Selasa, 29 Mei 2012

Saat Orang Pelit Ajak Piknik

|0 komentar
Tiba-tiba bu Muhammad ngomel-ngomel tak karuan. "Masak piknik koq wajib. Emang kita ini anak sekolah? emang ga ada kerjaan lain? emang kalau hari libur kita bisa bebas? Kita mau enak-enakan sementara suami ma anak dirumah" ungkapnya tanpa henti didepan suaminya. Pak Muhammad, keningnya berkenyit dan perlahan menjawab "Ada apa sih ma? koq tiba-tiba sewot begitu".

Ternyata bu Muhammad baru saja diberitahu bu Yota bahwa minggu depan PKK RW akan piknik ke sebuah tempat wisata, out bond istilah kerennya. Dan tiap ibu-ibu wajib membayar seharga Rp 75.000 berangkat atau tidak. Bisa tidak berangkat asal ada yang menggantikan. Namun yang membuat bu Muhammad marah ada banyak kejanggalan.

Di tingkat Rw, bu Sari paling getol ngajak-ajak piknik. Awalnya saat suami jadi Rt, mengajak piknik tapi semua bayar sebagai tanda perpisahan suami dari Rt. Tentu warga tidak mau sebab pak Sari jadi Rt justru melorot tingkat kepedulian warga. Tidak ada kerja bakti, kegiatan ronda ga jalan, menengok warga ga kompak, uang dari desa ga jelas dan masih banyak persoalan lainnya. Rupanya motivasi piknik masih saja berlanjut hingga di level Rw.

 Anehnya saat memberitahu bu Muhammad dibilang hanya 2 orang yang belum bayar yakni bu Muhammad dan bu Sahid. Ternyata bu Unca, bu Yota juga belum membayar. Yang jelas dengan paksaan itu bu Muhammad justru tidak mau berangkat. "Lebih baik kalian bersatu dan buat malu tuh bu sari" saran suami bu Muhammad. "Bagaimana caranya pak "Sahut bu Muhammad penasaran. "Semua bayar tapi sama-sama tak berangkat. Biar malu sekalian"saran suaminya.

Menurut ibu tiga anak ini tidak mudah membuat kekompakan diantara ibu-ibu. Apalagi terkait duit dan piknik. Bu Andi yang tergolong kaya saja mau berangkat dan menyayangkan uang sebesar itu. Singkat cerita, bu Muhammad berhasil membujuk bu Utomo, RT saat ini untuk menggantikannya. Apalagi bu Sari menakut-nakuti "namanya bu Rt harus berangkat bu supaya pada kenal "bujuknya dengan rayuan maut. Bu Utomo akhirnya tak berkutik.

Sebelum bu Utomo membayar ternyata bu Muhammad sudah terlebih dulu melunasi kewajibannya sebab dibilang bu Sari hanya 2 orang yang belum membayar. Nah karena bu Utomo membayar, otomatis bu Yota akan mengembalikan dana milik bu Muhammad. Pada perjalanannya, bu Yota ditelpon bu Sari untuk mengembalikan dana bu Muhammad separo saja. Sisanya dipakai untuk membeli oleh-oleh. Karuan hal ini menimbulkan pertanyaan besar di benar bu Yota.

Tak mau menanggung beban, bu Yota bercerita pada bu Muhammad. Sungguh sebuah hal yang tak diduga, bu Sari yang memiliki 2 rumah, 1 mobil dan anak cuma 1 sampai sebegitunya dengan uang. Bu Sahid yang tak jadi berangkat akan tetap ditarik iuran. Padahal ibu-ibu PKK lainnya sudah tak memperbincangkannya. Pak Muhammad merasa pening mendengar cerita istrinya, ternyata bu Sari itu miskin, miskin hati!

Kamis, 24 Mei 2012

Kemana Pengembangan Pers Mahasiswa?

|0 komentar
Perkembangan teknologi kini berjalan sangat pesat dan perubahan bisa terjadi kapanpun. Kecepatan itu salah satunya ditandai dengan beragamnya produk yang menyediakan teknologi canggih hanya dalam genggaman. Dulu, Tahun 90an melihat komputer saja kita takjub namun kini tidak hanya laptop, internet namun melacak lokasi dengan hp bisa dilakukan siapapun dan dimanapun. Tentu kemajuan teknologi ini harus dimanfaatkan secara positif agar dapat menimbulkan dampak yang baik pula.

Tidak bisa dipungkiri, perkembangan teknologi yang luar biasa ini banyak membawa ekses negatif. Biasanya ekses negatif timbul lebih sering disebabkan ketidaktahuan, keterbatasan pemahaman, kecerobohan, rasa yakin yang kelewat tinggi dan berbagai hal lainnya. Oleh sebab itu, teknologi informasi yang baik harus cepat kita tularkan supaya tidak tertinggal oleh ekses-ekses yang bisa timbul karena kemajuan itu sendiri. Ada banyak hal yang kemudian menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, salah satunya ya media mahasiswa.

Memang bila dibandingkan dengan era 90an jelas sangat jauh berbeda. Keberadaan teknologi informasi saat ini sudah massif dan mendapat tantangan berat tatkala jejaring sosial seperti facebook, twitter, mikrobloging dan berbagai jejaring lainnya tumbuh cepat. Hal itu juga dipengaruhi harga laptop murah, maraknya mobile modem, tersebarnya titik-titik hot spot, hp yang multi fungsi serta harga yang nyaris mudah dijangkau siapapun.

Beberapa web pers mahasiswa di Solo

Maka persm mahasiswa harus mampu menjadikan dirinya seperti bayangan anak-anak kuliah itu. Dia tidak boleh egois bahwa kehadirannya secara fisik itu harus dan perlu. Memang edisi cetak memiliki keunggulan lain namun diakui atau tidak, SDM pers mahasiswa tidak cukup banyak. Mereka banyak disibukkan tugas kuliah, masuk kelas, nonton sinetron serta beragam aktivitas lain yang tidak memungkinkan mereka bergabung. Di Surakarta sendiri beberapa pers mahasiswa sudah melakukan penyesuaian.

Pers mahasiswa di Solo berkembang cukup bagus di era 90an akhir. Apalagi pergerakan mereka terwadahi dalam Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang cukup dinamis. Sayangnya pasca tahun 2000an kiprah mereka terus menerus surut hingga sekarang. Bila dulu majalah Balairung UGM saja laku dijual, kini mungkin ga ada yang mau melirik. Padahal banyak sisi positif dengan keberadaan mereka dibanding majalah umumnya.



UMS merupakan salah satu kampus dengan majalah mahasiswa yang cukup bonafide, Pabelan Pos. Media ini mampu menjadi media alternatif pemikiran, gagasan yang progresif dan menawarkan dinamisasi pemikiran. Pesaingnya ya kalau tidak Kalpadruma (Fakultas Sastra UNS) tentu Kentingan milik BEM. Sayangnya ketiganya kini hampir tak terdengar kisahnya.

Rupanya beberapa media atau pers mahasiswa ikut dalam perubahan teknologi dan kini mereka hadir dalam web yang cukup bagus. Mereka berevolusi dan menyesuaikan dengan kebutuhan atau perkembangan teknologi. Tinggal bagaimana cara mereka mampu mendinamisasi media tersebut. Sebab salah satu kelemahan media elektronik, tingkat perubahannya cukup cepat sementara di satu sisi, kaderisasi selalu membutuhkan waktu.

Sabtu, 19 Mei 2012

Kabupaten Wonogiri Perlu Berbenah

|0 komentar
Salah Satu Potensi Pendapatan Daerah
Memasuki usia ke 271 Tahun, Kabupaten Wonogiri atau yang banyak dikenal sebagai Kota Gaplek terus berkembang. Hal ini sebagai upaya mewujudkan visi misi Kota Wonogiri dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Otonomi daerah yang dimulai sejak Tahun 1999 ternyata tidak serta merta membuat daerah maju, demikian pula yang dialami Wonogiri. Mendorong pertumbuhan ekonomi, mengangkat industri masyarakat, mengembangkan inovasi daerah masih saja menghadapi benturan.

Meski pemerintah pusat sudah menggelontorkan dana dan APBD terus meningkat namun perkembangan kesejahteraan masyarakat belum cukup signifikan. Beberapa pihak sering melihat perkembangan sebuah kota dilihat dari keberadaan mall jaringan nasional disebuah daerah. Bila hal itu yang menjadi indikator, tentu Wonogiri belum bisa dikatakan maju. Wilayah yang luas, sering menjadi hambatan bagi pemerintah daerah mengembangkan kawasan.

Semestinya Pemda bisa fokus dalam menggarap kecamatan-kecamatan yang tersebar merata baik yang berada di keramaian maupun yang berada di perbatasan Jawa Timur. Disisi lain, Wonogiri sebenarnya mempunyai keunggulan dari keterhubungan antar wilayah. Tidak hanya infrastruktur namun alat transportasi cukup tersedia sebab di kabupaten ini pengusaha bus sangat banyak dan berkembang positif. Bupati Danar juga salah satu pengusaha bus.

Tempat wisata juga tersebar dan memiliki potensi kunjungan yang besar. Hanya selama ini pengelolaan dan promosi yang dilakukan tidak optimal. Sebut saja Waduk Gajahmungkur, Kahyangan hingga Pantai Nampu di Kecamatan Paranggupito. Meski Wonogiri dikenal dengan daerah "kering" alias tandus, semestinya menjadi keunggulan komparatif lain. Sebut saja menggalakkan perhutanan, perkebunan singkong atau tanaman lain yang sesuai dengan kondisi.

Dalam aspek keuangan daerah, Kondisi Wonogiri harus butuh dibenahi manajemen pengelolaan keuangan daerahnya. Sebab, dalam kurun 3 tahun terakhir manajemen pengelolaannya belum optimal dan berimbang. Bila dilihat dari jumlah APBD, memang selalu naik dan hal ini dialami oleh semua daerah di Indonesia. Salah satu faktornya ya meningkatnya gaji PNS 10 persen sehingga otomatis penerimaan keuangan daerah ikut terdongkrak.

Pendapatan daerah masih mengandalkan dari pusat yakni berumber dari Dana Alokasi Umum yang selama 3 tahun menyumbang 60 persen pendapatan daerah. Sayangnya dana ini habis hanya untuk membiayai gaji pegawai bahkan masih kurang. Artinya selama 3 tahun, Pemkab Wonogiri terpaksa mengambil alokasi anggaran lain untuk menutup kekurangan gaji PNS. Itu gaji pegawai pada belanja langsung saja belum termasuk pada pos belanja pegawai pada belanja tidak langsung.

Untungnya belanja modal meningkat meski prosentasenya tidak besar yakni masih dibawah 15 persen. Nah yang penting untuk diperhatikan adalah Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu (SILPA). Meski terus turun prosentasenya namun anggaran yang tersisa masih cukup besar yakni diatas Rp 100 M. Ini catatan yang perlu diperhatikan dan dibenahi. Memang tidak selalu anggaran sisa dari perencanaan yang matang namun bisa dari efisiensi anggaran maupun naiknya penerimaan (pendapatan) daerah.

Selasa, 08 Mei 2012

Pemda Boyolali dan Sukoharjo Tak Serius Lindungi Kesehatan Warganya

|0 komentar
Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Boyolali termasuk daerah di Jawa Tengah yang belum menandatangani kerjasama program jaminan kesehatan daerah untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Munculnya berita ini sungguh sangat memprihatinkan kita karena kesehatan merupakan pelayanan dasar yang wajib disediakan pemerintah daerah. Tanpa dituntut atau diminta masyarakat, Pemda harus menyediakan anggarannya guna memproteksi layanan kesehatan masyarakat.

Faktanya saat acara MOU antara Pemda Se Jateng dengan Pemprop Jateng, kedua kabupaten tersebut belum membubuhkan persetujuannya. Alasan yang mengemuka karena belum ada dana pendampingan. Tentu menjadi alasan yang patut dipertanyakan.Selain kesehatan masuk dalam hak Ekosob seperti tertuang dalam UU mengenai konvenan Ekosob namun juga kondisi masyarakat miskin di dua wilayah itu lumayan tersebar. Tanpa adanya kerjasama, maka biaya yang dikeluarkan oleh warga untuk pemeliharaan kesehatan akan lebih besar.

Keputusan kedua wilayah ini mengejutkan banyak pihak. Wakil rakyat di Kota Susu dan Kota Makmur harus mempertanyakan alasannya. Pernyataan tidak adanya dana pendampingan sulit diterima. Bukankah anggaran kesehatan merupakan anggaran rutin yang memang harus dialokasikan? Anggaran ini tidak terkait musim, besar atau kecilnya APBD, siapa kepala daerahnya atau argumen apapun. Jadi apa yang sebenarnya terjadi menarik untuk disimak.

Salah satu sekolah di Sukoharjo
Pengesahan APBD juga sudah dilakukan jauh-jauh hari pada bulan Januari atau Februari. Bila mereka menjawab belum ada dana pendampingan, maksudnya seperti apa? Apakah dana belum terkumpul? Kan Pemprop tidak meminta mengumpulkan anggaran. Kalau sama sekali tidak dianggarkan tentu hal yang mustahil seperti disebut diatas. Pengajuan anggaran sendiri (RAPBD) diajukan sudah tahun lalu sehingga alokasi anggaran kesehatan otomatis sudah masuk.

Terlalu picik bila kita nilai mereka tak menganggarkannya sebab kesehatan merupakan urusan wajib pemerintah daerah. Apa karena APBD jumlahnya terbatas sehingga benar-benar tak ada duit untuk itu? Tidak juga. Perhatikan APBD Sukoharjo yang selalu menyisakan SILPA meski jumlahnya terus turun. Tahun 2010 terdapat SILPA Rp 52,7 M, kemudian mengecil menjadi Rp 45,8 M dan tahun ini diperkirakan tersisa hanya Rp 28,6 M.

Sementara untuk Boyolali, Tahun 2010 APBD menyisakan Rp 54,3 menjadi Rp 66,3 (2011) dan tahun ini diperkirakan ada Rp 58,3 M yang tidak terpakai. Harusnya mereka bisa menganggarkan untuk kerjasama itu. Boyolali malah lebih fokus merelokasi kantor pemerintahannya dibanding menganggarkan dana Jamkesmaskin. Dengan bekerjasama tentu kebutuhan anggaran untuk proteksi kesehatan masyarakat akan lebih ringan. Anggaran Jamkesda yang ditanggung propinsi 40 persen dan sisanya menjadi tanggungan kabupaten.

Pembagian proporsi seperti itu sangat meringankan beban Pemda. Apalagi kedua kabupaten ini selama 4 tahun menetapkan anggaran defisit. Bandingkan bila mereka harus mengcover biaya kesehatan, apa defisit tidak tambah membesar? Dibutuhkan kecerdasan perangkat daerah antara menyiasati minimnya anggaran dengan kebutuhan dasar masyarakat. Supaya anggaran yang didapat dari pajak dan retribusi yang dibayarkan masyarakat tidak terbuang sia-sia atau malah digunakan untuk meningkatkan fasilitas pejabat daerah.

Senin, 07 Mei 2012

PGRI Wonogiri Pilih Bangun Wisma Dibanding Pikirkan Pendidikan

|0 komentar
Pemberitaan pembangunan gedung PGRI Wonogiri 3 Mei lalu menyentak perhatian masyarakat Wonogiri. Betapa tidak, ditengah kondisi pendidikan di Wonogiri yang harus banyak diperhatikan, organisasi para guru itu justru memulai pembangunan gedung yang nilainya cukup besar yakni mencapai Rp 3,896 M. Nilai fantastis itu belum termasuk harga tanah. Padahal diberbagai pelosok desa masih banyak sekolah yang perlu dibenahi dan guru yang tunjangannya perlu diperjuangkan.

Entah apa yang dipikirkan oleh para pendidik tersebut meski anggaran itu berasal dari iuran anggota. Kata-kata "iuran" juga perlu dipertanyakan lagi, benarkah dana itu dikumpulkan secara sukarela? Bukan pemaksaan? Bila memang sukarela semestinya besarannya tidak ditentukan. Kenyataannya, mereka yang berprofesi mulia itu diwajibkan menyetor dana tiap bulan selama 2 tahun. Besarnya pun bervariasi mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 25.000.

Sumber : Solopos Edisi Cetak 3 Mei 2012


Pungutan itu dikenakan bervariasi baik ke guru tak bersertifikasi hingga pegawai golongan IV selama 2 tahun. Waktu yang cukup lama. Disisi lain, didirikannya Wisma Guru dimaksudkan sebagai tempat pendidikan dan latihan bagi para guru. Maklum wilayah Wonogiri yang luas membutuhkan tempat menginap bila ada pelatihan dipusat kota. Wisma itu memang tidak hanya digunakan untuk sekretariat PGRI namun juga dilengkapi kamar serta ruang untuk tempat pelatihan.

Masalahnya bila ada pelatihan digelar, apakah guru-guru yang menginap itu tidak dikenai biaya? Jika gratis, dari mana anggaran pengelolaan dan pemeliharaan gedung tersebut? Bila membayar, apa bedanya dengan masyarakat yang menggunakan wisma itu? Hingga saat ini, tidak ada suara memprotes dari pembangunan gedung tersebut. Termasuk pula suara dari guru non sertifikasi ataupun guru swasta. Mereka seperti begitu saja menerima.

Bagi guru tak bersertifikasi dan berasal dari sekolah swasta, pungutan ini tentu memberatkan. Termasuk bagi guru-guru yang tinggal di perbatasan Jawa Timur. Tentu mereka yang paling jarang menggunakan tempat tersebut dibandingkan guru diwilayah perkotaan. Guru diperkotaan bisa setiap saat menggunakannya bahkan untuk acara keluarga. Bagaimana mengawasi ini semua? Sistem pengelolaannya harus disepakati dan diketahui semua guru di Wonogiri.

Jangan sampai kemudian wisma tersebut di komersialisasikan sementara laporan pertanggungjawabannya tidak jelas. Dewan Pendidikan, Komisi II DPRD, Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri harus bersikap tegas akan hal ini. Persoalan pendidikan jauh lebih penting ditangani dibanding mengurusi hal-hal yang bukan menjadi kewenangan guru. Selama ini, tak adanya Wisma Guru juga tidak menghambat perjalanan kerja organisasi PGRI.

Sebagai organisasi guru, selayaknya memberi contoh bagaimana berorganisasi dan memberi pendidikan yang membebaskan baik bagi anak didiknya maupun masyarakat. Supaya tingkat kepercayaan warga menjadi tinggi. Bila sudah tinggi dan menyadari arti pentingnya peran guru, tanpa meminta Wisma, pasti akan ada orang yang akan membangunkan Wisma guru. Bisa saja bupati, DPRD bahkan pengusaha membantu pendirian wisma tersebut.

Jumat, 04 Mei 2012

Pajak Parkir Di Sukoharjo Menggiurkan

|0 komentar
Mengejutkan membaca media lokal kemarin (3/6) yang memberitakan tentang hangusnya pendapatan parkir di kawasan jalan raya Makamhaji. Berdasar pemberitaan tersebut, dalam satu hari bisa terkumpul pajak parkir sebesar Rp 1,5juta namun yang disetorkan cuma Rp 400.000 saja. Setidaknya ada 30 orang petugas parkir disana. Menurut pemberitaan itu, pendapatan parkir dibagi tiga pihak yakni Dishubkominfo 40 persen, pengelola resmi 40 persen serta sisanya bagi petugas parkir.

Dalam sebuah wawancara dengan tukang parkir didepan ATM BNI dan Mandiri, dia mengaku mendapatkan Rp 50.000 sehari namun disetor Rp 7.500 ke pengelola. Ada 4 catatan besar bagi penulis membaca berita ini. Pertama, dari informasi tukang parkir serta regulasi bukankah semestinya yang disetorkan itu Rp 40ribu dan petugas parkir mendapat Rp 10.000. Bukan sebaliknya bahkan yang disetorkan hanya Rp 7.500 saja.

Kedua, bila dihitung dari jumlah tukang parkir yang 30 orang dan setorannya hanya Rp 7.500 akan didapat pendapatan bagi Pemkab Sukoharjo cuma Rp 225.000. Bisa saja tidak semua menyetor hanya Rp 7.500. Yang jelas informasi ini mengindikasikan betapa besarnya pendapatan sektor parkir di kawasan Makamhaji yang terdapat puluhan toko. Potensi pemasukannya juga luar biasa besar dan ini yang harus ditertibkan oleh Dishubkominfo agar pajak parkir tidak diselewengkan oleh orang yang tidak berhak.

Pasar merupakan salah satu lumbung pajak parkir


Ketiga, bila petugas parkir di ATM mampu mendapat pajak dari 50 orang, bagaimana dengan yang bertugas di toko bangunan barat tugu lilin? Sehari dapat Rp 120.000 sangat mungkin sebab pembeli di toko itu nyaris tak pernah berhenti. Demikian juga untuk petugas parkir di depan Bakso Tasikmalaya atau petugas parkir malam hari di Susu She Jack.

Keempat, pendapatan parkir Kabupaten Sukoharjo yang "hanya" puluhan juta sungguh menimbulkan pertanyaan besar. Baiklah bila dianggap Rp 1 milyar dari pajak parkir apakah masuk akal?. Dengan satu kawasan Makamhaji yang tidak begitu ramai mampu mendapat Rp 400.000/hari masak dalam satu tahun cuma dapat Rp 1 milyar? Berdasar kajian Agus Endro ditahun 2007/2008 pajak parkir cuma Rp 17 juta dan mungkinkah tahun 2012 tertulis di APBD Rp 1 milyar?

Dengan asumsi pendapatan dari pajak parkir Rp 1 milyar maka setiap bulannya ada pemasukan Rp 83 juta/bulan atau Rp 2,7 juta/hari. Bila angka itu dibagi Rp 400.000 sebagai titik pembanding maka angka Rp 2,7juta disumbang oleh 6,9 atau 7 titik parkir. Masuk akal kah? Makamhaji hanya satu kawasan yang tak padat atau kategori medium. Bandingkan dengan Sukoharjo Kota, Kartosuro, Gentan, Solobaru atau kawasan lainnya. Kawasan strategis juga memberi kontribusi besar seperti mall, rumah sakit, pasar atau tempat wisata.

Rasanya tidak mungkin karena Kota Solo saja mencantumkan pendapatan parkirnya di Tahun 2011 Rp 1,1 milyar. Anggota DPRD harus memaknai pemberitaan di media sebagai langkah awal untuk optimalisasi PAD. Apalagi masih banyak program yang belum optimal dilaksanakan seperti pemberian bea siswa bagi masyarakat miskin, RTLH, Jamkesmas yang hampir tak genap diberikan pada masyarakat miskin selama 12 bulan dan banyak lainnya. Masihkah kita bisa berharap sama mereka?