Jumat, 30 September 2011

Komitmen Pemerintah Kunci Utama

|0 komentar
Macet Sebagai Upaya Penataan Lalu Lintas (2)

Berbagai kebijakan untuk mengurai kemacetan pernah ditawarkan namun sepertinya kurang efektif. Sebenarnya faktor utama yaitu ketidaktegasan pemerintah dalam menjalankan kebijakan. Satu kebijakan belum lama dijalankan sudah diganti lagi tanpa melihat evaluasinya. Bahkan proyek Monorel Jakarta yang sudah dibangun sejak 2004 diganti dengan proyek lainnya. Akibatnya Pemprop Jakarta memberi ganti rugi antara Rp 204 M hingga Rp 600 M.

Khusus untuk Jakarta, sudah banyak kebijakan yang dibuat. Misalnya penyediaan KRL Ekonomi, Ekonomi AC dan AC Bisnis yang sekarang berubah menjadi Komuter tanpa kelas. Toh penumpang masih saja naik ke atap-atap kereta. Adanya busway atau Trans Jakarta serta jalur TOL ditengah kota tetap tak mengurai kemacetan. Apalagi bila ada pejabat lewat menggunakan voorijder, kemacetan pasti semakin lama. Beberapa usulan (termasuk tidak menyelesaikan masalah) juga muncul.

Jalur walking street di Jl Slamet Riyadi Solo yang teduh
Ada yang berpendapat tahun kendaraan dibatasi supaya pemilik kendaraan lama berganti baru atau tidak menggunakannya lagi. Ini jelas diskriminatif sebab tidak melihat kemampuan serta keinginan warga pengoleksi kendaraan lama. Lantas ada juga keinginan pemberlakuan plat nomor genap dan ganjil untuk hari yang ditentukan. Namun hal ini akan menjadikan orang memiliki kendaraan lebih dari 1 atau banyak lagi. Bukan malah mengalihkan pada angkutan umum.

Muncul juga wacana ada jalan yang dikenakan tarif berbayar elektronik atau electronic road pricing. Hanya saja konsep ini mirip dengan akses tol serta bagaimana pengoperasiannya. Menaikkan harga BBM juga tak sepenuhnya tepat karena pengguna bahan bakar bensin dan solar tidak hanya untuk kendaraan. Dampak turunannya pasti lebih luas. Kenaikan sedikit pada BBM selama ini berpengaruh pada kondisi perekonomian nasional.

Menurut penulis ada beberapa pemikiran yang justru memanfaatkan situasi ini untuk membenahi transportasi. Pertama, penataan wilayah harus benar-benar digunakan sesuai dengan RUTRK. Misalnya saja menurut Undang-Undang tentang kawasan harus disediakan 30 persen untuk kawasan hijau. Bila yang tersedia tidak sampai 30 persen, pemda harus membeli lahan-lahan yang tepat untuk pengadaan kawasan penyaringan polusi tersebut.

Kedua, Penataan kawasan perumahan mini atau sempit yang tidak memenuhi kaidah kesehatan maupun penataan kota dijadikan rusunami. Pemerintah membangun rumah susun hak milik dengan menyusun peraturan daerah terlebih dahulu. Diharapkan dari luasan lahan yang ada dapat digunakan untuk penambahan kawasan hijau, penambahan jalur kendaraan maupun penyediaan lahan parkir yang sesuai. Tentu pemilik tanah mendapat kesempatan pertama untuk menempatinya.


Kereta Komuter Solo - Jogja yang jadi andalan masyarakat
Bila jalur jalan sudah tertata, langkah Ketiga yakni menyediakan jalur terpisah baik berupa jalur cepat, jalur lambat atau tempat parkir. Memisahkan jalur bagi mobil secara tersendiri kemudian motor bisa disediakan untuk bajaj, sepeda serta walking street yang nyaman. Bila perlu ada juga penghijauan supaya pengguna jalan bisa nyaman melaluinya. Penyediaan jalur ini penting supaya masyarakat belajar tertib lalu lintas dan menghargai sesama pengguna.

Yang terakhir dan sangat penting menyediakan transportasi umum yang memadai dan layak untuk dimanfaatkan. Sehingga bila jalur mobil macet, masyarakat akan memikirkan menggunakan angkutan umum. Layak tidak hanya mengenai fasilitas angkutan umumnya namun keamanannya juga terjamin. Percayalah secara perlahan masyarakat akan beralih menggunakan transportasi umum ini. Toh pengadaan busway yang masih karut marut hingga saat ini juga dijejali penumpang.

Biarkan saja harga BBM seperti sekarang karena bila menggunakan kendaraan pribadi tidak lebih efisien dan kenyamanan yang sama disediakan oleh angkutan umum tentu akan berpengaruh pada pengguna kendaraan pribadi. Memang biaya dan waktu yang dibutuhkan lebih lama tetapi tingkat efektifitas lebih bisa dipertanggungjawabkan. Jaminan sustainabilitynya bisa diandalkan dibanding merubah berbagai kebijakan yang bukan pada substansi masalahnya. Dari semua hal itu kunci utamanya adalah komitmen pemerintah.

Pemerintah Tidak tangani Substansi Masalah

|0 komentar
Macet Sebagai Upaya Penataan Lalu Lintas (1)

Kemacetan saat ini hampir melanda sebagian besar kota-kota di Indonesia. Tidak hanya di Ibukota Jakarta atau kota besar namun hingga kota kecil seperti Pekalongan, Solo dan lainnya sudah terjadi kemacetan pada jam-jam tertentu. Kemacetan semakin parah karena perilaku para pengendara yang tidak tertib aturan entah itu pengendara motor maupun pengendara non motor seperti sepeda, becak ataupun andong. Rendahnya tertib lalu lintas menyebabkan problem lalu lintas lebih sulit ditangani.

Waktu berangkat sekolah, berangkat kerja, moment lebaran, pulang kantor menjadi saat-saat yang rawan tersendatnya lalu lintas. Ada beragam penyebab tumpukan kendaraan bermotor maupun non motor terjadi selain masalah dasar yakni tingkat kesadaran tertib lalu lintas. Komitmen pemerintah pusat maupun daerah juga bisa berkontribusi atas ruwetnya jalan raya. Ditambah waktu atau moment tertentu yang menyebabkan kondisi tidak menjadi baik.

Bus Patas 06 Jurusan Cililitan - Grogol Penuh Sesak

Dari pihak pemerintah baik pusat atau daerah misalnya berkontribusi pada kemacetan. Diantaranya soal prasarana jalan yang tidak memadai. Berapa persen jalan yang laik untuk dilalui dan berapa yang tidak. Pembedaan kelas jalan semestinya ditaati meski prakteknya sebuah trailer bisa kemana-mana asal lebar dan tinggi jalan memadai. Ketidaktaatan pemerintah daerah dalam menata kawasan sesuai Rancangan Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) menjadi persoalan berikut.

Kawasan pemukiman atau serapan air dijadikan kawasan pertokoan. Banjir dimana-mana tentu menimbulkan dampak baik langsung atau tidak. Sebaik apapun kualitas jalan bila direndam air serta terus menerus dilalui kendaraan akan cepat rusak. Regulasi atas ijin trayek angkutan umum yang tidak disertai kajian yang matang. Idealnya setiap angkutan minimal dalam sehari mengangkut berapa penumpang agar tidak rugi. Faktanya sekarang ini banyak angkutan kosong masih bisa beroperasi.

Yang banyak diketahui publik adalah banyaknya kendaraan roda dua. Bisa dibilang saat ini setiap orang yang sudah boleh memiliki SIM maka akan punya motor (diluar orang tak mampu). Minimal satu rumah tangga satu motor. Apalagi dengan uang Rp 500ribu, kendaraan roda dua itu sudah bisa dibawa. Pemerintah tentu tak bisa mengintervensi mengenai hal ini. Kenyataannya naik angkutan umum memang jauh lebih mahal dan lebih lambat dibanding dengan motor. Kalau di Jakarta, keamanan juga menjadi faktor penting ketika akan menggunakan angkutan umum.

Macet Jelang Petang di Seputar Jembatan Semanggi Jakarta

Waktu yang terbuang, polusi udara, bahan bakar yang tak digunakan optimal saat macet, apalagi kondisi psikologis masyarakat jelas berpengaruh. Trilyunan rupiah terbuang percuma dan tingkat pencemaran udara di Jakarta pada hari kerja sangat tinggi. Kelelahan pada penumpang kendaraan pribadi atau umum dapat dijumpai dengan mudah. Tak aneh melihat penumpang bus, angkutan kota, KRL yang pulas tertidur meski cuaca dalam kendaraan sangat panas.

Pertumbuhan jalan memang tidak sebanding dengan pertumbuhan kendaraan. Sehingga dimana-mana berita kemacetan sudah menjadi hal biasa. Bahkan di Jakarta ada pemahaman kalau tidak macet malah aneh. Ganti kepala daerah juga tidak berpengaruh. Kemacetan yang berimbas pada inefisiensi semua bidang serta merugikan masyarakat kecil. Di Jakarta, entah berapa tahun sudah dibiarkan begitu. Semestinya daerah lain segera mengantisipasi supaya tidak mengalami hal yang sama.

Minggu, 25 September 2011

Kacaunya Dunia Pendidikan di Sukoharjo

|0 komentar
Masyarakat Sukoharjo pada Tahun 2011 ini terutama yang memperhatikan dunia pendidikan patut kecewa. Kenapa begitu? karena pada tahun inilah banyak terungkap kasus didunia pendidikan. Baik lingkup internal maupun eksternal. Problemnya pun tidak melulu menyangkut korupsi namun menyangkut manajemen dan pengawasan. Inilah kesempatan bagi Bupati Wardoyo mengembalikan kepercayaan masyarakat agar dunia pendidikan di Sukoharjo benar-benar normal kembali.

Masalah muncul pertama kali (berdasarkan bulan pemuatan di media) tentang pembengkakan jumlah tenaga honorer di beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah yang tentu saja salah satunya di Dinas Pendidikan. Pembengkakan ini diduga terkait tidak dipenuhinya persyaratan namun tetap diloloskan. Pada Dinas Pendidikan dan UPTD Pendidikan ditemukan sebanyak 111 tenaga honorer yang tidak memenuhi persyaratan diangkat menjadi PNS. Polemik ini muncul pada kisaran bulan Februari 2011.

Siswa sebuah SD keluar dari sekolah (ilustrasi)
Pada bulan April, 3 masalah sekaligus menjadi sorotan yakni mengenai diffabel, pengadaan seragam batik dan banyaknya ruang kelas SMP yang rusak. Diberitakan bahwa 60 persen difabel dari sekitar 5.000 orang tidak memperoleh pendidikan formal dikarenakan minimnya Sekolah Luar Biasa di Sukoharjo. Kasus lainnya dibulan ini adalah adanya potongan uang untuk pengadaan seragam batik guru di kecamatan Weru sebesar Rp 200.000 yang dilakukan oleh UPTD Dinas Pendidikan kecamatan setempat. Ketika diusut oleh anggota dewan, semua saling membantah dan tidak mau mengakui memerintahkan adanya potongan tersebut.

Menginjak bulan Mei, dari hasil pendataan yang dilakukan ternyata jumlah guru Wiyata Bhakti (WB) membengkak. Proporsi antara guru PNS dengan WB hampir 60-40 atau jumlah guru PNS ada 6.331 orang sementara guru WB mencapai 5.812 orang. Hal ini tentu mempengaruhi kinerja mereka karena dengan status yang disandang tentu berimbas pada honor yang diterima. Akibatnya produktifitas atau keseriusan mengajarnya menjadi kurang. Beberapa guru WB bahkan masih ada yang nyambi bekerja dibidang lainnya.

Di Bulan Mei ini, beberapa guru yang sudah ikut tes sertifikasi mempersoalkan batalnya mereka masuk kuota sertifikasi. Atas masalah ini, Joko Raino Sigiti menyatakan masalah yang muncul disebabkan perubahan sistem dari pusat. "Tahun ini, Kuota sertifikasi 2011 Sukoharjo ada 712 orang. Tetapi data yang masuk hanya 533 orang. Lantas sisanya 179 orang tidak bisa masuk karena ada ketidakcocokan data online NUPTK dengan data sertifikasi" terang Joko seperti dikutip pada Solopos 20 Mei lalu.

Kemudian memasuki Juni, berita mengenai masih banyaknya kekurangan guru serta polemik penyaluran beasiswa bagi siswa miskin mencuat menjadi berita. Padahal pada bulan mendatang pemerintah mengeluarkan moratorium penerimaan CPNS sehingga pemenuhan kekurangan guru akan menjadi hambatan bagi Dinas Pendidikan Sukoharjo. Berita yang mengejutkan adalah mengenai alokasi penyaluran beasiswa siswa miskin tahun 2009-2010 lalu yang penyidikannya telah ditangani Polres Sukoharjo. Dana yang diduga diselewengkan mencapai Rp 3.4 M.

Tugas Pendidik Adalah Mendidik Tidak Sekedar Mengajar (Ilustrasi)
Kini problem yang marak diberitakan soal pendidikan di Sukoharjo adalah adanya SK CPNS Palsu dan Pungli Sertifikasi Guru. SK CPNS Palsu kemungkinan dipegang guru diwilayah Weru, Mojolaban, Baki dan lain sebagainya. Para guru yang mendapat SK CPNS tersebut tentunya tak mungkin tidak memberi sesuatu. Untuk Pungli Sertifikasi Guru, sudah ada 8 orang dari Weru mengaku dipungut Rp 3juta/orang untuk mengurus sertifikasi.

Nampaknya di Kecamatan Weru ada satu nama yang selalu disebut dalam pemberitaan berkaitan dengan pendidikan yakni Kepala UPTD Pendidikan Weru, Parji. Namun hingga kini posisinya masih aman-aman saja. Bupati harus menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul karena berbagai pemberitaan itu telah mengurangi kepercayaan masyarakat. Bawahan bupati yang tidak bekerja dengan benar apalagi menyangkut penyelewengan mestinya segera dikenai sanksi.

Kamis, 22 September 2011

Keamanan Dana di Bank Perlu Ditata

|0 komentar
Disadari atau tidak, kondisi masyarakat saat ini lebih banyak mengagungkan materi alias harta benda. Tidak saja pejabat yang memegang kekuasaan (di pemerintahan), partai politik, makelar kasus dan lain sebagainya tetapi kini sudah merambat ke masyarakat umum. Meski kondisi negara sedang terpuruk, tak banyak yang peduli dan tidak sedikit yang punya keprihatinan lebih untuk memberikan kontribusi nyata bagi negara. Justru yang terjadi sebaliknya, apa yang bisa didapat dari negara.

Banyak kasus penyelewengan uang negara mulai dari kasus nasional hingga kasus lokal. Sebut saja kasus suap kemenpora dan kemenakertrans yang sedang hangat diberitakan media. Pengusaha mau saja membayar berapapun asal proyek sudah pasti ditangan. Jumlah fee diluar harga pasaran juga tak dipedulikan lagi yang penting didapat. Akibatnya banyak kegiatan yang dibiayai negara hasilnya tidak optimal dan terkesan sejadinya saja.

Sikap masyarakat yang lebih menghargai orang atau individu dari kekayaan yang dimiliki dibanding dengan perilaku telah menggeser pola pikir tiap diri kita. Apa yang harus dilakukan agar kaya dan bukannya apa yang perlu diucapkan dan dibuktikan supaya masyarakat menghargai kita. Disadari atau tidak, itulah yang terjadi. Masyarakat berlomba-lomba menumpuk kekayaan berupa uang, deposito, tanah, perhiasan dan berbagai bentuk lainnya.

Mudah menemui lembaga Perbankan dimanapun (Ilustrasi)
Tidak sedikit kemudian yang memanfaatkan posisinya untuk bekerja secara tidak benar. Hal ini timbul karena dorongan yang tidak disadari secara murni meski para pelaku ini sadar bahwa tindakannya menyalahi hukum. Salah satu tindakan yang kini juga marak adalah pegawai bank membobol dana milik nasabah. Mereka tentu tahu bahwa tindakannya mudah diketahui dan akan terkena sanksi tetapi karena tuntutan "penghargaan" lingkungan maka kesadaran diri sepertinya tertutupi.

Uang yang diembat juga tidak tanggung-tanggung nilainya. Tidak hanya puluhan atau ratusan juta namun mencapai miliaran rupiah. Sebut saja pembobolan BRI Thamrin Square Rp 29 M, Bank BII KC Pangeran Jayakarta Rp 3,6 M, Bank Mandiri  18 M, BNI Cabang Depok serta di Citibank senilai Rp 4,5 M yang melibatkan tersangka Malinda Dee. Di Jawa Tengah juga muncul kasus yaitu di Bank Jateng Syariah melalui kredit fiktif Rp 94 M.

Bank Jateng Cabang Semarang mengalami hal serupa, jebol Rp 18 M oleh Mantan Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dengan modus pemalsuan dokumen untuk pencairan kredit. Yang baru saja menggemparkan ada di Kabupaten Karanganyar dan menimpa BPR Trihasta Prasodjo senilai Rp 2,65 M. Walaupun bukan kategori pembobolan bank tetapi setidaknya terjadi penipuan atas setoran nasabah yang dilakukan oleh Auditor Internal bernama Muhtadi.

Beberapa kejadian diatas semakin menunjukkan sinyalemen perilaku masyarakat yang memegang kewenangan justru menyalahgunakan kewenangan tersebut. Hal ini harus segera diatasi supaya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tidak turun yang bisa mempengaruhi perekonomian Indonesia. Nampaknya krisis di Indonesia telah merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat. Bila krisis masih saja terjadi, kapan Indonesia bisa bangkit?

Minggu, 18 September 2011

Pungli Di Seputar Bandara Adi Sumarmo

|0 komentar
Ruang publik merupakan ruang yang harus disediakan oleh pemerintah daerah sebagai tempat berinteraksi antar warga maupun dengan kelompok lainnya. Namun sayangnya ruang publik kian lama kian terkikis kalah oleh pembangunan. Padahan ruang-ruang ini sangat diperlukan masyarakat untuk melepas beban menjalani rutinitas yang semakin hari kian berat. Apalagi diwilayah perkotaan, ruang-ruang itu kini berganti dengan jalan raya, mall, supermarket, perkantoran dan lain sebagainya.

Sebenarnya ada banyak keuntungan yang bisa didapat oleh pemerintah daerah bila menyediakan ruang-ruang ini. Meski manfaat secara langsung tidak selalu didapat namun untuk jangka panjang memberi efek yang cukup strategis. Apalagi dalam aturan disebutkan ruang terbuka hijau sebuah wilayah minimal 30 persen. Disitu tidak diharuskan ruang terbuka hijau berbentuk seperti apa, namun bisa di mix use untuk berbagai kepentingan terutama kepentingan pemda.

Provost AURI diseputar bandara (Insert : wajah penarik pungli)
Sebut saja selain bisa dibuat taman, ruang terbuka hijau bisa dimanfaatkan untuk pentas kesenian, olah raga, pameran dan beragam manfaat lain. Lahan terbuka juga mampu menyerap air dalam jumlah cukup banyak. Kalau kita perhatikan, tempat interaksi warga kini telah bergeser (atau digeser) ke ruang-ruang pemilik modal seperti mall. Maka dari itu, masyarakat kelas menengah ke bawah mencari alternatif ruang terbuka yang tidak berbayar untuk berinteraksi.

Bisa jadi ruang yang tidak seharusnya digunakan untuk melepas kepenatan maupun bercengkrama dengan keluarga. Sebut saja di Wonogiri ada Waduk Gajahmungkur, di Sukoharjo ada Stasiun Gawok atau tepi rel, di Solo ada pelataran stasiun Purwosari dan di Boyolali seputaran Bandara Adi Sumarmo. Untuk kasus terakhir, rupanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab mendapatkan keuntungan. Meski dekat markas AURI, kenyataannya pungutan liar itu tetap terjadi.

Setiap orang yang melihat parkir di seputaran pagar Bandara (bukan didalam komplek bandara) dikenai pungutan Rp 2.000. Dalam karcis yang diberikan pada pengunjung tertulis Bantira Group (Alam Refresing Bandara Agro Wisata Interaktif) dengan alamat tak jelas hanya tercantum Selatan Bandara Adi Sumarmo Surakarta Telp (0271) 756 4227. Belum lagi tak ada stempel resmi dari instansi atau pungutan tersebut didasarkan pada Perda atau Perbup Pemda Boyolali. Dana itu ditarik untuk uang kebersihan dan pengembangan.

Sesuai pengamatan lapangan, mereka menarik uang dengan berombongan 3-4 orang. Meski ada petugas Provost AURI yang berjaga namun sepertinya mereka bebas bergerak. Entah karena petugas tersebut tak tahu, tak mau tahu atau memang tahu sama tahu. Beberapa waktu lalu terungkap di media bahwa itu pungutan liar karena tak melalui ijin Angkasa Pura sebagai pihak pengelola bandara maupun Pemda. Bila begitu, kemana dana itu mengalir.

Karcis pungli dengan alamat tak jelas
Hal ini tidak boleh dibiarkan terus menerus terjadi sebab Pemda, Auri maupun Angkasa Pura akan dirugikan dengan citra yang dibentuk. Sebenarnya masyarakat tak keberatan dibebani pungutan namun sudah selayaknya berdasarkan aturan yang jelas. Dengan aturan yang jelas maka setiap pendapatan yang masuk akan dikelola secara jelas pula hingga peruntukannya. Hampir setiap sore puluhan kendaraan dan mobil terparkir disana.

Bagi Pemda Boyolali, seharusnya tempat ini menjadi kawasan yang bisa dikelola karena memang bukan ranah Angkasa Pura (kecuali dibuat pagar tertutup) apalagi kewenangan AURI. Wilayah itu terletak di jalur strategis yakni antara Solo menuju beberapa kawasan Boyolali Utara, dekat dengan pasar, rindang, lahan luas, banyak pedagang, sudah dikenal dan peluang lainnya. Artinya kawasan tersebut dapat dikelola secara optimal untuk memberi tambahan PAD.

Bila dikelola secara optimal, bukan tidak mungkin tempat itu menjadi alternatif rujukan wisatawan lokal yang menarik. Pedagang kaki lima tinggal ditata atau diatur secara tertib, sediakan lahan parkir tersentral dan beri fasilitas pengunjung misalnya berupa bangku, tenda pelindung bila musim hujan, perpustakaan, arena bermain anak dan lain sebagainya. Bisa saja parkir digratiskan namun yang harus dibayar adalah jumlah orang karena jarang orang datang sendirian.

Dari pengamatan sekilas, setidaknya lebih dari 50 motor/mobil dan bila dikenakan Rp 2.000 maka akan didapat dana Rp 100.000. Perbulannya paling tidak Rp 3.000.000 dan itu baru dari pengunjung. Belum lagi misalnya PKL dikenai retribusi atau masuk tempat mainan anak masih membayar atau ada penyewaan majalah dan buku. Daripada dana tersebut masuk ke kantong pribadi yang tidak jelas pertanggungjawabannya.

Sabtu, 17 September 2011

Lindungi Perempuan !

|0 komentar
Kaget rasanya saat tahu ada korban perkosaan yang terjadi di Angkot Jakarta mampu menangkap sendiri pelakunya dalam kurun waktu 3 hari. Pihak keamanan mestinya merasa malu dengan kejadian ini. Entah sudah kasus ke berapa kalinya pelecehan hingga perkosaan seks terjadi di angkutan umum Jakarta. Yang jauh lebih memprihatinkan justru Gubernur menyalahkan rok mini yang dipakai korban (meski kemudian pernyataan ini diralat).

Komnas Perempuan juga menyayangkan pernyataan tersebut. Seperti dimuat dalam http://female.kompas.com/read/2011/09/17/16233478/Pemerkosaan.Tak.Terjadi.karena.Rok.Mini, Komnas menyayangkan statement gubernur yang menyalahkan korban. Yang menarik dari pemberitaan ini justru komentar yang muncul atas berita tersebut. Terlepas dari beragam pendapat, seharusnya memang semua pihak harus jernih menyikapinya agar persoalan benar-benar ditilik dari substansinya.

Beberapa pendapat yang menarik misalnya "yg plg determinan adalah isi otak laki2... kalau otak laki2 sejati tuh. biar liat perempuan pake rok mini.. tetep aja biasa, tidak melakukan sexual harassment.. nah kalau isi otak laki2 kurang ajar... biar liat perempuan pake pakaian 3 lapis juga.. tetap aja ada niat memperkosa atau melecehkan...".

Kemudian "......agama tidak perlu di bawa2. Masalahnya perlindungan kpd perempuan. Di jakarta byk perempuan yg kerja sampai jm 10 malam bahkan lebih. Terutama buruh pabrik & pramugari, mereka pake rok pendek atau panjang alias kebaya yg kelihatan paha. Yang nyuruh mereka kerja gituan & pake baju gituan siapa? Laki2 Indonesia tentunya..."

Ada juga argumen yang cukup kritis yaitu "Oke kita tidak boleh munafik.. tapi bukan berarti kita boleh bejat juga.. Sepertinya mending jadi munafik dan tidak memperkosa daripada jadi bejat ngiler dikit liat paha mulus main perkosa aja..", dan masih banyak yang lainnya. Pernyataan terakhir menempatkan bahwa keinginan bahkan nafsu tidak boleh diumbar seenaknya. Kita tidak boleh bertindak seenaknya sendiri karena ada norma serta aturan yang jelas.

Setidaknya disinilah letak kualitas keimanan seseorang. Bagaimana dengan latar belakang pendidikan agama, sosial, budaya dan norma lainnya. Negara seharusnya menyediakan kenyamanan dan keamanan setiap warganya agar terlindung dari ancaman bukan malah membiarkan ini semua terjadi. Hukuman yang tak setimpal menjadikan peristiwa yang telah terjadi terulang kembali. Saya yakin tidak ada perempuan manapun yang ingin diperlakukan demikian.

Dalam kehidupan budaya di Indonesia, berpakaian seksi memang relatif. Berpakaian terbuka juga banyak ditinggalkan hanya saja dengan gempuran globalisasi telah menggeser semua itu. Maka disinilah letak kewajiban pemerintah entah menyediakan transportasi yang aman dan nyaman serta melindungi setiap warga. Sayangnya pemerintah sibuk mengurusi hal-hal sepele yang jauh dari melindungi warganya.

Terakhir, marilah kita jaga diri, keluarga, teman dan sahabat dari tindakan yang memalukan. Sebenarnya pelecehan pada perempuan dengan berpakaian sangat tertutup juga marak terjadi di Jakarta baik di bus kota ataupun kereta. Jadi faktor yang mendorong pelecehan bukan pada aspek rok mini namun lebih pada konstruksi pemikiran laki-laki yang menempatkan posisi perempuan. Inilah tugas negara untuk merubah mindset tersebut agar kasus serupa tidak terjadi kembali.

Senin, 12 September 2011

Layat Harus Naik Mobil

|0 komentar
Menengok orang sakit tentu sudah menjadi budaya dalam tradisi masyarakat di Indonesia. Tidak hanya sekedar sebagai sikap keprihatinan namun juga membangun interaksi sosial. Kini budaya itu kian terkikis hingga secara individu, orang tak tertarik lagi dengan tengok menengok orang sakit. Di Kampung Tanya, menengok orang sakit tarifnya sudah ditentukan dan dibayar oleh iuran. Kalau secara individu mau menambahkan ya tentu tidak dilarang.

Untuk soal menjenguk orang sakit, di kampung ini ada 2 orang yang terkenal agak repot. Entah repot fisik, materi ataupun repot hati. Repot fisik itu ya dimaknai dengan tidak bisa ikut menjenguk, datang atau bahkan mendoakan si sakit supaya sembuh. Repot materi itu selain patungan tambahan juga mengeluarkan kendaraan untuk berangkat ke rumah si sakit dan repot hati adalah tidak ikhlas bila tetangga mereka nengok atau si sakit ditengokin.

Kedua orang itu yakni pak Kabar dan pak Ren. Pak kabar ini memang dikenal paling irit dalam soal apapun. Jangankan menengok orang sakit, ikut pertemuan rutin saja juga suka milih. Kalau yang ketempatan orang mampu maka dia meluncur dan bila penyelenggara orang biasa saja, jangan harap batang hidungnya kelihatan. Sedangkan pak Ren selain tak mau patungan, mengeluarkan kendaraan juga merupakan beban tersendiri. Ada banyak cerita soal mereka berdua ini.

Terakhir pada malam Jum'at lalu ketika layat simbah dari pak Untung, pak kabar beralasan tidak bisa ikut kalau tak naik mobil. Pak Ren juga awalnya tak ikut namun karena pak Yota bawa mobil maka segera bergabung. Ketika diajak patungan, rupanya tak menolak karena ternyata dia menduga yang meninggal adalah ibu dari pak Untung. Di perjalanan, pak Ren terus saja nerocos siapa yang meninggal. Apakah orang tua atau simbah dari pak Untung.

Sewaktu sampai di lokasi, kecutlah muka pak ren karena yang wafat memang simbah dari pak Untung. Padahal pak Ardi yang awalnya tidak mau ikut karena sedang tidak enak badan akhirnya gabung juga begitu tahu pak Yota mengeluarkan roda empat. Sementara itu pak Wijo meski sendirian naik motor (karena mobil sudah penuh) tetap hadir. Pak Wijo ini cukup arif menyikapi berbagai persoalan di kampung Tanya. Dia sendiri pernah menjadi Ketua RT dan kepemimpinannya bisa dinilai berhasil.

Dimanakah pak Sari sebagai Ketua RT malam itu? Ternyata dari bapak-bapak yang berangkat takziah, tak ada satupun yang mau menghubungi dan mengajak melayat. Padahal pak Sari bisa dan pasti membawa mobilnya untuk jalan. Pak Yota sebagai bendahara juga hanya bertanya didalam mobil jelang berangkat dan tidak mau menelpon sendiri. Rupanya para bapak itu faham bahwa Ketua RT tidak cukup mendapat hati sehingga tak melibatkan dia pun, warga tak masalah. Tidak dianggap.

Bahkan saat sampai di lokasi takziah, pak Muhammad sempat menanyakan pada pak Untung apakah pak Sari diberitahu? dijawab tidak. Dia juga tak menyangka bila yang melayat cukup banyak soalnya dia hanya sms ke 4 orang saja. Itupun ditambahi embel-embel untuk orang-orang dekat saja. Kalau begitu, masih adakah kebanggaan bagi pak Sari atas posisinya? Kasihan juga kalau dia tidak faham dan tak merasakan bahwa warga kampung Tanya tak menganggapnya sebagai Ketua RT.

Sabtu, 10 September 2011

Timnas Sepakbola Mengecewakan

|0 komentar
Timnas PSSI saat ini sedang bertarung untuk memperebutkan tiket ke Final Piala Dunia 2014 di Brazil. Pertarungan pada babak ketiga (masih ada 1 babak lagi) untuk memastikan lolos ke kejuaraan paling top di dunia. Semua negara memimpikan dapat tampil ambil bagian dalam kejuaraan tersebut. Rupanya pada babak ketiga tersebut penampilan Firman Utina Cs justru malah merosot drastis dibandingkan dengan penampilan sebelumnya pad kejuaraan Piala AFF.

Tampil 2 kali melawan Iran (tandang) dan Bahrain (kandang), Indonesia kebobolan 5 gol dan tak berhasil menceploskan 1 gol pun ke gawang lawan. Bandingkan dengan saat Piala AFF yang saat penyisihan mampu menyarangkan 13 gol dan kebobolan 2 gol dengan hanya memainkan 3 pertandingan saja. Bahkan posisi runner up didapat dari total 1 kali kekalahan melawan Malaysia saat tandang dengan skor 3-1. Artinya total, Indonesia memenangkan 6 dari 7 pertandingan.

Kisruh kepemimpinan PSSI rupanya berimbas pada Timnas saat ini yang dilatih oleh Wim Rijsbergen. Punggawa PSSI terlihat bermain paling buruk saat dikalahkan oleh Bahrain. Lihat saja prestasi mereka ketika ditangani pelatih asal Belanda itu. Awalnya mampu menang 4-1 atas Palestina di Indonesia, imbang 1-1 lawan Timnas Usia 23 dan kalah 0-1 ketika bermain di saat ujicoba dengan Jordania dan beruntun di ajang resmi kalah dari Iran 3-0 dan Bahrain 2-0.

Sebenarnya bukan soal kalah menang atau jumlah gol namun bila dicermati pola permainan saat Palestina hingga Bahrain semakin amburadul. Tidak terlihat makin kompak, padu dan pola permainan bisa dinikmati. Yang paling susah dipahami adalah saat laga terakhir yang semakin terlihat bahwa mereka (PSSI) tidak memperlihatkan skema permainan yang padu. Disisi lain, selama pertandingan pelatih sibuk dengan ballpoint dan blocknotenya bukan memberi instruksi.


Jelang pertandingan Semifinal Piala AFF melawan Philipina
Pun ketika pertandingan dihentikan 15 menit gara-gara mercon, para pemain malah mengobrol sendiri dan pelatih tidak berkomunikasi. Sebelum laga lawan Iran maupun Bahrain, banyak pengamat menyatakan beragam argumentasi timnas sulit menang seperti kalah peringkat, kalah pengalaman, kalah tenaga, kalah tinggi dan berbagai kemungkinan alasan kekalahan lainnya. Tidak ada yang mengungkapkan apa yang bisa dimanfaatkan oleh pasukan Indonesia.

Bandingkan dengan Persipura ketika melakoni Liga Champions Asia yang sudah memasuki babak perempat final. Semestinya alasan kemungkinan kekalahan diatas juga mereka fahami namun kenyataan dilapangan sangat jauh berbeda. Bertanding melawan Arbil Irak, tinggi badan, pengalaman, peringkat, tenaga tidak menjadi gap bahkan Persipura bermain taktis. Sekali lagi bukan soal menang kalah namun permainan yang disuguhkan sangat menawan.

Persoalan utama Timnas saat ini menurut saya yang utama adalah mentalitas. Saat ditangani Alfred Riedl di piala AFF terlihat semangat tanding yang luar biasa. Kerjasama dan teknik individu menonjol terlihat bahkan saat membantai Philipina yang mayoritas berisi pemain naturalisasi dari kawasan Eropa. Toh tinggi badan, kecepatan, pengalaman tentu kita tidak ada apa-apanya. Sayangnya, jelang pertandingan melawan Qatar, justru konflik internal malah mendominasi suasana tim.

PSSI harus turun tangan agar kondisi ini tidak berlarut-larut. Tugas Riedl sebenarnya jauh lebih berat karena waktu kumpul pemain Timnas mepet, kompetisi LSI masih berjalan, pemain LPI tidak bisa disertakan. Patut diingat juga, Boaz Solossa juga dicoret dari tim serta pemain senior Bambang Pamungkas sering hanya duduk di bangku cadangan. Tetapi penampilan Timnas sangat layak disebut sebagai duta bangsa yang menjanjikan. Permainan itulah yang saat ini tidak terlihat.