Jumat, 26 Juli 2013

Daerah Terus Tombok DAU

|0 komentar
Pemerintah daerah se eks Karesidenan Surakarta nampaknya masih belum mandiri dalam memberi gaji kepada PNS daerah. Terbukti dari 7 kabupaten/kota masih ada 5 kabupaten/kota yang Dana Alokasi Umumnya Tahun 2013 ini masih minus alias tombok. Artinya untuk membayar gaji pegawai saja mereka mengurangi alokasi dari program lainnya. Hingga saat ini isu minusnya gaji pegawai luput dari suara wakil rakyat sehingga tidak menjadi hal yang segera dibenahi.

Anehnya Pemda di Soloraya (sebutan lain 7 kabupaten/kota se Eks Karesidenan Surakarta) sama-sama berteriak soal kekurangan pegawai pasca pusat memutuskan moratorium penerimaan pegawai. Pemberlakuan moratorium PNS secara nasional nampaknya dijadikan alasan bila ada penilaian kinerja dari pusat maupun DPRD bahwa kinerja menjadi terganggu. Permintaan dari pusat tentang kebutuhan pegawai baru bisa diajukan bila ada 2 syarat yakni anggaran Belanja Pegawai sebesar 50 persen dan Analisa beban kerja.

Source www.kemenkeu.go.id (diolah)
Dari pemetaan Belanja Pegawai, sepertinya  ke 7 kabupaten/kota akan kesulitan memenuhi karena hingga saat ini alokasi Belanja Pegawai masih besar. Hanya Kota Solo yang memiliki peluang untuk memenuhi prasyarat yang diajukan oleh pemerintah pusat. Beberapa faktor memang mampu dikelola secara baik oleh Pemkot Solo dalam rangka meningkatkan kapasitas pengelolaan keuangan daerah. Upaya itu dapat terlihat di kota dengan beragam julukan itu.

Kota Solo hanya mengandalkan jasa dan perdagangan saja tetapi berhasil menciptakan daya tarik dan mengoptimalkan pendapatan. Disisi lain, tertibnya pengelolaan keuangan mampu mengefisienkan anggaran bahkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran masih besar. Dalam APBD Kota Surakarta 2013, Belanja Pegawai memakan anggaran tinggal 53 persen. Sementara kabupaten lain masih berada diatas 60an persen. Meski begitu, ternyata Dana Alokasi Umum yang harusnya digunakan membayar pegawai masih kurang.

Dari 7 kabupaten/kota, semua kabupaten mengalami peningkatan DAU lebih dari 10 persen di tahun 2013 ini sementara Kota Solo justru minus 3 persen. Meski demikian pendanaan DAU yang kurang dan diambilkan dari alokasi lain dilakukan oleh Karanganyar, Klaten, Sragen, Wonogiri dan Surakarta. Dua Kabupaten yang mendapat sisa DAU hanya Boyolali dan Sukoharjo.

Tombok DAU paling kecil dilakukan Kabupaten Klaten yang hanya butuh Rp 49 M lagi membayar gaji pegawai sementara penambahan anggaran gaji terbesar dialokasikan Kabupaten Wonogiri. Kota Gaplek itu harus mengambil anggaran pos lain mencapai Rp 106 M untuk menutup kekurangan membayar pegawai. Empat tahun terakhir Wonogiri terus menerus harus menambah dana daerah untuk menggenapi biaya pegawai.

Selasa, 23 Juli 2013

Kebijakan Pengelolaan Keuangan Karanganyar Butuh DiTingkatkan

|0 komentar
Menejemen pengelolaan keuangan daerah menjadi salah satu tolok ukur bagi keberhasilan pemerintah daerah. Menejemen pengelolaan keuangan ini meliputi alokasi anggaran, keadilan anggaran serta ketepatan alokasi anggaran. Alokasi anggaran meliputi pengalokasian biaya atau dana yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Kadang beberapa aktivitas yang tidak diperlukan dibiayai meskipun masyarakat membutuhkan penganggaran pada kegiatan lainnya.

Sedangkan keadilan anggaran merupakan keberimbangan distribusi anggaran untuk menunjang program dengan biaya-biaya rutin seperti gaji pegawai, perawatan dan kebutuhan lain. Ketepatan anggaran maksudnya segala perencanaan tidak banyak melenceng sehingga dana yang ada bisa dioptimalkan. Tidak kurang dana apalagi tersisa yang lumayan besar. Di Kabupaten Karanganyar hal ini bisa dikaji melalui 2 pos belanja yakni alokasi belanja tidak langsung dan belanja langsung.

Source : www.kemenkeu.go.id (diolah)
Dalam ratusan juta

Dalam kurun waktu 2011 - 2013 terlihat jumlah belanja tidak langsung memang meningkat. Hal ini dipengaruhi faktor utama yakni kenaikan gaji pegawai yang rutin menjadi kebijakan program pemerintah. Meski begitu, Rina Iriani sebagai bupati mampu meminimalisir prosentasi Belanja Tidak Langsung dalam 3 tahun berkurang dari 79,91 persen (Tahun 2011), 79,01 (2012) dan kini menjadi 77,44 persen. Beberapa item belanja tidak langsung memang mengalami pengurangan dan hanya belanja pegawai yang tetap memegang alokasi belanja terbesar.

Di Tahun 2011 alokasi Belanja Pegawai mencapai Rp 650 M, meningkat tajam Rp 783 M ditahun 2012 dan tahun ini memakan anggaran Rp 916 M. Diantara berbagai alokasi belanja tidak langsung, belanja hibah menempati porsi besar kenaikan di Tahun 2013 ini. Bila sebelumnya dialokasikan anggaran hanya Rp 8,3 M tetapi tahun ini menjadi Rp 67,7 M. Seperti sudah diketahui tahun ini akan digelar Pilkada sehingga perlu ada pengawasan yang ketat agar alokasi hibah tidak digunakan untuk kepentingan politik.

Sementara itu alokasi Belanja Langsung mengalami kenaikan tidak cukup signifikan. Bila di Tahun 2011 dialokasikan belanja langsung Rp 181 M (20.09 persen dari Belanja Daerah), lantas naik menjadi Rp 244 M (20,94 persen) dan tahun ini sebesar Rp 303 M (22,56 persen). Belanja Langsung di Kabupaten Karanganyar secara keseluruhan sebenarnya perlu ditingkatkan namun nampaknya menejemen pengelolaan keuangan daerah perlu dibenahi. Belanja modal dalam komponen belanja langsung saja "hanya" mendapat Rp 126 M naik Rp 21 M dari tahun sebelumnya.

Bagaimana dengan Sisa Lebih Perhitungan Tahun Anggaran 2012? Ternyata dalam APBD 2013 tercatat Silpa 2012 mencapai Rp 77 M alias separo lebih dari belanja modal. Kondisi ini memang tidak hanya terjadi di Karanganyar namun juga diberbagai kabupaten/kota di Indonesia. Pemerintah harus lebih jeli memetakan problem tahunan yang terus menerus terjadi namun tak pernah mendapat jalan keluar secara cerdas.

Jumat, 19 Juli 2013

Kualitas Perencanaan Pembangunan Kelurahan Di Kota Solo Menurun

|0 komentar
Meskipun perencanaan partisipasi masyarakat di Kota Solo telah lebih 12 tahun namun secara kualitas tak terjadi peningkatan secara signifikan. Dapat ditemukan beberapa kasus bahwa kualitas perencanaan telah beralih dari tujuan semula yakni peningkatan kesejahteraan menjadi seremoni. Seremoni sejak penyelenggaraan perencanaan, finalisasi dokumen, pengajuan anggaran, pelaksanaan kegiatan hingga pelaporan kegiatan.

Padahal Kota Solo telah menjadi pelopor dalam isu ini di level nasional. Sebenarnya sangat disayangkan hal ini terjadi. Berbagai aspek pendukung baik di masyarakat, pelaksana kegiatan, perangkat kelurahan, SKPD hingga regulasi relatif stagnan. Tak pernah ada evaluasi apalagi yang mandiri untuk menilai kualitas perencanaan pembangunan. Apa akibatnya? Kegiatan Musrenbang menjadi kegiatan monoton yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat.

Lihat saja dalam penyelenggaraan perencanaan sudah mulai terfokus hanya mengisi form yang telah tersedia. Minim sekali dinamika sosial untuk beradu argumen kenapa sebuah program harus diperjuangkan alias lebih diutamakan dibandingkan program lain. Kebanyakan ya hanya mengumpulkan usulan alias shoping list. Masyarakat tidak cukup banyak belajar untuk mengambil keputusan dengan segala konsekuensi yang dimiliki.

Ngarsopuro Tak Pernah Masuk Musrenbang
Meski ada pembelajaran namun kualitas maupun kuantitasnya tidak signifikan dibanding proses, waktu, tenaga dan sumber daya yang dikerahkan untuk itu. Dalam finalisasi dokumen yang dilakukan tim perumus banyak mendelegitimasi substansi kebutuhan masyarakat. Filter alias parameter yang disosialisasikan dalam Perwali tentang Juklak Juknis Musrenbang sering diabaikan. Pada proses pengajuan anggaran, Pemkot memberi kesempatan waktu tak cukup banyak.

Bayangkan saja pada bulan Juli 2013 masih ada 76 persen kelurahan belum menyerahkan proposal Dana Pembangunan kelurahan (DPK). Yang lolospun baru 12 kelurahan dan ada 39 kelurahan yang harus dikoreksi sebab banyak diketemukan proposal kegiatan tak sama dengan berita acara Musrenbang. Pemerintah Kota sendiri tidak menjadikan DPK menjadi aktivitas penting karena 2 hal, pertama anggarannya sangat kecil yakni kurang dari 1 persen APBD (0,75) dan kedua implementasi DPK dianggap bukan aktivitas penggerak atau peningkat kesejahteraan warga.

Pada kegiatan pelaksanaan seringkali cuma diisi dengan bagito alias bagi rata DPK baik untuk kelembagaan seperti LPMK, PKK, KTI, RW, RT dan berbagai lembaga lain maupun operasional kegiatan rutin seperti Posyandu, TPA/TPQ, Koperasi, GSI dan lain sebagainya. Tidak ada kreativitas, inovasi maupun terobosan yang lebih fokus agar DPK memberi efek signifikan bagi masyarakat.

Demikian pula pelaporan kegiatan yang meliputi monitoring, evaluasi maupun penilaian Pemkot atas penggunaan anggaran. Pembentukan Tim Monev tidak memberi nilai tambah yang penting meski sudah dilatih dan dibekali tools untuk melakukan monitoring. Pun demikian bagi kelurahan yang implementasi DPK bagus, tidak ada reward yang diberikan. Bila hal ini dibiarkan, buat apa ada Musrenbang dan DPK? Lebih baik program dikerjakan SKPD seperti jaman orde baru saja.

Kamis, 18 Juli 2013

Dinamisasi APBD Boyolali

|0 komentar
Mengupas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Boyolali Tahun 2013 ini lumayan membaik secara garis besar. Baik dilihat dari aspek pendapatan, belanja maupun faktor-faktor yang menjadi item dalam pembiayaan daerah. Meski demikian tetap ada catatan-catatan yang harus diberikan pada kabupaten yang kini dipimpin oleh Seno Samudro - Agus Purmanto ini. Awal kepemimpinan ditahun kedua sempat diterpa isu tak sedap soal perpindahan sekretariat daerah dari Pulisen ke Mojosongo. Ditengarai perpindahan sekda berkaitan dengan kepentingan bupati.

Awalnya Seno sempat berujar pembangunan kantor kabupaten tak bakal mengganggu APBD tetapi ini sebuah hal yang tidak mungkin. Apakah kantor Sekda bisa dibisniskan? Akhirnya gedung mulai dibangun dengan menggunakan APBD. Banyak masyarakat khawatir pembangunan yang mulai dianggarkan di 2012 itu bakal mempengaruhi tingkat 'kesehatan' APBD Boyolali. Apa benar begitu? Kita coba membedah APBD Boyolali 2011 - 2013.

Dari aspek Pendapatan, tingkat kenaikannya cukup konstan yaitu dari 11,42 persen (2011 ke 2012) menjadi 13,47 persen. Kini total Pendapatan Kota Susu mencapai Rp 1,3 trilyun. Meski begitu tingkat ketergantungan atas Dana Perimbangan masih sangat besar. Bila diprosentase, tahun 2013 ketergantungan pendapatan daerah mencapai 71,34 persen. Membaik dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 75,15 persen dan 2011 di 72,31 persen. Sementara PAD Boyolali sendiri tahun ini mencapai rekor tertingginya yaitu 10,53 persen dari pendapatan.

Untuk alokasi Belanja Tidak Langsung, terjadi penurunan yang cukup signifikan prosentasenya. Bila di Tahun 2011 alokasi mencapai 73,74 persen belanja, tahun lalu menjadi 70,88 persen dan kini masih 67,89 persen walaupun secara nominal jumlahnya bertambah dari Rp 813 M, Rp 873 M dan Rp 965 M ditahun 2013. Peruntukan terbanyak di Belanja Tidak Langsung tentu saja sama dengan daerah lain yakni Belanja Pegawai yang menyerap lebih dari 80 persen Belanja Tidak Langsung.

Nah pada Belanja Langsung inilah alokasi relokasi kantor kabupaten dianggarkan sehingga prosentasenya terlihat besar apalagi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Dalam kurun 3 tahun terus meningkat yakni mencapai Rp 289 M (2011), Rp 358 M (2012) dan tahun ini mengalokasikan 32 persen belanja daerah atau sebesar Rp 456 M. Jika kita buka lebih dalam, akan terlihat belanja modalnya memang besar atau naik secara signifikan Rp 141 M (2011), Rp 182 M (2012) dan tahun ini dianggarkan Rp 248 M atau cuma selisih Rp 48 M dengan Kota Solo yang alokasinya terbesar di eks Karesidenan Surakarta.

Pada Pembiayaan Daerah yang penting dikritisi yakni SILPA atau Sisa Lebih Perhitungan Tahun Anggaran Sebelumnya. Tercatat APBD Kabupaten Boyolali dalam 3 Tahun Terakhhir memang masih menyisakan anggaran cukup tinggi. Di Tahun 2011 masih ada Rp 66 M lalu 2012 APBD tersisa Rp 58 M dan tahun ini diperkirakan ada Rp 64 M. Dengan demikian seharusnya Bupati mengevaluasi kinerja bawahannya agar tata kelola keuangan daerah bisa lebih baik.

Minggu, 07 Juli 2013

Penataan Toko Modern Supaya Tak Mematikan Usaha Warga

|0 komentar
Mau tidak mau saat ini persebaran toko modern berjejaring sudah sangat masif. Kita bisa temui dengan mudah pertokoan jenis ini (khususnya yang 2 merk) hingga keberbagai pelosok. Tidak hanya kawasan pinggiran perkotaan namun hingga masuk ke pusat keramaian di pedesaan. Meski disisi lain ada toko kelontong milik masyarakat biasa yang model penataan dan pengelolaannya hampir mirip dengan model ini. Tetapi trade mark secara nasional 2 merk nasional toko modern sudah nyaris tak tertandingi.

Demikian pula di Kota Solo dan sekitarnya. Meski juga turut tumbuh usaha sejenis namun keberadaan toko modern berjejaring ini sudah memasuki tahap yang patut dikendalikan perkembangannya. Berdasar informasi media terakhir setidaknya hingga 2013 sudah beroperasi 49 buah toko modern berjejaring ini dan yang sedang proses menunggu perijinan masih 30 buah lagi. Diantara yang sudah beroperasi bahkan kadang buka 24 jam walaupun dalam ijinnya tidak selama itu.

Masih pagi tapi sudah sepi pembeli
Koridor yang membatasi pendirian toko modern berjejaring ini hanya soal Perda Pasar dan berkaitan dengan jarak dengan toko tersebut. Disebutkan jarak minimal 500 meter boleh didirikan toko modern. Faktanya yang perlu dilindungi tidak hanya pasar tradisional. Banyak toko kelontong kecil-kecilan milik masyarakat yang menjadi penopang utama kehidupan keluarga. Dengan hadirnya toko modern ini tentu bisa mengganggu keberadaan toko milik masyarakat tersebut.

Diakui atau tidak, membuka toko modern berjejaring modalnya besar. Dari berbagai sumber disebutkan modal mendirikan toko itu lebih dari Rp 2 M. Artinya orang yang berniat membuka usaha ini adalah orang kaya yang mungkin memanfaatkan dana nganggur, tanah nganggur atau waktu sengganggnya. Sementara bagi masyarakat, toko miliknya benar-benar menjadi alat penopang hidup kebutuhan sehari-hari. Sehingga harus diperhatikan benar supaya tidak muncul konflik yang merugikan masyarakat sendiri.

Sejauh peraturan soal jarak dan ijin keramaian lingkungan, nyaris tak ada hal lain yang bisa memproteksi keberadaan toko-toko kelontong. Lantas apa saja yang pantas menjadi pertimbangan tambahan bagi pendirian toko modern? Seharusnya ada 6 syarat tambahan selain soal jarak yang bisa diajukan sebagai pertimbangan perijinan. Keenam syarat tersebut yakni pertama, ragam dagangan. Toko modern berjejaring harus melampirkan jenis dagangan yang akan dijual. Bisa saja misalnya bila disebuah calon lokasi banyak toko kelontong yang menyediakan sembako maka toko modern berjeraring itu tak boleh menjuan sembako. Atau kalau menjual sembako namun dari jenis yang organik misalnya.

Kedua, jam operasi toko. Selama ini yang banyak diketahui selain beroperasi 24 jam ada juga yang buka jam 06.00 - 24.00. Kalau selama itu, kapan toko milik masyarakat akan laku? Lebih baik batasi mereka seperti pilihan buka siang atau malam. Buka siang itu jam 06.00 - 18.00 atau buka malam pukul 19.00 - 07.00. Ketiga, toko modern begini bisa dibuka ditepi kelas jalan tingkat kota, jalan tingkat propinsi atau jalan nasional. Bukan jalan level kecamatan atau kelurahan yang otomatis akan mempengaruhi warung atau toko milik warga.

Keempat, pegawai yang dipekerjakan di toko modern berjejaring haruslah warga setempat. Bisa jadi bagian keuangan dicarikan orang dari luar yang memang memiliki kapasitas. Tetapi pegawai yang melayani dan bertugas secara shift sehari 2 kali adalah rekrutmen dari masyarakat sekitar. Ini upaya kebijakan daerah membuka kesempatan kerja. Kelima, ada hasil UMKM entah berbentuk kerajinan atau makanan yang dijual disitu. Sehingga keberadaan toko modern berjejaring ini sekaligus mengupayakan keberlangsungan UMKM.

Syarat terakhir yang bisa ditambahkan sebagai perijinan toko modern yaitu harga minimal yang dibanderol harus lebih mahal dari toko sekelilingnya. Terutama untuk sembako sebab selama ini toko modern itu justru berpromosi tentang harga barang sembako lebih murah dibandingkan dengan toko biasa. Entah minyak, gula pasir, beras atau kebutuhan pokok lainnya. Diluar sembako, silahkan saja menjual barang bisa lebih murah sebab bila dibebaskan akan mengganggu keberlangsungan toko kelontong yang ada.

Jumat, 05 Juli 2013

Pengaturan Keberadaan Toko Modern Berjejaring

|0 komentar
Era globalisasi memang ditandai salah satunya dengan memudarnya batas-batas wilayah. Akibatnya ruang-ruang atau kawasan yang dulu merupakan kawasan 1 negara, bisa dimasuki oleh negara lain dalam berbagai bentuk. Bila dulu masuknya pihak lain masih berupa simbol fisik yang dapat terlihat dan diatur, kini era teknologi menjadikan infiltrasi berbagai bidang masuk ke ruang-ruang privat. Entah itu bidang kesehatan, pendidikan, teknologi, olahraga dan lain sebagainya.

Yang paling banyak terkena "serangan" dan merubah kondisi salah satunya adalah budaya. Lihat saja sekarang budaya memahat, tari, ukir, suara, alat musik banyak yang ditinggalkan dan diganti beragam jenis budaya internasional. Kita hampir memiliki budaya yang sama dengan negara di Amerika maupun di Eropa yakni berupa teknologi bernama internet. Dibidang ekonomi batas usaha yang dimiliki masyarakat kini juga mulai teredusir oleh kaum pemilik modal.

Ilustrasi
Contoh konkrit di Kota Solo yang luasnya hanya 44 km2, memiliki 51 kelurahan dan 500ribuan jiwa. Meski demikian, pasca Jokowi memimpin kota ini berkembang cukup pesat. Hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang ada baik formal maupun informal. Agenda kota yang melibatkan pihak luar hampir tiap bulan slalu ada. Hal ini tentu menarik minat investasi bagi pemilik modal. Dengan sudah memiliki 26 hotel berbintang, masih ada lebih dari 5 hotel lain yang kini dalam proses pembangunan dan lainnya sedang pengajuan ijin.

Disisi lain, pasar tradisional sendiri sudah berjumlah 49 buah ditambah toko modern berjejaring mencapai 49 buah juga. Melihat hal ini seharusnya pemerintah kota menghentikan pengajuan ijin baru agar tingkat usaha masyarakat bisa terjaga. Perbandingan tersebut dapat menggambarkan setidaknya dalam 1 kelurahan ada 1 pasar tradisional dan 1 toko modern. Padahal diluar toko modern masih ada supermarket, mall maupun hipermarket yang beberapa diantaranya berada di pusat kota.

Bila Pemkot melihat jauh kedepan, sebaiknya keberadaan toko modern berjejaring itu segera ditata, diatur dan ditertibkan. Ada yang sudah kelewat buka malah tanpa batas waktu alias buka 24 jam yang mengganggu toko milik masyarakat setempat. Sebenarnya pemodal-pemodal besar yang masuk ke Solo/sebuah wilayah harus dibatasi agar pemodal setempat yang tanggung dan kecil bisa terus hidup menjalankan usahanya sendiri.

Sesuai pada aturan di Perda tentang pasar tradisional, pendirian toko modern hanya dibatasi mengenai jarak saja yakni 500 meter. Padahal seperti kita tahu, untuk PKL baru di Kota Solo yang diijinkan hanya yang berKTP Solo. Bisa jadi aturan ini diadopsi menjadi pemilik toko modern harus ber KTP Solo, merekrut pegawai dari Kota Solo, komposisi kewilayahan harus diatur pula. Bagi kelurahan yang kecil, hanya ada 1 atau 2 toko modern berjaring tentu akan cukup. Namun bagi kelurahan yang besar bisa ditambah. Atau bisa pula ada tambahan keberadaan mereka hanya ditepi jalan nasional, misalnya.

Intinya keberadaan sebuah komunitas harus berimbang dengan pihak yang lain supaya tidak ada ketimpangan sosial. Pemilik toko modern berjejaring biasanya adalah orang yang memang sudah punya usaha mapan. Artinya kalau toh pun ijin ditolak, dia bisa mengajukan ijin ditempat/kota lain. Untuk bertahan hidup juga masih bisa mengandalkan usaha yang sudah dulu ada. Bagaimana dengan masyarakat bawah yang toko kelontong miliknya adalah harapan satu-satunya? Kalau akibat toko modern itu tutup, dia pasti bingung akan bergantung pada siapa. Oleh sebab itu, penting mengatur keberadaan Toko Modern.