Jumat, 27 April 2012

Penyimpanan Dokumen Di Kelurahan Perlu Dibenahi

|8 komentar
Saat ini saya sedang mengerjakan tracking usulan Musrenbangkel dan realisasi atas usulan itu berdasarkan laporan pelaksanaan Dana Pembangunan Kelurahan (DPK). Proses yang sudah berjalan memasuki tahun ke 12 di Kota Solo memang selayaknya cukup mapan. Dalam penugasan yang dimandatkan Yayasan Solo Kota Kita, tracking dilakukan untuk perencanaan Tahun 2008 hingga 2010. Sementara realisasi DPK tentu pada Tahun anggaran 2009 - 2011.

Tracking ini ditujukan untuk melihat sejauh mana usulan yang dibahas di Forum Musyawarah tertinggi ditingkat kelurahan diimplementasikan pada tahun berikutnya. Tracking ini juga untuk menguji sejauh mana kelurahan menyimpan dokumen perencanaan mereka. Sebab, dokumentasi di Indonesia merupakan salah satu dokumentasi yang tidak cukup baik. Sebenarnya penyimpanan tidak banyak membutuhkan tempat, biaya, tenaga atau waktu tersendiri.

Adapun kelurahan yang coba di tracking yaitu seluruh kelurahan atau sejumlah 51 dari 5 kecamatan. Ternyata, sistem penyimpanan dokumen di kelurahan harus banyak dibenahi. Faktanya dari data yang diminta sebanyak 6 bendel dokumen tidak banyak yang tersedia. Keenam dokumen itu adalah 3 bendel dokumen Musrenbangkel Tahun 2008, 2009 dan 2010 sementara sisanya adalah dokumen pelaksanaan DPK kurun 3 tahun.

Web yang dikelola secara profesional dan bisa dimanfaatkan oleh kelurahan (source www.laweyan.com)
 Kelurahan-kelurahan di Kecamatan Laweyan dan Serengan tidak cukup bagus dokumentasinya. Di Laweyan hanya Pajang yang mampu menyediakan seluruh data yang kami minta. Adapun Sondakan, Bumi, Laweyan dan Kerten ada beberapa data yang kurang. Untuk Panularan, Jajar, Karangasem dan Sriwedari tak menyerahkan data. Di Sriwedari, berdasarkan informasi yang kami dapat hanya ada data perencanaan Tahun 2011. Betapa parahnya sistem dokumentasi dikelurahan itu.

Di Serengan, Kratonan dan Tipes data tersedia lengkap sedangkan Serengan dan Kemlayan kurang sedikit data yang diminta. Untuk Joyotakan, Jayengan dan Danukusuman sama sekali tak menyerahkan data. Kecamatan Pasar Kliwon, Sangkrah dan Kedunglumbu memenuhi tugas yang diamanatkan. Hanya Kelurahan Pasar Kliwon yang tak menyerahkan data dibanding lainnya tetap menyerahkan meski tak sesuai amanat kami.

Di Kecamatan Jebres ada 6 kelurahan yang datanya lengkap yakni Jagalan, Sewu, Sudiroprajan, Pucangsawit, Tegalharjo dan Kepatihan Wetan. Tiga kelurahan tak menyerahkan data sama sekali yaitu Jebres, Gandekan serta Purwodiningratan. Di Banjarsari ada Stabelan, Manahan, Nusukan dan Timuran yang komplit. Dan tak ada satupun yang tak menyerahkan data yang dibutuhkan meski masih ada yang tertinggal atau tak ketemu di penyimpanan dokumen kelurahan.

Penting kiranya bagi pemerintah kota untuk melatih perangkat kelurahan dalam penyimpanan data. Bisa juga mereka dilatih membuat web sederhana yang gratisan bisa di blog, wordpress, multiply dan lain sebagainya. Media itu tidak hanya sebagai media menyimpan data namun sebagai ajang transparansi yang dapat diakses masyarakat kapan saja, siapa saja dan dimana saja. Agar ketika ada penelitian atau kebutuhan apapun maka semua orang bisa mengaksesnya.

Selasa, 24 April 2012

Pendataan Tenaga Honorer Jadi PNS di Beberapa Kabupaten

|0 komentar
Saat ini, Badan Kepegawaian Daerah di berbagai wilayah di Indonesia sedang dipusingkan dengan pendataan honorer diwilayah mereka. Karena pemerintah sudah mengeluarkan surat edaran untuk pengangkatan honorer terakhir kalinya. Seringkali data yang masuk ditingkat pusat tidak sesuai dengan data yang ada di daerah atau bisa jadi ada nama-nama baru yang masuk. Sepertinya tidak mungkin tetapi dilapangan hal ini terjadi dan menimbulkan konflik berkepanjangan.

Banyak daerah yang mengurusi honorer daerah justru dipusingkan oleh data. Sudah sejak dulu, birokrasi hampir jarang mampu menyelesaikan persoalan data secara lengkap. Kita sering terpaksa bolak balik mengurus surat entah itu untuk KTP, KK, Akte Kelahiran, SIM dan berbagai data diri lainnya. Sudah lama digagas single identity tetapi faktanya terus saja berkembang sebagai wacana. Memang beberapa daerah telah mengentry data untuk KTP elektronik namun akan tercetak 3 tahun lagi!

Tugu Jam Pasar Gede (Photo by Ian)
 Di Eks Karesidenan Solo, persoalan data honorer daerah juga menjadi pembahasan cukup serius. Sebenarnya problem yang dihadapi hampir sama dengan kota lain. Ada yang tidak masuk data base, ada yang tercecer, ada nama baru dan beragam kasus lainnya. Tentu kejadian ini malah menambah panjang daftar kerjaan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) bersangkutan. Mereka harus crosscheck, klarifikasi serta validasi data yang dimiliki.

Kadang masuknya nama-nama baru (diakui atau tidak) disebabkan kepentingan politis bukan berlandaskan kepemilikan bukti-bukti yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan sebuah lembaga yang akuntabel melakukan pendataan yang kadang sistemnya jauh lebih memadai. Toh faktanya memang beneran.

Di Sragen kemungkinan ada data 46 orang guru wiyata bhakti yang seharusnya masuk ke kategori I (diangkat menjadi PNS tanpa tes). Mereka kaget saat pengumuman keluar justru malah nama-nama mereka menghilang. Demikian juga di Wonogiri, honorer yang masuk data base adalah honorer dengan 21 guru. Jika ditotal, jumlah yang diajukan untuk verifikasi mencapai 102 guru. Selisih jumlah yang lebar inilah menjadikan pertanyaan sumber data didapat dari mana?

Di Kabupaten Karanganyar, dari 542 data based yang diajukan ke BKN, 192 diantaranya lolos verifikasi tahap I. Sedangkan di Sukoharjo, untuk kategori II justru terdata secara jelas. Peran kepala daerah untuk menjaga data yang benar sungguh menjadi tugas yang tidak mudah. Belum lagi dalam melengkapi persyaratan harus disesuaikan dengan SK pengangkatan yang memang benar sesuai hukum.

Pendataan merupakan salah satu isu yang sensitif dan tidak mudah diselesaikan. Hal ini disebabkan problem utama yaitu komitmen dan kejujuran bagian pendataan. Bagi daerah yang menampilkan data dalam website tentu tak masalah karena honorer tahu dan mengerti secara benar sejak kapan dia mulai bekerja dan apakah memenuhi persyaratan. Tidak sekedar asal diangkat menjadi PNS semata. Kepala daerah juga harus konsisten menerapkan aturan yang berlaku dan tidak main-main.

Sabtu, 21 April 2012

Anggota DPRD 1999 - 2004 Masih Tinggalkan Beban

|0 komentar
Kawanan wakil rakyat periode 1999 - 2004 di beberapa Kabupaten/Kota Eks Karesidenan Surakarta yang semestinya kini sudah purna ternyata masih meninggalkan hutang yang harus dilunasi. Masih ada pemakaian anggaran mereka yang melanggar aturan sehingga harus dikembalikan. Bagi mantan anggota yang berlatar belakang pengusaha tentu tak masalah. Pun demikian halnya dengan yang masih menjabat sebagai wakil rakyat hingga kini.

Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), penggunaan anggaran tersebut melanggar aturan jadi harus dikembalikan. Kini 8 tahun sudah sejak mereka lengser, masih ada yang mempunyai tanggungan. Bahkan yang sudah meninggalpun, ahli warisnya tetap wajib melunasi. Tindakan mengabaikan hasil pemeriksaan BPK adalah contoh yang tak patut ditiru. Anehnya masih ada yang tetap terpilih kembali walaupun peraturan telah dilanggarnya.

Kabupaten Karanganyar, ada 37 anggota dewan periode 1999-2004 yang menggunakan dana asuransi yang melanggar aturan. Atas tindakan itu, negara dirugikan sebesar Rp 886 juta. Tiap anggota diperkirakan mengembalikan sebesar Rp 15.291.000 jumlah yang cukup besar. Dibandingkan besaran psikologis dana itu, di saat ini nilai sesungguhnya sudah jauh berkurang. Yang sudah kembalipun hingga April 2012 baru Rp 105 juta saja. Entah apa yang ada dipikiran mereka sehingga permintaan pengembalian anggaran masih bisa diabaikan.

Di Sragen, anggota yang diminta mengembalikan dikarenakan menganggarkan dana purna bakti yang tidak sesuai dengan regulasi. Kerugian negara atas munculnya anggaran ini sebesar Rp 745juta atau Rp 43 juta. Kasus ini membelit mereka yang menjadi Panitia Anggaran. Di Klaten, kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp 3 M yang dialokasikan untuk berbagai pos anggaran. Dari 45 anggota baru sepertiga atau 15 orang saja yang mengembalikan.

Kota Solo mengalami hal yang sama, ada 19 anggota dewan yang sudah diperintahkan pengadilan untuk segera mengembalikan dana yang mencapai Rp 82 hingga Rp 103. Bagi anggota mantan anggota dewan yang memiliki usaha tentu tak cukup jadi masalah. Dana yang diminta dikembalikan pada kas daerah sesegera mungkin. Pihak pengadilan perlu bekerja sama dengan pemerintah daerah sebab merekalah yang berkepentingan atas dana ini.

Dari uraian diatas, kita bisa menarik benang merah bahwasanya mereka cukup banyak menganggarkan utk dirinya sendiri. Padahal Sragen, Klaten hingga Karanganyar masih luas problemnya yang dihadapi masyarakat. Kondisi seperti ini tak boleh dibiarkan, kepala daerah perlu segera menyurati anggota DPRD periode tersebut segera melunasinya. Termasuk bagi anggota dewan yang sudah melunasi, minta ahli waris melunasi.

Disisi lain partai politik harus bertindak dan tidak membiarkan mereka mencoreng nama partai. Sayangnya pemimpin parpol tidak tertarik mendorong anggotanya segera melunasi sebab hal ini mencakup kepentingan pencitraan partai. Bila perlu berilah mereka sanksi yang tegas yakni dipecat. Harapannya kedepan masalah-masalah ini tak pernah akan muncul lagi. Sebab anggota dewan faham regulasi-regulasi mana yang boleh dan mana yang tidak.

Melakukan pembiaran berarti partai politik setuju atas tindakan-tindakan yang melawan hukum. Fakta menunjukkan di keempat daerah itu tak ada satupun pemimpin partainya bersikap tegas. Dan hal ini patut disayangkan. Rakyat yang uangnya dipakai para wakilnya juga diam saja. Peran mereka mestinya cukup penting misalnya dengan berkirim surat pada mereka supaya anggaran yang sudah dikemplamg harus dikembalikan.

Selasa, 17 April 2012

2012, Gaji PNS Masih Saja Membebani APBD

|0 komentar
Seperti yang sudah pernah saya tulis disini, tentang tingkat ketergantungan belanja pegawai (pada belanja tidak langsung) terhadap pendapatan dari selain DAU juga masih terjadi di Tahun 2012. Kajian ini dibatasi hanya pada 7 kabupaten/kota di Eks Karesidenan Surakarta. Berdasarkan data yang tersedia, terungkap bahwa 7 kabupaten/kota masih ada 4 kabupaten/kota yang harus menambah anggaran diluar DAU.

Dalam Undang-undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Pasal 1 ayat (20) disebutkan bahwa Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

Pada Bagian Ketiga tentang DAU Pasal 27 ayat (2) menegaskan DAU untuk suatu Daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Sementara ayat (4) menjelaskan Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Pada klausul penjelasan ayat (4)  menyebut Yang dimaksud dengan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah gaji pokok ditambah tunjangan keluarga dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian Pegawai Negeri Sipil. Artinya penerimaan DAU sebuah daerah itu memang dialokasikan untuk belanja pegawai.



Seharusnya pendapatan daerah digunakan untuk proyek peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga kehidupan penduduk sebuah kota bertambah baik. Fasilitas pendidikan, kesehatan, prasarana di beberapa kabupaten masih sangat kurang. Berdasarkan analisis data Tahun 2010 hingga 2012 masih ada 4 kabupaten yang anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) nya masih harus ditombok dari anggaran lainnya.

Untuk Tahun 2010 dan 2011, hanya Kabupaten Sukoharjo yang pembelanjaan pegawai bisa tercukupi oleh DAU. Sedangkan 6 kabupaten/kota lainnya harus mengurangi alokasi kegiatan demi menggaji birokrasi daerahnya. Pada Tahun 2010, Boyolali mengeluarkan tambahan anggaran selain DAU terbesar untuk menutup gaji pegawai. Setidaknya ada Rp 91,6 M kebutuhannya dan yang paling minim untuk kurang anggaran membayar gaji adalah Kabupaten Sragen yang hanya butuh Rp 4,7 M.

Sementara Tahun 2011, Boyolali membutuhkan tambahan anggaran Rp 86,4 M dan masih merupakan yang terbesar. Sementara Sragen yang Tahun 2010 paling sedikit “tombok” justru melonjak tinggi tambahan anggaran gaji menjadi Rp 75,6 M. Sukoharjo mampu menjaga DAU tetap bisa membiayai gaji meski sisanya tinggal Rp 10,5 M. Pada Tahun 2012 ini, tiga kabupaten/kota mampu menyisakan DAU untuk dibelanjakan kegiatan.

Boyolali tahun ini menyisakan  Rp 12,5 M dari DAU setelah 2 tahun terengah-engah menutup belanja pegawainya, Kabupaten Sukoharjo menambah sisa lebih banyak dibanding tahun sebelumnya menjadi Rp 40 M dan Kota Surakarta menyisakan Rp 46 M.  Sisanya masih harus berpikir keras menutup belanja pegawainya meski tomboknya tidak sebesar 2 tahun sebelumnya.

Bupati Karanganyar, Klaten, Sragen dan Wonogiri harus belajar pada 3 kepala daerah lainnya bagaimana memenej keuangan daerah dalam konteks belanja pegawai tak melebihi plafon DAU dari pemerintah pusat. Bagaimanapun bila masih terjadi hal seperti ini maka masyarakat yang dirugikan. DPRD juga perlu bersuara lantang atas kondisi seperti ini sehingga pemerataan pembangunan dapat tercipta.

Selasa, 10 April 2012

Tak Ada Saudara Dalam Kamusnya

|0 komentar
Di Kampung ini tinggal orang-orang unik yang sulit dipikir dengan akal sehat. Ada yang kaya tapi sok miskin dan sulit duit keluar untuk urusan apapun. Meski dari keluarga mapan namun kikirnya tak terhitung dan bikin tetangga geleng-geleng kepala. Ada yang miskin dan kehidupannya membaik namun tetap menganggap dirinya miskin. Sukanya mengkritik tetangga, semua dianggap memusuhi dirinya. Jadi matanya selalu menelisik dan menaruh curiga.

Untungnya masih ada orang baik yang mengimbangi kehidupan jadi lebih menyenangkan.

Ceritanya pak Ren kedatangan saudara istrinya yang datang tanpa diundang. Wong memang tidak ada acara apa-apa dan dirumahnya memang tak pernah ada acara. Saat pindahan, tak ada tasyakuran. Anaknya khitan, tak ada tasyakuran. Anaknya Lulus ya sama saja dan hanya menjanjikan yang nggak-nggak. Kalau lolos SNMPTN mau nyumbang lah, mau makan-makanlah dan janji lainnya.



Pak Ren mengucapkannya pada pak Untung. Kabar ini didengar oleh pak Muhammad yang langsung dijawab ketus "ah orang mau nyumbang, mau sodaqoh koq cerita-cerita. Ya nyumbang aja" sungutnya. Anak pak Ren akhirnya gagal dan berita makan-makan sekedar jadi berita. Gimana mau makan-makan, uang Rp 500 perak terjatuh di pos ronda dicari sampai tikar diangkat (meski ada orang duduk) sampai ketemu. "Lumayan untuk beli kacang" kata Pak Ren dengan wajah sumringah.

Kembali ke cerita saudara pak Ren datang, suatu malam tumben pak Ren masih nongkrong di warung. Tak seperti biasanya ngadem dirumahnya yang memang dilengkapi AC. Biasanya bila berada diluar ya sedang nunggu mobilnya ngobyek cari duit. Beberapa orang yang ada disitu tak memikirkannya. Singkat cerita, begitu pukul 23.45, dia berpamitan pulang dan ditanya pak Untung "kemana pak?". "Mau tidur, pasti sudah sepi jadi sudah enak" jawabnya.

Begitu pak Ren masuk rumah, pak untung nerocos tanpa ditanya warga yang hadir disitu. Ternyata saudara istrinya datang. Rumah sudah seperti kapal pecah. Dia kebingungan mau ngapain dirumah dan merasa tak betah disitu. Pun bila rumah kotor, dia tak mau menyapu atau mengepel. "Biar mereka ngepel sendiri" kata pak Ren yang ditirukan pak Untung. Oh ternyata begitu tho? Itu baru saudara yang datang, bagaimana dengan orang lain yang menginap?

Jumat, 06 April 2012

Mempelajari SILPA APBD Kabupaten/Kota Eks Karesidenan Surakarta

|0 komentar
Tujuh kabupaten/kota di Surakarta nampaknya masih harus banyak belajar tentang manajemen pengelolaan keuangan. Terbukti dari implementasi APBD Tahun 2011, tercatat Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) tahun lalu masih besar. Ini menandakan kepala daerah beserta tim eksekutif kurang mengawasi implementasi secara ketat. Meski dalam regulasi dijelaskan tiap berapa bulan sekali mereka harus rutin melaporkan pada legislatif, faktanya SILPA masih besar.

Memang tingginya SILPA tidak hanya dibengari besarnya APBD maupun meningkatnya pendapatan. Buktinya banyak daerah kenaikan pendapatan tidak cukup signifikan dibandingkan dengan sisa belanja yang ada. Padahal hampir tiap kabupaten membutuhkan anggaran untuk menjalankan program unggulan. Banyak pejabat daerah yang kekurangan anggaran sehingga program tidak bisa direalisasikan. Ditambah lagi dengan masih tingginya angka masyarakat miskin.

Dalam data APBD yang diakses di kemenkeu.go.id, diantara 7 kabupaten/kota Se eks karesidenan Surakarta, SILPA paling kecil yakni Kabupaten Sukoharjo dengan sisa anggaran hanya Rp 20,6 M. Sedangkan anggaran tak terbelanjakan yang cukup besar adalah Kabupaten Wonogiri Rp 101 M lebih. Padahal Klaten memiliki APBD terbesar yakni sejumlah Rp 1,2 Trilyun pada tahun lalu.

Menurut penulis, dengan model pengelolaan seperti sekarang (boleh defisit maupun surplus) akan banyak mengalami defisit. Kenapa? sebab kepala daerah akan berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan anggaran yang memadai.. SILPA yang bisa ditolerir sekitar Rp 10 - Rp 30 M. Artinya targetnya bisa presisi dan tidak ada selisih cukup lebar. Kondisi itu juga menggambarkan perencanaan APBD benar-benar dikerjakan dengan profesional, tidak main-main.

Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) selayaknya memberikan reward and punishment pada daerah terkait unsur-unsur didalam APBD.Sehingga daerah terus akan aktif mensiasati strategi apa yang tepat agar mendapat reward. Lihat saja Kabupaten Wonogiri yang menyisakan anggaran sebesar Rp 101 M lebih. Tentu akan menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah benar memang Wonogiri sudah tak membutuhkan bantuan dari kota? apakah benar Wonogiri fasilitas publiknya sudah memadahi sehingga tidak perlu anggaran.