Rabu, 23 Februari 2011

Pungutan PD PGRI Wonogiri

|1 komentar
Belum lama bupati dan wakil bupati Wonogiri dilantik, kini muncul potensi polemik baru di Kota Gaplek itu. Gara-garanya tentang rencana Pengurus Daerah Persatuan Guru Republik Indonesia (PD PGRI) Wonogiri yang akan melakukan pengembangan gedung baru. Gedung itu direncanakan menelan biaya Rp 3,9 M dan akan meminta partisipasi bagi kalangan guru maupun non guru (Solopos 23 Feb 2011).

Keputusan pengembangan gedung PGRI dilandaskan atas keputusan Konfercab PGRI Tahun 2009 lalu. Adapun besarnya pungutan untuk kategori non guru yaitu
a. Golongan I sebesar Rp 5.000
b. Golongan II sebesar Rp 10.000
c. Golongan III sebesar Rp 15.000
d. Golongan IV sebesar Rp 25.000

sementara itu untuk kategori guru terbagi atas
a. Guru non sertifikasi Rp 15.000
b. Guru sertifikasi Rp 25.000

Waduk Gajah Mungkur yang potensinya masih bisa dioptimalkan
Meskipun keputusan PD PGRI Wonogiri ini sudah disebarluaskan melalui surat edaran namun banyak kalangan yang menolaknya. Dalam surat edaran tersebut dijelaskan pungutan akan dilakukan selama 24 bulan. Setidaknya berdasar data jumlah guru negeri maupun swasta Tahun 2007/2008 saja sudah mencapai 10.927 orang (http://www.wonogirikab.go.id/home.php?mode=content&id=208) dari 1.450 sekolah TK hingga SMU/K.

Bila diasumsikan tenaga non guru tiap sekolah ada 4 (perpustakaan, TU, bendahara, pesuruh) orang saja maka jumlah orang yang dipungut mencapai 16.727 orang. Bila dirata-rata pungutan Rp 10.000/orang maka dalam satu tahun terkumpul Rp 2M lebih atau mencapai Rp 4 M untuk kurun 2 tahun. Padahal kita tahu data yang kita pakai masih data 3 tahun lalu serta jumlah tenaga non guru bisa lebih dari 5 ribu orang.

Beberapa masalah yang perlu kita cermati adalah pertama, apakah pengembangan gedung itu relevan dengan kenaikan prestasi anak didik? Kantor sekretariat memang perlu dibuat yang representatif namun layakkah bila bangunan itu memakan dana Rp 3,9 M? apalagi disertai dengan fasilitas penginapan? Apakah di Kota Wonogiri tidak ada gedung pertemuan serta penginapan yang layak?

Kedua, proses sertifikasi masih saja terus berlangsung. Artinya guru yang terkena potongan Rp 25.000/bulan jumlahnya akan naik sehingga menaikkan jumlah total dari anggaran yang dipungut. Ketiga, Fasilitas sekolah-sekolah serta kapasitas guru di Wonogiri sendiri terutama daerah pedalaman seperti Kecamatan Eromoko, Pracimantoro, Paranggupito masih banyak yang memprihatinkan. Seharusnya PGRI lebih memikirkan bagaimana meningkatkan kapasitas tersebut.


Salah satu sudut kota (www.soloaja.com/v2/forum/18-wonogiri-sukses)

Keempat, bila gedung tersebut milik bersama komunitas pendidikan di Wonogiri tentu kalangan pendidik dapat berupaya bersama-sama mencarikan anggaran baik ke APBD kabupaten, propinsi maupun pada pemerintah pusat. Bila dimintakan partisipasi, idealnya guru dengan sertifikasi saja yang diminta berkontribusi karena memang gaji yang didapat sudah cukup besar. Untuk yang non sertifikasi apalagi non guru sebaiknya tidak dikenakan pungutan.

Komunitas pendidikan bisa saja mencari anggaran ke pihak ketiga misalnya perusahaan seperti jamu air mancur, otobus atau membuat program terobosan yang inovatif. Tindakan ini jauh lebih masuk akal dan tidak membebani dibandingkan dengan melakukan pungutan pada kalangan pendidik maupun non pendidikan. Pemda saja jauh mengurangi belanja daerah untuk belanja modal pada Tahun 2010 yang hanya Rp 79 M dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp 130 M.

Sampai saat ini, bupati belum mengeluarkan pernyataan apapun. Ada baiknya kepala daerah segera turun tangan supaya kalangan pendidik tidak menjadi resah. Apalagi 4 bulan ke depan memasuki bulan ujian nasional. Artinya kurun waktu tersebut akan digunakan para guru untuk konsentrasi meningkatkan prestasi anak. Tanpa campur tangan, bisa saja para pendidik tidak bisa konsentrasi dalam memberi pengajaran dan hasil UN tidak menutup kemungkinan akan jeblok.

Selasa, 22 Februari 2011

PKMS Solo Amburadul

|0 komentar
Kesehatan merupakan salah satu hak dasar warga negara yang dilindungi oleh Undang-undang. Namun pembiayaan kesehatan dasar masyarakat di Indonesia nampaknya masih diabaikan oleh negara cq pemerintah daerah. Terbukti masih banyaknya pemberitaan tentang warga tak mampu yang tetap saja tidak bisa berobat secara gratis. Padahal kampanye kementrian kesehatan di media telah menyebar luas dan dilihat oleh semua orang.

Rumusan Hak Ekosob merupakan turunan dari rumusan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)  PBB,  Artikel 25, yang disahkan MU PBB pada 1948. “Semua orang berhak untuk mendapat standar hidup yang layak dalam kesehatan  dan kesejahteraan bagi dirinya dan  keluarganya meliputi  makanan, pakaian, rumah,  perawatan medis dan jasa pelayanan masyarakat serta bebas dari pengangguran, rasa aman dari penyakit, cacat, menjanda/menduda, usia uzur /tua atau ketiadaan mata pencarian  di luar kendalinya".

Konvenan ini telah diratifikasi dalam UU No 11 Tahun 2005 dan semestinya negara serta pemerintah daerah memahami. Kenyataannya, peluncuran Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) tak dapat berjalan optimal. Solo, sebagai salah satu Kota yang berusaha mengoptimalkan perlindungan kesehatan bagi warganya juga meluncurkan Program Kesehatan Masyarakat Solo atau lebih dikenal dengan PKMS. Saat ini sudah berjalan selama 3 tahun.

Pada kenyataannya, masih banyak masyarakat yang belum bisa diakomodir dalam layanan tersebut. Meski sudah ada penggolongan kelas silver dan gold, tetap saja pelayanan tak optimal. Rumah sakit daerah maupun swasta melayani dengan setengah hati. Sementara itu tiap tahun alokasi anggarannya terus membengkak. Tahun 2009 dianggarkan sebesar Rp 10 M, kemudian naik menjadi Rp 12 M ditahun 2010 dan sekarang menjadi Rp 16 M (2011).

Dalam evaluasi 2 tahun perjalanan PKMS, pemerintah dan DPRD menilai layanan tidak maksimal. Maka dari itu mereka kemudian merekomendasikan adanya RSUD sendiri. Keputusan ini dilandaskan adanya diskriminasi layanan. Nampaknya jalan keluar ini dibahas tanpa melibatkan stakeholders yang mendapat pelayanan sehingga terkesan mencari jalan pintas saja.

Dalam Diskusi Kelompok Terbatas (DKT) Bidang Kesehatan yang diselenggarakan Pattiro Solo tanggal 10 Februari 2011 (baca : http://masfiek.wordpress.com/2011/02/23/pkms-yang-masih-perlu-ditingkatkan-kinerjanya/), terungkap kelemahan pengelolaan PKMS tidak pada aspek pihak lain. Namun lebih pada komitmen membangun layanan pada warga miskin. Masih adanya diskriminasi layanan, penolakan pasien hingga alasan kamar habis mewarnai diskusi.

Ada beberapa modus yang diungkapkan oleh peserta diskusi yakni transparansi layanan, SPM layanan serta kuota masyarakat miskin. Untuk transparansi layanan dapat ditemukan pada soal apakah kamar kelas 3 benar-benar sudah habis ketika pengguna PKMS masuk? kenyataannya ada banyak RS Swasta hanya menyediakan 3-7 bed saja untuk layanan PKMS. Kemudian klaim jenis obat, sering yang dimasukkan merupakan obat bukan kategori PKMS.

Masyarakat tidak diberi informasi secara jelas bagaimana menggunakan layanan, jenis obat yang tersedia, stok kamar/bed kelas 3 dan lain sebagainya. Untuk SPM layanan, tak ada standart berapa lama mereka dapat dilayani dengan segera, dokter siapa yang melayani dan adanya petugas khusus bagi warga miskin agar di RS tersebut tak kebingungan.

Sedangkan terkait kuota masyarakat miskin, banyak masyarakat yang tidak tinggal di Solo mendapat PKMS. Hal ini terkait validasi data RT yang tak tegas. Merasa masih ada family ber KTP Solo, maka meski sudah tak tinggal di Solo tetap saja di data. Pemkot harus memiliki data by name, by address dan by activity mereka yang mendapat PKMS. Bila tidak, berapapun dana yang dianggarkan tentu tak akan cukup mengcover layanan kesehatan.

Terakhir, tak adanya bagian pengaduan pelayanan PKMS sehingga masyarakat kesulitan menyelesaikan problem mereka dilapangan. Semestinya ada bagian khusus yang melayani klaim ini sehingga problem yang dihadapi masyarakat dapat diinventarisasi untuk dicarikan jalan keluar. Akibat tidak adanya bagian ini, wajar saja membengkaknya PKMS diatasi dengan mendirikan RSUD. Kalau demikian, benar adanya kalimat "Jaka sembung bawa golok".....

Peluncuran Bus Tingkat dan Railbus Solo

|2 komentar
Solo, kembali membuat gebrakan yang gaungnya berskala nasional namun tanpa banyak gembar gembor di media. Walikota Solo, Joko Widodo pada hari Ultah Kota Solo ke 266 tahun melaunching 2 jenis moda darat yaitu railbus dan bus tingkat pada tanggal 20 Februari 2011. Kedua jenis angkutan massal ini diluncurkan sebagai upaya menciptakan citra Solo sebagai daerah kunjungan wisata.

Walikota memahami benar, tak adanya potensi alam maupun kondisi geografis yang sempit sebagai area pabrik serta kawasan alam yang layak jual berupaya membuat terobosan untuk mendongkrak PAD. Dia memahami benar bahwa Solo memiliki keragaman budaya yang perlu terus dipromosikan keluar daerah. Dia tak mau anggaran dihabiskan hanya untuk promosi keluar namun menciptakan infrastruktur sebagai kesiapan menyambut wisatawan ke daerahnya.

Saat ujicoba bus tingkat 20 Februari lalu
APBD yang sebenarnya tak seberapa dibanding potensi yang dimilikinya membuat Jokowi harus pandai berkreasi menarik wisatawan baik mancanegara maupun domestik mau berkunjung ke daerahnya. Maka peluncuran 2 moda ini menjadi momentum yang diharapkan dapat mendongkrak pemasukan daerah. Meski biaya pengadaan kedua jenis transportasi ini cukup besar, namun nampaknya sudah dikalkukasi benar dampaknya.

Kita lihat saja, untuk pengadaan bus tingkat senilai Rp 1,8 M dan operasionalnya nanti akan disewakan seharga Rp 800ribu untuk 1 kali keliling kota atau Rp 20.000 perpenumpang. Cukup lama memang akan mencapai BEP pembelian. Tetapi dampak lanjutan dari wisatawan yang datang diharapkan akan berbelanja dan mengeluarkan uang membeli sesuatu di Solo.

Sedangkan harga pembelian railbus sebesar Rp 16 miliar dan akan dioperasikan secara reguler Solo-Wonogiri. BEP railbus ini akan jauh lebih lama karena penumpang hanya dikenakan tarif Rp 2.500/penumpang. Sehari railbus ini hanya akan berjalan 1 trip saja sehingga diperkirakan pemasukannya mencapai Rp 800.000 kotor (dengan asumsi 160 kursi terisi pas). Biaya itu masih dikurangi operasional, pembagian dengan Perumka serta biaya lainnya.

Seperti yang kita tahu, sebelumnya jalur kereta api Solo dalam kota maupun ke Wonogiri telah digunakan untuk Sepur Kluthuk Jaladara dan Punakawan. Punakawan telah lama tak beroperasi dan Jaladara semakin sepi peminat karena biaya operasional yang kelewat mahal. Oleh sebab itu, peluncuran 2 moda ini harus diawasi oleh masyarakat karena menggunakan APBD yang cukup tinggi. Harga 2 moda ini senilai 1 tahun program PKMS (Program Kesehatan Masyarakat Surakarta) atau bahkan lebih tinggi di Tahun 2010.

Railbus Solo - Wonogiri yang siap diluncurkan
Artinya, jangankan untuk mendapat benefit dalam kurun waktu dekat, proses break event point (kembali modal) saja membutuhkan waktu yang cukup lama. Nampaknya DPRD juga diam saja atas fenomena ini. Sebelumnya terdengar kabar bahwa Jokowi akan membeli 2 buah bus tingkat yang perencanaannya tidak dimintakan persetujuan DPRD. Anehnya, mereka (DPRD) tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa meminta pembelian bus tingkat hanya 1 buah saja.

Masyarakat hendaknya tak terlena untuk lepas perhatian atas pemasukan dari program peluncuran ini. Hingga sekarang tak ada penjelasan sama sekali berapa tahun BEP, berapa rupiah target pemasukan tahunan dan apa saja dampak yang dapat diterima masyarakat serta apakah mereka dapat merasakan dampak tersebut. Disisi lain, bila kita cermati, jenis angkutan massal lainnya seperti bus dan angkot serta transportasi informal sebut saja becak dan ojek semakin merana.

Mereka kian terjepit dan kesulitan mencari penumpang. Meningkatnya wisatawan yang datang ke Solo ternyata tak juga menetes ke mereka karena kebanyakan wisatawan lebih suka berombongan menyewa bus atau ditangani travel agent. Lantas, biaya-biaya pengeluaran yang besar bila tak juga berimbas ke masyarakat marginal, layakkah itu disebut membangun kota? Akankah masyarakat kecil kembali menjadi korban? kita lihat saja nanti.

Minggu, 06 Februari 2011

Anggaran Bayar PNS Klaten Besar

|0 komentar
Klaten merupakan salah satu wilayah di eks Karesidenan Surakarta dengan luasan wilayah cukup besar. Jumlah kecamatanpun mencapai 26 wilayah. Penduduknya pada Tahun 2007 telah mencapai 1,2 juta jiwa. Dengan kedua hal ini setidaknya anggaran pendapatan dan belanja daerah banyak terkonsentrasi untuk pelayanan publik. Kondisi geografisnya menggambarkan potensi di bidang pertanian dan bisa dioptimalkan bagi pendapatan daerah. Kecamatanpun terbagi secara ideal baik yang berada dipinggiran jalan utama maupun dipelosok.

Jalan utama negara juga menyusur di beberapa kecamatan sebut saja Prambanan, Kalikotes, Klaten Selatan hingga Delanggu. Jalur utama tersebut dapat dimanfaatkan oleh Pemkab sebagai sumber pemasukan utama. Hanya saja hingga sekarang kontribusi PAD sangat kecil dalam anggaran pendapatan. Berdasarkan data yang diakses dari kementrian keuangan, prosentase PAD dalam pendapatan daerah tak pernah lebih dari 8 persen hingga tahun 2010.

Alokasi Belanja Kab Klaten 2007-2010 (www.djpk.depkeu.go.id

Ini merupakan PR utama bagi Bupati Sunarna yang terpilih kedua kalinya. Perlu ada inovasi yang jenius untuk lebih fokus pada pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sayangnya belanja daerah lebih banyak habis untuk membiayai PNS bahkan tren tiap tahun meningkat secara signifikan. Pada Tahun 2007, dari anggaran belanja tidak langsung sebesar Rp 617 M, sebanyak Rp 518 M dibelanjakan untuk membayar gaji PNS (atau 84 persen). Adapun belanja langsung senilai Rp 256 M yang dialokasikan untuk belanja barang dan jasa Rp 86 M, belanja modal Rp 148 M serta belanja pegawai Rp 20 M.

Tahun 2008, pembayaran gaji PNS naik 14 persen menjadi Rp 602 M dari belanja tidak langsung Rp 727 M. Sementara belanja langsung hanya naik 11 persen (lebih rendah dari kenaikan pengeluaran daerah untuk membayar gaji) menjadi Rp 288 M yang dibagi untuk belanja barang dan jasa Rp 114, belanja modal cuma naik Rp 1 M saja pada jumlah Rp 149 M serta belanja pegawai naik Rp 4 M dibanding tahun sebelumnya Rp 24 M.

Kemudian pada Tahun 2009, alokasi pembayaran PNS tetap melonjak di angka Rp 711 M (naik 15 persen). Padahal belanja langsung justru turun besar 34 persen menjadi Rp 214 M. Penurunan ini terjadi pada alokasi belanja barang dan jasa menjadi Rp 90 M (atau berkurang 26 persen dari tahun sebelumnya), belanja modal tinggal tersisa Rp 108 M (turun 37 persen) serta untuk alokasi belanja pegawai turun 62 persen sehingga masih dialokasikan Rp 14 M.

Tahun 2010 lalu, gaji PNS masih saja meningkat pada angka Rp 760 M atau naik 6 persen. Bila dibandingkan dengan belanja langsung malah kembali mengalami penurunan alokasi hingga tersisa Rp 121 M (drop 76 persen). Dengan anggaran yang sangat kecil ini, untuk belanja modal hanya dianggarkan Rp 28 M, belanja barang dan jasa Rp 80 M serta belanja pegawai Rp 12 M. Wajar saja bila kurun waktu 2010, pembangunan di Klaten sangat kecil.

Penulis sanksi jika masyarakat memahami kecilnya alokasi anggaran untuk mereka. Maka dari itu, perlu adanya pemberdayaan masyarakat untuk memahami bagaimana membaca anggaran supaya kedepan pemda benar-benar membuka informasi mengenai hal ini. Bila tidak tentu tak menutup kemungkinan, alokasi pada masyarakat menjadi semakin jauh berkurang. Lantas jika retribusi dan pajak yang dipungut pada masyarakat hanya untuk gaji pegawai saja, manfaat apa yang bisa mereka terima?

Kamis, 03 Februari 2011

Akankah Visi Bupati Wonogiri 2010-2014 Terealisasi?

|0 komentar
Kajian Atas APBD 2007-2010

Wonogiri merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang terkenal dengan gapleknya. Kabupaten dengan luas 182 ribu ha ini menyimpan potensi alam yang luar biasa. Meski produksi perkebunannya tidak sebesar Kabupaten Boyolali, tetapi kekayaan alamnya bila dikelola dengan baik bisa menghasilkan pendapatan luar biasa. Pasca terpilihnya bupati dan wakil bupati yang baru pada Tahun 2010 lalu, akankah Wonogiri semakin mandiri atau tetap bergantung pada anggaran pemerintah pusat.

Dengan dikomandani pasangan H Danar Rahmanto, pemilik PO Timbul Jaya dan Yuli Handoko SE, mereka mengusung Visi daerah ”TERWUJUDNYA PEMERINTAHAN WONOGIRI YANG KREDIBEL DAN EFEKTIF DEMI TERCIPTANYA KEHIDUPAN MASYARAKAT YANG BERKUALITAS DAN BERAKHLAK MULIA, BEBAS DARI KEMISKINAN”. Tetapi visi ini akan sulit terwujud bila pengelolaan keuangan daerah tidak berjalan efektif dan efisien.

Guna mendiskusikan hal ini, kita coba membedah APBD Wonogiri Tahun 2007-2010 lalu, dimana saat itu bupati masih dijabat oleh Begug Poernomosidi. Setidaknya ada gambaran dengan pencapaian pemerintahan sebelumnya, dapatkah Danar menaikkan kesejahteraan masyarakatnya. Akankah kemandirian mendapatkan anggaran dari daerah bisa terus ditingkatkan dibanding berharap anggaran pusat? Tantangannya adalah luas wilayah yang begitu besar dengan kondisi geografis yang menantang.

djpk.depkeu.go.id (diolah)

Untuk pendapatan sendiri, dalam kurun waktu 2007-2010 bisa menyumbangkan angka sebesar Rp 700 M dan naik pada Tahun 2008 menjadi Rp 777 M. Di Tahun 2009, pemasukan menjadi Rp 869 M serta Tahun 2010 menjadi Rp 879 M atau rata-rata kenaikan antara 8-10 persen. Kenaikan itu sendiri didapat dari tingginya pendapatan dari Dana Perimbangan. Kalau dibedah lebih jauh, sumbangan Dana Perimbangan berkisar di angka Rp 629 M (2007), Rp 696 M (2008), Rp 721 M (2009) serta Tahun 2010 mencapai nominal Rp 729 M. 

Kontribusi dana perimbangan pada pendapatan daerah memang terjadi dimanapun. Dilihat prosentase dana perimbangan pada pendapatan terus menurun. Bila Tahun 2007 di 89,7 persen, berikutnya mengecil menjadi 89,6 persen, Tahun 2009 dan 2010 menjadi 82,9 persen. Ini berarti menjadi hal yang cukup baik bagi daerah karena menandakan PAD bisa mendistribusikan anggaran pendapatan dengan jumlah terus meningkat. Tahun 2010 setidaknya mencapai Rp 64 M (meski untuk eks karesidenan Surakarta termasuk kecil).

Bagaimana dengan Belanja Daerah nya? apakah seperti daerah lain yang banyak menghabiskan anggarannya untuk pegawai? Tahun 2007, Pemda Wonogiri mengalokasikan belanja senilai Rp 693 M yang terbagi untuk belanja tidak langsung Rp 446 M (64,3 persen dari belanja) dan belanja langsung Rp 247 M (35,7 persen belanja langsung). Pada Tahun 2008, alokasi belanja meningkat menjadi Rp 788 M dengan rincian belanja tidak langsung Rp 506 M (64,1 persen) dan belanja langsung di angka Rp 282 M (35,9 persen).

Proporsi di Tahun 2009 untuk belanja tidak langsung melonjak 10 persen menjadi 74,4 persen atau setara dengan Rp 654 M dan belanja langsung hanya 25,6 persen saja atau terhimpit diangka Rp 225 M dengan total belanja Rp 880 M. Sementara Tahun 2010, dana yang dialokasikan ke masyarakat semakin turun drastis di jumlah Rp 147 M atau tinggal 15,3 persen (belanja langsung). Kondisi ini berbalik dengan belanja tidak langsung yang naik tajam menjadi Rp 817 M (menguasai 84,7 persen belanja).

Tantangan ini harus difahami benar oleh bupati karena anggaran atau APBD memiliki peran penting dalam merealisasikan visi misi kepala daerah. Tanpa karya, terobosan, inovasi yang cerdas maka visi misi hanya akan berhenti diatas kertas kerja saja. Masyarakat Wonogiri sudah cukup lama merindukan kepala daerah yang mau dan mampu membangun daerahnya. Hingga saat ini bila musim kemarau tiba, banyak desa krisis air. Problem rutin tahunan yang tetap saja belum terpecahkan.

Masyarakat berharap bupati bertindak layaknya "sopir" yang trengginas, cekatan dan tepat dalam mengambil keputusan menyalip atau berhenti. Tetapi tentu saja bukan "sopir" yang ugal-ugalan, seenaknya sendiri, orientasi kejar setoran serta tak memperhatikan rambu-rambu yang ada. Apalagi dalam visi tertuang kata bebas dari kemiskinan. Sungguh sebuah visi yang tidak mudah direalisasikan ditengah himpitan kondisi perekonomiang yang tak tentu.

Bagaimana bupati dapat kembali mendongkrak alokasi belanja langsung yang notabene bersinggungan langsung pada masyarakat. Tumpuan pendapatan juga tak selayaknya hanya disandarkan pada DAU atau DAK saja. Kedua item itu tanpa di utak utik juga secara otomatis meningkat. Danar harus lebih melihat potensi secara utuh agar Wonigiri kedepan lebih maju, lebih sejahtera dan benar-benar bebas dari kemiskinan yang menjerat masyarakatnya.

Bedah Dana Perimbangan Kabupaten Karanganyar 2007-2011

|0 komentar
Kondisi geografis bekas karesidenan Surakarta memang sangat menguntungkan karena memiliki wilayah dengan beragam jenis. Ada tanah datar, pegunungan, lautan maupun kondisi lainnya. Kabupaten Karanganyar merupakan wilayah dengan pegunungan yang sangat indah. Memiliki kondisi yang sangat sesuai bagi perkebunan buah (seperti apel, semangka dan strawbery), sayuran (wortel, cabai, kol) maupun perkebunan lain seperti kebuh teh, cengkeh dan lain sebagainya. Maka tak heran kekayaan alamnya sangat melimpah ruah.

Hal itu masih ditambah dengan banyaknya candi peninggalan sejarah, alam yang menakjubkan seperti grojogan sewu atau bangunan peninggalan jaman Belanda seperti pabrik gula. Hanya berbagai kekayaan seperti disebut diatas belum dikelola secara optimal sehingga pendanaan pemerintah daerah masih bertumpu pada dana dari pusat yakni perimbangan keuangan. Setidaknya hal itu bisa dilihat dalam APBD Kabupaten Karanganyar Tahun 2007 hingga 2010.

www.djpk.depkeu.go.id


Dana perimbangan yang berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) serta bagi hasil pajak dan bukan pajak menempati porsi pendapatan yang cukup besar dalam pendapatan daerah. Tahun 2007 total dana perimbangan yang didapat sebesar Rp 521 M atau senilai 86,5 persen dari total pendapatan. Tahun berikutnya meningkat menjadi Rp 594 M (83 persen), kemudian Tahun 2009 naik 4 persen menjadi Rp 620 M (86 persen dari pendapatan) serta menurun menjadi Rp 610 M di Tahun 2010.

Dana Alokasi Umum yang sebagian besar (atau mungkin seluruhnya untuk membayar gaji PNS) menempati pos terbesar dalam dana perimbangan. Pada Tahun 2007 saja, Karanganyar mendapat Rp 459 M atau mencakup 88 persen sendiri dari dana perimbangan. Pada tahun selanjutnya naik pada nominal Rp 506 M (setara 85 persen perimbangan), Tahun 2009 menjadi Rp 517 M yang berarti menkontribusikan 83 persen perimbangan. Prosentase di Tahun 2010 ke dana perimbangan naik kembali pada angka 85 persen alias sejumlah Rp 520 M.

Diposisi kedua penyumbang besar di dana perimbangan yakni Dana Alokasi Khusus. Tahun 2007 Karanganyar mendapat DAK dari pemerintah pusat sebesar Rp 43 M atau setara 8 persen dana perimbangan, setahun berikutnya naik 21 persen menjadi Rp 54 M (9 persen dana perimbangan). Di Tahun 2009 kembali terdongkrak di jumlah Rp 68 M (10 persen) dan tahun 2010 justru turun menjadi Rp 55 M atau hanya mensupport dana perimbangan 9 persen saja.

Porsi kecil di dana perimbangan disetorkan dari pendapatan Bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak. Tahun 2010 saja hanya menyumbang Rp 34,2 M (5 persen dana perimbangan). Sebelumnya malah lebih tinggi yakni Rp 34,7 M atau 5 persen. Selisih cuma Rp 1 M dengan tahun 2008 yang hanya mendapat Rp 33,4 M. Meski demikian Tahun 2007 malah hanya mampu mengumpulkan Rp 18,9 M atau menyumbang sekitar 3,6 persen dari dana perimbangan.

Sondokoro, salah satu potensi wisata Karanganyar



Dari uraian diatas dapat kita lihat betapa tingkat ketergantungan Pemda Karanganyar pada alokasi anggaran pusat untuk menjalankan pemerintahannya. Artinya dibutuhkan policy yang inovatif untuk mengembangkan daerah yang banyak memiliki potensi wisata maupun alam dibanding daerah lainnya di eks Karesidenan Surakarta. Proporsi gaji pegawai memang relatif tak bisa diutak utik lagi dan secara otomatis DAU akan terus meningkat pertahunnya seiring kenaikan gaji pegawai.

Formulasi perhitungan anggaran dari pusat hampir sulit untuk dicampuri oleh daerah. Maka dari itu pemda memerlukan inovasi memberdayakan PNS yang ada agar mampu mendorong serta meningkatkan pendapatan asli daerah. Harapannya bila PAD dapat meningkat maka Visi kepala daerah dapat diimplementasikan secara lebih tepat. Masyarakat harus dilibatkan dalam perumusan formulasi kebijakan pendapatan daerah yang tidak menggantungkan pendapatan dari negara.