Senin, 30 Januari 2012

Pertahankan Kawasan Pertanian Karanganyar

|0 komentar
Sebagai salah satu daerah yang merupakan penghasil beras di Propinsi Jawa Tengah, Karanganyar berkontribusi besar. Produksi pertaniannya hingga tahun 2011 masih bisa surplus meskipun kendala cuaca dan hama tahun lalu menyerang hebat. Belum lagi krisis air yang melanda sebagian wilayah Karanganyar. Memang ada beberapa kecamatan yang tidak mengalami kesulitan pengairan namun ada juga yang kesulitan memenuhi pasokan air. Hal ini berpengaruh pada produksi pertanian.

Pertanyaannya apakah kondisi itu dapat bertahan 5 hingga 10 tahun ke depan? Tuntutan perluasan lahan hunian, pertambahan jumlah penduduk, minimnya pendapatan petani dapat mempengaruhi luasan lahan pertanian. Petani sendiri menghadapi problem yang cukup komplek baik di internal maupun eksternal. Dari internal faktor terbesar yang mempengaruhi adalah harga jual gabah yang tak pernah memuaskan. Belum lagi ditambah biaya hidup yang makin tinggi mengakibatkan petani makin terjepit.

Faktor eksternal seperti tak ada pendampingan dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Pertanian, kebijakan pemerintah untuk memproteksi petani maupun produksi pertanian serta makin mencekiknya harga pupuk jelas menjadikan petani akan berpikir ulang mempertahankan lahannya. Beberapa kecamatan di Karanganyar yang potensial namun akan berubah fungsi misalnya di Palur, Colomadu maupun Gondangrejo. Di Palur, merupakan wilayah yang padat industri. Kalau toh pun dipertahankan, faktor lingkungan cukup mengkhawatirkan atau potensial tercemar limbah.


Sedangkan di Colomadu dan Gondangrejo yang terletak diperbatasan dengan Kota Surakarta tentu terdesak berubah menjadi hunian, Lihat saja daerah Colomadu yang berkembang secara pesat terutama tumbuhnya perumahan yang selalu laku keras. Petani tentu berpikir buat apa mempertahankan lahannya bila hasil yang didapat dari menjual hasil pertanian tak seberapa. Apalagi di kawasan itu terdapat jalur utama Bandara, jalur propinsi serta perkembangan Kartosuro (Sukoharjo) yang juga pesat.

Berdasarkan data yang diperoleh, luas lahan pertanian pada Tahun 2003 masih seluas 22.868 ha dan tahun 2008 berkurang tajam hingga masih 22.341 ha. Kondisi ini harus benar-benar diperhatikan kepala daerah. Letak sawah yang menghampar ditepi jalan Adi Sutjipto memang menggiurkan. Pasti banyak investor berlomba-lomba membeli tanah disana sebab merupakan jalur strategis. Kalau kita melakukan perjalanan antara Kleco hingga Kartosuro, sudah sulit kita lihat hamparan areal persawahan yang pada tahun 2000an masih terlihat.

Mempertahankan areal persawahan sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan produksi beras namun juga hal lain. Sebut saja kawasan serapan air bagi wilayah tersebut dan hal itu bisa dilihat saat musim hujan. Awal tahun 2000an perumahan di Colomadu tak was-was bila hujan deras tiba berjam-jam lamanya. Kini hujan deras selama 3 jam, beberapa warga perumahan sudah tak tenang. Dengan berbagai argumentasi diatas, Pemkab harus segera mengambil kebijakan strategis agar penjualan sawah produktif tidak makin menggila yang dampaknya bisa merugikan.

Pertama, Pemkab harus konsisten memegang grand design tata ruang yang ada di Perda RUTRK. Selain Pemkab, masyarakat harus faham apa kebijakan Pemda sehingga bisa ikut berkontribusi. Sosialisasi dan kampanye pentingnya menjaga kawasan harus benar-benar dilakukan. Tanpa kampanye yang masif maka akan sulit mengharapkan partisipasi maupun kesadaran warga akan menjaga kawasan sesuai peruntukannya.Kegiatan ini harus dipastikan dilaksanakan terutama oleh SKPD terkait.

Kedua, Bupati perlu memastikan bawahannya ikut bekerja keras menjaga kawasan sesuai konsep. Kontrol yang ketat agar para bawahan tidak mudah tergoda melenceng dari kebijakan yang sudah ditetapkan. Bila sebuah kawasan sudah tumbuh secara pesat, biasanya para investor tak segan "membeli" perijinan meski harganya lipat dua bahkan tiga. Ketiga, orientasi pendapatan daerah jangan sampai melacurkan atau mengorbankan sebuah komunitas.

Komunitas petani perlu didengar apa problem dan hambatan dalam menjaga lahan pertaniannya. Pertanian sebenarnya bisa menjadi komoditas yang mendatangkan hasil bagi daerah yang signifikan bila dikelola secara profesional. Lihat saja tempat wisata Mekarsari yang mampu menarik wisatawan datang ke sana meski isinya tentang perkebunan maupun pertanian. Beberapa kawasan yang coba dibangun oleh Pemkab seperti di Tawangmangu harus benar-benar diperhatikan supaya mampu menarik wisatawan.

Keempat,adanya reward dan punishment bagi pihak yang berkaitan. Reward misalnya bisa diberikan pada petani baik langsung maupun tidak langsung. Reward langsung misalnya berupa subsidi pupuk, jaminan pengairan, harga stabil saat panen, pinjaman modal dan lain sebagainya. Sementara reward tidak langsung bisa berupa beasiswa bagi anak petani, KTP dan KK gratis, bebas pajak lahan dan lain sebagainya. Sedangkan untuk punishment umpamanya biaya perubahan status lahan apalagi peruntukan dinaikkan secara signifikan.

Keempat hal itulah yang menjadi dasar bagi kepala daerah untuk membuat roadmap mempertahankan kawasan pertanian. Beberapa daerah malah sudah membuat lahan atau kawasan pertanian abadi. Pemilik lahan atau kawasan pertanian abadi benar-benar mendapat fasilitas ekslusif supaya lahan itu tidak beralih fungsi. Kita tentu berharap tidak hanya Karanganyar yang melakukannya namun juga kabupaten lain di eks Karesidenan Surakarta.

Jumat, 20 Januari 2012

(Masih Layakkah) Mereka Disebut Anggota DPR

|0 komentar
Renovasi ruang Badan Anggaran (Banggar) DPR RI yang menghabiskan anggaran Rp 20 M sungguh sangat mengusik hati nurani rakyat. Tidak hanya biayanya namun anehnya antara Setjen DPR dengan Pimpinan Banggar justru malah lempar tanggungjawab. Setjen menyatakan renovasi sesuai dengan permintaan anggota Banggar dan Banggar menyatakan renovasi tidak melalui pemberitahuan atau seijin mereka. Perdebatan yang tak lucu dan sangat konyol.

Rupanya sikap tak bertanggungjawab ini hampir menjadi kebiasaan wakil kita. Coba sebutkan mana ada koruptor dari kalangan wakil rakyat yang menjalani sidang menyatakan bertanggungjawab. Kalau ada kasus, ramai-ramai bersilat lidah. Sungguh bukan pendidikan politik yang baik. Tapi apakah masih ada orang yang punya hati nurani disana? Sepertinya koq sulit karena bila masih ada anggota yang punya hati nurani akan berbicara apa adanya saat rapat.

Bila tidak didengar, maka dia bisa mempublish apa yang terjadi. Memang tidak semudah itu, contohnya Agus Condro. Ketika membuka tabir dugaan suap pemilihan Dewan Gubernur BI dia malah dicopot dari wakil rakyat. Wakil rakyat yang lebih mengerikan ada lagi, didalam dia menyetujui anggaran dan diluar berkata sebaliknya. Mereka-mereka inilah yang selama ini aman dilingkungan DPR maupun masyarakat. Politik pencitraan ala SBY benar-benar coba ditirunya.

Proyek tak masuk akal di DPR tahun ini tidak hanya renovasi ruang Banggar, setidaknya ada 6 proyek lain yang patut dipertanyakan yaitu :

1. Proyek renovasi toilet sebesar Rp 2 M. Padahal toilet DPR dari aspek kelayakan sungguh sudah sangat layak dan tidak perlu direnovasi. Kalau ada beberapa keran macet, keramik yang rusak tentu diganti saja dan anggarannya tak sampai miliaran.


2. Proyek renovasi tempat parkit Rp 3 M. Tempat parkir ini digunakan untuk aspri anggota, Tenaga Ahli, Pamdal, staff setjen, tamu dan lainnya. Tempat itu memang sudah hampir tak muat namun tak berarti harus keluar miliaran untuk membenahinya. Semestinya bisa dibagi zonasi misal untuk Zona parkir DPR, Zona Parkir DPD, Zona parkit staff setjen dan tamu yang biayanya bisa lebih rendah dari itu.

3. Proyek pengadaan kalender Rp 1,3 M yang kemudian ternyata hanya terpakai Rp 300 juta. Tiap anggota mendapat jatah 20 kalender. Tentu tak masuk akal dengan pemakaian Rp 300 juta penganggarannya Rp 1,3 M. Ini pasti ada sesuatu karena selisih harganya mencapai Rp 1 M.

4. Pengadaan vitamin bagi anggota sebesar Rp 824 juta. Bukankah gaji, fasilitas, dan pendukung lain sudah disediakan negara? Berapa sih harga vitamin? Bisa-bisa makin lama ada anggaran biaya hidup suami dan anak-anak mereka juga.

5. Pengadaan pencetakan majalah Parlementaria Rp 2,97 M dan Buletin Parlementaria Rp 3,59 M. Majalah dan buletin ini perlu hanya saja bila ada yang membaca. Ditengah kesibukan anggota dewan bisa dihitung berapa yang membaca buletin dan majalah itu. Ditambah kecanggihan teknologi, semestinya tak perlu ada anggaran untuk ini. Biarkan anggota membaca melalui situs saja. Toh diberbagai ruangan anggota, majalah dan buletin ini dibiarkan saja. Jangankan anggota dewan, Tenaga Ahli dan Aspri mereka saja tak membacanya.

6. Pengadaan mesin fotokopi Rp 8,86 M yang bila dikalkulasi harga 1 mesin Rp 30 juta akan diperoleh 295 mesin fotocopi. Ditengah kecepatan akses internet yang tersedia ditiap sudut ruang gedung dewan seharusnya tak perlu lagi bahan rapat selalu dicetak. Kecuali keputusan-keputusan penting. Draft materi sebaiknya cuma ditayangkan di layar LCD yang sudah ada ditiap komisi. Sehingga tidak terbuang percuma karena setelah rapat biasanya sudah tak terpakai lagi.

Keenam point diatas menandakan ketidakpedulian mereka menghemat anggaran terutama mengalihkan untuk program yang menyentuh kesejahteraan warga. Tidak ada wakil rakyat yang getol mengkritisi anggaran mereka sendiri namun keras terhadap anggaran pemerintah. Bila begitu masih layakkah mereka disebut anggota DPR?

Selasa, 10 Januari 2012

Kebijakan Bupati Hentikan JT Di Sragen Sudah Tepat

|0 komentar
Kabupaten Sragen dibawah kepemimpinan Agus Fatkhurrahman menghadapi tantangan yang cukup berat. Selain ditinggali masalah keuangan daerah yang cukup signifikan, juga masalah-masalah lain yang pelik. Padahal dibawah kepemimpinan Untung Wiyono, sepertinya Sragen sebuah daerah yang menarik terutama bagi investasi. Saat ini yang sering muncul di media justru pemberitaan yang cenderung bernada sumbang. Untung Wiyono sendiri kini sedang jadi pesakitan di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.

Selain kasus dugaan korupsi APBD tahun 2003 - 2010 sebesar Rp 40 miliar, kini ijazah Untung juga dimasalahkan. Nama Agus Fatkhurrahman juga secara otomatis terbawa karena posisi sebelum jadi bupati adalah wakil bupati. Ternyata prestasi Untung tak juga menyurutkan aparat penegak hukum untuk mengusut kasus-kasus di Bumi Sukowati. Kini yang juga menjadi perbincangan hangat adalah soal Job Training atau tenaga honorer di Sragen.

Pada jaman Untung, untuk mengisi beberapa kebutuhan pegawai maka dibuka lowongan untuk Job Training (JT) membantu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menjalankan programnya. Alasannya berdasar PP No 48 Tahun 2005 tak memperbolehkan Pemda merekrut PNS. Hingga akhir tahun 2011, diduga ada sekitar 1.700 orang. Memang dalam kontrak mereka disebut tak menuntut diangkat menjadi PNS. Yang membikin semakin aneh adalah adanya klausul tak menuntut gaji.

Bagaimana bisa, orang bekerja tak menuntut gaji. Sikap yang diambil oleh Agus cukup jelas yakni tak memperpanjang kontrak JT. Masalahnya tidak berhenti disini, para JT tidak terima diberhentikan. Beragam isu muncul mengiringi soal ini termasuk soal dugaan pungutan hingga Rp 40 juta bila ingin diangkat menjadi JT. Entah sudah berapa kali para tenaga kontrak ini berdemo dan mengadukan kasusnya ke berbagai pihak agar ada penyelesaian.

Terlihat bahwa mereka ingin bekerja kembali. Jelas ada banyak kelemahan dalam aspek kasus ini. Pertama, keputusan bupati sudah benar, mereka harus berhenti karena landasan hukumnya sangat lemah. Kasus ini tidak hanya ada di Sragen namun diberbagai daerah. Dalam PP No 48/2005 sangat jelas mengaturnya. Kalau mau aman, kontrak mereka dengan memakai sistem tiap proyek dan tentu sesuai spesifikasi keahlian. Sehingga mereka dibayar dengan biaya dari belanja tidak langsung pegawai.

Kedua, meski dituding sebagai kebijakan politis Bupati hendaknya mengabaikan saja karena bila tidak justru bisa timbul masalah dikemudian hari. Jika pun ada yang menyuap saat masuk sebagai JT harus ditindaklanjuti untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Bupati harus berani menindak bawahannya yang berlaku melanggar peraturan. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa pemerintahan dirinya bersih dan bertindak tegas terhadap perilaku korupsi.

Ketiga, tidak membuka lagi kesempatan untuk penerimaan pegawai tanpa persetujuan pemerintah pusat. Selain melanggar regulasi, belanja pegawai di Sragen sudah banyak menggerogoti anggaran daerah. Sudah tiga tahun terakhir belanja pegawai pada belanja langsung mencapai 63,70 persen (2009), 66,03 persen (2010) dan 66,47 persen (2011). Bila dibandingkan DAU pada tahun tersebut juga semakin berkurang. Tahun 2009 DAU untuk bayar pegawai tersisa Rp 35,6 M, Tahun 2010 DAU sudah minus Rp 4,7 M untuk bayar pegawai dan Tahun 2011 malah minus Rp  75,6 M.

Senin, 02 Januari 2012

Perwali 15/2011, Maju Atau Mundur?

|2 komentar
Kajian Perwali Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Musrenbang Kota Solo Tahun 2012 (2)

Dengan berjalannya waktu sudah tentu masyarakat banyak berharap ada perubahan signifikan dalam penyelenggaraan maupun follow up tindak lanjut hasil Musrenbang. Faktanya, regulasi yang baru keluar akhir Desember 2011 justru tidak menampakkan kemajuan yang signifikan. Ada beberapa yang stagnan bahkan mundur hingga tidak memperhatikan regulasi yang lain. Apakah hal ini dipengaruhi faktor rolling birokrasi di Pemkot terutama Bappeda atau ada hal teknis lainnya.
 
Berdasarkan kajian Perwali No 15 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musrenbang Kota Surakarta Tahun 2012 ada 3 hal utama yang perlu diperhatikan. Pertama kritik tentang hal-hal yang berkaitan dengan teknis, kedua kritik yang berkaitan dengan substansi dan terakhir beberapa sorotan yang tidak masuk dalam Perwali tersebut.
 
Berkaitan dengan hal teknis setidaknya tercatat 5 aspek teknis yang kadang antara satu hal dengan hal yang lain tidak berhubungan. Sebut saja mengenai Pembentukan PPK (Panitia Pembangunan Kelurahan) yang diagendakan pada sidang pleno I Musrenbangkel. Harusnya dalam sidang pleno II, diagendakan penetapan PPK apalagi salah satu output Musrenbangkel adalah terbentuknya PPK.
 
Komunitas Becak, harus diproteksi dari ketertindasan kebijakan

Bagaimana status PPK yang dibentuk kalau di sidang pleno II tidak ditetapkan? Apakah hasil Musrenbangkel berkaitan dengan PPK menjadi sah? Forum melalui pimpinan sidang tidak menetapkan mereka. Kemudian berkaitan dengan aspek substansi yang setidaknya ada 7 hal substansial yang perlu dielaborasi dan dipertegas dalam regulasi ini. Yang paling fatal adalah adanya Renstra Masyarakat.
 
Entah apa yang dipikirkan oleh tim penyusun Perwali sehingga Renstra Masyarakat bisa muncul. Padahal dalam regulasi tingkat nasional maupun daerah tidak ada yang menyebutkan hal itu. Bila dikelurahan, adanya renstra kelurahan yang merupakan penjabaran dari Rencana Kerja (Renja) SKPD Kelurahan. Bappeda Kota Solo harus bertanggungjawab secara jelas klausul ini.
 
Yang ketiga yakni aspek lain yang cukup penting untuk diatur dalam perwali. Ada 6 hal tetapi salah satunya mengenai rekomendasi. Beberapa kebijakan kota perlu dikritisi apapun anggapan masyarakat terhadap Jokowi. Sayangnya ruang ini tersedia untuk individu-individu seperti sms walikota atau sarana lain. Masyarakat harus dididik mengkerangkakan sesuatu dalam memberi masukan pada kotanya.
 
Beberapa rencana kebijakan seperti penataan koridor Pasar Gede, pergeseran Ngarsopuro ke Kemlayan dan kebijakan lain butuh masukan masyarakat. Bila form Musrenbang juga disertai dengan form Rekomendasi, ada pendidikan penting pada warga untuk memberi masukan secara bertanggungjawab, terstruktur dan jelas. Kita tahu, sms walikota lebih sering berisi mengenai keluhan. Maka dari itu, pola masukan harus digeser pada pola atau cara yang lebih elegan.
 
Harapannya kedepan ada tradisi baik bagi warga ketika memiliki uneg-uneg maupun saran tidak hanya berupa sms. Bila perlu dalam form rekomendasi tersebut disertakan kolom usulan solusinya. Sehingga masyarakat tidak sekedar diajari mengeluh tetapi juga memikirkan jalan keluar terbaik seperti apa. Form ini juga tidak harus diisi serta ditiap tingkatan diseleksi lagi agar makin fokus dan mengandung unsur prioritas. Form ini bisa dijadikan alat bagi Jokowi untuk meminta SKPD dibawahnya bekerja sesuai “suara” masyarakat.

Musrenbang Kota Solo Stagnan

|0 komentar
Kajian Perwali Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Musrenbang Kota Solo 2012 (1)

Diluncurkannya Perwali No 15 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musrenbang Kota Surakarta Tahun 2012 memulai proses perencanaan. Penyelenggaraan Musrenbang di Kota Solo sudah kesebelas kalinya. Seharusnya proses yang terjadi semakin mapan dan matang terutama pada aspek regulasi. Meski disisi lain ada keluhan kejenuhan pada masyarakat.

Kalau dikaji lebih mendalam, ada 2 faktor yang menyebabkan jenuhnya masyarakat. Faktor itu adalah minimnya program masyarakat yang terealisir pada pelaksanaan dan tidak ada inovasi penyelenggaraan Musrenbang. Alih-alih ada inovasi baru untuk “merenovasi” sistem Musrenbang, Pemkot justru semakin membuat proses Musrenbang monoton. 

Kenapa program yang diajukan masyarakat minim terealisasi? Ada beberapa hal penyebab kondisi ini. Pertama, tidak adanya kebijakan penyusunan rencana pembangunan jangka menengah kelurahan. Akibatnya setiap tahun masyarakat terus menerus membuat usulan. Bila sudah ada RPJM Kelurahan maka tiap tahun masyarakat hanya melakukan evaluasi DPK yang sudah terlaksana, pemetaan program yang akan diimplementasikan tahun berjalan serta pemilahan program yang akan dikerjakan (lanjutan maupun baru).

Pertumbuhan kota harusnya sejalan dengan pertumbuhan kesejahteraan
Sehingga tiap usulan program hanya dibahas untuk kurun waktu 5 tahun sekali tidak tahunan atau crosscheck program. Otomatis dengan kegiatan ini beban masyarakat tidak berat dan ada pembelajaran mengenai bagaimana melakukan perencanaan yang baik. Perencanaan dikerjakan tidak serta merta/tiba-tiba namun berdasar visi misi wilayah. Hingga 11 tahun Musrenbang, pembelajaran perencanaan jangka menengah hampir bisa disebut tidak atau sama sekali tak muncul.

Kedua, tidak adanya pagu indikatif kelurahan  sehingga masyarakat akan terus membuat usulan. Dalam proses Musrenbangpun lebih banyak memperbincangkan usulan/program bukan potensi, sumberdaya, ketersediaan anggaran, swadaya dan sebagainya. Pada tahun 2012 sudah selayaknya Pemkot Solo memberi pagu indikatif. Bila melihat alokasi Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) dalam waktu 3 tahun terakhir, semestinya bisa dilakukan.

Tak banyak kelurahan yang perolehan DPK berbeda, plus minusnya masih berkisar dibawah Rp 30 juta. Kenapa tidak diarahkan kesana sehingga masyarakat kelurahan ketika mengadakan Musrenbang sudah ada rambu-rambunya. Ketiga, dalam merencanakan program masyarakat tidak diajari melihat manfaat program yang lalu, program yang akan dikerjakan serta program lanjutan. Yang terjadi justru pembahasannya program baru. Hal ini meningkatkan kemungkinan tak terealisasinya usulan tersebut.

Sebenarnya paparan evaluasi program tahun lalu dan program yang akan dijalankan tahun berjalan bisa dipaparkan saat Persiapan Musrenbangkel I. Tim monev sendiri sudah ada sejak awal perencanaan (2000) dan hasil-hasil tim itu hanya diserahkan kepada lurah. Bila dipaparkan saat persiapan Musrenbang maka pembelajaran mengenai perencanaan kualitasnya akan meningkat.

Demikian juga paparan tim pelaksana pembangunan yang bisa memaparkan program apa saja yang akan dilaksanakan. Hal ini untuk mengantisipasi program yang bisa diusulkan kembali. Maka dari itu, inovasi atau pengembangan perencanaan harus didorong menjadi sebuah tahapan dan progress yang lebih maju tidak lagi stagnan. Pada regulasi tentang Musrenbang (Perwali Nomor 15 Tahun 2011) hal itu tidak terjadi.