnya nombok. Kabupaten Karanganyar malah harus tombok Rp 100 M guna membayar kekurangan gaji pegawai padahal belanja modalnya cuma Rp 126 M. Inilah gambaran betapa pincangnya anggaran pembangunan yang dinikmati oleh rakyat. Pemerintah pusat harus segera menata kembali sehatnya anggaran.

Jumat, 07 Februari 2014

Seakan-akan Semua Orang Boleh Nyapres

|0 komentar
Kurang demokratis apa Indonesia ini. Pemilu belum terselenggara, peraturan sudah tersusun untuk jadi Presiden eh tokoh partai politik pada tidak tahu malu maju menjadi calon presiden (Capres). Entah yang sudah uzur, lebih dari 1 kali kalah, tidak memiliki partai, dan masih banyak yang lainnya. Yang mekanisme agak jelas sebenarnya Partai Pemerintah yakni Demokrat. Melakukan konvensi seperti layaknya Golkar 5 tahun lalu. Meski banyak yang mencibir siapapun pemenangnya tidak akan mampu mendongkrak pamor partai yang hancur berantakan.

Pada Pemilu kali ini akan ada 12 partai bertarung ditingkat nasional ditambah 3 partai lokal. Namun lihat saja mayoritas parpol itu sudah menggadang gadang capresnya sendiri, dari internal partai. Bahkan Hanura lebih nekad, tidak cukup Capres namun Cawapresnya sudah ditentukan dari internal partai. Padahal seperti diketahui perolehan partai ini pada Pemilu lalu memprihatinkan. Awalnya banyak yang memprediksi akan gulung tikar, tetapi masuknya Harry Tanoe dari MNC Group akan mendongkrak Hanura.

Partai lain yang juga dimiliki pemodal dibidang informasi, Nasional Demokrat hampir pasti mengajukan Surya Paloh sebagai Capresnya. Sementara PKB malah terlihat seperti mempersilahkan siapapun maju dari PKB. Yang sudah berniat mencapreskan diri melalui PKB yaitu Raja Dangdut H Rhoma Irama dan mantan Ketua MK Mahfudz MD. Bila dilihat "produknya" semestinya Muhaimin Iskandar akan lebih sreg dengan Mahfudz tetapi ini kan persoalan politik. Berikutnya PKS terdengar menyelenggarakan konvensi yang diikuti kader dari internal namun siapa pemenangnya belum diketahui. Beberapa calon yang disebut misalnya Hidayat Nur, Heriawan, Anis Matta dan sebagainya.

Yang agak rumit justru PDI Perjuangan. Mereka memiliki kader-kader yang mumpuni hanya dari sikap politik sepertinya Ketua Umum PDI Perjuangan terlalu banyak pertimbangan. Sebagai politisi, seharusnya Megawati mengumumkan Capresnya 3 bulan jelang Pemilu. Bila timbul kekhawatiran diserang, itu resiko politik bukan malah menghindar dengan mengungkapkan keluar. Sepertinya Capres yang sama tetap diajukan oleh PDI Perjuangan. Untuk Golkar, Aburizal Bakrie sudah digadang-gadang jauh hari menjadi Capres walaupun dalam berbagai survey "tidak laku".

Mantan Danjen Kopassuss, Prabowo bakal dicapreskan Gerindra dan diprediksi perolehan suara untuk legislatif akan meningkat pesat. Untuk PAN, ambigu bersikap alias malu-malu mengajukan Hatta Rajasa sehingga malah merugikan mereka sendiri. Sementara itu PPP, PBB dan PKPI cukup tahu diri dengan bekerja bagaimana menggenjot perolehan suara. Seperti pada Pemilu sebelumnya, cukup sulit memprediksi ketiganya bakal memperoleh kursi diatas 5 persen.

Anehnya diluaran masih banyak individu maupun mantan pengurus partai tetap pede siap menjadi Capres. Sebut saja Akbar Tanjung dan Jusuf Kalla meski tidak seaneh keinginan Farhat Abbas. Entah masih butuh berapa Pemilu lagi akan tercapai Pemilu yang berkualitas dan menghasilkan wakil rakyat maupun presiden yang amanah. Akibat perilaku anggota DPR yang korup, diprediksi tingkat partisipasi pemilih bakal melorot tajam. Bila benar, ini bukan soal sah atau tidaknya Pemilu melainkan kesadaran bernegara perlu dievaluasi kembali.

Senin, 03 Februari 2014

Agenda Pembangunan, PNPM dan Pengentasan Kemiskinan Kota Surakarta

|0 komentar
Dalam kurun 5 tahun terakhir (2008 - 2013) pos Belanja Langsung APBD Kota Surakarta secara kumulatif memang naik. Namun bila diamati antara pos Belanja Barang dan Jasa serta pos Belanja Modal timpang kecuali tahun 2013, hampir imbang. Pada tahun 2008, dari Belanja Langsung Rp 357 M terbagi Belanja barang dan jasa (Rp 131 M) sementara belanja modal Rp 166 M. Setahun berikutnya belanja barang dan jasa turun menjadi Rp 121 M, belanja modal naik ke Rp 190 M (dari Belanja Langsung Rp 351 M atau turun).

Pada 2010 jumlah Belanja Langsung merosot hingga tersisa Rp 277 M yang terbagi ke belanja barang dan jasa Rp 110 M sementara belanja modal tinggal Rp 138 M. Posisi ini berubah total di tahun 2011 yang melonjak tajam. Alokasi belanja barang dan jasa mencapai Rp 138 M serta belanja modal meningkat menjadi Rp 245 M. Tahun 2012 meski jumlah belanja langsung naik (Rp 478 M) namun alokasi belanja modal turun lagi hingga ada Rp 196 M. Tahun lalu Pemkot masih konstan meningkatkan anggaran mencapai Rp 567 M dialokasikan pada belanja barang dan jasa Rp 247 M dan belanja modal Rp 264 M. (Dari rincian diatas, pos belanja pegawai di Belanja Langsung tidak dituliskan).

Penjabaran tersebut menunjukkan dukungan cukup tinggi bagi berbagai layanan terutama prasarana bagi warga. Disisi lain, Walikota tak kunjung juga meningkatkan alokasi dibeberapa kegiatan lain. Sebut saja untuk Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) atau dukungan RTLH di 2012 dan 2013. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Surakarta semestinya tidak sekedar merencanakan perolehan anggaran maupun mendistribusi anggaran saja. Namun melakukan advis, proyeksi dan masukan yang lebih tajam dalam kurun setidaknya 5 tahun.

Tentunya proyeksi itu masuk dalam RPJMD Kota Surakarta 2010 - 2014. Sayangnya dokumen-dokumen perencanaan menjadi semacam pelengkap administratif saja. Dinamika kota kering dengan wacana yang prospektif, visioner maupun dilandasi regulasi yang pas. Lihat saja berbagai program seperti pengelolaan sampah, pembukaan ruang terbuka hijau, pengentasan kemiskinan masih menjadi tanya. Pemerintah daerah tidak fokus melakukan penajaman RPJMD bahkan RKPD. Forum Musrenbang kini benar-benar menjadi formalitas seperti yang ditakutkan warga.

Dalam catatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat MP Perkotaan, sudah teralokasi anggaran Rp 13,99 M kurun 2008 - 2013. Anggaran sebesar itu dialokasikan ke sektor fisik yakni drainase, komponen jalan, MCK dan Jamban, Perumahan, Sarana Kesehatan dan lainnya. Dibandingkan APBD memang kecil tetapi faktanya banyak masyarakat secara langsung merasakan manfaatnya. Pengajuan proyek yang dianggap "kecil" oleh SKPD, justru benar-benar diimplementasikan baik dengan DPK maupun PNPM.

Penting kiranya untuk kembali merumuskan agenda utama Pemerintah Kota Surakarta. Apakah fokus pada pengentasan kemiskinan, mengembangkan ekonomi kreatif, menggelar event budaya atau? Pasca Pilkada 2010 hampir jarang diadakan acara mengkritisi kebijakan Pemkot. Terutama event atau gelaran kegiatan tingkat kota. Seakan-akan semua dibiarkan berjalan apa adanya, layaknya semua kelurahan atau kelompok warga dipersilahkan menggelar karnaval.