Minggu, 31 Juli 2011

Gaji PNS Habiskan DAU

|0 komentar
Era desentralisasi mestinya mampu mendorong daerah menjadi berkembang dan tempat masyarakatnya menjadi mandiri. Bukan terus saja bergantung pada pemerintah pusat terutama dalam hal anggaran meski mereka (baca : pemerintah pusat) masih setengah hati mendesentralisasikan anggaran ke daerah. Terlalu banyak alasan yang dikemukakan dan nampak seperti berat hati. Meski ada beberapa daerah yang belum baik pengelolaannya mestinya daerah tetap diberi kepercayaan.

Sebab otonomi sesungguhnya yang diterapkan di Indonesia adalah ditingkat kabupaten/kota dan bukan pada propinsi. Pemerintah daerah memang perlu banyak belajar bagaimana mengelola keuangan daerah secara baik karena hasil audit keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan masih minimnya Pemda mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian. Beberapa kepala daerah juga terseret kasus korupsi yang nilainya beragam dari puluhan miliar hingga ratusan miliar.

Salah satu indikator masih bergantungnya daerah pada pusat dapat dilihat dari mayoritas anggaran Dana Alokasi Umum yang digunakan untuk belanja pegawai. Itupun masih harus menambah banyak. Entah bagaimana ceritanya sehingga kini Pemda menanggung beban belanja pegawai yang cukup besar. yang data yang didapat penulis (melalui kemenkeu.go.id) dapat dianalisis di eks karesidenan Surakarta tingkat ketergantungan semakin besar.

Bila tahun 2009 DAU masih cukup untuk membiayai belanja pegawai (pada pos Belanja Tidak Langsung), maka Tahun 2010 dan 2011 sudah 6 kabupaten/kota yang harus tombok untuk membayar gaji pegawai. Hanya Kabupaten Sukoharjo yang DAU nya masih mampu membiayai gaji pegawai meski tahun 2011 dana DAU tersisa Rp 10 M (tahun 2010 tersisa Rp 31 M). Tentu hal ini memprihatinkan sebab belanja pegawai sudah menyebabkan alokasi belanja pada masyarakat menjadi berkurang/dikorbankan.

Sudah seharusnya pendapatan daerah digunakan untuk membangun serta mensejahterakan masyarakat karena pendapatan itu bersumber dari pajak maupun retribusi secara langsung. Faktanya saat ini pendapatan daerah melalui PAD tersedot menambah belanja pegawai. Dalam tabel dapat kita lihat perbandingan prosentase kenaikan DAU tidak sebanding dengan kenaikan belanja pegawai. Pada tahun 2009 ke 2010 tercatat kenaikan DAU terkecil ada di Solo yakni berkurang 1,66 persen (dari Rp 435 M menjadi Rp 428 M). Sementara yang mendapat kenaikan tertinggi periode tersebut adalah Sragen meski nominalnya hanya Rp 10 M saja.

Pada tahun 2010 ke 2011 kenaikan paling kecil berada di Klaten sebesar 9,18 persen dan terbesar diterima Solo yaitu 27,33 persen. Sementara alokasi belanja pegawai yang paling banyak memakan anggaran daerah ada di Kabupaten Klaten pada Tahun 2009 yang mencapai Rp 711 M dan paling minim tentu saja Kota Solo yang secara kewilayahan tidak luas. Meski demikian, yang patut dicermati adalah tingginya serapan anggaran non DAU untuk belanja pegawai. Ini menandakan bahwa pemerintah pusat maupun daerah tidak mampu memandirikan anggaran.

Tahun 2010 Kabupaten Sukoharjo masih menyisakan Rp 31 M dana DAU yang dipakai untuk belanja pegawai. Sedangkan Kabupaten Boyolali malah mengambil pos lain (non DAU) mencapai Rp 91 M untuk tambahan gaji pegawai. Tahun 2011 Sukoharjo memang masih menyisakan dana DAU untuk pembangunan meski nominalnya tinggal Rp 10 M. Sedangkan Boyolali mengambil pos lain mencapai Rp 86 M alias berkurang Rp 5 M dari tahun sebelumnya.

Pemerintah harus segera mencarikan solusi agar anggaran non DAU diserap untuk belanja pegawai tidak bertambah besar. Pemerintah tidak sekedar menaikkan gaji PNS, moratorium PNS, pensiun dini, menaikkan pajak dan lain sebagainya. Harus ada tindakan nyata yang tidak parsial, jangka pendek atau sesaat namun juga juga mengandung nilai strategis bagi masa depan desentralisasi. Ini penting supaya masyarakat tidak menganggap otonomi daerah bahkan demokratisasi gagal.

Sabtu, 23 Juli 2011

Belanja Pegawai Kuras DAU

|1 komentar
Otonomi daerah ternyata tak berlangsung mulus pada semua aspek. Bila demokratisasi, kedewasaan masyarakat, kebebasan pers berkembang positif namun manajemen keuangan daerah berkembang sebaliknya. Meski demokratisasi bisa dianggap dapat ditransfer ke daerah secara baik namun kemampuan pengelolaan keuangan daerah semakin hari semakin menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Meski sudah banyak regulasi mengenai hal ini, fakta lapangan memperlihatkan secara jelas.

Sederhana saja bila ingin dilihat. Kita dapat membuka dokumen anggaran daerah, apakah kondisinya semakin baik atau justru sebaliknya? Sebut saja mengenai Dana Alokasi Umum yang diharapkan pemerintah mampu mendorong kemandirian daerah. Dulu untuk membiayai belanja pegawai memang masih tersisa namun sekarang justru malah minus. Terus menerusnya kenaikan gaji pegawai dan masuk ke wilayah politik praktis mengakibatkan kemampuan anggaran daerah menyusut.

Dalam UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah pasal 1 point 20 disebutkan bahwa Dana Alokasi Umum adalah Dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan untuk tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Ada 2 item penting kalimat diatas yakni "pemerataan kemampuan keuangan antar daerah" dan "mendanai kebutuhan daerah".

Kalimat pertama, berdasarkan kondisi sekarang kemampuan keuangan antar daerah sudah sangat timpang. Secara fisik sudah berbeda jauh kondisi kabupaten/kota di Jawa dengan Luar Jawa, di kawasan pusat ekonomi dan jauh dari pusat ekonomi maupun kemampuan kepala daerah dalam mengelola keuangan tersebut. Sehingga aspek pemerataan kemampuan keuangan antar daerah saat ini tidak bisa terwujud. Gap antar daerah semakin lama justru malah semakin kentara.

Kalimat kedua, mendanai kebutuhan daerah tidak 100 persen terbukti benar. DAU saat ini dibelanjakan untuk belanja pegawai saja. Padahal yang namanya kebutuhan daerah tidak melulu belanja pegawai. bagaimana dengan sektor pendidikan, kesehatan dan perumahan yang merupakan hak dasar warga? Klausul ini menjadikan vonis cukup jelas, DAU ternyata hanya untuk belanja pegawai pada alokasi belanja tidak langsung.

Lihat saja DAU di eks karesidenan Surakarta. Dari 7 kabupaten/kota, DAU tahun 2010 yang masih tersisa untuk belanja pegawai hanya berada di Kabupaten Sukoharjo. Sisanya 6 Pemda harus nombok dana untuk membayar gaji pegawai mulai dari Rp 4,1 M hingga Rp 91,6 M. Padahal pada tahun 2009 belum ada pemda yang kekurangan belanja pegawai dari dana DAU. Lantas pada tahun 2011 ini, harus berapa miliar yang dibutuhkan? Sayangnya data tersebut sulit didapatkan. Penulis yang biasanya mendapat data dari kemenkeu.go.id, ternyata data APBD tahun 2011 tak ditampilkan dalam website milik pemerintah tersebut.

Setidaknya di Kota Solo kekurangan DAU untuk membayar gaji pegawai dari Rp 20,2 M pada Tahun 2010 meningkat menjadi Rp 31,8 M. Jika begitu, bagaimana dengan Boyolali yang tahun 2010 saja sudah tombok lebih dari Rp 90 M ditahun 2010? Bagaimana dengan pandangan kepala daerah? tak banyak yang kita tahu atas kondisi ini. Mereka sepertinya tetap tenang-tenang saja. Pemda harus segera membuat terobosan agar semakin lama kondisinya tidak bertambah parah.

Kamis, 21 Juli 2011

Kondisi Pendidikan Di Indonesia Memprihatinkan

|0 komentar
Entah sampai kapan pendidikan di Indonesia menjadi program yang futuristik. Program yang benar-benar diperuntukkan bagi masyarakat dan gratis terutama pendidikan dasar 9 tahun. Pemerintah mengklaim sudah menyediakan biaya bagi masyarakat untuk menempuh pendidikan secara cuma-cuma baik di sekolah dasar negeri maupun sekolah menengah pertama negeri. Faktanya tidak demikian, seperti kita tahu masih banyak pungutan disana sini dan menjadi keluhan banyak pihak.

Meski sudah mendapat alokasi anggaran pendidikan 20 persen dalam APBN, kenyataannya pungutan di SDN dan SMPN masih saja marak. Tahun ini lebih dari Rp 200 Trilyun dialokasikan untuk pendidikan termasuk juga gaji dan sertifikasi guru. Namun kenyataannya selain output pendidikan tak kunjung membaik, pengelolaan anggaran 20 persen juga tidak optimal. Hal ini tidak hanya dihadapi oleh Pemda bahkan hingga kemendiknas. Pertengahan tahun 2011 ini saja, serapan anggaran pendidikan dasar masih minim.

Dari anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 12,8 trilyun untuk pendidikan dasar, sampai bulan Juli 2011 hanya terserap 7,7 persen. Anehnya lagi, mereka masih meminta tambahan Rp 3,2 trilyun untuk semakin melancarkan program. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di pendidikan kita karena berbagai macam program pemerintah pusat juga sudah diluncurkan untuk meringankan biaya sekolah. Lihat saja betapa besarnya anggaran BOS. Faktanya pungutan disana sini diberbagai daerah masih mewarnai pemberitaan media massa.

Meski terletak ditempat paling utara Kaltim tetapi SDN ini termasuk bagus
Dalam Permendiknas No 37 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Penggunaan Dana BOS 2011 setidaknya ada 13 item penjelasan penggunaan anggaran. Pertama, untuk pembelian buku. Kedua, pembiayaan kegiatan penerimaan siswa baru. Ketiga, pembiayaan kegiatan pembelajaran remedial, pengayaan materi, persiapan ujian dan lainnya. Keempat, pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah serta lainnya. Kelima pembelian bahan habis pakai seperti buku tulis, kapur, spidol dan sejenisnya. Keenam, pembelian langganan daya dan jasa seperti listrik, air, telp, internet, Ketujuh, pembiayaan perawatan sekolah seperti cat, perbaikan atap dan sebagainya.

Kedelapan, pembayaran honorarium bulanan guru honorer dan tenaga kependidikan. Kesembilan, pengembangan profesi guru. Kesepuluh, pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin. Kesebelas, pembiayaan pengelolaan BOS seperti alat tulis kantor, flash disk. Kedua belas, pembelian komputer untuk pembelajaran siswa maksimum 1 unit dalam 1 tahun anggaran. Dan terakhir ketigabelas dana BOS dapat digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran, mesin ketik, peralatan UKS, mebelair sekolah apabila point 1-12 masih ada dana tersisa.

Betapa besarnya anggaran yang dikelola sebuah sekolah bila menerima dana BOS. Meski sudah ada kewajiban transparansi Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS), kenyataannya hampir tidak ada sekolah negeri yang melakukan sosialisasi Rancangan APBS untuk mendapat masukan dan kemudian dibahas oleh sekolah bersama komite sekolah untuk ditetapkan menjadi APBS. Selama ini komite sekolah lebih pasif merespon berbagai kebijakan yang berkait dengan sekolah.

Lantas bagaimana dengan orang tua? kita tidak bisa berharap banyak para orang tua siswa bersikap kritis terhadap sekolah. Sudah banyak kasus orang tua yang kritis dan mempertanyakan berbagai kebijakan sekolah mendapat perlakuan diskriminatif. Kalau perlakuan tersebut diterima orang tua saja mungkin tidak masalah. Yang menjadi persoalan adalah perlakuan diskriminatif justru menimpa siswa si orang tua yang kritis bahkan sudah muncul beberapa kasus yang anaknya kemudian diminta pindah. Contoh terakhir dialami si kembar Yoga dan Yogi di SD Sitirejo IV Kecamatan Wagir Malang.

Pendidikan non formal tetap penting
Walaupun ditiap kabupaten kota sudah ada Dewan Pendidikan, kenyataannya peran mereka sama-sama memprihatinkan dengan komite sekolah. Selain keterbatasan biaya, jumlah orang di dewan pendidikan, mobilitas minim, mereka kebanyakan berlatar belakang pensiunan yang sudah tak memiliki energi lebih. Kalau masih ada yang berusia dibawah 55 tahun atau 60 tahun, biasanya memiliki pekerjaan tetap yang juga menyita waktu. Belum lagi posisi di dewan pendidikan nyaris tak mendapat apa-apa dari pemerintah daerah sehingga sulit mengharapkan mereka kritis.

Maka dari itu butuh elemen lain selain LSM untuk dapat "masuk" mengkritisi berbagai kebijakan pendidikan. Adanya forum peduli, persatuan guru independen dan beragam elemen peduli pendidikan lainnya sebenarnya menjadi potensi agar kedepan pendidikan bukan malah menjadi momok bagi orang tua siswa apalagi menyangkut biaya. Di pendidikanlah harusnya orang tua dapat menyandarkan sebagian harapannya (sebagian lagi dari doa) agar anak-anaknya kelak dapat mengabdi pada nusa dan bangsa. Bukan malah ragu bahkan pesimis anaknya akan bertambah pintar.

Kamis, 14 Juli 2011

Gaji PNS Bebani Anggaran Negara

|1 komentar
Negara Indonesia memang terlalu banyak menanggung beban dalam hal jumlah pegawainya. Disemua wilayah dan saat jam kerja ketika kita berjalan di pasar, mall, toko atau bank sering kita jumpai mereka. Entah kepentingan kantor atau pribadi kita tidak tahu. Dan para abdi masyarakat itu tak pernah punya rasa malu keluyuran di jam kerja. Bahkan tidak sedikit yang memakai kendaraan dinas. Di sekolah TK atau SD kadang juga ditemui pegawai yang sedang menjemput anak mereka.

Kalau ditanya pasti jawabnya tugas luar dan kebetulan mampir. Sudah banyak masyarakat mengeluhkan pelayanan publik namun tak ada perubahan cukup signifikan di birokrasi. Yang jelas saking banyaknya jumlah pegawai di Indonesia, APBD rata-rata pemerintah di Indonesia mayoritas digunakan untuk menggaji mereka. Kondisi ini harus segera ditangani jika negara ingin beban yang harus ditanggung serta mendorong pertumbuhan ekonomi semakin baik.

Dalam data di situs bkn.go.id tercatat jumlah PNS mencapai 4.598.100. Jumlah yang belum memadai bila dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk. Hanya saja masalahnya jumlah itu terkonsentrasi di pulai Jawa serta tidak proporsional. Sudah banyak pihak yang menyuarakan agar membuat formula supaya pegawai negeri dapat melayani masyarakat secara baik. Faktanya, keluhan terhadap pelayanan publik masih saja terjadi.

Dari jumlah itu, sekitar 1,6 juta berpendidikan S1 hingga S3 dan yang berusia direntang 26 tahun - 50 tahun berjumlah lebih dari 3 juta. Bila dipetakan dalam golongan maka mayoritas memiliki golongan III dan IV sebanyak 3,5 juta lebih. Dengan komposisi tersebut harusnya pelayanan publik sudah jauh lebih optimal. Belum lagi ditambah dari gaji yang mereka terima. Dari pendapatan negara (APBN) sekitar 50 persen digunakan untuk membayar mereka (lihat tabel).

Sudah 10 tahunan ini, meski kondisi perekonomian membaik namun tingkat kemiskinan dan kesulitan hidup semakin menjerat masyarakat awam. Maka dari itu dibutuhkan terobosan untuk menangani problem masyarakat. Pemerintah tidak hanya membuat kebijakan pemanis bibir tetapi harus melakukan terobosan yang konkrit agar negara ini tak bangkrut hanya karena dananya untuk melunasi hutang dan membayar pegawainya.

Jumlah hutang Indonesia pada Januari 2009 sebesar Rp 1.667 Trilyun atau bila dibagi rata perpenduduk maka hutang tiap orang mencapai Rp 7,7 juta. Padahal APBN Tahun 2010 kita hanya pada kisaran 1.126 Trilyun saja. Artinya jika dalam 1 tahun APBN kita untuk dibayarkan pada hutang, itupun belum mencukupi. Maka dari itu, pemerintah harus melakukan terobosan agar beban masyarakat serta kemandirian bisa segera dicapai.

Setidaknya ada 4 langkah konkrit yang mesti segera diambil pemerintah supaya anggaran yang dikumpulkan dari pajak, retribusi, sumberdaya alam benar-benar dikembalikan untuk rakyat. Pertama, hentikan hutang sekarang juga. Atas nama apapun pemerintah tidak boleh lagi mengajukan pinjaman bahkan meski dengan embel-embel lunak. Hal ini untuk menjaga kestabilan anggaran dan bila terjadi krisis dunia seperti 1997 maka tidak terjadi kekacauan.

Kedua, penegakan hukum tidak hanya para koruptor tetapi juga perusahaan internasional yang menanamkan sahamnya di Indonesia. Kebijakan penegakan hukum ini diharapkan memulihkan perusahaan nasional yang sudah banyak dikuasai asing agar segera diambil alih kembali. Jika masih dikuasai asing, tentu saja sebagian keuntungannya akan mengalir keluar. Presiden tak boleh lagi membela kawan-kawan atau kelompoknya dalam penegakan hukum.

Ketiga, hentikan program pensiun bagi PNS. Ini penting dilakukan karena beban negara untuk membiayai mereka sudah terlalu besar. Kebijakan ini termasuk pula penataan reward dan punishment bagi abdi negara. Tidak boleh lagi birokrat bekerja semaunya sendiri. Standarisasi gaji tidak lagi hanya berdasarkan golongan namun sesuai kondisi wilayah. Pilahkan beberapa kawasan yang memang menanggung inflasi lebih tinggi dan kompensasikan perhitungannya dalam gaji PNS. Sehingga gaji PNS golongan II di Temanggung Jawa Tengah misalnya berbeda dengan gaji PNS golongan yang sama di Riau, Jakarta atau Papua.

Meski sudah ada kebijakan tunjangan penghasilan sesuai kemampuan daerah, faktanya masih banyak pemerintah daerah tidak menjalankannya. Maka otomatis kinerja daerah tidak tumbuh menuju ke arah yang lebih baik tetapi malah karut marut. Bagi daerah yang kaya akan subur korupsinya dan bagi daerah miskin justru kinerja PNS rendah. Hampir tiap tahun pemerintah menaikkan gaji PNS bahkan 6 tahun terakhir naik rutin 5% namun perbaikan layanan tak kunjung terwujud. Masih saja ada para PNS yang bekerja tidak sesuai dengan output kinerja.

Dan terakhir, pemerintah pusat harus berani mengambil kebijakan distribusi anggaran lebih banyak ke daerah bukan malah banyak dikelola oleh pusat. Dalam APBN 2010 (lihat tabel) bisa kita lihat anggaran yang di transfer ke daerah sebesar Rp 344,61 Trilyun atau (30,60 persen) tetapi anggaran yang dikelola pusat lebih tinggi yakni Rp 781,53 Trilyun atau 69,40 persen. Bahkan belanja negara di pusat saja mencapai 443,46 Trilyun atau 39,38 persen dan jelas lebih tinggi dibanding belanja 500 lebih pemda dan 33 propinsi yang mengurusi ratusan juta masyarakat.

Kalau saja SBY sebagai kepala negara melakukan 4 hal ini sebagai tindakan utama (tentu masih banyak tindakan lain yang mengikuti), niscaya kondisi negara akan jauh lebih baik. Banyak program hingga kini yang sebenarnya kewenangannya di daerah tapi anggarannya masih di pusat. Lihat saja program BOS, Jamkesmas, RTLH dan banyak yang lainnya. Idealnya pemerintah pusat hanya mengurusi secara global saja yaitu berupa kebijakan dan pengawasannya. Implementasi harus diserahkan pada daerah yang benar-benar mengenal dan faham apa yang harus dilakukan tinggal pemerintah pusat mendukung dengan alokasi anggaran.

Hal ini nampaknya tidak mudah direalisasikan karena wajah Indonesia sebenarnya lebih didominasi oleh wajah politik. Maka berbagai kebijakan lebih banyak terdengar gemuruh di gedung DPR MPR dan bukan di tempat nongkrong masyarakat kebanyakan. Mereka (rakyat jelata) tak pernah tahu dan faham apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya merasakan semakin hari semakin sulit mendapat sesuap nasi atau seperak dana untuk keluarga mereka. Semoga, ke depan masih terus ada harapan yang kita sandarkan pada pemimpin supaya benar-benar bekerja untuk rakyat.

Selasa, 12 Juli 2011

DEFISIT APBD JADI TEROR PEMERINTAH DAERAH

|0 komentar
Kalangan pemerintah daerah di Indonesia harus segera membuat terobosan agar tetap dapat menjalankan kewajibannya melayani masyarakat. Terobosan yang dimaksudkan adalah terkait dengan anggaran daerah karena seperti sudah diketahui, mayoritas APBD dialokasikan untuk membayar gaji pegawai. Setiap tahun dapat diperkirakan setidaknya ada kenaikan gaji PNS 10 persen. Meski APBD naik, rupanya kenaikan itu sering tidak berbanding lurus dengan kenaikan gaji PNS.

Pengelolaan anggaran daerah memang banyak yang tidak profesional. Hal ini setidaknya dilihat berdasarkan penilaian BPK, Neraca APBD, Defisit Anggaran Daerah, Pengembalian Pinjaman dan lain sebagainya. Badan Pemeriksa Keuangan yang secara rutin memeriksa laporan keuangan pemerintah daerah menyatakan lebih banyak daerah yang mendapat penilaian diluar Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yakni Wajar Dengan Pengecualian (WDP) maupun Disclaimer.

Kota Solo yang banyak disorot dalam hal keunggulan partisipasi dan penataan kota oleh Joko Widodo (Walikota) serta membawa jargon Berseri Tanpa Korupsi baru mendapat predikat WTP untuk laporan keuangan Tahun 2010. Hal ini mengindikasikan apa yang dikemukakan Fitra (Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran) dalam releasenya Selasa (11/7) ada 124 daerah terancam bangkrut jadi benar adanya. Diantaranya, DPRD Klaten hari ini hanya mendapat air minum segelas air putih bukan teh.
Meski telah dibantah oleh Sekretaris DPRD Klaten namun kejadian ini mengindikasikan tidak profesionalnya birokrat mengatur rumah tangganya sendiri.

Neraca APBD bisa dilihat lebih sering berada pada posisi yang tak seimbang atau bahkan surplus. Namun bila sudah masuk dalam perhitungan pelaksanaan APBD, SILPA (Sisa anggaran tahun lalu) justru jumlahnya lumayan besar. Artinya manajemen pengelolaan keuangan pemerintah daerah belum profesional. SILPA besar jarang ditimbulkan oleh prediksi PAD yang didapat lebih besar dari prediksi tetapi banyak program tidak bisa terealisasi sesuai rencana.
Merubah mindset birokrasi tak mudah, harus dilakukan secara perlahan

Kemandirian anggaran daerah sangat kecil dan sering lebih banyak bergantung pada pusat hingga pinjaman. Dalam Neraca APBD kita dapat membaca, anggaran daerah yang dialokasikan untuk pengembalian pinjaman kadang mencapai 10 persen dari belanja modal. Masih minim inovasi yang dilakukan pemerintah daerah untuk menggali dari mana saja pendapatan yang potensial bisa diraih agar mampu memberi proporsi yang cukup berimbang atau secara perlahan melepas ketergantungan pada anggaran pusat.


Beberapa Kabupaten/Kota di eks Karesidenan Surakarta untuk APBD Tahun 2011 mengalami defisit. Kota Solo defisit anggaran mencapai Rp 71 M dan di Sragen hanya selisih Rp 1 M alias mencapai Rp 70 M. Kabupaten Bantul memahami betul kondisi keuangan daerahnya sehingga untuk tahun 2011 berniat tidak mengadakan perekrutan CPNS. Setidaknya 300-400 CPNS tiap tahun terus direkrut untuk memenuhi kebutuhan pelayanan. Sektor yang paling terkena dampak adalah pendidikan. Pemkab Bantul berniat melakukan terobosan dengan menggandakan tugas mengajar guru. Sebab saat ini saja alokasi belanja pegawai sudah mencapai 71 persen.


Apa yang dilakukan Kabupaten Sleman sebenarnya bukan hal baru. Kebijakan tersebut sudah jauh-jauh hari dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana Bali. Kebijakan zero growth CPNS adalah terobosan konkrit dalam pengalokasian anggaran supaya tak habis untuk kebutuhan birokrasi. Masih ada bermacam terobosan yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah selain optimalisasi PAD. Sebut saja perpanjangan usia pensiun, mengurangi proyek fisik yang tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat, beriklan di media, pengadaan pakaian dinas pegawai, pengurangan anggaran makan minum tamu di DPRD, lelang elektronik dan lainnya.

Optimalisasi PAD sebenarnya langkah pertama yang nyata untuk meningkatkan PAD. Dengan catatan optimalisasi itu bukan dengan menaikkan tarif retribusi atau pajak tetapi dengan membuat sistem setoran retribusi dan pajak lebih transparan dan akuntabel sehingga meminimalkan penyelewengan. Maka dari itu, saat ini banyak pemerintah daerah membutuhkan pribadi yang inovatif yang mampu berkreasi serta membuat terobosan dalam rangka memandirikan keuangan daerahnya. Dengan demikian anggaran daerah tidak melulu habis untuk belanja birokrasi.

Minggu, 10 Juli 2011

Pendidikan Formal Masih Memprihatinkan

|0 komentar
Pendidikan merupakan elemen penting dalam membangun bangsa, oleh karena itu Indonesia menempatkan pendidikan sebagai prioritas dalam kebijakan Nasional. Konsekuensi dari kebijakan itu adalah alokasi anggaran untuk melaksanakan penuntasan pendidikan dasar 9 tahun. Dalam UU Pendidikan juga disebutkan alokasi anggaran minimal 20 persen APBN. Maka dari itu dari total anggaran pendapatan belanja negara (APBN) 2011 sebanyak Rp1,229 triliun sebanyak Rp248 triliun (20,2%) dialokasikan untuk anggaran fungsi pendidikan.

Jumlah diatas, sebagian diantaranya yaitu Rp158 triliun ditransfer ke daerah. "Enam puluh persen lebih dana pendidikan ditransfer ke daerah," kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh pada Sosialisasi Program Prioritas Kesra 2011 di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Jakarta, Selasa (4/1). Mendiknas mengatakan, sebanyak Rp89 triliun anggaran fungsi pendidikan dialokasikan untuk pemerintah pusat. Dia merinci, dari anggaran pusat sebanyak Rp55 triliun untuk Kemdiknas, sekitar Rp27 triliun untuk Kemenag dan Rp6,8 triliun untuk kementerian/lembaga lainnya..

Selain itu, alokasi dana pengembangan pendidikan nasional sebanyak Rp1 triliun. Disebutkan, total anggaran telah mencapai Rp2 triliun akumulasi tahun 2010 dan 2011. Anggaran Kemdiknas Rp55 triliun sebagian besar digunakan untuk program pendidikan dasar Rp12,7 triliun (23%), pendidikan menengah Rp5 triliun (9,1%), dan pendidikan tinggi Rp28,8 triliun (51,9%). Mendiknas mengatakan, ada lima prioritas anggaran Kemdiknas 2011.

Diluar Jawa, banyak sekolah berdiri di tengah rawa
Pertama, untuk peningkatan akses dan mutu pendidikan anak usia dini (PAUD) Rp1,3 triliun. Kedua, penuntasan pendidikan dasar sembilan tahun Rp7,2 triliun dan Rp26 triliun ditransfer ke daerah. Ketiga, peningkatan mutu pendidikan vokasi (kejuruan)  Rp2,4 triliun. Prioritas keempat adalah percepatan peningkatan kualifikasi akademik guru ke S1/D4, sertifikasi dan rintisan pendidikan profesi guru Rp8 triliun, dan prioritas kelima percepatan peningkatan jumlah dosen S3 sebesar Rp2 triliun.

Kita tentu sangat bangga bila anggaran pendidikan sejak dini hingga dasar dialokasikan luar biasa besarnya. Pemerintah pusat menjalankan program Biaya Operasional Sekolah (BOS), BOMM, DAK Pendidikan, Bantuan Sosial dan masih banyak lainnya. Ditambah lagi Mendiknas menegaskan SDN dan SMPN tak boleh lakukan pungutan apapaun dan atas dasar apapun. Meski demikian, fakta dilapangan berbicara atau menunjukkan kebalikannya.

Saat tahun ajaran baru seperti bulan Juni-Juli ini banyak orang tua murid dipusingkan dengan urusan yang terkait pendidikan. Tidak hanya soal mencari sekolah, membeli tas, buku tulis, menjahit baju sekolah namun juga mencari tambahan uang bagi anaknya yang masuk sekolah. Meski diatas sudah dijabarkan tentang larangan mendiknas, kenyataannya di hampir semua wilayah, sekolah negeri (baik SDN maupun SMPN) tetap melakukan pungutan.

Masih banyak anak sekolah yang bersekolah tanpa sepatu
Bentuk dan alasan pungutan yang diajukan oleh sekolah sangat beragam dan sering tak masuk akal atau terkesan dibuat-buat. Kadangkala pungutan itu sengaja dikelola koperasi sekolah agar kalau ada "resiko" guru, terutama kepala sekolah bebas dari sanksi. Namun tindakan ini hanya kamuflase saja karena kalau benar mereka melakukannya, harusnya kepala sekolah terlebih dulu melarang koperasi sekolah berbuat seperti itu.

Kejadian ini mencuat di Sragen dan Sukoharjo tentang pengadaan seragam sekolah. Di kedua wilayah ini, meski kepala daerah kemudian melarang namun kegiatan pengadaan jalan terus. Selain terbungkus alasan pengadaan seragam, alasan lain yang juga sering digunakan adalah biaya pagar sekolah, biaya buku, penambahan ruang kelas dan banyak alasan lainnya. Sungguh nampaknya para guru sudah menutup mata atas masalah-masalah ini. Negara juga terkesan tak mengambil peran maupun melakukan penindakan secara tegas.

Jika anggaran pendidikan sudah demikian besar namun kenyataannya pungutan masih saja terjadi, lantas sebenarnya kemana anggaran pendidikan itu didistribusikan? Anggota Komisi X DPR RI mestinya tidak hanya teriak-teriak di media namun mengambil langkah konkrit. Bentuk tim untuk menyusuri hal ini dan bila ditemukan fakta aliran dana tidak sesuai, ya serahkan ke pihak yang berwenang. Sayangnya wakil rakyat kita memang sudah tidak memikirkan rakyatnya sehingga tak aneh jika kondisi pendidikan tidak juga membaik meski anggarannya sudah bertambah.

Jumat, 08 Juli 2011

Sebaiknya Kita Golput Saja

|0 komentar
Berbagai perilaku anggota DPR semakin hari kian membuat masyarakat menjadi muak. Bukannya semakin baik namun justru menjadi tidak karuan. Baik yang tidak terkena kasus maupun yang sedang bermasalah. Rupanya masyarakat Indonesia benar-benar sedang diuji tidak hanya kesabarannya namun juga jiwanya. Akankah mereka akan terus menerus menerima saja saat wakil rakyat banyak yang terkena kasus. Sudah tak terhitung berapa orang yang tersangkut kasus korupsi.

Yang terakhir dan menjadi fenomenal tentu saja bekas bendahara Partai Demokrat yakni Nazarudin. Pasca dilengserkan dari posisi bendahara, dia tetap saja tak menampakkan batang hidungnya. Tiap hari berkoar-koar melalui Black Berry massangernya ke berbagai pihak menanggapi kasus-kasus yang dituduhkan kepadanya. Kalau mau tahu, politisi ini berusia sangat muda yakni 32 tahun. Tapi siapa sangka posisinya begitu strategis di partai milik penguasa ini.
Salah satu sudut ruang salah satu fraksi di lantai 12

Padahal yang menempuh jenjang sejak tahunan lalu juga belum tentu bisa menduduki posisi teras. Dia juga bukan dari kelas pengusaha ternama atau bekas penguasa. Tapi siapa sangka posisinya sangat strategis. Banyak pihak menduga, Nazarudin sebenarnya orang Anas Urbaningrum dari kelompok KAHMI (Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam). Itu yang paling mungkin karena berbagai pelacakan atas namanya juga tak menghasilkan data signifikan yang membuat dirinya pantas menjabat bendahara umum PD.

Rupanya pilihan Anas keliru, pasca keluarnya dugaan kasus suap pembangunan wisma atlet yang melibatkan Sesmenpora Wafik Muharram senilai Rp 3,2 M yang terdapat dilaci kantor dan menyusul diperiksanya Mirdo Rosalina Manulang, Nazarudin kabur. Setelah itu, Ruhut getol menolak sangkaan Nazarudin terlibat. Kini kenyataannya setelah KPK menyatakan sebagai tersangka, semua orang di Demokrat tak ada satupun yang bersedia melindunginya.

Itulah kualitas wakil kita yang diseleksi oleh partai politik. Rakyat jelata yang mencuri kapas, piring, ayam bahkan harus berhadapan dengan sesama rakyat, masih bonyok dipukuli dan pasti masuk prodeo. Sementara para koruptor bisa kabur begitu saja. Saya yakin tidak hanya Nazarudin, karena masih banyak orang di Senayan yang terlibat kasus-kasus lainnya. Mereka tahu dengan berada di sana, mereka bisa lobi, tawar menawar, negosiasi dan bahkan lepas dari penjara.
Salah satu siaran live dari Gedung Nusantara II
Dengan gaji yang mereka dapatkan serta masih mendapat fasilitas yang lainnya, sulit rasanya kita berharap mereka serius memikirkan rakyat. Setiap hari hanya kemewahan dan kenikmatan semata yang didapat. Tak heran bila nanti dilain waktu masih ada anggota DPR yang masih diuber-uber oleh KPK, Kepolisian maupun kejaksaaan. Tak aneh bila saat sidang tidak hanya tidur, ngobrol sendiri, chating, maen BBM atau bahkan membuka video porno. Ya memang begitulah sejauh ini hasil demokrasi di Indonesia. Belum ada yang membanggakan atau patut dijadikan contoh.

Disisi lain, masyarakat pada bulan ini menghadapi kesulitan ekonomi, biaya sekolah, dan menjelang bulan puasa. Berharap pada perubahan yang dilakukan DPR seperti kita berharap perubahan pada anak TK. Tak akan terjadi apa-apa atau perubahan yang lebih baik atas kehidupan masyarakat kebanyakan. Para wakil rakyat sudah bebal, tak punya hati apalagi empati. Rasa duka mereka hanya bohong semata dan untuk meraih dukungan.

Jika begitu, apa yang pantas dibanggakan? ah tak ada yang bisa kita harap apalagi kebanggaan. Semua perilaku wakil rakyat hanya mengabdi pada partai politik atau kepentingan sesaat. Rakyat sudah muak dengan segala tipu daya dan suatu saat akan sampai pada titik nadir krisis kepercayaan pada mereka. Hingga kini tak ada perubahan apapun yang bisa kita lihat, kita dengar apalagi kita rasakan. Memang sebaiknya kita golput saja.

Selasa, 05 Juli 2011

Policy Paper Alokasi Dana Desa

|1 komentar
Desa sebenarnya merupakan entitas pemerintahan terpenting dalam konteks desentralisasi di Indonesia. Meski policy otonomi daerah fokus pada otonomi kabupaten tetapi faktanya roh kekuatan terbesar berada di sana. Tidak banyak pemerintah daerah yang menyadari hal ini sehingga kemudian mereka banyak menafikkan pentingnya membangun desa. Padahal pemerintah pusat sudah memandang pentingnya desa bagi penopang otonomi daerah.

Hal ini bisa dibuktikan dengan berbagai macam kebijakan yang menitikberatkan pada kiprah desa. Salah satunya kebijakan tentang Alokasi Dana Desa (ADD) pada tahun 2005 melalui PP No 72 tentang Desa. Walaupun begitu masih banyak pemerintah daerah tidak total mendukung kebijakan ini. Ternyata bila dikaji lebih mendalam pemerintah pusat juga bermuka dua atas kemandirian desa. Buktinya masih banyak kebijakan pusat yang tingkat intervensinya hingga ke desa bahkan perorangan.

Lantas bagaimana kajian sesungguhnya atas kebijakan ADD? Bagaimana penerapan ADD di tiga wilayah yang dibedah seperti Kebumen Jawa Tengah, Solok Sumatera Barat dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kabupaten Terkaya di Indonesia dengan APBD mencapai Rp 4 T). Adakah jaminan penerapannya lebih baik? Kemudian apa kaitannya dengan beberapa kebijakan pemerintah pusat? Akankah kedepan policy tentang ADD diperkuat atau dilemahkan?

Policy Paper tentang Alokasi Dana Desa yang ditulis oleh Suci Handayani, pemerhati kebijakan desa diterbitkan oleh Forum Pengembangan Pembaharuan Desa bekerjasama dengan Yayasan TIFA Tahun 2011 patut dimiliki. Bila anda menginginkannya dapat mengirimkan email ke blog ini.