Selasa, 31 Mei 2011

Penataan PKL Solo Masih Sisakan Masalah

|2 komentar
Solo memang telah berkembang menjadi kota yang menarik baik dari aspek entertainment, budaya, simbol dan segala macam riuhnya kota. Ditambah lagi dalam minggu kemarin 2x sang Walikota Ir Joko Widodo muncul di televisi nasional. Tajuknya saja membikin bangga warganya, satunya bertitel “Solo Memang Beda” dan satu lagi “Nyali Perintis”. Bahkan media massa lokal menampilkan foto masyarakat Solo disebuah angkringan menyaksikan acara Solo Memang Beda yang disiarkan live Metro TV.

Kebanggan itu melengkapi beberapa kebanggaan lain atas pembangunan citra yang dinilai oleh banyak kalangan memang berhasil. Dalam beberapa aspek, tak bisa dipungkiri memang terlihat kemajuan yang nyata. Jokowi, panggilan akrabnya mampu membanding kota kecil ini menjadi jualan yang menarik. Hampir setiap orang yang mendengar kata Solo, diidentikkan dengan Jokowi. Saudara saya yang tinggal di Jakarta sampai hapal namanya.

Jokowi saat tampil di Metrotv
Meski demikian, ada sisi lain yang mau tidak mau harus dibenahi oleh pemerintah kota. Kondisi itu mampu mempengaruhi citra yang selama ini sudah berusaha dibangun dengan baik. Sebut saja penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang hingga sekarang masih saja menyisakan masalah. Konsep menata, merelokasi, memberi gerobak harus ditunjang dengan penyadaran pada mereka. Tanpa penyadaran itu, sulit menjaga seluruh kawasan kota.

Sekarang malah muncul Aliansi PKL Solo (APS) yang terang-terangan meminta Perda Penataan PKL No 3 Tahun 2008 dicabut. Padahal seperti diikuti penulis, pada akhir 2007 ketika ada rapat dengar pendapat tentang Raperda itu di gedung DPRD Kota Solo, berbagai organisasi PKL yang diundang tidak banyak melontarkan keberatan atas rancangan pasal-pasal. Lembaga pendamping (LSM) yang mengikuti kegiatan tersebut juga tenang-tenang saja.

Berbagai kawasan yang telah ditata, kini sudah ada yang kembali marak PKL berdagang disitu. Lihat saja di sepanjang jalan Dr Rajiman terutama barat bundaran Baron (Penumping). Jalur lambat dipenuhi PKL dan pembeli sehingga pengendara becak, sepeda atau motor memilih menggunakan jalur cepat. Di Kawasan Gading, pasar Gading yang sudah berdiri semestinya mampu menampung PKL yang direlokasi ke kawasan tersebut. Kenyataannya masih banyak berjualan dipinggir jalan sepanjang jalan Veteran.




Pemberian Gerobak pada PKL Jl Slamet Riyadi
Belum lagi PKL yang berada di kawasan belakang UNS sepanjang jalan KH Dewantoro yang direlokasi ke Pasar Panggungrejo masih menyisakan persoalan. Selain belum semua PKL direlokasi, beberapa PKL yang direlokasi sudah meninggalkan kiosnya. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa relokasi tak selamanya menguntungkan. Padahal penyiapan infrastruktur pasar membutuhkan anggaran yang cukup besar.

Maka dari itu, Jokowi panggilan sehari-hari Walikota Solo, harus segera menata jajaran birokrasi terutama di Dinas Pengelolaan Pasar. Program penataan, relokasi, selterisasi maupun pengadaan gerobak harus disertai dengan kampanye pentingnya memahami tata ruang kota. Selama ini belum ada grand design kota yang disosialisasikan pada masyarakat luas. Secara global masyarakat masih belum banyak tahu mana kawasan yang untuk perkantoran, mana kawasan resapan air, mana kawasan industri, mana kawasan penghijauan, mana kawasan hunian dan lainnya.

DPRD Kota Solo tak boleh larut dalam mainstream atau hanya bereaksi pada isu-isu yang lagi hangat misalnya tentang PKL. Namun mendorong hal-hal yang bersifat substansial seperti tentang RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) yang seharusnya sudah disahkan menjadi Perda. Kalau hanya ikut arus, tak aneh bila kita baca di media mereka (legislatif) selalu kaget dan bereaksi bila Pemkot memaparkan rencana kegiatan. Sebuah kota harus tumbuh bersama masyarakatnya, tidak hanya untuk bekerja namun menjadi tempat tinggal yang nyaman.

Kamis, 05 Mei 2011

Makna Dibalik Usulan Gedung Baru DPR (4)

|0 komentar
Rakyat Berharap Anggota DPR Yang Profesional

Yang banyak diketahui masyarakat untuk makna “U” selanjutnya adalah untung. Ya, mereka para wakil rakyat kita memang suka mencari untung. Dengan posisi dan jabatan mereka, memungkinkan untuk memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki. Mantan anggota DPR biasanya masuk ke jabatan-jabatan strategis termasuk menjadi menteri, dirut atau komisaris BUMN, anggota institusi setingkat menteri dan masih banyak lagi. Posisi sebagai wakil rakyat benar-benar digunakan untuk melakukan negosiasi dan tawar menawar.
Bila bukan sanak family, orang lain juga berusaha dibantu untuk menduduki jabatan tertentu.

Beberapa jabatan di partai politik biasanya berhubungan family atau masih kerabat dengan ketua partai politik yang bersangkutan. Argumentasinya “sudah kenal dan tahu kapasitasnya” adalah alasan klise tapi mengerikan. Bila sistem di negara atau parpol sudah maju, soal begini tidak masalah. Namun pendidikan politik di Indonesia masih belum fairness sehingga hubungan kekerabatan jauh lebih kental dibanding murni profesionalitas. Salah satu contoh sebut saja Edy Baskoro yang umurnya belum genap 35 tahun sudah jadi Sekjen Partai Demokrat.

Dalam gedung DPR/MPR juga banyak yang menduduki kursi ada suami istri, bapak anak atau kerabat lain. Sekali lagi, jika sistem sudah berjalan fair tidak masalah. Hanya pada soal etika saja. Apakah pantas bila dalam satu rumah bisa berada dalam satu wilayah kerja. Beberapa perusahaanpun sudah melarang ada pegawainya yang masih punya hubungan perkawinan maupun hubungan darah. Soalnya hal ini bisa menimbulkan konflik kepentingan atau bekerja dengan tidak profesional. Ini bukan soal HAM namun lebih pada etika apalagi sebagai orang timur kita sangat menjunjung tinggi masalah ini.

Salah satu sudut gedung DPR/MPR RI
Anggota dewan juga rentan memanfaatkan posisinya untuk mencari keuntungan lain seperti soal loby dengan daerah yang diwakilinya. Telah menjadi rahasia umum banyak anggota yang berupaya mencarikan proyek. Kasak kusuk soal itu santer terdengar bila kita jadi komunitas di senayan. Hampir tiap saat kita mendengar berbagai macam “suara” yang tidak sepantasnya. Orang daerah juga berlalu lalang ditiap lantai menenteng map, proposal, permohonan dan banyak lagi ragamnya. Mestinya area itu bisa lebih disterilkan.

Yang paling konkrit dibalik usulan gedung baru berbentuk “U” terbalik ya tentu saja uang. Dari gaji rutin perbulan saja mencapai Rp 46,1juta. Itu belum ditambah tunjangan jabatan di komisi, di panitia kerja, di panitia khusus,  honor pembahasan undang-undang, gaji ke 13, uang reses (besarannya sesuai dapil), uang studi banding dan masih banyak lagi. Diakui atau tidak, seringkali pasca studi banding bila masih ada anggaran yang tersisa, itu dibagikan ke anggota. Besarannya tidak tetap tiap bulan. Kalau diperjalanan banyak di fasilitasi oleh pihak yang didatangi maka akan ada sisa perjalanan dinas yang cukup besar.

Satu dua anggota DPR juga pernah ditangkap KPK karena soal uang panas ini. Kasus besar yang sampai sekarang belum tuntas adalah uang jasa pemilihan gubernur BI. Meski sudah dibuka oleh Agus Tjondro namun tersangka lainnya masih berupaya mengelak. Tempat parkiran gedung DPR saja bak showroom mobil mewah meski kita tidak bisa menjustifikasi bahwa itu hasil dari uang panas. Bagi beberapa anggota dewan yang berlatar belakang pengusaha tentu tidak masalah. Namun ada juga anggota dewan yang berlatar belakang pendidik, birokrat atau LSM bila tiba-tiba memiliki mobil dan rumah mewah tentu menimbulkan pertanyaan.

Makna Dibalik Usulan Gedung Baru DPR (3)

|0 komentar
Tenaga Ahli Anggota DPR Ada Yang Tak Riil

Ribut diruang sidang sekarang ini malah seperti jadi tren. Suasana hiruk pikuk bak pasar sering terjadi bila agenda dilaksanakan disiarkan langsung oleh televisi. Sementara bila tak disiarkan langsung sering berjalan lancar. Jumlah wakil rakyat yang hadir juga sering tak sesuai jumlah tandatangan dan persoalan ini terus saja terjadi. Tak ada perubahan apapun yang seakan menandakan bahwa mereka sengaja berbuat  begitu. Yang bikin geregetan seringkali suara mereka sesuai perintah partai bukan apa yang diharapkan konstituen.

Makna “U” selanjutnya adalah ugal-ugalan. Berita terakhir yang menggegerkan adalah sikap salah satu anggota DPR yang menampar penjaga lift di Pacific Place. Mereka memang terhormat sehingga segala sikap, perilaku, tutur kata idealnya dijaga betul bukan malah menggadaikan kehormatan mereka. Sikap anggota Fraksi PD, Roy Suryo yang menyerobot kursi pesawat juga bisa masuk kategori ini. Bila ditelisik lebih jauh, sikap ugal-ugalan ini bisa dikupas dari orang-orang terdekat mereka seperti aspri, pembantu atau tetangga mereka.


Salah satu artis yang juga anggota DPR RI diruang kerjanya
Dengan memakai plat nomor khusus, mobil mereka bebas 3 in 1 dibeberapa kawasan di Jakarta dan juga bebas tilang meski tidak bisa sembarangan melanggar aturan.  Berbagai previledge bisa mereka dapatkan namun bukan berarti mereka bisa bertindak seenaknya sendiri. Anda yang pernah berkunjung ke gedung DPR/MPR akan tahu bahwa lift para wakil rakyat itu dipisahkan dengan pengguna lift lainnya. Jangankan menggunakan liftnya, memasuki area liftnya saja pasti langsung ditanya-tanya oleh Pamdal.

Penulis yang pernah bekerja menjadi Tenaga Ahli salah satu anggota DPR faham betul seluk beluk disekeliling DPR. Penyediaan tenaga ahli yang dibayar oleh negara Rp 7,5juta/bulan/orang tidak selalu benar-benar dari orang yang profesional. Berbagai persyaratan yang sudah diatur oleh Setjen DPR dengan mudah dilanggar. Ada yang mengangkat anaknya, keponakannya menjadi TA. Namun itu masih mendingan dibanding beberapa anggota lain yang tak pernah kelihatan siapa sebenarnya tenaga ahlinya.

Ada juga artis yang serius merekrut dan mempekerjakan tenaga ahli bahkan diluar batas kemanusiaan namun ada yang tenaga ahlinya tak pernah nampak batang hidungnya. Ada yang memberlakukan potongan untuk gaji TA, ada yang membagi gaji TA dengan sopir pribadi dan beragam teknik “ugal-ugalan”.  Susahnya mengkonfirmasi ini semua karena mereka sangat lihai mengelak. Jadi tidak ada ukuran yang pasti dan kembali pada individu yang bersangkutan apakah benar-benar memiliki komitmen kerakyatan atau hanya seolah-olah. Banyak benar yang menjadi individu seolah-olah ini.

Makna Dibalik Usulan Gedung Baru DPR (2)

|0 komentar
Anggota DPR Tonton Video Porno Saat Sidang

Yang juga bisa masuk kategori unik lainnya yaitu meski para anggota mendapat jatah anggaran reses, sulit nampaknya kita bisa melihat laporan mereka. Banyak anggota DPR tak memiliki website, situs, media individu sehingga transparansi reses dan akuntabilitas reses tak bisa didapat. Padahal anggaran yang mereka dapat cukup besar. Sebagai perbandingan, wakil dari Jakarta mendapat alokasi reses Rp 7juta lebih. Jadi bisa dibayangkan yang diluar Jakarta mendapat alokasi berapa. Ada juga anggota yang memiliki facebook juga hanya untuk gagah-gagahan. Komentar yang tak disukai, tak direspon atau dibalas. Benar-benar wakil rakyat yang unik.

Ramai-ramai yang paling gres soal keunikan mereka adalah tidak adanya alamat email resmi komisi VIII DPR RI. Hal ini mencuat saat dialog Komisi VIII di Australia dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI). Meskipun mereka menjawab alamat email mereka dengan komisi8@yahoo.com namun jawaban ini mengejutkan. DPR sebagai institusi resmi kenegaraan, memiliki kuasa anggaran, punya web dengan biaya yang luar biasa, justru alamat email yang dipakai adalah email dengan domain yang gratis. Jangan-jangan bukan hanya Komisi VIII saja tetapi komisi lainnya juga begitu. Anggota DPR juga diam saja saat diangkat tak diberi alamat elektronik dengan menggunakan domain dpr.go.id.


Baracuda POLRI ikut siaga
Makna “U” yang kedua yaitu adalah usil. Jikalau kita mencermati kiprah wakil rakyat di Senayan, maka banyak tindak tanduk yang sungguh bisa dikatakan itu wujud keusilan mereka. Hal-hal yang semestinya tidak dilakukan justru mereka terabas. Usil tidak harus bermakna disengaja namun setidaknya disadari bahwa tindakan itu sungguh bisa mencoreng mereka dari kesan “terhormat” seperti yang seharusnya mereka sandang.

Beragam tindakan mereka bisa dikategorikan usil yang oleh orang awam tidak dimengerti kenapa mereka bisa melakukan itu. Gegeran usil yang paling teranyar adalah ulah Arifianto yang melihat video porno disela-sela sidang DPR. Meski berbagai alasan dikemukakan namun tetap saja masyarakat tidak mengerti kenapa hal itu bisa dia lakukan. Ini bukan pada persoalan partai, bukan persoalan kondisi sidang atau lainnya. Ini murni persoalan mentalitas, watak dan membuktikan siapa sebenarnya para wakil kita.

Tindakan ini bukan satu-satunya yang memalukan. Me rekam video porno tindakan diri sendiri yang juga sebagai anggota dewan pernah membuat ramai. Meski akhirnya sang anggota mundur namun kejadian itu membuktikan bahwa mereka para anggota yang lolos atau terpilih tidak selalu unggul dalam etika. Entah bagaimana sistem rekam jejak yang dilakukan parpol, entah sebagai formalitas atau malah tidak ada fit and proper test. Seringkali awal kasus muncul, yang bersangkutan mengelak dengan berbagai argumentasi.

Keusilan mereka yang hampir bisa kita saksikan tiap sidang paripurna tertidur saat sidang. Kita tahu bahwa bekerja itu melelahkan, menjemukan dan kadang tak kenal waktu. Namun mestinya mereka faham bahwa wakil rakyat itu digaji besar sehingga hal-hal seperti tadi bisa diantisipasi. Toh sidang tidak digelar tiap hari atau hampir jarang ada sidang paripurna mendadak. Selalu diagendakan sebelumnya sehingga wakil rakyat bisa beristirahat terlebih dahulu.

Makna Dibalik Usulan Gedung Baru DPR (1)

|0 komentar
Mereka (DPR) Benar-Benar Unik

Usulan pembangunan gedung baru DPR senilai Rp 1,3 T masih saja bergulir bahkan tender pembuka untuk penawaran telah dilakukan. Rupa-rupanya penolakan dari masyarakat yang disampaikan oleh berbagai media juga tak kunjung direspon secara positif. Meski banyak fraksi meminta ditunda, kenyataannya proyek itu seperti “anjing menggonggong kafilah berlalu”. Bila mau di cek, mungkin tidak sedikit masyarakat yang sudah antipati merespon berita itu.

Saking muaknya para seniman, pada Rabu 27 April 2011 lalu mereka mendemo gedung DPR dan melukiskan ‘rumah rakyat’ itu sebagai WC Umum. Kalau saja mereka (anggota DPR), sekali lagi kalau saja faham dengan aksi itu, mestinya akan melakukan dialog. Setidaknya marah-marah dengan para seniman karena apa yang dilukiskan sungguh ekstrem. Kenyataannya, hampir tidak ada respon meski blow up media cukup besar. Beberapa lukisan dan statemen para seniman juga muncul di media elektronik.


Pelataran DPR/MPR RI Lengang Jelang Maghrib

Bila kita jeli mencermati, usulan pembangunan gedung baru yang sudah disosialisasikan atau dipublikasikan adalah design gedung dengan bentuk huruf U terbalik. Belum banyak pihak mengupas kenapa design gedung itu berbentuk huruf U terbalik. Tidak berbentuk huruf N, I, L, atau huruf lain yang memiliki makna lebih dalam. Penulis melihat usulan tersebut berbentuk huruf U terbalik dan bukan huruf N. Filosofi dari gedung berbentuk huruf U terbalik bila dikupas ditemukan banyak makna yang cukup dalam terutama terkait perilaku orang-orang yang berkiprah didalamnya.

Makna huruf “U” terbalik yang akan digunakan wakil rakyat untuk gedung baru itu sebenarnya mencerminkan 5 hal yang berkaitan dengan polah mereka. Pertama, simbol itu menandakan Unik. Kita semua tahu, banyak usulan atau permintaan mereka yang bisa masuk kategori unik. Misalnya mereka minta gedung baru meski yang lama masih representatif. Alasannya ruangan saat ini yang hanya 32M2 tidak representatif. Faktanya, banyak ruangan anggota yang hanya diisi oleh asisten pribadi dan tenaga ahli mereka.

Soal unik lainnya misalnya renovasi rumah jabatan yang menelan anggaran Rp 700juta/rumah jabatan. Itu belum termasuk perabot dalam, penggunaan rutin bulanan, perawatan dan lainnya. Yang baru saja terjadi misalnya kegiatan reses Komisi X di Spanyol saat legislatif negeri matador itu juga sedang reses. Disahkannya UU Pramuka oleh DPR RI membuat masyarakat juga tak faham. Dari aspek sejarah, penggunaan kata Pandu justru lebih punya makna historis dan memenuhi aspek filosofis. Bukan DPR Indonesia rasanya bila mendengar usulan masyarakat.