Senin, 21 Maret 2011

Jabatan Kepala Daerah Bukan Warisan

|0 komentar
Sejak berlakunya otonomi daerah disusul dengan regulasi pemilihan kepala daerah/Pilkada secara langsung, di Indonesia marak pencalonan individu yang dekat dengan penguasa sebelumnya. Jarang ada calon kepala daerah orang "biasa" saja baik dalam segi keturunan, ekonomi, status sosial, "berpengalaman" maupun segi lainnya. Artinya lingkup calon seakan-akan benar-benar tidak terbuka secara total. Meski ada peluang calon independen tetap saja diluar segi diatas tadi pasti sulit terpilih.

Lihat saja diberbagai kabupaten/kota di Indonesia para pengusaha, keturunan darah biru, birokrat, militer cukup banyak mewarnai pencalonan kepala daerah. Partai politik sendiri jarang mengajukan calon yang segar atau punya visi jelas dan bisa independen terhadap parpol yang mengusungnya. Setelah berjalan 10 tahun, kini saatnya era pergantian tampuk kepemimpinan ditingkat daerah. Karena memang banyak yang mampu menjadi kepala daerah selama 2 periode.

Setidaknya hal ini bisa dilihat di eks karesidenan Surakarta yang mencakup 6 kabupaten dan 1 kota. Ternyata masih banyak calon kepala daerah baik terpilih maupun tidak bukan calon biasa saja. Ada 5 kabupaten dan 1 kota yang kepala daerahnya mampu menjalankan 2 periode kepemimpinan yakni Sragen (Untung Wiyono), Wonogiri (Begug Poernomosidi), Karanganyar (Rina Iriani), Klaten (Sunarna), Sukoharjo (Bambang Riyanto) dan Kota Surakarta (Joko Widodo).

Meski diantara 6 daerah tersebut ada yang berganti pasangan seperti Rina Iriani dan Sunarna. Yang menarik adalah diantara keenam daerah tersebut, 3 daerah (Sragen, Wonogiri dan Sukoharjo) telah melakukan Pilkada pasca 2 periode kepemerintahan. Rupanya jabatan kepala daerah bukan dimaknai sebagai amanah tetapi kekuasaan mutlak yang dapat dikatakan menafikkan demokrasi. Padahal secara jelas mereka tahu bahwa mereka dipilih oleh rakyat yang benar-benar sudah meningkat daya kritisnya.

Buktinya kepala daerah Sragen, Wonogiri maupun Sukoharjo tidak melepas pencalonan kepala daerah pasca masa jabatan berakhir. Bila tampuk kepemimpinan dilimpahkan ke partai politik asal mereka diusung tentu masih masuk akal. Tragisnya mereka justru mencalonkan orang-orang terdekatnya untuk bertarung memperebutkan jabatan kepala daerah. Hasilnya nyata, mereka benar-benar dibuat malu oleh warganya sendiri.

Masyarakat menggunakan hak pilihnya
 Begug Poernomosidi pasca berakhrinya masa jabatan sebagai Bupati Wonogiri masih maju kembali meski sebagai calon wakil bupati berpasangan dengan Soemaryoto (Pengusaha Otobus dan anggota DPR RI). Di Sukoharjo, bupati Bambang Riyanto mengajukan istrinya Titik untuk maju sebagai calon bupati. Meski partai politik pengusung dirinya pada saat pencalonan dulu (PDIP) mengajukan calon sendiri, Bambang nekat saja mendukung istrinya melalui parpol lain.

Sementara di Sragen, Untung Wiyono mengajukan Yuni Sukowati (anaknya) untuk bertarung sebagai calon kepala daerah. Apa hasil 3 pilkada tersebut? ketiganya keok oleh calon lain yang lebih didukung oleh masyarakat. Di Sukoharjo, wakil bupati incumbent yang turut maju sebagai calon bupati juga kalah dengan perolehan suara yang bisa dibilang memprihatinkan. Kondisi serupa dialami oleh Titik Bambang Riyanto meski perolehan suaranya berada di posisi kedua.

Yuni Sukowati mengalami hal serupa, takluk pada Agus Fatkhurrahman yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Bupati. Padahal hitung-hitungan diatas kertas, Yuni unggul jauh dibanding 4 kandidat lainnya. Dia disupport 5 parpol dengan perolehan suara pemilu 2009 sebesar 285.439 dengan 33 kursi di legislatif. Agus Fatkhurrahman cuma diajukan 3 parpol yang perolehan suara pemilu 2009 "hanya" 97.113 dan memiliki 10 kursi di legislatif.

Dari 3 kasus ini menandakan bahwa demokrasi telah tumbuh pada arah yang sebenarnya. Dia mampu meletakkan diri pada ranah politik praktis yang elegan dan semestinya. Meski didukung oleh berbagai kalangan termasuk birokrasi, nyatanya Yunu, Titik serta Soemaryoto dibuat tidak berdaya. Tidak ada pemberitaan pelanggaran pilkada yang cukup signifikan sehingga tidak muncul sengketa Pilkada pasca pemungutan suara.

Inilah pembelajaran bagi kepala daerah lainnya supaya benar-benar melihat dan mendengar suara hati rakyatnya bila ingin mengajukan calon dari keluarganya. Kalkulasi matang harus dilakukan oleh tim independen agar keputusan pencalonan kepala daerah dari lingkaran orang dalam serasa nyanyian merdu burung. Tanpa kajian matang serta profesional, keputusan maju atau tidaknya seseorang akan berakhir konyol. Kepala Daerah itu pengabdian, bukan warisan!

Senin, 14 Maret 2011

Kajian Posisi Pemerintah(an) Propinsi

|0 komentar
(Bagian 2)

Sebut saja Dinas Pendidikan Propinsi, apa yang akan mereka tangani bila semua sekolah adalah milik kabupaten/kota, swasta atau Kementrian Agama. Akan ada trilyunan rupiah yang bisa dihemat dan dialokasikan untuk program pengentasan kemiskinan di Indonesia. Legislatif tingkat propinsi selama ini juga tidak jelas mengawasi apa karena semua kebijakan yang menjadi kewenangan propinsi juga diemban oleh kabupaten/kota (Pasal 7 ayat 1 PP No 38 Tahun 2007). Bila diasumsikan tiap propinsi ada 75 orang legislative bergaji 30 juta/bulan maka akan dihemat hampir Rp 1 T/tahun (sekitar Rp 891 M). Itu belum dihitung anggaran studi banding, pengadaan mobil dinas, tenaga ahli, ATK, gaji sekretariat DPRD, rumah dinas dan banyak fasilitas lainnya.

Berdasar data dari www.kemenkeu.go.id, pada tahun 2010 pemerintah propinsi menghabiskan anggaran belanja pegawai cukup besar. Yang terkecil memang hanya Rp 100 M tetapi untuk belanja pegawai propinsi yang berada di jawa sungguh fantastis. Dalam setahun, anggaran belanja pegawai lebih dari Rp 1 Trilyun (Rp 1,1 T untuk Jateng, Rp 1,6 T untuk Jabar, Rp 1,4 T untuk Jatim serta Rp 7,5 T untuk Propinsi DKI). Angka-angka yang mencengangkan. Apalagi bila ditambah anggaran operasional, program, anggaran legislative dan masih banyak lagi lainnya.

 

Gedung DPR MPR RI
Belum jumlah Pegawai Negeri Sipil di dinas, badan, kantor pada pemerintah propinsi yang jumlah serta tugasnya bisa kita perhitungkan secara jelas. Sebagaimana layaknya pemerintah kecamatan, memang kepanjangan tangan pemerintah pusat ditingkat propinsi harus ada. Tetapi dibuat sesuai kebutuhan daerah. Sebut saja Pemerintah Propinsi Jakarta tentu jumlah aparatnya akan jauh berbeda dengan propinsi lainnya. Proporsi jumlah pegawai ditingkat propinsi memang harus berdasar kajian yang professional agar tugas dan kewenangan gubernur bisa optimal.

Idealnya para pemangku kepentingan serta semua pihak (termasuk di dalamnya partai politik) harus rasional melihat fakta ini. Sehingga secara perlahan posisi propinsi diletakkan pada posisinya yang lebih pas. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota tak perlu melakukan pengadaan PNS baru namun mendistribusikan PNS propinsi pada kabupaten/kota sesuai 2 hal yakni kompetensi yang dibutuhkan dan keinginan pegawai bersangkutan.

Gedung dan segala peralatan secara berkala juga dapat dilimpahkan kepada daerah daripada kabupaten/kota terus menerus melakukan pengadaan mobil dinas. Bila di kecamatan ada 4 atau 5 kasie, di level pemerintah provinsi bisa jadi akan ada lebih dari 8 biro. Yang perlu jadi catatan adalah, mereka yang bekerja di pemerintah propinsi lebih banyak aspek teknis atau focus pada kelancaran administrasi dan bukan menangani pekerjaan diluar ranah itu.

Beberapa urusan yang cukup “berat” bila diserahkan pada kabupaten/kota sebut saja Taman Nasional, Kawasan Perbatasan, Jalan Propinsi dan sebagainya, bisa saja dilimpahkan ke pusat. Sudah lama masyarakat menunggu gebrakan nyata yang berefek secara jelas dan langsung. Sayangnya wakil rakyat kita lebih suka mendiskusikan bagaimana membangun gedung DPR, parpol juga rebut soal jatah menjatah menteri atau birokrat yang lebih sibuk menyusun anggaran dan membelanjakannya daripada melihat dampaknya.

Kajian Posisi Pemerintah(an) Propinsi

|0 komentar
(Bagian 1)

Sistem pemerintah di Indonesia dibagi berjenjang dari tingkat pusat hingga desa yang merupakan fungsi bagi optimalisasi layanan masyarakat. Fungsi ini diharapkan dapat berjalan optimal sesuai dengan tugas dan wewenang pada tingkatannya. Bila pasca reformasi tingkatan pemerintah hanya berupa pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah kecamatan serta pemerintah desa/kelurahan. Sebelum reformasi Tahun 1999, jenjang ini jauh lebih banyak.

Sebut saja ada karesidenan yang merupakan “pemerintahan” untuk menaungi beberapa kabupaten/kota serta ada kawedanan yang menaungi beberapa kecamatan. Keduanya telah dipangkas meski untuk karesidenan berubah bentuk dan dibawah pemerintah propinsi yang bernama Bakorwil atau Badan Koordinasi antar Wilayah. Badan ini hampir tidak pernah terdengar kerjanya maupun kiprahnya dimasyarakat meski anggaran, staff, kantor dan operasionalnya tetap ada.

 
Kantor Pemprop Kaltim Yang Megah (Foto : Eko Soembodo)
Pemerintah Propinsi sendiri memiliki dinas, badan, kantor tersendiri meski sebenarnya hal ini patut dipertanyakan. Pasca keluarnya UU No 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, hampir semua tugas dan wewenang dibagi merata antara pusat dan kabupaten/kota. Propinsi dalam PP No 38 Tahun 2007 Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa “Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar”.

Artinya adalah ada persamaan tugas pemerintah propinsi dan kabupaten/kota. Padahal seperti kita tahu de facto pemerintah propinsi tidak punya wilayah secara langsung atau masyarakat yang memang harus dilayani sebagaimana peran pemerintah kabupaten/kota. Memang ada beberapa urusan masyarakat seperti pajak kendaraan bermotor, pajak air bawah tanah, pajak air permukaan tanah dan lain sebagainya. Namun untuk efisiensi sebenarnya bisa dilimpahkan ke kabupaten/kota.

Sehingga jumlah aparat yang ada puluhan ribu di 33 pemerintah propinsi dapat didistribusikan ke pemerintahan dibawahnya. Sedangkan wakil rakyat atau DPRD Propinsi bisa dihilangkan saja. Hal ini harus dilakukan bahkan pemerintah pusat pada PP No 19 Tahun 2010 Tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Propinsi tegas memposisikan pemerintah propinsi.

Pada nama PP saja seperti tercantum diatas terdapat kata “…..Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Propinsi”. Artinya gubernur merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat dan bisa diibaratkan sebagai camat. Jangankan dinas atau instansi, wakil camat saja tidak ada. Pada Pasal 3 PP tersebut dijabarkan tugas gubernur yaitu koordinasi, pembinaan, pengawasan pemerintah dibawahnya dan memelihara stabilitas politik ditingkat propinsi.

Sedangkan kewenangannya yang diatur pada pasal 4 menyatakan mengundang rapat kepala daerah, memberi penghargaan, menetapkan sekda, mengevaluasi raperda APBD, memberi persetujuan tertulis penyidikan anggota DPRD Kabupaten/kota, menyelesaikan perselisihan antar kabupaten/kota, melantik kepala instansi vertical dari kementrian dan lembaga pemerintah non kementrian yang ditugaskan di propinsinya.

Bila dikupas secara mendalam, tugas dan kewenangan pemerintah propinsi jelas hanya kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, penting kiranya menjadikan pemerintah propinsi berposisi selayaknya pemerintah kecamatan dalam kabupaten/kota. Gubernur juga dipilih dan diangkat oleh presiden dari pejabat karir diwilayahnya. Karena memang tugas-tugas instansi di propinsi selama ini bisa dibilang hampir tidak ada.
(Bersambung)

Rabu, 09 Maret 2011

Menanti Kiprah Selebritas di Senayan

|0 komentar
Menjadi politikus rupanya sebuah pekerjaan menarik bagi hampir semua kalangan kelas menengah. Tidak hanya mantan pejabat, pimpinan militer, pengusaha, pengacara dan masih banyak lagi profesi lainnya. Tak lupa para artis juga mengincar posisi ini meski berdasar penuturan mereka, gaji artis jauh lebih tinggi. Ada beragam tanggapan atas masuknya artis ke Senayan.

Ada yang mengomentari positif tetapi tak sedikit pula yang negatif. Yang positif beralasan bahwa menjadi politisi itu hak setiap orang jadi siapapun boleh mencalonkan diri. Para artis juga membela diri bahwa pilihannya menjadi politisi merupakan pengabdian pada masyarakat. Mereka mengaku lebih merasa berarti dan membalas jasa pada masyarakat.

Tere diruang kerjanya (kiri) dan Rieke saat di lift
Yang negatif tentu menilai bahwa kalangan artis hanya memanfaatkan aji mumpung saja. Masyarakat banyak yang meragukan kapasitas serta kemampuan para artis ini. Meski sudah sejak lama masyarakat juga merasa politisi yang juga aktor senior juga bersikap kritis seperti Sophaan Sophian almarhum. Mereka ingin membuktikan diri bahwa layak menjadi penyambung lidah suara masyarakat.

Partai politik yang menjagokan mereka membantah sinyalemen artis hanya vote getter saja melainkan benar-benar diposisikan menjadi calon wakil rakyat. Parpol yang banyak menggandeng artis tentu saja PAN. Namun Partai Demokrat yang suaranya meningkat signifikan, pada pemilu 2009 juga menempatkan artis pada posisi strategis.

Diputuskannya calon terpilih adalah berdasar suara terbanyak, bukan no urut tentu saja menguntungkan mereka. Para artis sudah banyak dikenal dan bila melakukan kampanye maka banyak masyarakat berbondong-bondong menghadirinya. Disinilah dugaan mengenai parpol hanya memanfaatkan situasi yang akan menguntungkan bagi partai.

Pada periode2009 - 2014, setidaknya tercatat ada 18 artis yang berhasil membuktikan diri mampu mendulang suara untuk jadi parlemen. Dari Demokrat ada Theresia EE Pardede (Tere), H Nurul Qomar (Qomar/pelawak), Ingrid Kansil, Angelina Sondaakh, Adjie Massaid, Venna Melinda dan Ruhut Sitompul. Mereka tersebar dari berbagai daerah pemilihan.

Kemudian partai Golkar menempatkan Nurul Arifin, Tanthowi Yahya dan Teti Kadi, PDIP meloloskan Guruh, Miing dan Rieke. Disusul PAN (Primus dan Eko Patrio), Rachel Maryam dan Jamal Mirdad (Gerindra) serta dari PPP terpilih artis Okky Assokawati. Mereka berhasil mendulang suara melebihi suara minimal kursi di dapilnya masing-masing.


Eko Patrio, Ingrid Kansil dan (alm) Adjie Massaid
Namun bagaimana kiprah mereka di Senayan? kita tunggu saja hingga tahun 2014. Tetapi setidaknya kita sudah sering mendengar kekritisan beberapa dari mereka sebut saja Rieke dan Tubagus "Miing" Gumelar. Sedangkan lainnya jarang terdengar kiprahnya. Semoga saja mereka tidak lupa bila bukan berada di panggung sandiwara. Mereka harus bekerja meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Beberapa foto keberadaan mereka di Senayan

Senin, 07 Maret 2011

PERLUNYA REKAYASA TRANSPORTASI KOTA SOLO

|0 komentar

Pertumbuhan Kota Solo bisa dibilang cukup pesat dari berbagai sudut pandang. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan ekonomi, jumlah penduduk maupun banyaknya kalender kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Solo. Salah satu ciri pertumbuhan kota yang pesat adalahnya bertambah ramainya lalu lintas di jalan raya. Kini, dengan kondisi jalan yang luasnya bisa dikatakan tak bertambah baik lebar maupun panjang namun jumlah alat transportasi justru sebaliknya.

Hal ini menjadikan beberapa titik ruas jalan di Kota Solo mengalami kemacetan baik saat pagi jam kerja maupun pulang kerja. Titik kemacetan dapat terjadi di Jalan Yosodipuro (barat monument pers), Jalan Slamet Riyadi (SMP Bintang Laut dan Kerten), Jalan Kalitan, jalan Slamet Riyadi Makam Haji, Jalan Adi Sucipto (SMP dan SMU Ursulin) serta masih banyak titik lainnya. Kebanyakan factor kemacetan disebabkan membludaknya kendaraan atau adanya perlintasan kereta api.


Salah satu titik kemacetan di Solo (Gilingan)



Meski demikian, sebenarnya jika dilihat lebih jauh bertambahnya jumlah kendaraan terutama roda dua bisa dibilang biang keladi atas permasalahan ini. Akibatnya transportasi missal atau angkutan umum kondisinya kian merana. Mereka makin hari semakin tak bisa menjaring penumpang dan berakibat pada penambahan persaingan angkutan serta berkurangnya transportasi umum. Salah satu transportasi umum yang terkena dampaknya adalah becak.

Sebagai transportasi ramah lingkungan (meski sebagian menyatakan tak manusiawi juga), keberadaan becak di Kota Solo cukup memberi kontribusi yang signifikan. Sayangnya mereka ini tidak dianggap sector yang perlu diperhatikan oleh Pemkot. Hingga saat ini, kita sulit menemukan jumlah yang pas berapa sebenarnya jumlah becak di Solo. Apalagi jumlah pemilik serta tukang becak pasti akan lebih sulit ditelisik. Padahal mereka salah satu sector yang harus dilindungi.

Alasannya yakni kebanyakan sopir becak adalah kaum marginal yang perlu mendapat perlindungan baik perlindungan sosial apalagi ekonomi. Faktanya kondisi tukang becak di Solo semakin teralienasi dan menjadi penonton saja pada tumbuh kembangnya kota. Kini mereka adalah korban kebijakan atas nama pengembangan kota. Diperlukan upaya nyata dari semua pihak agar pertumbuhan kota bisa dinikmati segala lapisan masyarakat.

Paling tidak ada 4 langkah yang perlu diperhatikan oleh seluruh lapisan masyarakat. Pertama, Pemerintah Kota harus memiliki grand design pengembangan transportasi massal yang terintegrasi untuk jangka panjang. Integrasi disini juga melipatkan seluruh stakeholders transportasi umum (termasuk didalamnya becak). Tanpa pelibatan salah satu sector transportasi, kebijakan pengembangan kota bisa diindikasikan mendiskriminasi pihak tersebut.

Kedua, penataan kota secara matang terutama berkaitan dengan wilayah industry, perdagangan, perkantoran atau pusat bisnis, pendidikan dan lainnya. Penataan ini juga disertai media transportasi penunjang secara integrative. Penyusunan RPJP, RUTRK dan segala macam perencanaan tanpa perekayasaan transportasi dapat berdampak fatal. Salah satu contoh dibangunnya SGM (Solo Grand Mall) serta Solo Square di kawasan perkantoran menyebabkan kemacetan apalagi malam minggu.


Jalan Slamet Riyadi Solo saat lancar
Pengembangan transportasi kota juga harus disertai dengan pengendalian jumlah maupun jenis transportasi yang ada sebagai langkah ketiga yang penting dilakukan. Tanpa pengendalian armada, niscaya hanya pemilik modal saja yang dapat menguasai pertumbuhan transportasi kota. Transportasi individu juga perlu dipantau agar bisa berimbang dengan penggunaan transportasi umum. Bisa juga ambil tindakan pengurangan previledge bagi transportasi pribadi melewati jalan tertentu misalnya.




Terakhir atau keempat, perlunya penyadaran masyarakat agar juga menggunakan transportasi umum supaya kemacetan tidak bertambah parah. Diakui atau tidak, mudah dan murahnya pembelian kendaraan bermotor menyebabkan pertumbuhan armada transportasi kian pesat. Kendaraan roda 2 juga penjualannya laris dan bertambah banyak dari waktu ke waktu.

Sabtu, 05 Maret 2011

Merananya Angkutan Kota di Surakarta

|0 komentar
Surakarta merupakan salah satu pusat pemerintahan jaman kerajaan dan sebagai pusat pemerintahan tentu sarana transportasinya jauh lebih dulu berkembang. Menurut beberapa sumber, transportasi kereta api serta andong adalah transportasi umum yang sejak jaman dulu telah ada. Namun kini, kondisi keduanya memang mengalami penyesuaian.


Salah satu angkot melaju di jalanan Surakarta
Seiring perkembangan jaman, andong dan angkutan kota tercatat sebagai alat transportasi publik yang digunakan pasca kemerdekaan. Masyarakat yang sering bepergian bertutur sebelum ada bus kota, Solo sudah diramaikan oleh andong dan angkot. Otomatis jalan yang dilalui merupakan jalan utama atau protokol.

Sekitar 15 tahun yang lalu, menyenangkan rasanya melihat penumpang angkot yang berjubel. Jumlah angkotpun cukup banyak dan terlihat berlalu lalang disudut kota. Jalur-jalur barupun tumbuh seiring perkembangan kota. Jalur baru kebanyakan merupakan jalur pinggiran kota menuju tengah kota. Sebut saja kadipiro, gentan, palur dan masih banyak lagi.

Namun, kurun 5 tahun terakhir adalah waktu yang cukup berat bagi keberadaan mereka. Satu persatu jalur makin sepi dan jumlah armada yang melayani turun drastis. Mereka nampaknya kini mengalami kesulitan bertahan dan bersaing dengan beragamnya transportasi individu. Dalam sebuah penelitian yang diadakan untuk mengeksplorasi keberadaan transformasi informal terungkap beberapa hal.
 Pertama, berbagai angkutan kota di Surakarta kini kondisi “kesehatan”nya sangat memprihatinkan. Mereka bertahan dikarenakan tak ada pilihan lain terutama yang berkaitan dengan skill/kemampuan. Pemilik armadapun rupanya faham akan kondisi ini sehingga sewa armada tak hanya berlaku setengah hari, bahkan 24jam penuh.


Angkot menunggu penumpang di kawasan Kerten
Kedua, jalur-jalur utama yang ada di Kota Surakarta kini justru dirambah oleh Bus Kota (dalam hal ini Damri) sehingga mereka kemudian tergeser jalur pinggir alias tak cukup banyak pelanggan. Padahal idealnya merekalah yang melayani jalur utama tengah kota. Hal ini untuk mengantisipasi kemacetan apalagi bila bus yang dioperasikan untuk pelayanan.

Ketiga, pihak yang berwenang sepertinya tidak responsive atas fenomena yang ada sekarang. Bila Solo mencanangkan sebagai kota tujuan wisata, seharusnya hal-hal seperti ini (ketersediaan transportasi public) benar-benar diperhatikan. Supaya wisatawan yang berkunjung, ketika menggunakan public transportation tidak terkejut.

Jumat, 04 Maret 2011

Saat Ojek Merambah Solo

|0 komentar
Pertumbuhan transportasi kota pasti akan diikuti maraknya jumlah tukang ojek. Fenomena ini dapat kita cermati di kota-kota yang sedang berkembang. Sementara di kawasan kabupaten kecil biasanya ojek hanya muncul ketika menjelang dan sesudah lebaran saja. Bisa dimaklumi karena memang penumpang ramai saat hari Raya Idul Fitri saja.

Surakarta atau Solo juga mengalami peningkatan jumlah tukang ojek meski mereka hanya mangkal dikawasan tertentu. Misalnya terminal, stasiun, pemberhentian bus antar kota dan tempat strategis lainnya. Waktu mangkalnyapun lebih banyak malam hari dibandingkan dengan waktu lain seperti siang atau sore. Mereka tidak akan mangkal di depan sekolah, pasar atau mall sebab pasti sepi.

 

Tukang Ojek di Gilingan menunggu penumpang
Keberadaan mereka sebenarnya dibutuhkan masyarakat terutama bagi warga yang ingin akses cepat namun keuangan terbatas. Tentu bila menggunakan taksi biaya yang dikeluarkan akan lebih besar sementara bila memakai becak tidak akan cepat sampai tujuan. Apalagi saat malam hari, jarang ditemui angkutan umum dalam kota apalagi keluar kota.

Hanya saja keberadaan mereka benar-benar tak dianggap sebagai salah satu stakeholders penting pembangunan kota. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan. Mereka banyak dikontak oleh Satlantas dan sebatas mendapat pengarahan mengenai tertib lalu lintas. Padahal bila diberdayakan tentu akan menguntungkan Pemkot.

Setidaknya bila Kota Surakarta mengklaim sebagai kota wisata, mereka harus dibekali dengan pengetahuan dasar tentang wisata maupun layanan penumpang. Pembinaan terhadap tukang ojek selain meningkatkan kesejahteraan mereka namun juga sebagai upaya keseriusan Pemkot membentuk kota yang ramah dan siap sedia bagi wisatawan.

Terminal, Stasiun, bandara merupakan tempat mangkal bagi berbagai jenis transportasi. Apabila tidak ingin  ada konflik di kemudian hari, idealnya Pemkot melakukan penataan secara tepat agar tidak ada persaingan tidak sehat. Harus ada rumusan yang tepat bagaimana berbagai jenis moda transportasi umum diatur secara tepat.

 

Ojek di Stasiun Purwosari bersaing mendapat penumpang dengan becak, angkot dan taksi
Tanpa adanya intervensi dari instansi yang berwenang baik pemerintah kota melalui Dinas Perhubungan, Satlantas maupun pengelola kawasan keramaian akan menambah pelik. Selain potensi keributan rebutan penumpang, saling iri juga ada kemungkinan perlakuan diskriminatif. Penumpang juga biasanya akan merasa tidak nyaman datang kembali ke Solo.

Rabu, 02 Maret 2011

Kondisi Becak Kota Solo

|0 komentar

Becak merupakan salah satu jenis model angkutan transportasi yang banyak tersebar diseluruh Indonesia. Meski banyak terdapat di berbagai wilayah namun keberadaannya semakin lama kian terpinggirkan. Banyak alasan masyarakat makin tak menggunakannya. Sebut saja mengejar waktu, tidak mengindahkan rambu lalu lintas, sembrono dan sebagainya sering disematkan pada mereka. Namun jarang yang mau mengkritisi kenapa mereka berbuat demikian.

Dalam beberapa kali wawancara pada mereka di Kota Solo setidaknya dapat disimpulkan, minimnya penghasilan mereka membuat mereka memburu penumpang secara cepat. Maraknya pembelian sepeda motor semakin mengurangi penghasilan mereka. Beberapa tukang becak yang mangkal di Tipes, Manahan, Laweyan dan lainnya mengungkapkan dalam sehari mereka hanya bisa mendapat penumpang 2 hingga 3 orang saja.

Kondisi inilah yang kemudian membuat mereka semakin hari semakin terjepit dan berusaha mengejar kebutuhan hidup sehari-hari. Minimnya ketrampilan juga semakin mempersempit peluang peralihan pekerjaan dan mencoba bertahan. Disisi lain, Dinas Perhubungan sebagai Pembina mereka secara langsung selama ini bisa dianggap abai. Tak ada pemberdayaan yang dilakukan atau kepala daerah melakukan proteksi pada kelompok pengayuh pedal tersebut.



Potret becak di jalan Samratulangi Manahan Solo
Diluncurkannya program car free day tiap hari minggu di jalan Slamet Riyadi tak juga banyak membantu mendongkrak pendapatan mereka. Solo yang pertumbuhan wisatawannya cukup pesat, belum berimbas pada penghasilan tukang becak. Maka dari itu perlindungan pada becak harus segera dipertimbangkan supaya keluarga mereka dapat terus bertahan.

Bagaimanapun mereka memberi kontribusi penting bagi masyarakat Solo atau setidaknya memberi andil pada pemasukan daerah. Sebut saja tempat wisata yang dikenal mereka tentu akan mengantarkan para wisatawan menghabiskan waktu. Disisi lain, sebagai transportasi yang ramah lingkungan juga bisa menjaga polusi di Kota Solo tetap terkontrol.

Diakui atau tidak, tidak sedikit tukang becak yang bukan berasal dari Kota Solo atau tidak ber KTP Solo. Namun hal ini bukan berarti harus dilarang sebab operasi mereka tentu tidak berdasarkan teritori. Pemerintah Kota harus mengupayakan supaya perkembangan mereka bisa terkendali. Treatment menjaga keberlangsungan mereka juga bisa dimaknai upaya memenuhi hak ekosob masyarakat marginal.

Selasa, 01 Maret 2011

PAD Klaten Tak Seksi

|0 komentar
Kabupaten Klaten sebenarnya memiliki luas wilayah yang bisa dikatakan besar karena secara geografis dataran itu membentang dari wilayah tengah hingga ke pinggir selatan pulau Jawa. Potensi yang dimilikinya tentu saja cukup luar biasa. Sayangnya Pemerintah Kabupaten Klaten tak cukup punya gagasan yang brilian untuk mengelolanya. Setidaknya hal ini dapat kita potret dari web yang dikelola oleh pemerintah daerah setempat yang tidak banyak memberikan informasi (www.klaten.go.id)

Sebagai kawasan potensial baik dari aspek geografis, pertanian, galian (pasir), wisata dan masih banyak lagi sudah seharusnya Pemda memberikan data atau informasi yang memadai. Termasuk juga bagaimana pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam UU No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Tetapi saat kita cek web milik Pemda, tak banyak info yang diperlihatkan dalam situs ini. Misalnya saja bila kita ingin mengetahui berapa kecamatan di Klaten, kita akan kebingungan dimana data itu bisa kita cari.
APBD Klaten 2007-2010 sumber : www.dpjk.depkeu.go.id (diolah)

Soal yang lain yakni update berita tak banyak yang baru. Pada saat artikel ini ditulis misalnya, pembaruan berita saja dilakukan 2 bulan lalu atau tepatnya Desember 2010. Mereka seperti tidak memahami betapa pentingnya penyajian informasi. Hal-hal ini setidaknya mencerminkan pemahaman atas informasi yang perlu disampaikan. Wajar saja bila dalam kurun 5 tahun belakangan tidak ada hal yang spesial dapat kita lihat di sana meski bencana Merapi sempat jadi isu nasional.

Pendapatan daerahpun seperti tak banyak menjadi konsentrasi pemda untuk mendongkraknya. Kenaikan yang ada pada PAD alias Pendapatan Asli Daerah masih pada taraf formalitas. Dalam kurun waktu 4 tahun (2007 - 2010) maksimal hanya Rp 11 M. Sebuah prestasi yang sangat mengkhawatirkan dan seharusnya patut menjadi perhatian bersama. Tahun 2007 PAD memberi pemasukan Rp 40,7 M dan setahun berikutnya senilai Rp 51,3 M.

Pada tahun 2008, PAD mencatatkan pundi-pundi ke kas daerah sebanyak Rp 59,1 dan melonjak cukup besar menjadi Rp 71,3 di Tahun 2010. Kenaikan ini tidak ada apa-apanya bila dilihat kenaikan dana perimbangan yang mencapai puluhan miliar bahkan kadang menembus angka ratusan. Tahun 2007 dana perimbangan sebesar Rp 764,8 M kemudian menjadi Rp 842,2 Tahun 2008. Tahun berikutnya turun menjadi Rp 838,4 serta tahun kemarin mencatat Rp 843 M.

Beberapa hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian kepala daerah apalagi saat ini memasuki periode kedua. Tanpa kontribusi yang nyata dan berkelanjutan, berarti Klaten yang dibagi menjadi 26 kecamatan menyia-nyiakan potensi yang dimilikinya. Bupati harus mampu menyelaraskan kegiatan pembangunannya dan melibatkan masyarakat secara aktif supaya perencanaan pembangunan yang dibuat tidak terbuang percuma serta ada manfaat yang dipetik.

Masyarakat harus pula berperan aktif mendorong birokrasi supaya menjalankan clean goverment dan good governance. Tanpa dorongan  dan motivasi masyarakat, para birokrat akan semakin semaunya sendiri. Tentu hal ini tidak kita harapkan sebab bila terjadi maka korban pertama adalah masyarakat miskin. Seluruh elemen masyarakat harus bersatu padu mengawasi jalannya pemerintahan.