Senin, 31 Januari 2011

Bedah Pendapatan Asli Daerah Boyolali 2007-2010

|3 komentar
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan bentuk kinerja pemerintah daerah pada soal pemasukan daerah dan selama ini faktanya masih banyak daerah cukup bergantung pemasukannya pada pusat dibanding dengan usaha sendiri. Di Jawa, berbagai kabupaten/kota sangat diuntungkan dengan adanya alokasi DAU dan DAK sebab bila hanya mengandalkan PAD, tentu akan sulit menjalankan roda pemerintahan. Sudah mafhum diketahui publik bahwa rasio kecukupan APBD untuk membiayai gaji pegawai saja cukup besar dan seringkali lebih dari angka 50persen APBD.

Sementara faktor pemasukan PAD terhadap pendapatan daerah sering dibawah 15 atau bahkan 10 persen. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Bila dibedah, PAD terdiri dari 4 jenis pendapatan yakni Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan serta Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah. Kabupaten Boyolali merupakan salah satu kabupaten yang kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah masih sangat minim. Setidaknya dalam kurun waktu 2007-2010, tak lebih dari 10 persen PAD yang disetorkan ke kas daerah.



Secara berurutan PAD Boyolali sejak Tahun 2007 mencapai Rp 43,2 M, Rp 53,8 M (2008), Rp 65,1 M (2009) dan Rp 80 M (2010). Pemasukan PAD ini terbesar didapat dari retribusi daerah yang menyumbangkan pundi-pundi Rp 27,3 M di tahun 2007, kemudian 2008 naik 16 persen menjadi Rp 32,7 M, Rp 43 M (2009 atau naik 24 persen) serta Tahun 2010 merosot tajam hingga Rp 26,3 M (atau turun 63 persen). Penurunan drastis lebih dari 50 persen ini patut dipertanyakan. Bila Pemda berargumentasi, salah satu pemasukannya berkurang (karena ada renovasi beberapa pasar tradisional sebagai salah satu penyumbang retribusi) sangat tak logis.

Perlu diketahui, renovasi pasar tidak menghentikan retribusi yang dilakukan. Pedagang tetap saja berjualan meski bukan di bangunan lama. Pemda selalu menyediakan tempat dagangan sementara. Diurutan kedua, penyumbang PAD terbesar adalah pajak daerah. Tercatat pada tahun 2007 ada Rp 7,9 M disetorkan pada kas daerah. Kemudian secara berturut-turut Rp 10,1 M pada tahun 2008 atau naik 22,7 persen, Rp 10,6 M didapat pada tahun 2009 atau hanya naik 4 persen saja. Pada Tahun 2010, retribusi mendonasikan Rp 12 M atau naik 11 persen. Padahal bila melihat kawasan Boyolali yang strategis, mestinya bisa didapat pajak daerah yang lebih tinggi.

Pajak daerah yang ikut menyumbangkan pemasukan misalnya pajak restoran, pajak hiburan, pajak parkir serta pajak reklame. Pajak yang disebut terakhir sangat potensial memberi kontribusi besar jika digarap secara serius. Sebut saja kawasan Bandara Adi Sumarmo, Asrama Haji Donohudan, Jalan utama sepanjang puluhan kilometer dari mulai Kecamatan Ampel hingga Mojosongo tentu akan memberi ruang iklan yang menggiurkan bagi perusahaan. Apalagi menjelang hari besar seperti tahun baru, menjelang puasa, lebaran, natal dan hari lainnya.

Salah satu sudut keramaian Kota Boyolali
Untuk kategori Lain-lain Pendapatan yang Sah memang mendekati pemasukan dari pajak daerah. Sebanyak Rp 6 M disetorkan tahun 2007, lantas naik menjadi Rp 8,3 M tahun 2008, kembali terdongkrak sedikit yakni Rp 8,5 M ditahun 2009 dan melonjak tajam hingga 77,5 persen pada tahun 2010 (Rp 38,2 M). Sedangkan pemasukan dari item Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan tidak cukup besar selama 4 tahun. Pada Tahun 2010 saja hanya menyumbangkan Rp 3,4 M. Dengan pemetaan ini, idealnya Boyolali masih bisa mendapatkan pemasukan yang jauh lebih besar.


(data diolah dari www.djpk.depkeu.go.id dan bila menginginkan soft file dapat menghubungi penulis)

Minggu, 30 Januari 2011

Pengelolaan Pendapatan Daerah Partisipatif

|0 komentar
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan unsur penting dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebab PAD merupakan potret kemampuan pemerintah daerah dalam menggali dan optimalisasi pemasukan daerah yang langsung dikelolanya. Masih banyak kabupaten/kota di Indonesia yang kapasitas pengelolaan PAD jauh dari harapan. Hal ini dapat tercermin dari rendahnya prosentase PAD terhadap pendapatan daerah. Ini juga dapat dimaknai Pemda tidak mampu maupun kreatif (bila tidak mau dikatakan korup) atas penarikan dana dari masyarakat.

Banyak Pemda juga berargumentasi bahwa banyak pungutan yang ditarik langsung ke pusat seperti pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak sumber daya alam dan lain sebagainya. Padahal masih banyak sektor lain yang dapat dimanfaatkan secara optimal bagi daerah untuk meraup pemasukan yang menggiurkan. Sebut saja parkir yang tidak banyak disorot orang. Dari tarif resmi Rp 300, namun faktanya banyak yang meminta Rp 500 atau bahkan Rp 1.000. Tentu hal ini merugikan bagi daerah yang sedang berupaya memandirikan anggarannya.

Selama ini, belum ada metode pendapatan partisipatif yang dijalankan pemda bekerja sama dengan masyarakat. Idealnya, banyak aktivitas yang memungut pajak maupun retribusi yang bisa diselenggarakan secara partisipatif dan melibatkan stakeholders yang bersangkutan. Sudah banyak contoh lembaga sosial melakukan hal ini. Sebut saja infaq masjid, shodaqoh pengajian, maupun iuran ronda dan lain sebagainya. Tidak ada hal yang sulit untuk membangun hal ini bila pemerintah daerah memang mau serius.

Mereka selalu rajin mengumumkan pemasukan mingguan dalam papan pengumuman. Tidak perlu tiap hari karena pasti merepotkan. Pemberian karcis tidak menjamin transparansi. Bila ada pengumuman, maka pihak penyetor retribusi maupun yang menarik retribusi akan merasa nyaman. Jika dalam satu minggu pemasukannya kecil, akan ada saling koreksi. Penarik retribusi juga bisa menunjukkan bundelan karcis yang telah disobek sewaktu ada penyetor (misalnya pedagang pasar) menanyakannya.


Bila dikelola dengan baik, PKL juga memberi kontribusi PAD yang optimal
Kasih contoh misalnya metode pengelolaan pendapatan parkir di sebuah mall. Dalam satu minggu pasti ada hari ramai dan hari sepi misalnya hari libur nasional sabtu-minggu atau hari besar. Lakukan survey secara mendetil pada saat libur tanpa ada acara tambahan di mall tersebut. Lakukan selama 4 minggu, tentu akan didapat hasil reratanya. Kemudian, para tenant bisa diberi karcis khusus secara berlangganan. Mereka boleh saja tidak membayar, tetapi pemilik mall harus tetap memberi pemasukan pada pemda. Bila ada acara khusus, bisa dilihat berapa persen penambahan prosentase pengguna parkir.

Sedangkan untuk toko atau pasar bisa dibuat rata perhari berapa motor atau mobil. Dari sini kita akan dapat mengkalkulasi berapa rupiah retribusi parkir. Tinggal dikalikan berapa kawasan yang masuk golongan subur, menengah dan kecil untuk pemasukan parkir. Kawasan-kawasan khusus seperti wisata atau gedung pertemuan mungkin bisa memakai metode insidental. Artinya pemasukan pada Pemda hanya diminta saat ada acara atau ketika hari libur. Bagi tempat wisata, hari biasa dibiarkan tidak setor (tentu utk kawasan wisata yang belum menghasilkan/sepi). Hal ini mendorong pihak pemilik tempat wisata mengadakan kegiatan pada hari biasa.

Secara tidak langsung, promosi tempat wisata akan terdongkrak dan masyarakat akan datang pada saat holiday. Sedangkan bagi kawasan hotel bisa digunakan metode pemasukan bulanan. Mereka tak perlu mendata berapa tamu yang menggunakan kawasan parkirnya. Demikian pula untuk retribusi pasar, akan jauh lebih mudah karena pedagang sudah terdata jumlahnya. Kawasan pasar sebenarnya merupakan daerah potensial bagi PAD yang meliputi retribusi parkir, retribusi pasar, retribusi sampah, retribusi keamanan dan retribusi listrik.


Sedangkan untuk pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan atau Lain-lain Pendapatan daerah yang sah dapat disiapkan metode yang pas secara tersendiri sesuai dengan pola dari pemasukan yang ada. Semua metode ini akan berjalan optimal bila Pemda membentuk semacam Satgas yang menjalankan fungsi pemantauan secara tertutup. Artinya objek pengamatan tak boleh tahu Satgas atau task force ini. Pembinaan moral tentu penting supaya langkah pengamatan pendapatan juga terdorong dari diri si penyetor retribusi.

Potret Kontribusi PAD terhadap Pendapatan Daerah

|0 komentar
Analisa Anggaran Boyolali

Boyolali merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah dengan kondisi geografis yang sangat strategis. Terletak diantara pegunungan dan memiliki areal pertanian yang cukup luas, tentu menjadikan daerah ini menjadi baromater pertanian. Tembakau merupakan salah satu produk andalan Boyolali tentunya selain padi dan pertanian lainnya. Sedangkan buah-buahan yang cukup menonjol adalah pepaya. Susu juga menjadi salah satu komoditas perdagangan yang menguntungkan bagi kabupaten yang dipimpin oleh Drs Seno Samudro - Agus Purmanto SH MSi.

Dengan mengusung visi Boyolali Pro Investasi, kepala daerah periode 2010-2015 ini tentu akan berupaya menggenjot pendapatan daerah seoptimal mungkin sehingga mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat. Idealnya dengan banyaknya potensi yang dimiliki, pendapatan asli daerah diharapkan meningkat pesat. Kawasan lereng Merapi, kini juga tersedia jutaan kubik pasir kelas wahid dan banyak digunakan untuk bahan bangunan. Bila lahan itu dikelola dengan profesional, maka yang akan menarik keuntungan tidak hanya Pemda namun juga masyarakat setempat.
Salah satu tugu patung sapi di pasar Boyolali Kota

Sayangnya selama periode Tahun 2007 - 2010, potret Pendapatan Asli Daerah Boyolali tak menunjukkan pengelolaan yang optimal. Saat itu Seno merupakan Wakil Bupati, sehingga diharapkan periode 5 tahun mendatang dia sudah faham bagaimana mendongkrak PAD kota susu itu. Selama kurun waktu tersebut, PAD menyumbang dibawah 10 persen dari Pendapatan Daerah. Pada Tahun 2007, dari pendapatan Rp 652 M, PAD hanya mampu menyumbang Rp 43 M atau hanya 6,6 persen saja. Kemudian di tahun 2008 dengan pendapatan Rp 745 M, PAD cuma menyetor Rp 53 M (7,22 persen). Tahun 2009 pendapatan mencapai Rp 820 M sementara PAD berkisar Rp 65 M (7,93 persen) dan tahun kemarin pendapatan mencapai Rp 912 M, PAD mendistribusikan Rp 80 M (8,77 persen).

Bila kenaikan sumbangan PAD pertahun hanya 1 persen saja, tentu sulit bagi Pemda terutama kepala daerah menjalankan roda pemerintahannya. Disini dimaknai bahwa pendapatan daerah lebih banyak disumbang oleh dana dari pemerintah pusat dibandingkan dengan hasil kinerja birokrasi daerah. Prosentase sumbangan PAD terhadap pendapatan daerah memang rerata seperti daerah di eks Karesidenan Surakarta. Tetapi bila melihat potensinya, idealnya mampu menyetor pemasukan lebih besar lagi, setidaknya 10-15 persen terhadap PAD.

Memang bila dilihat dari data BPS, pertumbuhan pertanian tahun 2008 cuma 3,95 persen saja. dibidang pertambangan bisa mencapai 8,55 persen, listrik, gas dan air minum juga 8 persen, sementara angkutan dan komunikasi justru -0,95 persen. Dibidang lain seperti industri, bangunan/konstruksi, perdagangan, perbankan maupun jasa terus tumbuh meski tidak mencapai 10 persen (www.boyolalikab.go.id). Artinya bila mendasarkan pada visi kepala daerah harus ada treatment yang dijalankan supaya berhasil secara nyata.

Persebaran penduduk dalam jangkauan yang cukup luas perlu dimanfaatkan dan dikreasikan dengan potensi yang dimiliki. Sebut saja Waduk Kedung ombo yang dalam proses pembuatannya sudah menimbulkan konflik luar biasa hingga menjadi isu nasional. Saat ini hanya berfungsi sebagai perairan pertanian saja. Perikanan yang dikelola masyarakat tidak menjadi sentra ekonomi. Apalagi pariwisata di Kedung Ombo juga bisa dikatakan tak berkembang pesat. Pemda perlu membuat terobosan agar ke depan Visi kepala daerah serta kenaikan prosentase kemandirian anggaran dapat tercapai.


Catatan : data Pendapatan didapat dari djpk.depkeu.go.id
Secara detil pembaca dapat meminta dokumen pada kami

Selasa, 25 Januari 2011

PNS bu­ang-bu­ang wak­tu ker­ja

|0 komentar
Pelatihan Penatausahaan Keuangan Daerah di Kutai Timur
Edisi : Senin, 24 Januari 2011 , Hal.1
Solopos

  Peng­un­jung su­dah pa­dat ber­hi­lir-mu­dik di Pu­sat Gro­sir So­lo (PGS), Ju­mat (21/1) pa­gi. Pa­gi itu, be­lum ge­nap dua jam pe­da­gang pu­sat per­be­lan­ja­an bu­sa­na ba­tik dan ane­ka pro­duk san­dang itu me­na­ta ba­rang da­gang­an me­re­ka.

Sem­ba­ri me­na­ta da­gang­an, me­re­ka pun me­nye­lingi ak­ti­vi­tas itu de­ngan ber­te­ri­ak-te­ri­ak de­mi me­na­rik per­ha­ti­an peng­un­jung yang ber­la­lu la­lang.

Ka­la ini ta­war­an se­o­rang pe­da­gang ter­tu­ju ke­pa­da em­pat ibu-ibu ber­pe­nam­pil­an kan­tor­an. Di­dam­pingi ti­ga re­kan­nya, sa­lah se­o­rang yang ber­ba­ju ba­tik mo­tif gu­nung­an me­na­nyai si pe­da­gang so­al mo­del bu­sa­na ba­tik te­ra­nyar. Se­pin­tas la­lu, me­re­ka tak tam­pak se­ba­gai pe­ga­wai ne­ge­ri si­pil (PNS) yang ke­lu­yur­an di pu­sat per­be­lan­ja­an pa­da jam ker­ja. Mak­lum sa­ja, me­re­ka me­nge­na­kan ba­ju ba­tik de­ngan mo­tif yang ber­lai­nan.

Ba­ru se­te­lah di­ta­nya so­al kan­tor tem­pat me­re­ka be­ker­ja, ter­ung­kap bah­wa me­re­ka ada­lah gu­ru-gu­ru di sa­lah sa­tu se­ko­lah me­ne­ngah per­ta­ma ne­ge­ri di Ko­ta Be­nga­wan. Ber­da­sar­kan peng­amat­an Es­pos, me­re­ka me­ma­su­ki are­al PGS pu­kul 10.45 WIB, ar­ti­nya ji­ka di­ku­rangi de­ngan se­ki­tar 20 me­nit wak­tu per­ja­lan­an me­re­ka da­ri se­ko­lah yang ber­ada di Je­bres, ma­ka da­pat di­sim­pul­kan bah­wa me­re­ka su­dah me­ning­gal­kan se­ko­lah se­ti­dak­nya se­jak pu­kul 10.25 WIB.

La­zim­nya ha­ri Ju­mat, se­ko­lah meng­ak­hi­ri ke­gi­at­an be­la­jar dan meng­ajar pa­da pu­kul 10.45 WIB atau 11.00 WIB. Na­mun pa­da ha­ri ter­se­but, me­re­ka meng­aku me­mu­tus­kan un­tuk me­ning­gal­kan se­ko­lah le­bih awal. ”La­gian su­dah se­le­sai meng­ajar­nya ju­ga,” ucap­nya sing­kat.

Ke­ti­ka di­ta­nya kem­ba­li apa­kah se­ring meng­gu­na­kan wak­tu seng­gang un­tuk se­ka­dar ja­lan-ja­lan di pu­sat per­be­lan­ja­an, mal atau­pun pa­sar, gu­ru itu meng­aku ja­rang me­la­ku­kan­nya ke­cua­li ada aja­kan da­ri te­man.

Sa­at di­ke­jar de­ngan per­ta­nya­an se­be­ra­pa se­ring men­da­pat­kan aja­kan te­man, ibu-ibu itu pun me­mi­lih bung­kam dan me­ning­gal­kan Es­pos.

Ti­dak kha­wa­tir

Tak ha­nya di Ko­ta So­lo, PNS di dae­rah lain pun tam­pak san­tai me­la­ku­kan ak­ti­vi­tas se­ha­ri-ha­ri me­re­ka. Pa­da ha­ri yang sa­ma di Ka­rang­anyar, ak­ti­vi­tas wa­ra-wi­ri PNS di Pa­sar Ju­mat Pa­gi pun bu­kan pe­man­dang­an asing. Se­ki­tar pu­kul 09.00 WIB, sa­lah se­o­rang pe­ga­wai Di­nas Pa­ri­wi­sa­ta dan Ke­bu­da­ya­an (Dis­par­bud) Ka­bu­pa­ten Ka­rang­anyar, se­but sa­ja Ami­ra dan re­kan­nya tam­pak di lo­ka­si itu.

Pe­rem­pu­an yang me­nge­na­kan pa­kai­an olah­ra­ga leng­kap de­ngan se­pa­tu sport ter­se­but tam­pak si­buk me­mi­lah-mi­lah bera­gam per­alat­an ru­mah tang­ga. ”Ta­di se­te­lah se­nam lang­sung ke si­ni,” aku­nya.

Ami­ra pun meng­aku ti­dak ter­la­lu kha­wa­tir ri­si­ko di­te­gur atas­an­nya ka­re­na ke­lu­ar sa­at jam ker­ja. Se­bab me­nu­rut dia ti­dak se­di­kit re­kan ker­ja­nya yang me­la­ku­kan hal se­ru­pa di­ri­nya.

La­gi pu­la, ki­lah­nya, dia te­lah me­nye­le­sai­kan tu­gas yang men­ja­di tang­gung ja­wab­nya, be­be­ra­pa ha­ri yang la­lu. ”Ju­mat kan ha­ri pen­dek. Ka­lau ti­dak ada pe­ker­ja­an la­gi, ya pu­lang,” ka­ta­nya en­teng.

Kon­di­si se­ru­pa pun ter­ja­di di sa­tu­an-sa­tu­an ker­ja pe­rang­kat dae­rah (SKPD) di Wo­no­gi­ri. PNS di sa­na te­per­gok Es­pos tak ber­ge­gas me­nye­le­sai­kan tu­gas me­re­ka seu­sai apel ru­tin pu­kul 07.00 WIB. Jam ker­ja me­re­ka ham­bur­kan un­tuk le­yeh-le­yeh sem­ba­ri me­ma­in­kan ga­mes di kom­pu­ter. Dua di an­ta­ra me­re­ka—se­but sa­ja Jon dan Tom—meng­akui ke­ge­mar­an me­ma­in­kan So­li­tai­re mem­bu­at pe­na­sa­ran. Me­re­ka pun meng­ha­bis­kan wak­tu ku­rang le­bih dua jam wak­tu ker­ja se­tiap ha­ri­nya un­tuk me­ma­in­kan ga­mes itu.

Ba­ru se­te­lah bo­san me­ma­in­kan ga­mes, me­re­ka ke­lu­ar ge­dung un­tuk sa­rap­an pa­gi dan meng­ha­bis­kan wak­tu hing­ga pu­kul 09.00 WIB de­ngan asyik meng­obrol ber­sa­ma re­kan ker­ja me­re­ka. Ru­ti­ni­tas ter­se­but ter­ja­di ham­pir se­tiap ha­ri.

Se­dot APBD

Ane­ka fak­ta tak di­sip­lin­nya PNS se­ja­ti­nya bu­kan hal ba­ru. Pe­mer­ha­ti ke­bi­jak­an pub­lik Ko­ta So­lo, Ni­no His­ti­ra­lu­din me­nye­but fak­ta ter­se­but bu­kan hal ”wah” atau men­ceng­ang­kan. Ma­sya­ra­kat, te­gas dia, su­dah la­ma di­su­gu­hi ki­ner­ja yang ku­rang op­ti­mal da­ri apa­rat pe­me­rin­tah.

Ang­go­ta Ko­mi­si I DPRD Kla­ten, FX Set­ya­wan pun be­be­ra­pa wak­tu la­lu me­nu­ding ba­nyak­nya PNS yang mem­bu­ang-bu­ang wak­tu ker­ja me­re­ka bu­kan la­gi ra­ha­sia. ”Bu­kan ra­ha­sia la­gi ka­lau di ka­lang­an bi­ro­kra­si ada dis­gu­i­sed unem­plo­y­ment atau peng­ang­gur­an tak ken­ta­ra,” tu­kas­nya wak­tu itu.

Tu­gas yang di­be­ban­kan ke­pa­da PNS ki­ni mes­ti­nya bi­sa me­re­ka se­le­sai­kan da­lam pa­ruh wak­tu ker­ja. Al­ha­sil ba­nyak si­sa wak­tu yang me­re­ka pa­kai ngang­gur. Di ka­lang­an pen­di­dik pun, lan­jut­nya, ada ke­sen­jang­an da­lam be­ban pe­ker­ja­an.

Ni­no His­ti­ra­lu­din la­lu meng­ingat­kan­nya bah­wa ki­ner­ja se­ma­cam itu bi­sa men­ja­di bu­me­rang ba­gi pe­me­rin­tah di ke­mu­di­an ha­ri. ”Pe­ker­ja me­re­ka ter­bia­sa san­tai, du­duk di kur­si aman dan gai­rah un­tuk ker­ja ce­kat­an pun me­ngem­pis,” tu­ding dia ke­ti­ka di­jum­pai Es­pos di kan­tor Pu­sat Te­laah dan In­for­ma­si Re­gio­nal (Pat­ti­ro) So­lo, Ra­bu (19/1).

Kri­tik tak ka­lah ta­jam di­lon­tar­kan Di­rek­tur Pat­ti­ro, An­dwi Jo­ko. Me­nu­rut dia kon­di­si ini se­ha­rus­nya men­ja­di per­ha­ti­an se­mua pi­hak. Ter­le­bih la­gi ka­re­na Ang­gar­an Pen­da­pat­an Be­lan­ja Dae­rah (APBD) ter­se­dot le­bih be­sar un­tuk meng­upah pa­ra PNS da­ri­pa­da un­tuk pem­ba­ngun­an yang ber­man­fa­at ba­gi ma­sya­ra­kat le­bih lu­as. ”APBD se­la­ma ini ter­se­dot pa­ling ba­nyak un­tuk ga­ji PNS lho!” tu­kas dia. - Oleh : Tim Es­pos : tus/shs/rei/asa/trh/hkt/fas/-isw/sry/mid/das

PENTINGNYA MEMBANGUN DESA

|0 komentar

Desentralisasi merupakan wujud otonomi daerah di Indonesia telah berkembang pesat, tidak hanya pada aspek pendidikan, kebudayaan, politik namun juga ekonomi. Desa sebagai salah satu bagian pemerintahan paling kecil menempati posisi strategis menjadi garda terdepan sebagai pembangunan manusia Indonesia. Sayangnya hal ini tidak banyak disadari baik oleh pemerintah pusat, propinsi maupun daerah. Padahal ujung tombak pembangunan daerah itu terletak di desa. Terlebih lagi pasca dikeluarkannya PP No 72 Tahun 2005 yang menjabarkan beberapa peran strategis Desa. Saat inipun tengah di godok undang-undang desa. Hal ini menandakan bahwa desa benar-benar menjadi urat nadi pemerintahan yang perlu dibangun secara utuh.

Dalam aspek perencanaan, ada banyak klausul yang menyebutkan (dalam PP tersebut) keharusan desa mempersiapkan segala jenis rencana pembangunan secara matang serta bertanggungjawab. Matang disini dapat dilihat dari pentingnya perencanaan jangka panjang atau 5 tahunan (RPJMDes) hingga tahunan (RKPDes maupun APBDes). Tanpa memiliki grand design focus pembangunan, desa akan berkembang secara serampangan. Sedangkan makna bertanggungjawab, bisa dilihat adanya aturan mengenai Alokasi Dana Desa/ADD serta penatausahaan keuangan desa.
Salah satu perkampungan di tepi Sungai Mahakam Kutai Kartanegara
Dana yang dikelola oleh masyarakat melalui ADD tanpa perencanaan yang matang akan terbuang sia-sia. Perencanaan yang dibuat pun akan parsial dan sekedar lebih memenuhi keinginan elit desa tanpa memperhatikan kebutuhan nyata terutama pengentasan kemiskinan atau peningkatan kesejahteraan warganya. Lantas bila demikian, untuk apa regulasi ADD diluncurkan oleh pemerintah pusat? Pemerintah daerah harus membangun seluruh unsur masyarakat desa untuk lebih dewasa dan arif mengelola dana yang memang telah menjadi hak nya. Kearifan local perlu dipertahankan sehingga pembangunan yang dijalankan dapat bersinergi dengan kebutuhan budaya, social, ekonomi, pendidikan, agama maupun kebutuhan lain.

Namun berdasarkan pengamatan sekilas, masih banyak pemerintah daerah tidak memperhatikan desa secara serius sehingga capacity building/peningkatan kapasitas masyarakat desa (perangkat desa, LPM, BPD, PKK, Karang Taruna, Petani, Nelayan dan lain sebagainya) sering terabaikan. Bapermas sebagai ujung tombak pemda banyak yang belum memahami hakikat sesungguhnya bagaimana membangun dan mendorong masyarakat desa merasa memiliki desanya. Maka dari itu, tahapan RPJMDes, RKPDes, APBDes, Pertanggungjawaban kepala desa harus disinergikan sebagai satu kesatuan yang utuh dalam membangun desa.

Memang proses menuju desa yang matang tidak semudah membalik telapak tangan. Ada tahapan-tahapan yang memang harus dilalui dan menempuh waktu yang tak sebentar. Hasil dari prose situ dapat dilihat akan jauh lebih komprehensif dibanding meluncurkan program-program karitatif. Beberapa langkah yang bisa disiapkan untuk membangun itu diantaranya berupa :

1.    Pelatihan Perencanaan  (Penyusunan RPJMDes, RKPDes dan Musrenbang)
2.    Penyusunan Regulasi (Perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi ADD maupun APBDes)
3.    Semiloka kesiapan Pemda (Koordinasi dan tupoksi)
4.    Capacity Building birokrasi (Pelimpahan wewenang monitoring APBDes)
5.    Pelatihan Katalisator Perencanaan (Fasilitator Kecamatan maupun Desa)

Untuk mendesign berbagai aktivitas diatas dibutuhkan komitmen dari pemerintah daerah terutama Bapermas sebagai leading sector pemberdayaan masyarakat desa untuk secara konsisten menjalankannya. Sudah banyak tersebar regulasi diberbagai daerah tentang hal ini dan dapat diadopsi, dipelajari serta disebarluaskan pada desa yang lain yang tentu saja mempertahankan budaya dan kearifan lokal (local wisdom).

Mengkaji kesiapan pemerintah daerah juga perlu melihat sejauh ini Pemda sudah melangkah sejauh mana dan seberapa efektifkah mampu menggerakkan masyarakat secara bersama membangun desa. Apalagi bagi wilayah-wilayah yang mendapat bantuan program diluar pemerintah seperti CSR perusahaan, PNPM Mandiri, LSM bidang pemberdayaan akan jauh lebih mampu merumuskan target-target pembangunan desanya secara spesifik.

Jumat, 07 Januari 2011

Awal Tahun 2011 Yang Mengejutkan

|0 komentar
Rakyat Kian Menjerit Atas Ketidakadilan!
(Bagian II  Lanjutan)

Pertandingan perdana LPI akan digelar Sabtu (8/1) di Kota Solo yang akan mempertemukan Solo FC dengan Persema yang diperkuat 2 pemain naturalisasi yaitu Irfan Bachdim serta Kim Jeffrey Kurniawan. Gagal menghadang pertandingan LPI, tiba-tiba menyeruak demo mendukung PSSI dan menolak LPI di Jakarta. Padahal seperti yang banyak diketahui, hanya pengurus PSSI yang getol menolak. Sedangkan suporter, Pengcab dan Pengda PSSI, Klub LSI, Klub Divisi Utama tak ada satupun yang ikut-ikutan menolak LPI. Tindakan selanjutnya sebagai antisipasi LPI, PSSI melalui pelatih timnas, Alfred Riedl menyatakan tak akan menarik pemain yang bukan dari liga yang diakui PSSI. Namun ancaman ini tidak digubris Irfan dan Kim. Mereka berdua telah ikut rombongan Persema hadir di Kota Solo.

PSSI sejak awal menyatakan bahwa LPI menyalahi UU Keolahragaan Nasional yang menyebutkan penyelenggaraan kegiatan olahraga harus mendapat persetujuan organisasi yang menaungi olahraga tersebut. Namun Menpora, Andi Mallarangeng mendebat dan mempertegas bahwa setiap atlet potensial berhak membela negara. Olahraga harus sportif dengan mengabaikan suku, agama, ras dan golongan serta afiliasi partai politik. Sungguh pernyataan yang sangat cerdas. Melarang orang (apalagi yang punya potensi) untuk masuk dalam tim untuk membela negara merupakan pelanggaran hak asasi. Hal ini harus dicamkan benar oleh pengurus PSSI dimana setiap warga Indonesia harus diberi kesempatan yang sama dan tidak boleh mengalami diskriminasi.

Para pendemo yang mendukung PSSI dalam liputan siang (8/1) ketika diwawancarai ada yang mengaku tidak tahu demo apa dan hanya ikut-ikutan saja. Inilah akibatnya bila organisasi olahraga profesional diisi oleh politikus. Beban Nurdin sebagai Ketua Umum PSSI justru bertambah manakala dia tidak masuk dalam ex officio (pengurus) Asia Football Club. Meski ditingkat lokal (Asia Tenggara/AFC) gagal mendapat rekomendasi untuk maju, pada pertemuan di Doha Qatar tetap saja nekad. Itulah perilaku konyol yang mengakibatkan karut marutnya persepakbolaan nasional. Pada saat yang sama sedang bergulir perekrutan Timnas U-23 yang akan membela negara di 3 ajang yakni Pra Olimpiade dan Sea Games 2011. Ternyata banyak juga pemain keturunan Indonesia tersebar di luar negeri dan sangat potensial.

Ada Andrea Bitar yang main di FC Cannes, Farri Agri di Al Khor Qatar, Artur Irawan (Preston North End, Australia), Syamsir Alam (Penarol, Uruguay), James Zaidan (New York Cosmos, Amerika), Steffano Lilipally dan Mark Van de Mareel yang keduanya berasal dari FC Utrecht Belanda. Diluar itu masih ada puluhan pemain keturunan yang bertalenta tinggi. Farri Agri sendiri saat ini sedang di dekati oleh Qatar untuk dinaturalisasi agar dapat membela Qatar di Timnas mereka. Jika PSSI banyak mempersoalkan LPI, kejadian lepasnya Radja Nainggolan (Cagliari) ke negara Belgia bisa terulang. Mereka seharusnya fokus menemukan talenta diluar negeri yang dapat membela merah putih.

Yang harus difahami yaitu, proses naturalisasi di Indonesia berbeda dengan negara lain seperti Singapura bahkan Philipina. Bila kedua negara itu menaturalisasi pemain yang tidak berhubungan darah dengan negaranya, sementara kita melakukannya karena mereka memang punya kaitan dengan Indonesia. Termasuk Christian Gonzalez yang beristrikan orang Indonesia. Yang perlu diperhatikan kedepan, pembinaan pemain bola usia muda harus dilakukan dengan sistem yang baik. Ciptakan kompetisi reguler dan mekanisme pembelajaran sebagai pemain profesional agar pemain-pemain sepakbola kita tidak hanya dari keturunan namun murni yang bermain di kompetisi lokal.

Gayus Bukti Polisi Tak Becus
 


 Paspor Sony "Gayus" Tambunan dan Gayus saat di Bali (kompas.com)

Berita mengejutkan datang lagi dari Gayus Tambunan, pria yang paling suka mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat. Ditengah sorotan proses persidangan, pasca ketahuan melancong ke Bali, kini terkuat bahwa pria 31 tahun itu juga ke Macau, Kuala Lumpur dan Singapura. Seperti kejadian ke Bali, dia awalnya tidak mau mengakui namun akhirnya terbukti bahwa dia memang melakukan perjalanan tersebut. Paspor atas nama Sony Laksono (nama dan foto yang sama saat ketahuan ngelayap ke Bali) yang dibawanya kini sedang diusut. diduga paspor itu aspal. Sungguh sudah sangat keterlaluan aparat hukum kita mempermainkan kewenangan yang dimilikinya. Berdasar pengakuannya, sekitar 65 hari dia keluar penjara dalam kurun 3bulan. Namun tidak begitu saja dia keluar tetapi ada uang suap yang diserahkan kepada kepala penjara Mako Brimob serta penjaga tahanan dengan nominal Rp 550an juta lebih.

Artinya pasca diketahui Gayus nonton pertandingan di Bali dan ada 65 hari keluar dari tahanan, polisi tidak menindaklanjuti kemana saja dia pergi. Polisi hanya mengusut terkait kepergian ke Bali saja sehingga kita tidak heran kedepan bisa saja muncul kesaksian munculnya orang mirip Gayus diberbagai tempat. Kalau saja pada saat diselidiki terkait kepergiannya ke Bali sekalian ditanya kemana saja dia pergi, tentu soal-soal seperti ini tidak akan menjadi polemik. Polisi masih saja bertindak tidak profesional dan kita tidak tahu kabar pengusutan para penerima dana dari Gayus. Kementrian Hukum dan HAM, kejaksaan, imigrasi yang mengurus paspor aspal harus bertanggungjawab atas kejadian ini. Lagi-lagi nampaknya kita sulit berharap pada mereka untuk mengakui bahwa ada kesalahan yang dilakukan staf mereka.

Para menteri yang menaungi mereka juga hampir tiap hari berkilah, berdalih, bersilat lidah. Sama dengan yang dilakukan kepala negara, hanya menyatakan "harus diusut tuntas". Pernyataan yang normatif dan tidak mengandung sikap tegas serta memiliki sifat shock terapy pada bawahannya. Setali tiga uang, wakil rakyat yang membidangi masalah-masalah yang dikupas diatas tak banyak bereaksi. Sungguh kondisi awal tahun yang menyesakkan dada masyarakat Indonesia. DPR yang mengklaim wakil rakyat, sama sekali bergeming atas berbagai persoalan yang menimpa konstituen mereka. Padahal gaji dan segala fasilitas yang diterima merupakan dana rakyat.

Akankah kita masih bisa berharap pada bulan-bulan mendatang kondisinya membaik bila pada awal tahun bencana atau kondisi yang bertubi-tubi ini tak juga membuat pejabat dan wakil rakyat beranjak peduli. Masihkah akan seperti biasanya, banyak kejadian, banyak komentar, banyak wacana namun tak ada yang bertanggungjawab, semuanya melempar pada pihak lain. Sungguh pembelajaran yang tidak mendidik dan selalu ditunjukkan oleh para penguasa. Beberapa politikus bahkan sudah mulai sounding capres yang ideal untuk tahun 2014. Ah, kalau begitu dimana telinga mereka? mata mereka? hati mereka bahkan jiwa mereka? Sulit berharap lebih pada elit politik dan marilah kita sebagai rakyat bahu membahu mengatasi masalah kita. Acuhkan saja mereka agar mereka menanggung sendiri nanti di hari akhir.

Awal Tahun 2011 Yang Mengejutkan

|0 komentar
Rakyat Kian Menjerit Atas Ketidakadilan!
(Bagian I)

Awal tahun 2011 benar-benar merupakan awal tahun yang memilukan bagi masyarakat Indonesia yang bila dikaji lebih mendalam membutuhkan ketahanan luar biasa. Tidak hanya dari bidang sosial, namun hingga politik, humaniora dan olahraga. Benar-benar membutuhkan energi ekstra untuk menerima berbagai cobaan yang seakan tak henti-hentinya. Entah sampai kapan cobaan ini akan berakhir karena elit politik dan pejabat yang seharusnya bertanggungjawab atas kejadian yang muncul di awal Tahun 2011 tetap tak tahu diri. Menyalahkan pihak lain sudah menjadi kebiasaan elit di negara ini. Prospek yang menyenangkan dan membangun semangat menjalani hidup sudah terlewat begitu saja.

Akhirnya tim sepakbola Indonesia gagal menjadi juara Piala AFF meski kalah 1 kali dari 7 kali pertandingan termasuk pertandingan final melawan Malaysia (padahal agregat gol dengan malaysia 7-5). Itulah hidup yang sepertinya tidak adil namun kita kalah pada saat yang tepat. Makna yang harus diambil adalah bolehlah kita kalah tetapi bukan pada saat yang menentukan. Ujian yang bertubi itu, tentu menjadi pembelajaran yang luar biasa penting agar kedepan bangsa ini mampu belajar secara baik dan benar bagaimana menyikapi dan bertindak atas masalah-masalah yang dihadapi. Kejadian yang akan penulis ungkap tidak berdasar urutan waktu namun lebih menitikberatkan pada masalah itu sendiri sehingga harapannya ke depan kita bisa jauh lebih arif menghadapinya.

Banjir lahar dingin di lereng merapi telah menyeret abu, pasir dan batu besar sehingga menyapu segala yang merintanginya. Tak tanggung-tanggung, puluhan rumah hingga salah satu Polsek di Kabupaten Magelang ikut terendam material dari Gunung Merapi. Masyarakat nampaknya harus menghadapi problem mereka sendiri, membersihkan abu dan pasir secara swadaya. Pemerintah belum turun tangan karena berbagai persoalan sebelumnya juga masih menggantung. Masih ada warga di Klaten yang tinggal di pengungsian, ternak yang belum diganti hingga selter hunian sementara yang belum sesuai kebutuhan warga. Pejabat mulai daerah hingga pusat masih disibukkan dengan agenda-agenda rutin penyusunan APBD dan pelaporan APBD. Entah apakah masyarakat boleh berharap segera adanya bantuan bagi mereka.

Bencana merapi hanya salah satu bencana alam yang menjadi akrab bagi rakyat negara ini. Masih ada lagi gempa bumi, longsor, banjir, kebakaran, kecelakaan dan lain sebagainya yang serasa tiada pernah henti menghampiri. Kondisi cuaca akibat global warming mengakibatkan hasil panen pertanian Indonesia tercabik-cabik. Akibatnya beberapa harga komoditi pertanian melonjak tajam. Salah satunya harga cabai yang luar biasa pedasnya mencapai Rp 100.000/kg. Beberapa wilayah gagal panen sehingga mengakibatkan pasokan cabai tak tersedia dipasaran. Masyarakat Indonesia memang gemar mengkonsumsi makanan bercita rasa pedas. Hal ini semakin mendongkrak harga cabai dibeberapa wilayah. Menteri Pertanian sendiri tak punya solusi jitu yang dapat mengatasi tingginya permintaan maupun harga di pasaran.

Ujian selanjutnya yaitu munculnya kembali isu pembangunan gedung DPR. Berdasar info media baru-baru ini telah dianggarkan Rp 800 M sebagai dana kajian awal. Alasan pembangunan gedung baru dikarenakan bertambahnya jumlah staf ahli dari 1 orang menjadi 2 orang (hingga 5 orang di tahun 2014) untuk tiap 1 anggota DPR. Padahal gaji 1 orang staf ahli mencapai Rp 7,5 juta (bila tidak dikorupsi oleh anggota bersangkutan) dan jumlah anggota DPR mencapai 560 orang. Bila dikalkulasi pada kebutuhan, penulis yang pernah menjadi Staf Ahli anggota DPR mengakui adanya kebutuhan itu. Namun jumlah staf ahli yang merata pada setiap anggota tentu sangat disayangkan karena kebutuhan tiap anggota tentu saja berbeda. Bisa tergantung kapasitas anggota bersangkutan, banyaknya konstituen serta luas tidaknya isu di komisi wakil rakyat tersebut.

Apakah Mereka Wakil Kita?
Salah satu sudut gedung DPR MPR RI
Disisi lain, banyak kritikan mengenai kapasitas anggota dewan yang tak kunjung membaik meski telah ada staf ahli. Mereka (staf ahli) lebih banyak berkecimpung untuk urusan-urusan teknis bukan substansial seperti tercantum dalam kontrak. Meski ada 10 staf ahli tiap 1 wakil rakyat, peningkatan kapasitas akan sulit tercapai. Kondisi persidangan dan sistem pengambilan keputusan belum membuka peluang adanya perbedaan pendapat. Jangankan antar partai, dalam 1 parpol saja perbedaan sikap jarang difahami sebagai pengkayaan amunisi untuk menghadapi pemerintah. Sehingga argumentasi-argumentasi yang bernas dan solutif dalam sidang komisi sangat minim muncul. Bila begitu, akankah pembangunan gedung baru DPR serta penambahan staf ahli akan meningkatkan kinerja mereka?

Anggaran pembangunan gedung DPR Rp 800 M serta penambahan staf ahli akan menyedot APBN ratusan milyar. Disisi lain, minggu I Januari 2011 ada kabar miris, kakak adik yang berjumlah 6 orang tewas gara-gara makan tiwul. Di duga warga Kecamatan Mayong Jepara Jawa Tengah itu keracunan tiwul bikinan ibunda mereka ditengah ketidakmampuan menyediakan makanan yang bergizi. Atas kejadian ini tidak ada pihak yang mau bertanggungjawab. Kepala daerah justru membantah adanya kelangkaan pangan di Mayong. Persoalannya kalau kita mau jeli melihat persoalan lebih dalam yaitu bukan pada kelangkaan pangan namun kemampuan daya beli mereka. Ayah mereka hanya penjahit di Kota Semarang yang hasilnya tidak tentu tergantung pada konsumen.

Kejadian berikutnya yang membuat kita tersentak di awal tahun adalah adanya tukar ganti tahanan di Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Terpidana Kasiem yang di vonis bersalah atas pengadaan pupuk dan diganjar 7 bulan penjara, rela mengeluarkan uang Rp 22 juta untuk diganti orang lain. Masuklah Karni yang terlilit hutang Rp 10 juta bersedia mengganti badan. Kasus ini menandakan betapa bobroknya sistem dan mentalitas aparat hukum kita. Lantas kemana uang Rp 12 juta sisanya? Siapa yang mendalangi kejadian ini? Begitu kejadian ini terungkap, Kajari Bojonegoro, Wahyudi dimutasi menjadi staf TU di kejaksaan agung. Hanya itu? Meski kasus ini masih terus disidik, hendaknya Jaksa Agung memberi hukuman yang bersifat jera. Layak kiranya Wahyudi dipecat dengan tidak hormat.

Berdasar pengakuan pengacara terpidana, Kasie Pidsus Hendro Sasmito mengetahui bahkan diajak berkonsultasi. Artinya bawahan Wahyudi jelas-jelas terlibat dan Wahyudi sendiri malah dimintai konsultasi (meski menolak tindakan itu) oleh Hendro. Selayaknya begitu muncul konsultasi itu, dia secara tegas meminta Hendro untuk tak melakukannya dan melaporkan pengacara terdakwa. Yang lebih menyedot perhatian masyarakat pada minggu awal adalah peluncuran Liga Primer Indonesia (LPI). PSSI sebagai induk olahraga menolak keras adanya LPI dan menganggap liga tersebut ilegal serta menyalahi aturan. Berhubung pengurus PSSI kuat nuansa politiknya, Menpora menyatakan LPI berhak tetap jalan. Kepolisian yang awalnya menolak mengijinkan penyelenggaraan pertandingan, kini mempersilahkan dengan alasan ada rekomendasi dari Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI).

 

Selasa, 04 Januari 2011

Gayus yang selalu berulah

|0 komentar
Banyak hal yang terpikir ketika membaca berita awal tahun 2011 ini. Gayus Tambunan kembali beraksi layaknya seorang pahlawan media (karena membuat tiras menjadi melonjak kembali). Perilaku dan tingkahnya kembali disorot setelah jelang akhir tahun juga menggemparkan berita hukum di Indonesia. Rupanya banyak sandiwara yang tak terhingga disimpannya. Masihkah kita sebagai masyarakat percaya pada penegak hukum bila kenyataannya seorang terdakwa melakukan semua pelanggaran hukum? Meski dikelilingi aparat, ternyata dia bisa membuktikan bahwa uang memang segalanya. Berawal dari tulisan seseorang pembaca di surat pembaca kompas yang menyatakan dia melihat Gayus pergi ke Singapura.

Atas tulisan itu Gayus kembali berdalih mengeluarkan jurus mautnya bahwa dia tidak kemana-mana. Pengacaranya juga keukeh membantah tuduhan itu. Si penulis surat dituding ingin menjatuhkan kliennya. selang 4 hari, muncullah kabar kalau Gayus tidak hanya ke Singapura namun juga ke Kuala Lumpur (Malaysia) dan Macau. Kabar ini dilansir media dari keterangan Menhukham. Dari paspor yang tengah diteliti, ternyata perjalanan yang dilakukan tidak hanya ke 1 negara saja. Awalnya, pihak kepolisian membantah tak ada nama Gayus di pesawat Air Asia tanggal 20 September 2010. Tentu kita yakin pasti tidak ada nama Gayus.

Paspor Sony Laksono (kiri) dan Foto Gayus saat menonton tenis di bali
Nama yang digunakan adalah Sonny Laksono dan nama itulah yang Gayus gunakan saat menonton tenis. Bahkan ketika Sekretaris Satgas Anti Mafia Hukum mengunggah paspor milik Sony Laksono, siapapun pasti setuju bahwa foto dalam paspor itu 99 persen mirip Gayus saat di Bali. Untuk memuluskan keluar masuk penjara sebanyak 80an kali lebih itu Gayus keluar duit diatas setengah trilyun. Pada saat wartawan Kompas berhasil membidik Gayus yang memakai wig dan kacamata, Gayus awalnya membantah dan beralasan hobi dia bukan tenis melainkan biliard. Namun ketika media terus menerus memberitakan kasus ini dan wartawan terus memburunya, akhirnya dia mengakui bahwa dirinya memang pergi ke Bali menonton tenis.

Kasus sebelumnya, setelah diburu karena melarikan diri ke Singapura uang Gayus direkening "hanya" Rp 30 M saja. Media dan masyarakat tentu sangat kaget dengan uang yang begitu besar padahal pegawai pada Ditjen Pajak itu baru Golongan IIIA, non eselon serta baru 10 tahun bekerja. Diapun tak memiliki pekerjaan lain sementara istrinya hanya staff Ketua DPRD Jakarta yang gajinya meski besar pasti tak akan mencapai puluhan miliar. Berkat kejelian beberapa pihak, ternyata Gayus masih menyimpan uang segar dalam safety box beberapa Bank dengan nominal mencapai lebih dari Rp 75 M baik dalam mata uang rupiah maupun dollar AS.

Jika demikian, masih pantaskah kita mempercayai aparat penegak hukum untuk terus menangani kasus Gayus? Tingkah lakunya saat ditahan di Mako Brimob dan bebas keluar masuk tahanan, pengurusan pasport, pengakuan-pengakuan yang tidak juga jujur membuat masyarakat pesimis bahwa segala penjelasan Gayus adalah memang benar adanya. Beberapa pembohongan yang dilakukannya membuat kita semua sanksi, benarkah cuma itu saja yang dilakukan Gayus? Apalagi keterangan yang berbantahan dengan fakta dilakukan saat dia didampingi aparat tentu mengiris jiwa kita. Penulis menjadi skeptis atas makhluk yang bernama Gayus ini. Masih layakkah dia kita percaya karena segala ulahnya justru membuat kita galau.

Beginikah sistem hukum dan mentalitas aparat kita saat menjalankan tugasnya? Bukankah mereka digaji oleh pajak yang diambil dari rakyat? Masih kurangkah gaji Rp 10 juta, Rp 20 juta, Rp 30 juta? lantas maunya digaji berapa jika Gayus saja tiap bulan menyuap kepala penjaga Rutan Mako Brimob mencapai Rp 100 juta? Kalau tiap pegawai yang menangani kasus-kasus hukum minta gaji besar diatas Rp 10 juta, pasti pendapatan negara akan tersedot semua untuk gaji pegawai. Pada saat akhir tahun pemerintah menjelaskan memberi remunerasi pada TNI dan Polri supaya kesejahteraannya lebih baik. Tentu agar mereka bekerja secara serius dan menegakkan aturan hukum sesuai amanat undang-undang.

Namun bila tiap hari disuguhi berita-berita soal penyalahgunaan jabatan maupun penyelewengan aturan, bisa saja menggerakkan massa untuk menuntut pemerintah agar benar-benar menegakkan aturan. Entah masih berapa kasus yang sebenarnya hampir sama atau mirip dengan modus ala Gayus. Kasus penggantian napi di Bojonegoro dengan uang hanya Rp 20 juta mengindikasikan hal yang sama. Sulit rasanya mempertahankan kepercayaan pada aparat keamanan bila benar-benar seperti ini kasusnya. Presiden harus bersikap tegas atas tindakan kebohongan yang dilakukan Gayus dan menciderai keadilan masyarakat. Dia harus meminta Menhukham segera memperlakukan secara khusus tahanan bernama Gayus Tambunan. Bila perlu di isolasi dan diawasi secara ketat.

Segala fasilitas juga disediakan terbatas. Ini bukan soal pelanggaran HAM, namun terbukti bahwa Gayus Tambunan masih bebas melakukan apa saja ketika diperlakukan sama dengan tahanan lainnya. Ijinkan dia berkomunikasi hanya dengan pengacara dan istrinya. Penulis memperkirakan dengan minimnya akses dia akan menjelaskan dan jujur tentang segala yang dilakukan. Hal ini didasarkan pada kebiasaannya yang menganggap bahwa uang selalu bisa membuat dia melakukan apapun yang dimauinya. Lihat saja selama ini di media elektronik. Hampir tak pernah kita lihat raut muka menyesal maupun sedih pasca menjalani sidang. Padahal banyak kasus yang membelit dirinya. Kalau itu tak dilakukan, semoga Allah SWT turut campur memberi hukuman pada Gayus didunia, amin.