Jumat, 28 Juni 2013

Biaya Siluman Kampanye Sang Incumben Dari APBD

|0 komentar
Bila kita membuka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tentu kita bisa melihat seberapa besar anggaran untuk melaksanakan kegiatan. Sudah lama disinyalir, ketika musim Pilkada tiba, beberapa mata anggaran tertentu mengalami kenaikan signifikan. Kenapa terjadi? karena diduga di mata anggaran tersebut mekanisme pertanggungjawabannya tidak ribet dan simple. Biasanya ada di Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial. Penggunanyapun bukan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) sehingga tak perlu repot-repot memasukkan dalam RKA. Cukup membuat proposal dan ditambah modal stempel.

Hal ini terjadi hampir diberbagai daerah tingkat II dan SKPD yang menangani pencairan biasanya DPPKAD tetapi tentu setelah proposal tersebut melewati tahap verifikasi di instansi yang terkait. Misalnya bantuan untuk posyandu, instansi verifikatornya ya Dinas Kesehatan, bantuan untuk TPA ya instansi verifikatornya Bepermas dan lain sebagainya. Pola verifikasi inilah yang kadang tidak cukup detil artinya hingga home visit. Apalagi pemilik yayasan sampai di wawancara tentang perkembangan lembaga yang mengajukan. Kendalanya ada ratusan proposal dan bila melalui mekanisme tersebut, waktu tidak akan cukup.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Hibah Daerah Pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa Hibah dari Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dapat diberikan kepada : (a). Pemerintah; (b). Pemerintah Daerah lain; (c). badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah; dan/atau (d). badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia.

Sedangkan tentang Bantuan Sosial diuraikan dalam Permendagri No 32 Tahun 2011 Pasal 1 ayat (15) Bantuan sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.

Penjelasan lebih jauh pada pasat 32 yakni Anggota/kelompok masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) meliputi: (a). individu, keluarga, dan/atau masyarakat yang mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, atau fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum; (b). lembaga non pemerintahan bidang pendidikan, keagamaan, dan bidang lain yang berperan untuk melindungi individu, kelompok, dan/atau masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.

Di eks Karesidenan Surakarta, hal ini bisa kita lihat bersama apakah benar tren tersebut. Meski tiap daerah memiliki kebijakan tersendiri namun nampaknya dapat dibaca bahwa Belanja Hibah dan Belanja Bansos adalah anggaran untuk melancarkan Pilkada sang incumben atau parpol berkuasa. Bila menggunakan dana hibah maka dana bansos akan terlihat turun drastis dan sebaliknya. Hanya Kota Surakarta yang terlihat memanfaatkan benar kedua sumber anggaran tersebut.

Yang memanfaatkan alokasi Bansos hanyalah Kabupaten Sragen dengan lonjakan belanja mencapai 295 persen dibanding anggaran sebelumnya. Sedang yang lain memanfaatkan anggaran hibah dengan lonjakan 365 persen (Boyolali/2011); 709 persen (Karanganyar/2013); 1911 persen (Klaten/2011); 65608 persen (Sukoharjo/2010); serta 364 persen (Wonogiri/2010). Hal ini harus benar-benar diawasi secara ketat agar anggaran-anggaran pemerintah benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat.

Selasa, 25 Juni 2013

Akankah Kita Terus Mengandalkan Perut Bumi Sebagai Sumber Energi?

|0 komentar
Pemerintah resmi menaikkan harga BBM 22 Juni lalu yang otomatis disertai naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Mereka sepertinya mengabaikan kondisi disaat yang tidak tepat yakni saat liburan sekolah, awal tahun ajaran baru, memasuki bulan puasa maupun menjelang hari raya Idul Fitri. Idealnya pemerintah mampu menahan diri barang 1,5 bulan agar kondisi ekonomi tetap stabil dan masyarakat dapat merayakan beberapa event dengan cara yang khusuk.

Tapi ternyata pemerintah ngotot dengan argumentasi bila ditunda akan menggerogoti APBN. Disisi lain, ada beribu jalan yang hampir tidak ditempuh oleh pemerintah yakni menunda kenaikan gaji PNS maupun efisiensi belanja yang seringkali memang tidak tepat sasaran. Menaikkan BBM bukan langkah populis walaupun pemerintah menjanjikan akan mengganti dengan berbagai program dibidang lain. DPR pun seakan tak ada perlawanan. Berharap pada partai yang melakukan oposisi jelas suaranya kalah jauh.

Naik turun BBM tidak hanya terjadi di jaman SBY saja dan sudah ada sejak jaman Soeharto. Bila dilihat dari sejarah naik turun harga BBM, kenaikan tertinggi prosentasenya dialami saat Soeharto masih berkuasa diawal pemerintahan yakni hingga 837 persen. Semua presiden kecuali Habibie pernah melakukan perubahan harga BBM. SBY malah tercatat 7 kali merubah harga BBM yakni 4 kali menaikkan serta 3 kali menurunkan harga bensin.

Prosentase terbesar kenaikan harga BBM pasca era Soeharto ya di jaman SBY yang mencapai 87,5 persen tahun 2005 untuk bensin dan 104 persen untuk solar. Era Megawati 2 kali menaikkan bensin, 2 kali menaikkan dan 1 kali menurunkan harga solar kurun 2002 - 2003. Sementara jaman Gus Dur 2 kali menaikkan harga BBM pada prosentase 9 persen (2000) dan 50 persen (2001). Pada jaman Soeharto juga belum pernah terjadi yang namanya pemerintah menurunkan harga BBM.

Saat itu pengumuman BBM jarang diikuti demonstrasi penolakan kenaikan BBM karena semua dipantau secara ketat dan tindakan represif aparat keamanan sangat kuat. Maka masyarakat tak bisa menolak dan ini berbeda dengan kondisi sekarang yang jelang kenaikan harga BBM selalu disambut demonstrasi oleh mahasiswa serta kalangan buruh. Merekalah pihak pertama yang merasakan betul dampak kenaikan BBM paling nyata.

Pemerintah tentu tak bisa terus menerus mempertahankan BBM sebagai satu-satunya sumber energi utama bagi negara. Karena BBM suatu saat akan habis. Sudah banyak pilihan teknologi yang lebih sustainable dan cukup banyak tersedia namun sayangnya dukungan pemerintah akan hal ini minim. Pemerintah malah mendorong penggunaan teknologi BBG yang berbasis gas. Padahal gas juga diproduksi dari alam yang suatu saat akan habis.

Indonesia sebagai negara tropis memiliki banyak keunggulan sumber daya alam penghasil energi yang akan terus dapat diperbaharui. Sebut saja minyak jarak yang beberapa tahun lalu dikampanyekan mampu menggantikan minyak tanah. Sayangnya kini tak terdengar lagi kabarnya. Harusnya masyarakat didorong untuk membuat terobosan menghasilkan energi yang ramah lingkungan. LIPI sebagai salah satu lembaga riset yang berkualitas mampu memproduksi sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dan murah.

Beberapa sumber energi yang juga sudah dipakai oleh negara lain yakni berupa panas matahari, angin, energi air. Masih ada lagi yang bisa dieksplorasi yakni panas bumi, gelombang air laut dan lainnya. Masyarakat yang mampu menghasilkan energi ini sebaiknya diberi penghargaan serta terobosannya dapat diproduksi secara massal sehingga lambat laun penggunaan energi dari minyak bumi dapat dikurangi. Tidak bisa lagi kita terus-terusan mengandalkan sumber energi dari sumber daya perut bumi seperti minyak, batu bara, gas dan lainnya.

Sabtu, 22 Juni 2013

BBM Naik Disaat Tak Tepat

|0 komentar
Naiknya Bahan Bakar Minyak terutama bensin dan solar mendorong peningkatan inflasi. Pemerintah nampaknya kebingungan merumuskan formula yang tepat untuk mengatasi naiknya harga minyak dunia. Akhirnya tanggal 21 Juni, BBM resmi dinaikkan dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 yakni bensin dan solar dari Rp 5.000 menjadi Rp 5.500. Bersamaan dengan itu, sebagai kompensasinya pemerintah mengucurkan BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat).

Entah apa yang dipikirkan oleh pemerintah dengan menaikkan harga BBM terlepas dari kenaikan harga minyak dunia. Sudah banyak pakar yang memberi sumbangan pemikiran tentang bagaimana mengantisipasi atau mensiasati kenaikan BBM. Demikian pula mensiasati subsidi BBM kepada masyarakat yang besarnya mencapai Rp 29,4 trilyun. Subsidi tersebut terpecah dalam beberapa program yakni Beasiswa miskin Rp 7,5 trilyun, Program Keluarga Harapan Rp 0,7 trilyun, Program Raskin Rp 4,3 trilyun, BLSM sebesar Rp 9,7 trilyun dan Program Infrastruktur Dasar Rp 7,25 trilyun.

Liburan adalah momentum berharga
Meski demikian diberbagai daerah sebelum BBM dinaikkan terjadi demonstrasi besar-besaran menolak kenaikan BBM. Masyarakat khawatir kenaikan akan memicu kenaikan harga lain terutama kebutuhan pokok. Bahkan sebelum kenaikan bensin dan solar beberapa kebutuhan sudah naik. Momentum menaikkan harga BBM sepertinya tidak dipikirkan masak-masak oleh pemerintah. Lihat saja saat ini merupakan saat masyarakat membutuhkan anggaran besar.

Pertama, tahun ajaran baru. Masyarakat sedang membutuhkan anggaran melunasi SPP, menganggarkan uang masuk sekolah, pengadaan baju seragam dan seputar pendidikan. Meski kampanye pemerintah bahwa pendidikan gratis, faktanya memasuki pendidikan di Indonesia tidak pernah bebas biaya sama sekali. Mulai dari pendaftaran sekolah hingga perlengkapan sekolah semua nyaris dipenuhi orang tua siswa. Bisa dihitung dengan jari sekolah yang benar-benar gratis.

Kedua momentum Ramadhan yang dalam tradisi di Indonesia sering disikapi berlebihan bukan malah bersikap sederhana. Secara kalkulasi normal, pengeluaran Ramadhan harusnya bisa lebih minim karena makan hanya 2 kali. Nyatanya jenis konsumsi yang dihadirkan diruang makan malah lebih mahal dan beragam dibandingkan dengan hari biasa. Inilah kesempatan pemerintah "masuk" untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya makna Ramadhan ditengah-tengah naiknya BBM.

Ketiga, pasca Ramadhan adalah lebaran yang secara tradisi juga membutuhkan anggaran lebih. Tradisi memberi pada keponakan, tetangga, saudara juga perlu dimaknai sebagai momentum peduli. Nah masyarakat tentu memikirkan penyediaan kebutuhan lebaran. Belum lagi ditambah tradisi mudik lebaran, baju baru, ketupat sayur dan lainnya. Momentum silaturahmi pada orang tua dan saudara menjadi sangat sakral dan naiknya BBM bisa jadi penghalang atas hal ini.

Keempat, keputusan menaikkan harga BBM jelang liburan sekolah membuat masyarakat makin terjepit. Padahal banyak masyarakat yang memanfaatkan momentum ini untuk bercengkerama secara intens dengan anggota keluarga. Dihari-hari biasa mereka disibukkan dengan pekerjaan yang berat atau tugas sekolah anak-anak yang menguras energi.

Keempat hal inilah yang semestinya disikapi pemerintah secara jernih dan melihat momentum kapan menaikkan harga BBM yang pas. DPR sendiri tak banyak bisa berbuat di Paripurna sehingga keputusan pemerintah menaikkan BBM meluncur begitu saja. Tak ada tawaran solusi bagaimana cara tetap memberi subsidi tanpa menaikkan BBM. Rupanya para pakar, ahli maupun akademisi tak cukup berhasil meyakinkan pemerintah untuk menempuh jalan lain selain menaikkan BBM.

Senin, 17 Juni 2013

Mempertanyakan Konsep Otonomi Daerah

|0 komentar
Pasca runtuhnya Orde Baru dibawah rejim Soeharto, secara cepat sistem pemerintahan yang tadinya sentralistik langsung berubah ke desentralistik. Penggantian ini tidak memerlukan waktu beberapa tahun namun begitu rejim ambruk 2009, saat itu pula keluar UU No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Akibatnya dapat dirasakan hingga sekarang pengelolaan daerah dipengaruhi banyak sengkarut. Tidak hanya korupsi, konflik vertikal, konflik horisontal, ketimpangan pertumbuhan ekonomi dan berbagai faktor lain.

Para penggagas otonomi lupa atau terkesan tergesa-gesa mengganti model tanpa kajian yang matang. Bahkan akibat turunan dari UU No 22/1999 telah mengakibatkan banyak kepala daerah, wakil rakyat yang kemudian bermasalah dengan hukum. Hingga kini meski UU tersebut berganti menjadi UU No 32 Tahun 2004 nampak ketidakmatangan gagasan secara substansi. Memang sistem pemerintahannya di desentralisasi tetapi kebijakan, keuangan, sistem birokrasi, kebudayaan dan beberapa hal lain masih sentralistik.

Kita coba membedah model pemerintahan yang otonom. Tidak cukup jelas otonom pada level propinsi atau kabupaten/kota. Akibatnya posisi atau jabatan gubernur menjadi semacam jabatan namun tak memiliki kewenangan selain sebatas dinas-dinas yang ada di propinsi. Lihat saja yang dimiliki propinsi itu hanya jalan, pengelolaan sumber air, tempat wisata, kesehatan di tempat tertentu. Artinya tidak semua jalan, mata air, tempat wisata, rumah sakit itu dibawah kewenangan propinsi.

Masih ada kewenangan rumah sakit di Kementrian kesehatan maupun kewenangan bupati/walikota. Resources birokrasi juga sebatas yang ada di dinas propinsi atau pegawai eselona II menjadi kewenangannya. Sebelum menginjak eselon II, birokrat tingkat kabupaten/kota tunduk murni pada kepala daerah tingkat II. Tidak ada satupun kepala daerah tingkat II yang benar-benar menjalankan program propinsi meski mereka memiliki anggaran tersendiri.

Secara general bahkan kita mengenal sistem yang berbeda di pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah kecamatan hingga pemerintahan desa/kelurahan. Cermati betul  5 tingkatan pemerintahan tersebut dan tidak ada pola yang sama. Tingkat kewenangan, pemilihan pimpinan ditiap tingkatan, alokasi anggaran, kewenangan pengelolaan keuangan, perangkat/birokrasi dibawahnya serta kebijakan yang dihasilkannya. Akibat dari hal ini, potensi konflik sering menjadi kendala bagi kemajuan daerah.

Maka dari itu, penting kiranya pemerintah pusat menyusun grand design penataan sistem pemerintahan, kewenangan, hak, kewajiban, pengelolaan keuangan dan lainnya. Hal ini akan memudahkan pengelolaan negara serta memantau perkembangan tiap jenjangnya. Idealnya daerah otonom meliputi 3 tingkatan saja yaitu pusat, kabupaten.kota dan kelurahan/desa. Sedangkan propinsi dan kecamatan murni kepanjangan tangan pemerintahan diatasnya.

Kondisi ini akan sangat besar pengaruhnya terutama bagi efisiensi keuangan, efektifitas birokrasi, optimalisasi kemajuan daerag serta faktor pendukung lainnya. Pemerintah pusat fokus pada kebijakan makro, monitoring dan evaluasi, pemerintah daerah (kabupaten/kota) terkait implementasi praktis serta pemerintah kelurahan/desa fokus pada peningkatan peran masyarakat.

Senin, 10 Juni 2013

Keluhan Aneh Dari Pak Ren

|0 komentar
Perilaku orang memang kadang aneh bahkan terlalu aneh. Utamanya masyarakat desa yang pindah ke kota tetapi tinggal di perumahan pinggiran seperti di Kampung Ganjil ini. Mereka lebih suka mengganjilkan sesuatu daripada menggenapkan. Arti ganjil disini bukan bilangan tetapi sesuatu yang tidak semestinya akan ditonjolkan dibanding menghilangkan atau tidak mempersoalkan hal tersebut. Misalnya saja tiap ada acara sumbangan relatif tetap tiap kepala keluarga.

Tetap dalam arti sesuai yang diputuskan panitia. Entah mau ganti tahun, entah mau acara lebih ramai, entah konsumsinya wah, entah banyak uang, entah bensin sudah naik, entah jadi ketua panitia, entah jadi ketua Rt ya tetap segitu. Jadi jangan berharap berlebih. Bisa jadi saat kerja bakti minggu pagi entah mau ke gereja, entah malah, entah ada undangan jagong, entah sakit, entah tidak dengar pengumuman ya tidak mau keluar. Bila perlu yang kerja bakti yang salah.

Kali ini keganjilan lain muncul dari salah satu jagoan ganjil yakni pak Ren. Entah ada masalah apa sebenarnya tiba-tiba mempersoalkan warung pak Untung serta parkir mobilnya pak Sahid. Kalau warung Hik pak Untung dipersoalkan banyak hal mulai posisi warung ditanah umum, yang bicaranya keras tanpa kenal waktu, volume tv, kendaraan yang parkir hingga mobilnya yang tak bisa masuk ke garasi. Sementara soal pak Sahid, dipersoalkan parkir yang melebihi batas rumah dan asap yang memasuki rumah. Keluhan itu disampaikan pak Ren pada pak Rt dirumah pak Rt.

Ilustrasi
Kemudian guna menjaga agar masalah tersebut tak melebar, pak Rt yang kini dijabat pak Utomo mengajak pak Muhammad dan pak Ardi berembug. Keduanya dianggap cukup netral untuk membahas soal ini. Diputuskan tentang warung pak Untung tetap boleh bertahan namun parkir dan volume diatur. Menurut pak Muhammad, dulu pak Untung meminta ijin jualan saat rapat Rt dan semua menyetujuinya. Jadi kalau mau memindahkan ya harus melalui rapat. Pak Rt juga sudah menjawab tidak bisa memindah karena menyangkut nafkah harian.

Sementara soal parkir akan disampaikan ke pak Sahid. Begitu dikomunikasikan dengan pak Ren, bukannya menerima malah bersilat lidah. Ada beberapa ucapan yang disangkalnya termasuk soal memindahkan warung serta asap mobil pak Sahid yang memasuki rumahnya. Mereka bersepakat akan saling membantu menyelesaikan dilingkungan masing-masing. Rupanya pak Sahid dan pak Untung sudah kelewat mendengar dan kemudian di persoalkanlah pernyataan pak Ren di rapat Rt. Apalagi ada beda informasi soal penggeseran warung serta asap mobil pak Untung.

Akibatnya pak Ren harus menanggung malu sendirian di forum itu serta meminta maaf. Warga menerima soal volume tv, pembicaraan dan parkir yang tidak boleh menghalangi mobil pak Ren masuk ke garasi. Alasannya sopir-sopir dia banyak yang komplain. Padahal selama ini mobil masuk ke garasi ya biasa saja, lancar. Kalau toh pun harus maju mundur ya memang karena lokasi itu tidak lebar. Apalagi mobilnya kijang Innova yang memiliki bodi cukup besar. Itu belum lagi malah menambahi anaknya susah tidur bila warung ramai.

Namanya juga kampung ganjil jadi kalau tidak ganjil malah aneh. Pak Ren ini sukanya parkir mobil di jalan umum eh malah mempersoalkan warung pak Untung. Alasan asap mobil pak Sahid masuk rumah sementara rumahnya sangat tertutup sebab menggunakan AC. Volume tv dan warga yang jajan di pak Untung mengganggu anaknya istirahat, disisi lain anaknya bila bermain bola di depan rumah pak Ardi ya dimaklumin saja. Pak Ardi menyarankan agar sesekali pak Ren juga keluar, jajan dan ngobrol bareng sehingga enak.

Toh banyaknya warga menambah guyub, kebersamaan dan rasa kekerabatan. Bagi pak Wijo, kalau warung pak Untung libur dirinya sedih sebab suasana jadi sepi. Kondisi ini bisa mempengaruhi keamanan lingkungan sekitar. Terbukti beberapa tahun terakhir warga di Kampung Ganjil tidak ada yang merasa kehilangan walaupun tak ada ronda. Ah dasarnya saja hati pak Ren sudah ganjil jadi tidak seperti pada umumnya malah kalau ramai dia tidak suka. Bukannya mobil yang 3 biji itu jadi aman? Tidur jadi nyenyak? Oalah pak Ren... pak Ren....

Minggu, 02 Juni 2013

Beberapa Model Korupsi Di Indonesia

|0 komentar
Entah sampai kapan berita tentang pejabat korup akan lenyap dari media kita. Entah media massa, media online bahkan media elektronik/tv. Yang diberitakan tidak hanya pejabat birokrasi, eksekutif, kepala daerah namun sampai pada kalangan legislatif, yudikatif yang meliputi kejaksaan hingga kepolisian. Sudah puluhan orang yang terkena kasus, diberitakan, di ekspos tetapi rupanya koruptor tetap tak gentar. Tingkah lakunnya makin menggila.

Lihat saja polanya, makin hari makin berkembang cara melarikan duit korupsi. Dari yang tadinya disimpan untuk kekayaan diri sendiri, kini sudah mulai dibagi-bagikan. Bahkan yang terakhir, pelaku bukan orang yang menempati posisi eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Ahmad Fathanah, bisa disebut perantara, calo atau bekennya sebagai broker. Dia hanya mengatur waktu, mengatur kebijakan dan mengatur fee siapa dapat berapa.

Bahkan uang yang didapatnya malah digunakan untuk foya-foya. Tak tanggung-tanggung sekali main perempuan dibayar hingga Rp 10 juta. Hal ini terungkap dalam persidangan yang menghadirkan MS, mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Ada yang memakai model menikah siri dan tidak tanggung-tanggung dengan 2 perempuan sekaligus. Tindakan ini dilakukan oleh Irjen Djoko Susilo, mantan Kakorlantas Polri. Uang hasil korupsinya dibelikan rumah, tanah dan berbagai hal serta diatasnamakan istri kedua dan ketiganya.

Hanya saja berbagai transaksi yang di kategorikan pencucian uang ini mudah terungkap karena dilakukan melalui transaksi perbankan. Dana diluar transaksi hasil perbankan ini pasti tidak akan terlacak karena sulit pembuktian serta biasanya pelaku suap dan yang menerima tidak bersedia mengaku. Komisi Pemberantasan Korupsi perlu terus didukung agar mampu menangkap pelaku yang metodenya semakin berkembang. Teknik sadap telepon hingga sekarang sepertinya menjadi alat ampuh menangkap mereka.

Dengan beragam model begini, tak mungkin KPK berhenti mengandalkan alat yang sudah dimiliki. Banyak tantangan yang dihadapi KPK secara internal maupun eksternal. Sumber daya, sumber dana, kapasitas, mentalitas hingga pengambil kebijakan diluar KPK yang sering mengganggu kinerja KPK adalah tantangan beratnya. Sedangkan dukungan masyarakat seringkali terkendala jarak, ruang dan waktu. Keberhasilan menangkap koruptor-koruptor inilah yang senantiasa dipertahankan.

Bayangkan saja sejak 2004 - 2013 sudah 291 kepala daerah terjerat korupsi entah itu bupati, walikota bahkan gubernur. Sementara aparatur negara ada 1.221 orang yang 185 sebagai tersangka, 112 terdakwa, 877 terpidana dan 44 saksi. Jumlah yang memang dari sisi kuantitas tidak begitu besar dibanding daerah yang ada, hanya saja memprihatinkan mentalitas atau niat yang ternyata tetap terpelihara. Motivasi korupsi inilah yang harus terus dilawan.