Kamis, 24 Januari 2013

2013 Jamkesmas Masih Saja Awut-Awutan

|0 komentar
Pemerintah pusat yang memiliki kewenangan pengelolaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) ternyata masih saja melakukan blunder. Setidaknya untuk kartu Jamkesmas di eks Karesidenan Surakarta Tahun 2013, mengalami kekacauan penerima alias banyak penerima yang seharusnya tidak layak malah mendapatkan. Ada PNS, orang kaya bahkan anggota DPRD tercatat mendapatkan kartu tersebut. Artinya pendataan yang dilakukan 2012 patut dipertanyakan.

Sumber dari keluarnya kartu sakti dibidang kesehatan itu berdasar PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) 2012 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik ternyata masih banyak yang tidak tepat sasaran. Meski program ini sudah menginjak tahun kesekian sepertinya BPS tak belajar dari pendataan sejenis ditahun sebelumnya. Tahun 2012 malah jauh lebih baik karena pendataan 2011 melibatkan Ketua RT setempat.

Salah satu MCK Umum di Solo (Photo by Ardian Pratomo)
Memang titik lemahnya di mentalitas aparat dilapangan. Bila melibatkan RT kerap kali yang memperoleh justru orang-orang dekat RT. Namun setidaknya, orang kurang mampu tetap mendapatkan. Beda bila langsung ditangani tenaga yang telah dilatih oleh BPS. Seringkali malah data yang dihasilkan margin erornya besar. Akibatnya dilapangan malah timbul kekisruhan. Yang banyak menjadi sasaran tentu Ketua RT, Pihak Kelurahan hingga pemerintah daerah.

Terlepas dari kisruh lapangan, ada beberapa pihak menduga hal ini dilakukan supaya data orang miskin ditingkat nasional bisa ditekan. Ada kepentingan politik bila data orang miskin menjadi turun. Pemerintah Daerah sudah ada yang mengantisipasi dengan Jamkesda yang namanya bisa jadi ditiap daerah berbeda antara yang satu dengan yang lain. Di Sukoharjo ada 2.300 kartu yang ditahan (dari 255.1999 kartu) karena penerima kartu tidak jelas. Ada yang sudah meninggal, berstatus sebagai PNS, pindah rumah dan ada yang tidak diketahui alamatnya.

Sebelumnya (2012) Sukoharjo menerima Jamkesmas untuk 275.000 warga. Di Solo tercatat ada 144 PNS yang terdaftar sebagai penerima kartu dari 85.729 jiwa padahal mereka sudah mendapat fasilitas Askes. Di Klaten, jumlah penerima kartu Jamkesmas malah naik dari 396.488 jiwa menjadi 494.905 jiwa pada Tahun 2013. Di Karanganyar juga mengalami penurunan penerima yang mencapai 10.314 jiwa di tahun 2013 sehingga total penerima ada 258.672.

Dengan berbagai kendala diatas, idealnya pemerintah pusat hanya mendistribusikan anggaran ke daerah yang dikhususkan untuk bidang kesehata. Tiap wilayah dipersilahkan membuat regulasi semacam itu sehingga alokasi anggaran bisa tepat. Sebab tiap daerah memiliki keunikan dan tantangan yang tidak sama sehingga pengaturan dari pusat misalnya tentang standart kemiskinan, tentu tidak bisa diterapkan secara nasional. Kerancuan-kerancuan teknis tetap terjadi.

#Data diambil dari berbagai sumber


Jumat, 18 Januari 2013

Gerindra Dan Nasdem Akan Berbicara Banyak Di 2014

|0 komentar
Analisis berdasar 3 pemilu terakhir dan faktor pendukung

Pemilu 2014 sebentar lagi akan digelar dan partai politik mulai mempersiapkan strategi untuk pemenangan pemilu agar mereka dapat memenangkan pertarungan. Menarik bila kita mencoba memprediksi siapakah pemenang Pemilu mendatang dengan melihat kebelakang siapa pemenang-pemenang pemilu. Sebab kadang pemenang pemilu terkadang tidak otomatis mampu merebut kursi presiden kecuali pemilu 2009 yang dimenangkan oleh Partai Demokrat.

Apakah memang teruji kemenangan Pemilu akan berarti kemenangan Pilpres? Tidak tentu sebab pilpres secara langsung baru digelar sekali sehingga belum bisa dijadikan patokan demikian. Coba lihat pada pemilu Tahun 1999, pemenangnya adalah PDIP namun yang menjadi Presiden malah KH Abdurrahman Wahid dari Partai Kebangkitan Bangsa. Tahun 2004, pemenang pemilu yakni Partai Golkar namun yang meraih suara untuk presiden yakni Soesilo Bambang Yudhoyono dari Demokrat.

Apalagi Tahun 2014 nanti merupakan Pemilu dengan peserta paling minim (10 parpol) dibandingkan pemilu 1999, 2004 dan 2009. Otomatis suara masyarakat akan terfokus pada 10 partai politik itu. Belum lagi mereka harus secara simpatik mampu menggiring swing voters maupun pemilih pemula serta abstain voters yang cenderung meningkat tiap tahunnya. Hal ini tidak mudah karena kinerja partai politik berdasar persepsi masyarakat dalam periode 2004 hingga 2009 dari berbagai survey cenderung menurun.

Dari daftar urut peserta pemilu, coba kita bedah peluang parpol bersangkutan diatas kertas. No urut pertama, Partai Nasional Demokrat merupakan parpol yang baru saja berdiri sehingga belum bisa dilihat track recordnya. Meski demikian dia memiliki peluang menyodok 5 besar apalagi didukung 2 taipan media yakni Surya Paloh dengan Media Group maupun Harry Tanoe dengan MNC corpsnya. Potensi menjaring suara yang cukup besar.

Kedua, Partai Kebangkitan Bangsa dilihat dari tren suara terus saja merosot kebawah perolehannya di 3 pemilu. Dari 12,61 persen di Tahun 1999, 10,60 persen (2004) dan tinggal 4,90 persen saja (2009). Berat rasanya untuk mempertahankan suara apalagi mendongkraknya. Ketiga, Partai Keadilan Sejahtera salah satu partai yang cukup konsisten menaikkan suara dari 1,36 % (1999), kemudian naik 7,30% (2004) dan pemilu lalu memperoleh 7,80% (2009). Satu diantara 2 parpol yang suaranya naik.

Keempat, PDIP yang meski basis konstituennya jelas sayang potensi suara terus tergerus partai lain. Sehingga pemilu terakhir (2009) tinggal 14.00% suara saja dari 18,50% (2004) dan perolehan Tahun 1999 (33,74%). Kelima, Partai Golkar mengalami hal yang sama juga yaitu 22,44% (1999), anjlok menjadi 21,60% (2004) dan tersisa 14,50%. Meski sekarang di nakhkodai Aburizal Bakrie dengan berbagai perusahaan tetapi kasus Lapindo nampaknya akan menjadi isu panas di partai ini.

Keenam, Partai Gerindra yang baru mengikuti Pemilu 2009 dengan 4,50% nampaknya akan naik signifikan. Apalagi keberhasilannya mendorong Jokowi dan memenangi pada Pilkada Jakarta 2012 prediksinya mempengaruhi suara di 2014. Ketujuh, Partai Demokrat yang memperoleh 7,40% (2004) dan naik menjadi 20,40% di 2009 tidak menjadi jaminan 2014 akan memenangkan pertandingan. Sebab kasus-kasus korupsi yang menimpa kadernya di DPR akan berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara.


Kedelapan, Partai Amanat Nasional dibawah Hatta Rajasa juga mengalami penurunan suara drastis. Lihat perolehan suara 1999 yang 7,12%, lantas bergeser menjadi 6,40% dan terakhir hanya meraup 6,10%. Kesembilan yakni Partai Persatuan Pembangunan mengalami nasib serupa (10,71%, 8,10%, 5,30%). Belum lagi kinerja Suryadarma Ali sebagai pimpinan partai tidak terlihat mentereng. Meski minim konflik tetapi kontribusi partai Ka'bah itu tidak signifikan alias kurang terdengar.

Kesepuluh yakni Partai Hanura dibawah komando Wiranto pada pemilu lalu memperoleh 3,70%. Sayangnya suara partai ini jarang terdengar sehingga cukup sulit memprediksi kenaikan suara pada pemilu mendatang. Bila begitu, siapa yang bakal naik suaranya? melihat uraian diatas sepertinya dua parpol akan (mendekati) pasti bertengger di 5 besar yaitu Partai Nasional Demokrat serta Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Tinggal bagaimana mengatur strategi supaya 2014 menjadi kenyataan.

Selasa, 15 Januari 2013

Persaingan Parpol Jelang 2014

|0 komentar
Seminggu yang lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 10 Partai Politik kontestan Pemilu 2014, pemilu kesekian kalinya. Parpol inilah yang lolos dari tahap verifikasi disemua daerah di Indonesia yang lolos persyaratan administrasi maupun verifikasi faktual. Ada beragam kasus yang menyebabkan banyak partai politik yang kemudian gagal. Mereka yang gagal itulah kini sedang mengajukan proses hukum agar dapat mengikuti Pemilu 2014.

Sementara bagi Parpol yang lolos dan sudah mendapat nomor urut partai, terus mempersiapkan diri tidak hanya teknis namun juga non teknis. Persiapan teknis yang paling menyita yakni mendesign logo dan nomor partai agar menarik dan mudah diingat masyarakat. Hal ini penting karena pendidikan politik di Indonesia masih menempatkan gambar sebagai faktor cukup dominan dalam pengambilan keputusan. Meskipun pertarungan antar kandidat dalam parpol juga mendorong pendidikan politik itu sendiri.

Beberapa parpol malah membuka lowongan secara umum kepada masyarakat yang akan menjadi calon. Partai Amanat Nasional, Partai Gerindra merupakan 2 partai yang sudah melakukan pembukaan lowongan pada masyarakat. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kriteria kapasitas anggota DPR/DPRD yang memiliki keahlian spesifik. Sedangkan nilai perjuangan parpol akan diberikan sesaat setelah mereka masuk partai.

Menarik sebenarnya mengupas siapa bakal memenangkan pertarungan 2014. Karena sudah 4 kali Pemilu, pemenang partai politik terus berbeda (dalam jumlah suara). Bila Tahun 1997 Partai Golkar menjadi pemenang, kemudian Tahun 1999 PDIP mampu membalikkan keadaan. Tetapi pada 2004, Golkar mampu bangkit kembali. Giliran Tahun 2009, Partai Demokrat mampu membuktikan sebagai jawara walaupun umur partai tersebut belum genap 10 tahun.

Inilah yang membuat pertarungan pemilu 2014 menarik diikuti. Partai dengan tokoh-tokoh teraniaya sepertinya akan menjadi pemenang. Hanya Golkar di Tahun 2004 gagal menempatkan Ketua Partai sebagai pemenang pemilu. Lantas bagaimana prediksi pemilu tahun 2014? Akankah keberhasilan parpol memenangi pemilu di 2014 akan mampu menjadi jawara di Pilpres? Menengok kembali kebelakang, ada parpol yang tren suaranya naik namun ada yang sebaliknya.

Spanduk Parpol Di Jalan Nasional
Dari kontestas pemilu 3 periode sebelumnya, tahun ini yang lolos mengikuti pemilu hanya 10 partai alias 1 partai baru. Sisanya merupakan parpol yang memiliki kursi di DPR RI. Partai-partai yang dianggap akan lolos tahap verifikasi ternyata juga gagal. Demikian pula yang dialami oleh partai yang pernah punya wakil di DPR RI seperti PBB, PNI, PKNU dan banyak yang lainnya. Hitung-hitungan politik diatas kertas kadang tidak sama dengan kenyataannya.

Strategi pemenangan pemilu banyak variannya apalagi konteks geografis, budaya, ekonomi, pertarungan media cukup berpengaruh bagi masyarakat yang akan memilihnya. Disisi lain, kapasitas anggota DPR/DPRD maupun eksekutif menjalankan roda pemerintahan turut berperan dalam partisipasi pemilu. Bisa jadi bila mereka buruk kinerjanya, akan berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara.

Berikut ke 10 Partai Politik peserta pemilu 2014 sesuai nomor urutnya (1) Partai Nasional Demokrat; (2) Partai Kebangkitan Bangsa; (3) Partai Keadilan Sejahtera; (4) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; (5) Partai Golongan Karya; (6) Partai Gerakan Indonesia Raya; (7) Partai Demokrat; (8) Partai Amanat Nasional; (9) Partai Persatuan Pembangunan dan (10) Partai Hati Nurani Rakyat.

Selasa, 08 Januari 2013

Tugas Utama Kemdikbud Yang Seharusnya

|0 komentar
Pembatalan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional oleh Mahkamah Konstitusi menunjukkan design pendidikan di Indonesia lemah. Kementrian Pendidikan yang tentu diisi orang-orang yang cakap dalam berbagai bidang rupanya tak memahami secara komplek. Mendikbud, M Nuh tidak boleh sekedar hanya menerima, dia harusnya mengevaluasi design pendidikan di institusinya apakah sudah sesuai dengan UUD atau belum.

Pembatalan ini menjadi catatan kedua setelah UU BHMN juga mengalami nasib yang sama. Padahal dilevel internasional ada kampanye education for all, pendidikan untuk semua sehingga penyelenggaraan pendidikan terutama pendidikan dasar tidak boleh diskriminatif. Sudah banyak yang mengingatkan namun rupanya Kemdikbud ini cukup percaya diri dengan programnya. Tentu RSBI yang diselenggarakan swasta silahkan saja dengan memakai nama mereka sendiri. Harusnya sekolah negeri hanya disasar untuk segala lapisan masyarakat.

Ada problem mendasar yang dialami oleh Kementrian Pendidikan kita pasca keluarnya regulasi alokasi anggaran 20 persen. Nampaknya meningkatnya anggaran pendidikan tidak difahami bahwa semua alokasi anggaran diperuntukkan bagi seluruh masyarakat. Kenyataannya, banyak anggaran yang dialokasikan untuk program teknis yang selayaknya tidak dilakukan oleh Kementrian. Sebut saja Bansos sekolah, BOS, TV Edukasi, DAK, Beasiswa dan lain sebagainya. Menjalankan program-program teknis akan menjebak kementrian hanya fokus pada hal-hal kecil yang seharusnya hal itu bisa dilakukan lewat monitoring program atau sebuah workshop dengan entitas sekolah.

Menurut saya, Kementrian Pendidikan harusnya mengurusi 2 hal besar yakni 1) Grand Design Pendidikan dan Monitoring Program. Grand design ini berisi program makro pendidikan di Indonesia yang bisa berupa berbagai macam. Saya mengidentifikasi setidaknya ada 3 hal yakni Kurikulum, Road Map Capacity Building SDM dan Supporting 2 hal tadi. Kurikulum berisi hal-hal pengajaran apa yang secara substansi diperlukan anak didik berdasarkan levelnya. Artinya kurikulum sekolah di Indonesia yang wajib ya harus sesuai yang dikeluarkan oleh Kemdikbud.

Kedua, agar para guru dapat secara optimal menjalankan kurikulum tersebut maka harus ditingkatkan kompetensinya. Kurikulum sendiri pasti akan banyak berkembang ditiap tahun dan bisa dikaji metode serta model pembelajaran yang tepat seperti apa. Dan ketiga, menyangkut supporting untuk keduanya bisa berupa regulasi, anggaran, software, web, maupun pelatihan-pelatihan. Harapannya, transformasi kurikulum segera tercapai dengan back up capacity building dan supporting system tersebut.

Design kedua, tentang Monitoring yaitu Kemdikbud melakukan monitoring terhadap 3 content grand design tadi yakni berupa kurikulum, capacity building serta supporting sistemnya. Bila ada yang kurang ditambahi, ada yang salah dibenahi, ada yang melenceng ya di bui. Sementara program-program teknis semacam BOS, beasiswa, pembangunan sekolah, renovasi serahkan ke dinas pendidikan di daerah. Bentuknya bukan anggaran ke sekolah namun melalui APBD. Soal syarat penggunaan, dibebaskan saja asal penentuan alokasi anggaran pendidikan ke daerah harus ada parameter khusus dibidang pendidikan.

Misal parameter agar alokasi pendidikan ke daerah bisa naik dan bisa turun serta ada 2 elemen untuk menentukan anggaran pendidikan. Pertama elemen dasar dan kedua elemen tambahan. Elemen dasar berupa jumlah sekolah, jumlah guru, jumlah murid dan lainnya. Dan elemen tambahan bisa jumlah anak putus sekolah, rata-rata hasil UN, jumlah pekerja anak dan lain sebagainya. Sehingga fokus kerjaan kementrian adalah mendevelopt output pendidikan.

Bukan malah menjadi pelaksana teknis. Lihat saja betapa tidak efektifnya implementasi DAK yang dibeberapa wilayah tidak tersalurkan. Atau staf kementrian menyeleksi permohonan Bansos Rp 25 juta - Rp 100 juta, belum lagi menyusun juklak juknis BOS yang rigit dan membatasi serta tidak implementatif dilapangan. Faktanya banyak program yang tidak optimal, tidak terpantau apakah anggaran itu sesuai peruntukannya atau tidak. Jadi, kembalikan Kemdikbud pada tugas utamanya.

Minggu, 06 Januari 2013

Lanjutkan Kebijakan Moratorium PNS

|0 komentar
Meskipun moratorium PNS belum menjadi solusi utama bagi efisiensi anggaran namun setidaknya mampu menekan pengeluaran anggaran daerah. Rupanya kebijakan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi cukup jitu menangani daerah yang suka seenaknya merekrut pegawai dengan alasan yang kadang terkesan dibuat-buat. Jawa sebagai pulau dengan jumlah PNS besar tiap tahun hampir selalu mengadakan penerimaan pegawai.

Namun sejak tahun 2010 - 2012 atau tiga tahun, banyak pemerintah daerah harus gigit jari. Awal kebijakan Mendagri keluar banyak daerah mengancam pelayanan terhadap publik akan berkurang. Dibidang pendidikan daerah menyatakan akan mempengaruhi kinerja guru, dibidang kesehatan dibilang akan ada penurunan kualitas pelayanan dan diberbagai sektor lainnya.

Ternyata celotehan birokrat daerah tersebut tak ditemukan dilapangan. Lihat saja tak ada gejala secara nasional bahwa pelayanan publik menurun. Kalau toh pun pelayanan publik tak optimal ya karena kurang optimalnya kinerja birokrat dibidang pelayanan publik. Meski sudah ada moratorium, dapat dengan mudah masih kita temukan pegawai yang nongkrong di warung, belanja dipasar atau ditemukan ada di mall saat jam kerja. Terutama birokrat di kabupaten yang jauh dari propinsi.

Dari sisi anggaran sebenarnya moratorium ini tak berdampak signifikan. Hal ini dikarenakan rutinnya kenaikan gaji PNS di Tahun 2010 sampai 2012 yang berada diantara 5-10 persen. Artinya meski tidak ada penambahan pegawai, tetap saja anggaran belanja pegawai tetap mencolok. Sebagai salah satu solusi dari kementrian dalam negeri dalam pengadaan PNS daerah ada 2 syarat yang harus dipenuhi daerah. Pertama, menyertakan analisa data dan beban kerja pegawai dan kedua, belanja pegawai tak lebih dari 50 persen dari APBD.

Wajar pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan ini sebab dengan pemberian DAU dari pusat maka pemerintah punya hak untuk mengontrol. Disisi lain, DAU merupakan hasil pendapatan negara dari berbagai sumber yang harus dialokasikan secara adil. Salah satunya dari minyak dan batu bara yang dieksplorasi dari berbagai wilayah diluar pulau Jawa. Bila mereka memberi kontribusi besar, selayaknya daerah lain yang kedapatan mendapat jatah juga tidak bisa semaunya meminta tambahan DAU.

Yang jelas, policy Moratorium PNS ini harus diteruskan dengan pengawasan yang ketat. Sudah terbukti pelayanan publik masih jalan dan masyarakat masih membutuhkan kinerja pegawai ditingkatkan. Harus ada upaya lain agar kedepan jumlah birokrat sebuah daerah ideal. Tidak bisa memakai perhitungan komposisi jumlah penduduk, luas wilayah, geografis saja namun juga harus dikolaborasikan dengan rumusan lain.

Komposisi pegawai tiap instansi juga harus proporsional tiap SKPD, tidak sekedar seperti daerah lainnya. Untuk Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan memang paling banyak karena fungsinya namun untuk SKPD lain tentu harus sesuai karakter didaerahnya. Ini yang belum banyak diperhatikan terutama daerah dengan wilayah keunggulan sektor pertanian, perikanan maupun perkebunan.

Kamis, 03 Januari 2013

Lagi, Pengelolaan Keuangan Di Solo Lamban

|0 komentar
Hingga 26 Desember ternyata kurang lebih 50 persen APBD Kota Solo yang sudah digunakan belum dilaporkan. Padahal idealnya setelah pelaksanaan anggaran-anggaran itu kemudian dilaporkan. Hal ini mencuat di Solopos 27 Desember 2012. Dilihat nominalnya sangat besar yakni Rp 639 M, sebuah angka yang sangat besar. Bertolak belakang dengan hasil audit BPK yang selama 2 tahun memberi status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), sebuah status yang diincar seluruh Pemda di Indonesia.

Anggaran Rp 639 itu digunakan oleh 105 SKPD yang hingga penghujung tahun laporannya belum diserahkan. Berdasarkan data di DPPKAD sudah 85,04 persen atau Rp 1,075 trilyun dana tersalurkan ke berbagai program. Dari anggaran yang sudah dikucurkan yang realisasinya kurang dari 50 persen hanya ada di 2 SKPD, realisasi antara 51 persen - 75 persen ada 5 SKPD, dan yang telah terealisasi 76 persen - 100 persen mencapai 68 SKPD.

Kawasan Sriwedari
Data-data diatas yang diungkap media sangat mengejutkan. Mereka (para birokrat itu) tentu bukan sekarang saja mengelola anggaran. Secara teknis maupun substansial tidak ada perubahan PP atau Permen sehingga PNS kesulitan membikin laporannya. Ada beragam kemungkinan yang bisa saja menjadikan hal ini terjadi. Yang justru lebih penting apakah Walikota dan Sekda mengetahui hal ini. Karena butuh solusi konkrit agar di masa mendatang tidak terjadi lagi.

Beberapa kemungkinan yang terjadi yakni : pertama, anggaran keluar pada akhir tahun. Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa APBD seringkali pencairannya lambat sehingga pengerjaannya tergesa-gesa. Yang selalu tepat waktu hanya gaji dan operasional kantor. Hal ini diulangi terus menerus sejak Slamet Suryanto menjabat Walikota hingga sekarang. Anggota DPRD sendiri tidak banyak usaha mendorong supaya pencairan anggaran tidak mepet waktunya.

Kedua, aturan pencairan anggaran berbelit terutama untuk program yang dari pusat. Sebut saja Dana Alokasi Khusus, PPIP, BOS dan beragam program lainnya. Bisa juga ada ketentuan untuk verifikasi yang administrasinya berjenjang dan otomatis menjadikan proses pencairan molor. Program dari APBD Kota saja banyak yang cair menjelang tutup tahun. Sebut saja anggaran DPK cair bulan Agustus, hibah bagi Ketua Rt, RW dan LPMK, bantuan Posyandu bahkan bulan November.

Ketiga, birokrat menunda-nunda pengerjaan pelaporan kegiatan yang sudah selesai. Ini hampir menjadi kebiasaan yang terdapat diberbagai instansi. Menunda pekerjaan dan lebih mementingkan hal lainnya hampir menjadi mentalitas. Apalagi dipertengahan tahun 2012, ada pergantian walikota. Apakah proses pergantian Walikota mempengaruhi kinerja? entah namuan yang jelas fakta menunjukkan hal ini. Padahal dengan meningkatnya APBD seharusnya menambah kinerja pegawai negara.

Sayangnya media tidak mengejar sumber berita untuk menyajikan data berapakah rata-rata pelaporan dibuat pasca kegiatan selesai dilaksanakan. Dengan adanya pemberitaan ini, Walikota harus segera mengambil langkah nyata agar pada Tahun 2013 tidak terulang lagi apalagi telah menyandang predikat laporan WTP 2 tahun berturut-turut.

Disisi lain, DPRD idealnya selalu mengkroscek perkembangan pelaporan kegiatan. Misalnya saja melakukan pemantauan tiap program maksimal 2 minggu pasca pelaksanaan sudah bisa dilaporkan. Dengan pemberitaan ini sebetulnya juga menunjukkan bahwa legislatif sebagai lembaga yang mengawasi eksekutif juga tidak jalan. Seharusnya SKPD yang belum memberikan laporan, dia tidak bisa mencairkan anggaran kegiatan berikutnya.