Rabu, 28 Desember 2011

Matinya Penerangan Jalan Umum (PJU) Di Solo

|0 komentar
Matinya PJU di Kota Solo hari Senin 26/12 sungguh mengejutkan masyarakat. PJU yang mati memang hanya di kawasan jalan Slamet Riyadi dan Jl Adi Sutjipto namun justru dikedua jalan itulah yang meruntuhkan citra Joko Widodo sebagai kepala daerah yang memang dikenal baik. Penyebabnya tak lain adalah adanya tunggakan tagihan listrik ke PLN sebesar Rp 9 M yang belum dibayar. Kejadian tunggakan ini merupakan kedua kalinya dalam pemerintahan Jokowi.

Berdasar data yang dirilis espos dari PLN, mulai Januari hingga November 2011 sebenarnya anggaran pembayaran Pajak Penerangan Jalan Umum sudah dibayarkan ke PLN. PPJU didapat dari setoran pembayaran rekening listrik masyarakat yang nilainya 9 persen dari biaya yang digunakan. Kejadian ini banyak menimbulkan pertanyaan yang patut untuk dijawab baik oleh PLN Solo maupun Pemkot.

Mekanisme pembayaran PPJU yakni mulai dari masyarakat membayar listrik. Sembilan (9) persen PPJU diserahkan ke Pemkot oleh PLN tiap bulannya untuk dicatat sebagai pemasukan. Selanjutnya Pemkot membayar ke PLN sesuai besaran pemakaian voltage PJU. Nah dari data setoran PJU dan Kewajiban PJU terlihat sebenarnya PLN sudah tertib menyetorkan ke Pemkot, demikian juga Pemkot hingga November 2011 sudah membayar.
Lampu PJU Di Kawasan Pasar Gede


Kenapa masih ada pemadaman dan tunggakan senilai Rp 9 Miliar? Maka dari itu kedua pihak harus menjelaskan beberapa hal. Pertama, apakah ada data secara jelas berapa titik PJU resmi yang diakui Pemkot dan PLN Solo serta berapa voltage tiap titiknya. Data ini penting untuk memperkirakan dalam 1 bulan berapa dana yang harus dibayarkan oleh Pemkot. Tanpa data ini seharusnya Pemkot tak perlu membayar karena sebagai pelanggan tak dipenuhi haknya.

Kedua, berdasar data yang dirilis PLN setiap bulan hingga November tagihan PPJU sudah dibayar oleh Pemkot tanpa tunggakan. Kenapa masih ada pemadaman?Ketiga, angka Rp 9 Miliar muncul darimana? Sebab dari data itu tak ada penjelasan tunggakan. Pemkot sendiri tiap bulan selalu memiliki sisa dana dari PPJU yang diterima dari masyarakat dan pembayaran PJU ke PLN. Hingga November diperkirakan Pemkot masih memegang dana Rp 3,2 Miliar.

Keempat, kenapa Pemkot menganggarkan Rp 9 Miliar untuk membayar PJU dari APBD jika tiap bulan masih ada sisa dana? Artinya ada anggaran Rp 12,3 Miliar (sisa PPJU hingga November ditambah APBD untuk PJU) untuk Tahun 2011 yang alokasinya tidak jelas (belum termasuk sisa PPJU Bulan Desember). DPRD Kota Solo tidak terlihat jeli menyikapi hal ini dan hanya ikut memprotes kebijakan yang diambil oleh PLN Solo.

Terakhir, statemen Wakil Walikota Solo soal belum dibayarnya tunggakan dengan alasan untuk keperluan yang lebih penting seperti PMKS dan BPMKS. Sungguh jawaban yang mengada-ada karena sebelumnya dalam RAPBD 2012 justru dianggarkan kendaraan dinas serta pengadaan seragam Ketua RT. Mana yang lebih penting dari kejadian ini?

Kedepan, seharusnya pengambil kebijakan di Kota Solo harus mengerti mana kebijakan strategis dan mana kebijakan taktis. Mana yang perlu diperjuangkan dan mana yang bisa diabaikan. Kalau tak bisa melihat secara jeli, sungguh citra yang terbangun akan runtuh oleh hal sepele. Wakil rakyat juga harus jeli supaya tidak terlena akan nama besar Solo yang terangkat ke dunia internasional namun melupakan tugas melindungi warganya.

Kamis, 22 Desember 2011

Catatan Perjalanan Jokowi Hingga Desember 2011

|0 komentar
Siapa yang tak kenal Joko Widodo, Walikota Surakarta. Namanya menasional karena kebijakan-kebijakan populisnya. Kepiawaiannya membranding kota mampu menarik investor maupun pemerintah daerah lain belajar pada kota ini. Meski tak cukup memiliki modal pengalaman sebagai politikus dan atau birokrat, gebrakannya patut diacungi jempol. Sudah beragam penghargaan yang dia terima baik dari kementrian, majalah, NGO, atau lembaga lainnya.

Solo benar-benar dibranding sedemikian rupa sehingga banyak julukannya sekarang ini. Sebut saja Solo Kota Layak Anak, Solo Kota Vokasi, Solo Kota Taman, Solo Kota Budaya, Solo Kota Hijau, Solo Kota Pariwisata, Solo Kota Keroncong, Solo Kota Karnaval dan sebutan lainnya. Meski banyak sebutan, nyatanya tak banyak yang mempersoalkannya. Padahal tiap branding harus diperkuat dengan bentuk fisik dan perilaku yang mengarah kesana.

Saat ini jangan coba-coba kritik kebijakan Jokowi secara frontal karena bisa menimbulkan reaksi yang besar. Berdasarkan hasil Pilkada 2010, bersama Hadi Rudyatmo mampu meraup 90 persen suara lebih. Hal ini menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat Solo pada sosok ini sangat luar biasa. Benarkah semuanya baik-baik saja? Tidak adakah sedikitpun kekurangan kepemimpinan yang mengusung jargon Berseri Tanpa Korupsi.

Pasar Kleco Pasca Renovasi
Sejak menjabat sebagai Walikota Tahun 2005, perjalanan pemerintahan Kota Surakarta tidak mulus-mulus saja. Ada beberapa sektor yang hingga periode kedua kepemimpinannya sulit dibenahi. Pertama, mengenai Penataan Pedagang Kaki Lima. Memang memindahkan 989 PKL seputar Monumen Banjarsari menjadi momentum besar, prestasi yang menjadi tonggak awal nama Jokowi melambung. Saat ini banyak kantong PKL yang sudah direlokasi ternyata masih saja ada.

Dua tempat yang hingga kini masih ramai PKL yakni di jalan Radjiman dan di belakang UNS. Relokasi yang dilakukan tak membuat mereka benar-benar meninggalkan tempat lamanya. Kedua, penataan pasar tak tuntas menyelesaikan problem pindahnya pedagang oprokan. Memang rata-rata pedagang oprokan ditempatkan dilantai paling atas. Tentu tak banyak masyarakat yang berbelanja di lantai tersebut sehingga mereka meninggalkan tempat itu. Banyak pasar tradisional pasca renovasi, tempat pedagang oprokan tak ada aktivitasnya.

Ketiga, mengatur besaran tarif parkir. Hampir tiap hari ada saja orang mengkomplain tentang tarif parkir di media lokal. Tidak hanya penempatan namun juga tarif yang dikenakan. Berdasarkan Perda, harusnya tarif parkir cuma Rp 500 bagi kendaraan roda dua. Prakteknya bisa Rp 1.000 - Rp 2.000 untuk kendaraan roda dua dan Rp 2.000 - Rp 10.000 bagi kendaraan roda empat tergantung dimana parkirnya. Tarif untuk kendaraan roda dua Rp 2.000 ada di mall dan untuk hari Sabtu-Minggu.

Keempat, reformasi birokrasi terutama dalam memantapkan slogan berseri tanpa korupsi. Meski mengusung anti korupsi, bukan berarti semua lancar. Ada beberapa kasus yang menandakan reformasi birokrasi dibidang pemberantasan korupsi tak optimal. Kasus korupsi dana proyek pembangunan pusat jajan malam dengan memakai kunker fiktif menjadi ujian pertama bagi Jokowi. Saat kemunculan kasus ini, Jokowi menyatakan akan memback-up tetapi akhirnya Kepala Disperindag "dilepas".

Penulis mempersepsikan Walikota tidak percaya yang dilakukan bawahannya. Namun ketika tahu kejadian sebenarnya maka dia rela melepaskannya. Cukup? belum. Tahun 2007-2008 ternyata ada dugaan pungutan liar di Terminal Tirtonadi yang dilakukan oleh Kepala Terminal. Dan tahun 2011 ini ada soal pertamanan (baca Disini) dan Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga tentang penggunaan seragam dinas yang diindikasikan "bermasalah".

Beberapa catatan diatas perlu benar-benar diperhatikan oleh Walikota supaya sisa perjalanan pemerintahannya yang masih 3,5 tahun akan lancar. Agar citra yang sudah baik tidak terkotori dengan problem yang tidak diinginkan. Dia harus memiliki strategi yang tepat sehingga tidak ada lagi bawahannya yang mencoba main-main. Karena nama baik yang disandang kadang tak berguna begitu pasca menjabat (refleksi kasus Untung Wiyono/Sragen dan Prof DR I Gede Winasa/Jembrana).

Sabtu, 17 Desember 2011

Pemasukan Retribusi dan Pajak Klaten Sangat Kecil

|0 komentar
Kajian APBD Kabupaten Klaten 2007 - 2011

Kemampuan belanja daerah salah satunya dipengaruhi oleh tinggi rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan PAD yang cukup tinggi akan dapat melaksanakan program pembangunan di daerah sehingga secara langsung maupun tidak mendorong atau mendongkrak kesejahteraan masyarakat. Sayangnya masih banyak pemerintah daerah tak mampu mengoptimalkan sumberdaya-sumberdaya untuk dioptimalkan. Akibatnya tingkat ketergantungan pada dana pusat cukup tinggi.

Pemerintah pusat juga tak kunjung memiliki formula untuk merangsang daerah membuat kreasi optimalisasi PAD tanpa banyak membebani masyarakat. Yang paling sering dilakukan adalah merubah Perda yang berkaitan dengan pajak maupun retribusi daerah. Kenapa demikian? Karena meningkatkan pajak dan retribusi daerah adalah cara termudah mengoptimalisasi PAD. Padahal ada banyak cara yang bisa dilakukan agar beban masyarakat tidak bertambah.

Sebut saja misalnya membuat sistem menejemen PAD yang transparan dan akuntabel, memetakan potensi pendapatan bagi pengusaha, menyediakan insentif bagi usahawan untuk berinvestasi serta beragam cara lainnya. Tetapi langkah ini dianggap sulit dan butuh ekstra kerja keras untuk membuat inovasi. Oleh karenanya banyak daerah pajak maupun retribusinya bisa dibilang sangat rendah. Hal ini membuat kita prihatin sebab birokrasi sudah digaji negara dan disisi lain, tak ada terobosan baru dalam hal pendapatan.

Di Kabupaten Klaten, kontribusi dari 2 sumber pendapatan bisa dibilang sangat kecil terutama periode 2007 hingga 2011. Retribusi dan pajak daerah Kabupaten Klaten tidak sampai 5 persen, sebuah hasil yang sangat memprihatinkan. Bila dilihat letak geografis, potensi maupun sumberdaya yang dimiliki harusnya mereka bisa menggenjot pendapatan daerah bisa diatas 5 persen. Sayangnya tak ada inovasi yang cukup berarti mendongkrak PAD.

Tahun 2007, PAD Klaten mencapai Rp 40 M dari total pendapatan sebesar Rp 845 M. Tahun 2008 meningkat menjadi Rp 51 M dari 946 M. Setahun berikutnya (2009) mendapat kontribusi PAD sebesar Rp 59 M dari Rp 955 M. Tahun 2010 pemasukan daerah mencapai Rp 1 T dengan PAD senilai Rp 71 M dan tahun ini direncanakan PAD menembus angka Rp 65 M dari Rp 1,2 T. Sebuah selisih yang tidak sebanding dengan total pendapatan yang direncanakan.

Lantas berapa pemasukan dari retribusi dan pajak daerah di PAD? Tahun 2007 untuk retribusi hanya menyumbang Rp 10 M dan pajak senilai Rp 12 M atau 1,20 persen dan 1,53 persen dari total pendapatan. Kemudian 2008, retribusi meraih Rp 12 M (1,27 persen) dan pajak mendapat pemasukan Rp 15 M (1,66) persen. Tahun 2009, retribusi menyumbang Rp 12 M (1,3 persen) dan pajak hanya Rp 19 M (2 persen) saja.

Tahun 2010, retribusi menembus Rp 13 M (1,36 persen) sedangkan pajak memperoleh Rp 20 M (2 persen). Tahun 2011, retribusi mendapat pemasukan Rp 18 M dan pajak daerah menjadi Rp 24 M. Atas kondisi ini mestinya Sunarna memanggil pejabat terkait untuk tahu problem dilapangan. Instansi penarik retribusi ataupun pajak penting digali informasinya kenapa pemasukan dari lapangan tidak bisa ditingkatkan lagi. Tanpa campur tangan bupati, SKPD yang memiliki kewenangan penarikan retribusi dan pajak tidak akan berubah.

Keterangan : Dalam juta
Sumber : www.kemenkeu.go.id (diolah)

Sabtu, 10 Desember 2011

Kapan Korupsi Enyah Dari Indonesia

|0 komentar
Kampanye pemberantasan korupsi yang didengungkan oleh presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga kini masih seperti pepesan kosong. Terbukti masih banyak pejabat baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif ditangkap oleh KPK gara-gara kasus korupsi. Banyak pejabat mulai dari pusat dan daerah tak kunjung memahami substansi sesungguhnya mengenai pemberantasan korupsi. Entah apa yang dipikirkan mereka yang tetap saja mengabaikan perang terhadap korupsi.

Tidak hanya pejabat birokrasi, para aparat penegak hukum yang semestinya lebih tahu konsekuensi dari pelanggaran regulasi tetap saja nekad melakukannya. Lantas dimana sebenarnya impact dari remunerasi yang diberikan pemerintah? Kenapa bila ada pejabat yang tertangkap gara-gara suap atau berkaitan kasus korupsi yang muncul justru diskursus mengenai kurangnya gaji yang mereka terima. Padahal dibandingkan masyarakat kebanyakan, mereka dibayar cukup besar.

Secara umum saja tiap tahun pemerintah selalu menaikkan anggaran birokrasi untuk gaji. SBY tidak peduli apakah dampak dari menaikkan gaji itu bisa menimbulkan kesenjangan antara buruh pemerintah dan buruh swasta. Pengumuman kenaikan gaji tiap tahun sebenarnya secara psikologis tidak mudah diterima akal sehat rakyat secara umum. Buktinya di media massa lokal, respon warga via sms masih ada saja yang menyoroti soal kenaikan gaji PNS.

Dibandingkan 10 tahun lalu, PNS belum menjadi profesi yang dilirik oleh banyak pihak. Yang didalamnya termasuk para aparat berwenang. Disisi lain, tak berkurangnya tindakan korupsi mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah merosot. Sudah jelas pegawai pemerintah gaji ditanggung plus asuransi jaminan tuanya. Entah kenapa kasus korupsi masih saja menyeruak dalam pemberitaan.

Akibat tak berkurangnya korupsi, Indeks Persepsi Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan pointnya. Demikian juga dengan posisi negara-negara tetangga yang dalam penelitian posisinya lebih bagus. IPK (Indeks Persepsi Korupsi) Indonesia masih dinilai 2,8 dari rentang 0-10. Nilai 10 merupakan ambang nilai dengan makna paling bersih. Tahun 2010, nilainya masih sama dengan kondisi tahun ini. Jika dirasakan pemberantasan korupsi memang progressnya tak terlihat signifikan.

Posisinya pun di 110 dari 178 negara atau naik 1 point dari posisi 111 dengan 180 negara. Tahun ini saja ada 6 pejabat publik yang ditangkap KPK. Jika demikian, presiden harusnya mampu mengambil langkah konkrit untuk tak main-main dengan koruptor. Bagaimana bisa hakim Tipikor di Surabaya, Semarang ataupun Kalimantan Timur seenaknya saja membebaskan koruptor. Perlu ada terobosan hukum, misalnya pemiskinan seperti yang diungkapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD.

Entah sampai kapan rakyat akan bersabar menunggu hilangnya korupsi dari Indonesia. Jika yang ditunggu tidak juga terealisasi (enyahnya korupsi) bisa mengancam kesejahteraan rakyat karena anggaran negara makin minim yang menetes pada masyarakat. Para koruptor itu makin cuek dengan lingkungannya, masih bisa tersenyum dan kembali memegang lembaga atau institusi strategis.

Kamis, 08 Desember 2011

Bentakan Di Kampung Ganjil

|0 komentar
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) disadari atau tidak ternyata mudah dilakukan oleh para orang tua. Sayangnya tidak banyak masyarakat yang faham apa itu KDRT, Apa saja bentuknya, dampak apa yang ditimbulkan, kenapa tidak boleh melakukan KDRT dan lain sebagainya. Kekerasan yang muncul tidak saja fisik namun psikis juga masuk dalam kategori itu bila membuat drop secara psikologis. Demikian juga yang terjadi dilingkungan kampung ganjil ini.

Siang itu seperti biasa, pak Muhammad sedang bercanda dengan anak istrinya diruang tv. Tiba-tiba terdengar bentakan, tangisan dan beberapa benda yang terbentur tembok. Pak Muhammad meyakini itu suara dari tetangga sebelah yaitu pak Ripi. Bukannya mereda, tangisan justru tambah keras. Pak Muhammad tak bisa berbuat apa-apa, demikian juga istrinya meski bathin merasa tersiksa.

Keluarga itu memang dikenal keras dan tidak jarang terjadi keributan. Entah pak Ripi dengan istrinya, pak Ripi dengan anaknya, istri pak Ripi dengan anaknya atau antar anak. Mereka seperti tidak peduli apakah lingkungan mendengarkan pertengkaran itu atau tidak. Dalam sebuah perbincangan, pak Yota mengakui sering terganggu namun tidak bisa berbuat apa-apa. "Anak saya sebenarnya mengeluh tapi ya dibiarin aja wong mereka ga peduli dan ga punya malu" kata pak Yota suatu saat.

Sudah sejak lama pak Ripi sekeluarga dikenal keras dan tidak peduli dengan lingkungan. Rapat rutin RT saja hampir tidak pernah diikuti kecuali dirumahnya. Dia tidak ambil pusing mau dikatain tetangga atau ga. Ternyata pertengkaran siang itu didengar pak RT yang merasa prihatin dengan tangisan anak pak Ripi yang cukup kencang. Khawatir terjadi sesuatu, pak RT mendatangi rumah pak Ripi dengan maksud melerai pertengkaran tersebut.

"Assalamu'alaikum" ucap pak RT didepan gerbang rumah pak Ripi yang dijawab "Ngopo" dengan bentakan keras dari dalam rumah. "Pak Ripi masih marah" tanya pak RT dengan lembut. Bukannya jawaban yang keluar malah pintu dibanting dengan keras. Kaget mendengar hal itu, pak Muhammad melongok keluar dan terlihat pak RT berjalan menuju ke rumahnya dengan langkah gontai. "Wah keterlaluan tu pak Ripi, masak pak RT dibentak gitu" ungkap pak Muhammad pada istrinya.

Rupanya pak Ripi sudah putus saraf malunya sehingga seenaknya saja dia berbuat. Benar-benar orang yang tak menghormati sekelilingnya. Atas kejadian itu, beberapa warga yang mendengarnya malas datang ke rapat rutin yang kebetulan bertempat dirumah pak Ripi. "Saya sih sudah sejak lama berniat tak pernah datang ke rumah itu tanpa kepentinganku"batin pak Muhammad. Sudah selayaknya memang pak Ripi mendapat sanksi sosial agar tak seenaknya berbuat.

Senin, 05 Desember 2011

Selesaikan Masalah Lebih Penting Dari Bangun Kantor Kabupaten

|0 komentar
Rencana Relokasi Kantor Kabupaten Boyolali (2)
Sambungan

Keempat, kecilnya PAD alias pendapatan masih bergantung ke pusat. APBD Tahun 2011 menunjukkan hanya 7,83 persen PAD yang disetorkan ke kas daerah dibanding pendapatan dari Dana Perimbangan yang mencapai 72,31 persen. Dari angka 7,83 persen sekitar separonya masih disetor oleh sektor kesehatan (RSUD dan Puskesmas) serta dari retribusi parkir dan pedagang pasar. Anggaran yang banyak didapat dari masyarakat luas, harus terlebih dahulu dipergunakan untuk mensejahterakan mereka.

Kecuali Boyolali mampu mengolah kawasan pertanian, susu, pariwisata ataupun sumberdaya alam berupa penambangan pasir yang mendongkrak pendapatan asli daerah. Masyarakat awam justru mendapat beban baru pasca keluarnya Perda 10, 11, 12 dan 13 Tahun 2011 ini. Perda itu menaikkan retribusi parkir dan biaya rawat di Puskesmas. Tak tanggung-tanggung kenaikannya mencapai 100 persen. Bupati dan perangkatnya terlihat tidak kreatif menggali potensi lain.

Kenaikan PAD tahun 2012 pasti akan dijadikan senjata untuk menyatakan PAD sudah meningkat tajam padahal justru diambil dari masyarakat miskin. Siapa yang berobat di Puskesmas dan RSUD Boyolali? Siapa yang membayar parkir di pasar tradisional? Kalau orang kaya pasti akan berbelanja ke mall di Solo atau berobat di Semarang yang peralatannya lebih modern.
Ket : Dalam Juta
Diolah dari www.kemenkeu.go.id

Kelima, masih banyaknya bencana yang dihadapi warga terutama kawasan merapi maupun krisis air jika kemarau tiba. Dua masalah besar ini sering terjadi rutin tiap tahun. Dibentuknya BPBD (Badan penanggulangan Bencana Daerah) diharapkan mampu meminimalisir dampak yang terjadi. Bila menginginkan demikian maka perlu disupport oleh anggaran. Bukan malah dibangunkan gedung yang megah, mobil dinas mewah namun tak mampu menjangkau kawasan sulit akan percuma.

Terakhir, argumen bupati yang menyatakan tak akan mengganggu dana APBD untuk membangun kantor Kabupaten yang baru sungguh lucu. Seno menyatakan dia mengambil dana dari DAU yang jelas-jelas tercatat dalam APBD. Apa logikanya kalau membangun disebuah daerah tanpa APBD? Justru itu yang menimbulkan tanda tanya besar. Apalagi DAU Boyolali sudah tak cukup untuk menggaji birokrasinya alias gaji pegawai lebih besar dari DAU.

Dengan berbagai argumentasi diatas, hendaknya bupati dan wakil bupati mengkaji kembali keinginan merelokasi kantor kabupaten. Tak elok dan tak patut membangun sesuatu ditengah kondisi masyarakat yang masih butuh banyak dibantu. Caranya bukan menaikkan tarif retribusi namun merumuskan program yang pro rakyat, pro investasi dan pro poor. Kalau toh nanti kebaikan kalian tidak diingat masyarakat, setidaknya dicatat para malaikat.

Masih Defisit Koq Mau Relokasi

|0 komentar
Rencana Relokasi Kantor Kabupaten Boyolali (1)

Bupati Boyolali Seno Samudro harus memikirkan ulang terkait rencana relokasi Kantor Kabupaten dari Sunggingan ke Desa Kemiri Kecamatan Mojosongo. Ada beragam faktor yang menjadi tantangan relokasi tersebut. Tantangan itu bisa berupa kendala teknis maupun non teknis yang pada dasarnya relokasi tak mudah dilakukan. Memang soal tanah sudah tak jadi masalah karena tanah aset daerah seluas 13 ha dan 2 desa sudah berganti menjadi kelurahan.

Namun memaksakan relokasi sungguh tak elok ditengah masih karut marutnya penataan birokrasi daerah, bencana longsong, gunung merapi, kekeringan hingga soal kepemilikan tanah di Kedungombo. Lebih baik bupati menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut yang saya yakini sungguh tidak populis. Istilahnya tidak diingat orang dibanding membangun gedung kabupaten yang baru. Pengalaman Seno sebagai wakil bupati semestinya mampu menjadi kelebihan dirinya menyoroti substansi masalah daerah.
 Ket : Dalam juta
Diolah dari www.kemenkeu.go.id

Disisi lain, beberapa wakil rakyat juga menyatakan ketidaksetujuannya.Hal ini harus benar-benar diperhatikan Seno supaya perjalanan kepemimpinannya nanti tetap amanah. Ada 6 point yang jadi alasan saya mengapa relokasi kantor Kabupaten Boyolali harus ditolak. Pertama, biaya relokasi yang mencapai Rp 290 M tentu menjadi angka yang fantastis bagi kota susu tersebut. Bandingkan dengan Belanja Langsung Tahun 2011 kabupaten itu sebesar Rp 289 M.

Meskipun pembiayaan melalui anggaran tahun jamak, justru disini letak persoalannya. Pembiayaan multiyears kadang terkendala kenaikan harga bahan baku, inflasi, cuaca dan lainnya yang menyebabkan biaya Rp 290 M bisa bertambah. Kedua, hingga 5 tahun terakhir APBD Boyolali selalu mencatat defisit anggaran. Di Tahun 2011 ini mencapai Rp 64 M. Kalau anggarannya saja masih defisit, bagaimana logikanya mau membangun kantor kabupaten?

Seno harus terlebih dulu mampu menunjukkan bahwa APBD Boyolali bisa berimbang atau bahkan surplus. Tentu tidak sekedar mengurangi program dan lebih fokus pada program yang dibutuhkan masyarakat terlebih dahulu. Ketiga, sampai sekarang Belanja Pegawai masih tinggi atau mencapai 66 persen dari APBD 2011. Belanja modalnya saja hanya 12 persen. Bupati tak bisa begitu saja menafikkan hal ini karena artinya alokasi anggaran masih bersifat rutinitas semata.

Bersambung